Di belakang mata yang nyaris melompat keluar, otaknya mulai bekerja keras membengkokkan kebenaran. “Oh, itu ... maksudku ... dia tunangan sekaligus sahabatku. Tapi kami menganggap satu sama lain seperti sahabat. Bukankah itu lebih akrab?” Sambil mendenguskan tawa, Adam melanjutkan pekerjaan. “Ya, ya, ya. Sahabat yang menyamar menjadi tunangan. Kalian kompak sekali membohongiku.” “Kami tidak berbohong. Kami memang sudah bertunangan,” sanggah Amber, sedikit memaksa. “Lalu, di mana cincin pertunangan kalian?” Dengan raut tegang, sang wanita menunjuk ke arah jalan. “Perampok itu yang mengambilnya.” Sambil menggeleng-geleng, Adam membersihkan sarung tangannya dari serbuk kayu. “Cukup, Nona Lim. Kau mungkin bisa membohongi orang lain, tapi tidak denganku. Bibirmu agak menguncup setiap kali mengucapkan kebohongan.” Spontan saja, Amber menarik bibirnya mundur. “Tidak. Aku tidak berbohong,” tegasnya dengan suara pelan dan raut aneh. “Menurutmu, hukuman apa yang cocok diberikan untuk mur
Mendengar pembelaan itu, sang desainer sontak tercengang. "Kau datang jauh-jauh kemari dengan otak kosong?" "Tidak. Aku tahu banyak tentang perhiasan. Hanya saja, aku belum memikirkan brand-nya. Untuk saat ini, aku ingin mempelajari pengetahuan dasar saja. Baru setelah itu, aku memikirkan langkah yang lebih jauh." "Memangnya, perhiasan apa yang mau kau buat?" sela Adam terdengar garang. Meski agak ragu, Amber mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin gelang, kalung, anting ... semua perhiasan yang memancarkan kemewahan." Adam spontan mendengus dan membuang muka. "Kau bersikeras ingin belajar dari desainer terbaik. Tapi ternyata, niatmu saja tidak jelas." "Niatku jelas. Aku suka perhiasan dan ingin membuat yang terbaik. Aku ingin memberikan karya pertamaku kepada Evans kecil demi menepati janji," sanggah Amber tanpa merasa bersalah. "Tapi itu saja tidak cukup, Nona Lim. Perhiasan bukan hanya simbol kemewahan, tapi juga tentang pesan yang ingin disampaikan melaluinya." Melihat ketegas
"Justru kaulah yang suka menyentuhku. Lihat saja kedua tanganmu," protes Amber, tidak mau menampakkan kecanggungan. Bukannya melepas, Adam malah menggoyang-goyangkan telapak tangan dalam genggamannya. "Aku melakukan ini sebagai tindakan pencegahan. Kaulah yang memulai perkaranya. Kalau kau tidak mengusik barang-barangku, aku tidak akan memegangmu." Malas berdebat, sang murid akhirnya menghela napas. "Baiklah, aku tidak akan menyentuh apa-apa lagi. Sekarang, tolong tunjukkan proyek barumu, Tuan Smith." “Oke.” Seketika, ekspresi sang desainer berubah serius. Alisnya tidak lagi melengkung tinggi dan sudut bibirnya pun kaku. "Tapi sebelum itu, kau harus berjanji dulu kepadaku." "Berjanji apa?" tanya Amber dengan nada tak senang. Ia mengira pria itu masih bercanda. "Kau akan memegang rahasia besarku. Jadi, berjanjilah untuk tidak mengkhianatiku," pinta Adam sungguh-sungguh. Mengetahui keseriusan Tuan Smith, sang murid tak lagi manyun. "Tenang saja. Aku tidak akan membocorkan info
“Kalau tidak berharga, tidak mungkin para arkeolog berlomba-lomba mencarinya. Kau menyinggung perasaan mereka, Nona Lim,” gumam Adam sambil terus memainkan rambut hitam muridnya. “Tapi itu berbeda. Mereka mencari amber untuk mempelajari dinosaurus dan sejenisnya, bukan untuk perhiasan. Dilihat dari sisi mana pun, batu itu tidak akan pernah menandingi berlian.” Sedetik kemudian, Amber mendorong lebih kuat. “Sekarang menyingkirlah! Aku lapar dan ini saatnya makan siang.” Tiba-tiba, Adam menggenggam sebelah tangan muridnya dan merapatkan pandangan. “Kau tahu kenapa orang tuamu memberimu nama itu?” “Apa?” balas sang wanita, galak. “Kau dan batu itu sama-sama sensitif dan rapuh.” Kekesalan Amber sontak meletup-letup. “Kau menyindirku?” Ia berusaha terdengar garang walau hatinya masih dilanda kegugupan. “Hanya mengatakan kejujuran,” desah Adam sembari memangkas jarak. Sang wanita kini dapat merasakan embusan napasnya. “Tapi, di sisi lain, kalian sama-sama menarik.” Tanpa terduga, pri
Tanpa melepas pagutan, Tuan Smith mendorong Amber sedikit demi sedikit menuju kamar. Ketika ia merebahkan sang murid ke atas kasur, barulah wanita itu tersentak. “Adam ....” Belum sempat Amber bicara, pria itu kembali membungkam mulutnya. Tabuhan drum dalam dada sontak bertambah kencang. “Gawat,” pikir wanita yang tidak berdaya itu. “Ini tidak boleh dibiarkan. Sadarlah, Amber. Beruang Gila ini tidak mencintaimu. Dia hanya pria yang kesepian dan saat ini kau adalah pelampiasannya.” Dengan sekuat tenaga, Nona Lim melawan kehendak hati. “Adam—“ Tuan Smith tidak membiarkannya lepas. Tangan pria itu malah bergerak ke arah selatan. Sebelum si Beruang Gila sampai ke tujuan, Amber mendongak membebaskan mulutnya. “Adam, hentikan!” Pria itu seketika membuka mata. Napasnya yang terengah-engah terasa membara di leher sang wanita. Setelah beberapa kali mengerjap, ia akhirnya mengangkat wajah. Begitu menangkap sorot mata Amber yang nyaris putus asa, ia bergegas bangkit dan mencengkeram kepala.
Amber terbangun oleh kehangatan yang menggelitik lehernya. Sesekali, kelembutan itu berpindah ke pundak, membuatnya terbuai dan enggan membuka mata. Pijatan di dekat jantung pun menambah kenyamanan, membuatnya betah memperpanjang tidur. Ketika sesuatu memasuki bagian selatan, barulah perempuan itu membuka mata. Erangannya sendiri telah membangkitkan kesadaran. “Selamat pagi, Tukang Tidur,” sapa Adam tanpa memindahkan jari. Dengan lembut, dikecupnya pipi merah Amber. “Kita melakukannya lagi?” tanya wanita itu dengan suara serak. “Ya. Kau mau memarahiku lagi?” Sang pria mengangkat sebelah alis dan memperhalus gerakan. Akan tetapi, sang wanita malah kembali terpejam dan mendesah. “Apa gunanya aku marah? Semua sudah terjadi,” bisik Amber sebelum memutar badan dan menatap Adam lebih lekat. “Sihir apa yang kau gunakan kepadaku?” Sembari tersenyum miring, si Beruang Gila menggelitik telinga Nona Lim dengan napasnya. “Kaulah yang menyihirku. Aku tidak bisa melepasmu dari benakku.” Mend
“Ck, laki-laki itu lagi,” gerutu Adam sebelum mendengus cepat. “Siapa?” tanya wanita yang melongok dari balik punggung kekarnya. “Tunanganmu,” jawab Tuan Dingin ketus. Mendeteksi kekesalan sang pria, Amber sontak mengulum senyum. “Berhentilah menyebut Sebastian tunanganku. Kami hanya bersahabat,” tegasnya seraya memiringkan kepala, memeriksa raut wajah Adam dari sudut pandang yang lebih jelas. “Jadi, apakah boleh aku mengangkat telepon darinya?” “Kenapa kau meminta izin dariku? Memangnya, aku suamimu?” celetuk Tuan Dingin, terdengar agak kekanakan. Tawa kecil spontan terlepas dari mulut sang wanita. “Kau adalah guruku dan sekarang, kita sedang dalam pembelajaran. Karena itu aku meminta izin darimu. Jadi, boleh atau tidak?” “Angkat saja,” jawab Tuan Smith sambil menegakkan badan. Pria itu tahu, posisinya menyulitkan Amber untuk meraih ponsel. Dalam hati, ia berharap nada dering berakhir sebelum sang wanita sempat menerimanya. “Aku tidak akan lama,” bisik Amber sembari menepuk-n
“Kita mau ke mana? Bukankah aku harus menyelesaikan tugas?” tanya Amber dengan nada yang cenderung datar. "Amber, apakah kau percaya kepadaku?" Mendapat balasan semacam itu, alis sang wanita terangkat lebih tinggi. "Kenapa bertanya begitu?" "Jawab saja. Kau percaya kepadaku atau tidak?" desak Adam dengan kepala yang agak dimajukan. Ia ingin ketulusannya terlihat. Namun, sekalipun jarak pandang mereka terpangkas, Nona Lim tetap menaruh curiga. Ia tidak bisa menerka apa yang direncanakan oleh Tuan Smith. "Ya," sahutnya setengah hati. Sedetik kemudian, sang pria menyodorkan sebuah penutup mata. "Kalau begitu, pakai ini." Melihat benda yang terbuat dari kain hitam tersebut, Amber sontak mengernyit. "Dari mana kau mendapatkan ini?" "Tenang saja. Ini bersih dan wangi. Pakailah!" Adam menyerahkan penutup mata itu ke tangan sang murid. Namun, bukannya menurut, Amber malah memicingkan mata. "Kau tidak berencana membawaku ke danau lalu mendorongku ke dalam kolam, bukan? Ingat! Aku in
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."