Apa kabar, pembaca? Semoga sehat. Yuk, tinggalkan komentar dan sumbangan gem biar author makin semangat untuk update. Terima kasih.^^
"Julia!!!" Panik, aku berlari kecil mendekati Xander dan Julia, dan mendapatkan tatapan keheranan dari Xander. Pria itu telah duduk di kursi menghadap meja, dengan semangkuk sup pangsit buatanku ... yang diselesaikan oleh Julia tentunya. Aku hanya membuat pangsitnya."Kenapa, Theodora?" Julia memandangku penuh tanya, tanpa menunjukkan perasaan bersalah, meskipun dirinya telah memberikan pangsitku kepada Xander tanpa izin terlebih dahulu."Itu ... itu." Seperti orang yang sudah berabad-abad tak bertemu manusia lain dan berbicara, aku tergagap tak mampu menyampaikan maksudku.Gusar, tetapi aku tak bisa menyalahkan Julia, maksudnya memang baik, dan sudah sewajarnya bila masakan seorang wanita dimakan oleh suaminya. Malahan akan terkesan aneh bila aku tak merelakan makanan itu untuk Xander.Hanya saja aku berharap diriku sendiri yang akan menikmati upaya pertamaku di tempat ini. Lagi pula bentuk pangsit yang kubuat sangat abstrak, hanya beberapa biji, tetapi ukurannya tak sama, dan tak rap
"Xander ..., kamu serius ... masih mau push up ..., dan bergelantungan ... di situ?" Susah payah aku mengatur napas, kehabisan tenaga setelah berlari selama dua puluh menit.Hari ini cuaca cerah, dan udara sudah panas, bahkan di pagi hari. Sungguh, jogging hari ini terasa seperti berlari di padang gurun gersang. Namun, meskipun kami banyak berkeringat, Xander sama sekali belum menunjukkan tanda kelelahan.Porsi latihan fisiknya sudah menyerupai atlet sungguhan. Dengan sigap ia melompat naik, tangannya bergelantungan pada palang besi ayunan, lalu mulai melakukan pull up."Kau tahu, otot-ototku ini tak diperoleh secara instan, dan tak akan bertahan bila aku tak terus melatihnya." Sambil bergerak naik turun, Xander berceloteh tentang bentuk ideal badan seorang pria, khususnya bagi seorang pengusaha yang sering mendapat sorotan publik seperti dirinya.Xander juga menyebutkan tentang usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Disiplin harus mulai diterapkan bila ingin menjaga kebugaran, seka
"Keterlaluan!" desisku marah menahan emosi, seusai Judith mengungkapkan satu kebenaran menyakitkan.Kali terakhir ia mengunjungiku, Judith terlalu bersenang-senang mukbang makanan pedas sampai-sampai ia mengalami sakit perut hebat serta diare.Dan di kesempatan itu pula terjadi drama romansa mencurigakan antara Judith dengan Rafael yang begitu sigap mengurus temanku itu saat dirinya kesakitan. Meskipun diriku sendiri mengingatkannya untuk melihat perbedaan status sosial mereka yang berbeda, sebagai sesama perempuan aku tetap tergelitik untuk mengetahui perasaan mereka yang tersembunyi."Santai saja, bestie! Mending kamu nikmati kue ini. Masa berkabungku telah usai," ucap Judith sembari menggigit sepotong kue kenyal dari tepung beras dengan isian kacang merah buatan Joy."Apa???""Sssttt!" Judith meletakkan telunjuknya di depan bibir demi mendengar teriakanku yang cukup nyaring.Bagaimana aku tak kaget mendengar omongan Judith tentang masa berkabung? Ini jelas mengartikan sahabatku semp
"Xander, anu, kau tahu aku tak benar-benar ahli dalam berdansa." Malu-malu kuterima uluran tangannya, dan ia menarikku agar berdiri.Ini kali kedua kami berdansa. Yang pertama di resepsi pernikahan kami yang akhirnya berantakan. Tak dapat dipungkiri aku menikmati berdansa dengannya kala itu, tapi kali ini suasananya berbeda.Satu lengannya bergerak leluasa melingkar di pinggangku, sementara tangannya yang lain tak kalah lihai menggenggam tanganku."Just follow my lead, lady." Kaki Xander bergerak lincah memanduku, persis seperti dansa pertama kami. Hanya saja kali ini aku tak menanggung beban apapun, dan tak berencana untuk melarikan diri.Bila ada tempat aku ingin berlari itu hanyalah ke pelukannya ... sayangnya itu tak mungkin kulakukan, meskipun ia tepat berada di depan mataku."Semuanya, turun ke panggung!" Bersama satu seruan komando dari Charles, beberapa pasangan lain bergabung dengan kami untuk berdansa. Sungguh lucu, Charles menyebut kata panggung seolah kami adalah pedansa pr
"Oh, baiklah .... Selamat tidur, Xander." Kutatap suamiku yang berjalan menuju kamar tidurnya.Sesaat terlintas harapan bahwa ia akan berubah pikiran, berbalik, dan turun ke dapur untuk makan malam bersamaku. Akan tetapi, Xander menaiki anak tangga tanpa keraguan hingga ujung. Jangankan kembali, menengok atau membalas ucapanku pun tidak. Padahal selama ini terlewatkan olehnya untuk mengucapkan selamat tidur kepadaku.Untuk pertama kalinya sejak menjadi istri Xander, aku merasa sedih, bukan marah, benci, ataupun kesal. Batinku terluka, bukan hanya karena ia tak mau memakan masakan yang telah kusiapkan, tapi juga untuk kali pertama ia bersikap begitu dingin dan mengabaikanku."Sabar, dia pasti lelah, dan hanya ingin segera beristirahat." Berkali-kali kugumamkan kalimat penuh pengertian itu.Menekan semua kepahitan, kulangkahkan kaki menuju kamar tidurku. Ketika mencapai ujung tangga, bisa kulihat lampu kamar Xander masih menyala."Katanya lelah dan ingin tidur, nyatanya masih terjaga saj
"Aku bukan sarjana komunikasi, tetapi kalau hanya menjadi teman berbincang yang baik aku bisa melakukannya. Dan ingat, aku tak bisa menjamin hasilnya akan sesuai harapan." Kuucapkan dengan sejelas-jelasnya hal yang bisa dan tak bisa kulakukan untuk suamiku.Mengingat kerugian yang timbul akibat tender yang batal diraih, Xander memutuskan untuk turun tangan langsung dalam mencari klien atau partner, tanpa perlu menanti peluang diluncurkan. Bicara bisnis head to head dengan pengusaha yang potensial diajak bekerja sama jelas lebih aman.Caranya? Menemui mereka di acara sosial ataupun pesta pribadi yang diselenggarakan oleh pejabat setempat ataupun para pebisnis yang telah ternama."Tak perlu menargetkan apapun, kau hanya perlu meninggalkan image yang bagus di hadapan istri pengusaha atau pejabat penting yang kita temui," sahut Xander seolah tanpa beban, padahal sudah jelas ia mengharapkan hasil yang maksimal."Baiklah!" Jiah, katanya tak perlu menargetkan apapun, padahal sebelumnya dia bi
"Terima kasih." Secepat mungkin kuraih gelas berisi wine di tangan kiri Alex, dan berbalik meninggalkannya. Namun, pria penipu itu tak membiarkanku pergi begitu saja."Eit, tunggu, tunggu!" Alex memegang lengan bajuku sehingga langkahku tertahan. "Kau sungguh akan pergi begitu saja?"Dari ekor mata bisa terlihat jemarinya masih menjepit ujung lengan bajuku. Kutarik lenganku hingga terlepas dari tangan lancang Alex. Kulanjutkan langkahku untuk meninggalkan dirinya.Lagi-lagi mantan sialanku menghalangi. Menyebalkan!"Sungguh tak ada yang ingin kau tanyakan kepadaku? Tidakkah kau merindukanku?" Dilontarkannya pertanyaan tadi dengan suara bernada tak berdosa.Kubalikkan badan menghadapinya. Mataku melotot tajam. Pria itu meringis. "Rindu untuk menghajarku mungkin. Hehe," kekehnya sembari memamerkan gigi gingsulnya yang manis.Ah, untuk apa pula aku terkesima hanya karena sebuah gigi yang sedikit menonjol itu? Iya, dulu hal ini membuatku terpesona, tapi itu dulu. Kejahatan pria ini jelas l
"Hari ini kita sukses lagi, Xander. Aku yakin 100% Tiffany akan membujuk suaminya untuk menandatangani tender dengan perusahaan kita. Tentu saja kunci pertama adalah keahlianmu dalam melakukan lobi. Hahaha." Penuh keceriaan aku berceloteh dalam perjalanan pulang dari tempat Mr. Brown. Tuan rumah sangat welcome, acaranya seru, kateringnya mewah, makanannya enak-enak, dan para tamu undangan ramah. Mr. Brown bahkan membagikan door prize bagi hadirin yang beruntung, dan aku adalah salah satunya. Satu set cangkir minum teh cantik berhasil kubawa pulang. "Memang itu bukan hadiah utama, tapi justru aku lebih senang mendapatkan hadiah tersebut. Acara minum tehku pasti makin seru," ocehku puas. Hatiku sungguh gembira. Namun, baru kusadari ada satu hal yang janggal. Sedari tadi aku berkicau sendirian, tanpa mendapatkan tanggapan yang berarti dari Xander. Memang ia sedang fokus menyetir, tetapi reaksinya terlalu dingin. Tak biasanya dia seperti itu. "Kamu kenapa, Xander? Adakah hal yang sal
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan
Xander tak setengah-setengah dalam melaksanakan niatya untuk menjagaku. Ia memasang CCTV di sekeliling rumah, juga menambahkan lebih banyak kamera di area perkebunan."Xander, apakah ini tidak sedikit berlebihan?" Keheranan kupandang para pekerja yang memasang kamera pemantau itu. "Mata-mata Mr. Foster telah ditangkap, dan dikembalikan ke bosnya, yang masih tersisa di sini hanyalah para pekerja setia yang telah menunjukkan dedikasi mereka ke perusahaan.""Sedia payung sebelum hujan." Acuh tak acuh Xander menjawab sembari mengarahkan para tukang. Pria tampan itu menunjukkan sikap keras kepalanya.Tak hanya sampai di situ. Xander juga merenovasi satu ruangan yang selama ini kosong menjadi ruang kerja."Mulai sekarang aku akan WHF, memantau perusahaan dari sini. Selama Papa sakit kemarin ia juga melakukan hal serupa," ungkapnya taktis, khas sang businessman handal."Bagaimana dengan perkebunan?" tanyaku sangsi."Sesekali aku masih bisa menengok, toh ada Charles dan mandor lainnya." Elah,
"Kamu serius bertanya kepadaku, Xander?" Kutatap Xander tepat di mata, mencari tahu jika ucapannya hanyalah basa-basi."Apakah aku terlihat sedang bercanda?" Ia bertanya balik. Raut wajahnya tenang, tak sedikit pun menyiratkan kesembronoan.Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Xander serius, sungguh tak terduga. "Jadi ...?" tanyaku lagi, bukan karena tak mengerti, tapi lebih tepatnya untuk mengetahui jawaban macam apa yang Xander harapkan dariku.Pria itu mengangkat bahu. "Simple saja, James memang menaruh dendam kepadaku, tapi kamu adalah korbannya secara langsung, objek yang tak seharusnya menderita."Dalam kasus bisnis ataupun kasus hukum secara umum Xander akan langsung membuat tindakan tegas. Akan tetapi kasus ini pengecualian. Bagi Xander pendapatku akan menjadi bahan pertimbangan utama."Apapun keputusanmu aku akan mengikutinya. Katakan saja kalau kau ingin mereka dibebaskan," tandas Xander tanpa mengurangi keseriusan, hingga aku makin terpana dibuatnya.Dengan niat final dari Xa
Bayanganku ketika pulang adalah segera berendam air hangat, makan kenyang, lalu tidur nyenyak di tempat tidurku yang nyaman. Tak hanya kurang makan, aku juga kurang tidur.Bagaimana aku bisa tidur nyenyak, bila pikiranku dipenuhi kecemasan?Namun, keinginanku tak berjalan sesuai angan-angan. Sesampainya di rumah aku disambut layaknya tawanan perang yang kembali ke tanah air."Theodora sayang, syukurlah kau sudah kembali. Aduh, bagaimana ini, kamu jadi kurus sekali? Kau harus segera makan." Ibu mertuaku menyerocos tanpa jeda sembari memeriksa kondisiku dari atas hingga bawah.Berulang-ulang ia mengucap syukur, sebab aku bisa kembali dalam kondisi selamat, dan tak lupa merutuki Mr. Foster yang telah menculikku. Omelannya terdengar lucu.Setidaknya ia mengkhawatirkanku, dan segera bergegas datang bersama ayah mertuaku ke rumah kami begitu mendengar berita kepulanganku."Kau sudah mandi, 'kan? Ayo cepat makan sup ini," desaknya sembari mendorongku pelan agar duduk di kursi."Iya, Ma." Aku
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar, sebab kamar yang kutempati berada di lantai atas paling pojok. Hanya saja aku mulai gelisah ketika waktu makan siang tiba, dan tak ada orang yang mengantarkan makanan untukku.Sejak hamil aku lebih cepat merasa lapar, mungkin karena aku harus memberi makan dua orang. Sepertinya Baby Hope hobi makan juga seperti kedua orang tuanya."Brak!" Suara pintu yang didorong dengan keras membuatku kaget. Aku ketakutan dan mengira itu adalah Mr. James yang mengamuk. Namun, sosok yang berdiri di pintu membuat mulutku ternganga, dan dadaku bergejolak."Thea!" panggilnya dengan suara bergetar. Dalam sekejap ia berlari ke arahku, dan memelukku begitu erat."Xander." Untuk kali pertama nama itu kuucapkan dengan penuh rasa syukur dan kelegaan mendalam. Akhirnya suamiku datang untuk membebaskanku."Bagaimana ini? Kau jadi begitu kurus. Apakah mereka tidak memberimu makan?" Dipegangnya kedua pipiku, diperiksanya diriku dari atas hingga bawah. Sorot matanya pen
"Duduklah, Theodora. Mengapa kau tak makan? Anakmu pasti lapar sekarang." Ah, wanita ini mengetahui namaku.Perlahan ia menuangkan air ke gelas kosong yang telah disiapkan. Makanan yang dibawanya berupa dua bungkus sandwich yang cukup besar, dan beberapa buah jeruk. Hanya ada sebotol air minum disertai satu cangkir porselain.Tak ada sendok, garpu, apalagi pisau. Rupanya mereka waspada, kalau-kalau aku melakukan tindakan yang membahayakan. Mereka pikir aku ini siapa? Wonder woman? Atau Charlie's angel? Hah!Dengan enggan aku mengambil tempat duduk di seberangnya. "Tolong katakan saja sekarang, siapa kalian sebenarnya dan apa maksud kalian mengurungku di sini," ucapku setenang mungkin, meskipun hatiku kecut.Aku tak bermaksud untuk menunjukkan perlawanan, sebab orang yang kuhadapi, sepertinya, bukan penjahat keji. Siapa tahu mereka bisa diajak kompromi, dan mau membebaskanku.Aku bukannya tak lapar, malahan sangat lapar, tetapi aku tak bisa tenang sebelum mengetahui permasalahan yang te
"Baby Hope benar-benar membawa harapan bagi kedua orang tuanya, tak ada yang menduga kehidupan kalian bisa seindah sekarang," komentar Judith atas masa bahagia yang kualami dalam pernikahanku saat ini.Benar, aku tengah merasakan sukacita tak terkira bukan hanya karena anugerah kehidupan yang tengah bertumbuh di dalam perutku, tapi juga limpahan perhatian dari orang-orang yang menyayangiku.Susu hamil, sayuran, buah, telur, daging, ikan, dan segala bahan makanan segar yang bisa didapatkan di sini selalu tersedia. Tak ketinggalan juga kue, kukis, keripik, dan camilan yang bisa kumakan secara bersahaja.Sangat menyenangkan, apalagi setelah tiga bulan pertama terlewati aku merasa sangat sehat, dan tak lagi mual-mual.Masalah yang semula membuat runyam satu perusahaan kini telah terselesaikan dengan baik. Rencana untuk membuka pasar saham pun terlaksana tanpa kendala. Alhasil, ada banyak tambahan tenaga profesional yang mengelola perusahaan, Xander bisa kembali ke perkebunan, dan secara ot
"Sungguh tak kusangka, hamil akan begitu menyenangkan: dapat banyak hadiah dari mertua, dimanja suami, semua keinginan dituruti, dimasakin, ditemani jalan-jalan tiap pagi, ditemani ke dokter ....""Ah, kau 'kan cuma melihat enaknya saja, tak tahu sulitnya hamil di trimester pertama, dan tak merasakannya sendiri," sanggahku cepat. Kupukul manja lengan orang yang menganggap kehamilanku ini enteng.Dialah kakak kandungku, Theodore. Setelah sekian bulan sejak hari pernikahanku aku berjumpa dengannya lagi. Ia melakukan kunjungan singkat, katanya mumpung dirinya tengah menengok orang tua kami di kota sebelah.Kami melepas rindu, duduk sambil mengobrol di tempat favoritku, di mana lagi kalau bukan balkon rumah. Xander bahkan memberi kami kesempatan untuk berdua saja."Begitukah?" Theo meluruskan punggung, dan sikapnya yang santai berubah serius. "Katakanlah kepada kakakmu ini, bila suamimu itu tak mampu membuatmu bahagia."Dengan gaya bak seorang preman, Theo menelengkan kepalanya, dan merema
"Adakah yang tidak beres di perusahaan, Xander?" Hati-hati aku bertanya kepada suamiku yang masih duduk dengan raut muka super serius.Semenjak kami sepakat untuk berdamai demi calon bayi kami, Xander lebih terbuka tentang masalah yang tengah dihadapi perusahaan keluarga Smith. Itulah sebabnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun aku tak bisa membantu setidaknya aku bisa mendengarkan keluh kesahnya.Namun, ternyata aku tak perlu khawatir lebih lanjut. Xander tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Pasti mukaku kelihatan serius sehingga kamu khawatir. Maafkan aku, Thea. Justru sekarang keadaan tengah membaik di perusahaan."Xander menuturkan bahwa orang yang selama ini mengkhianati mereka dengan membocorkan tender sudah ketahuan identitasnya. Sedikit mengecewakan karena pengkhianat tersebut adalah Helen Moss, salah satu sekretaris, orang yang sudah lama bergabung dengan perusahaan, dan menjadi orang kepercayaan ayah mertuaku.Katanya ia terlilit utang, dan didekati oleh salah