Duh, kalau wine dari Alex diterima, kira-kira apa yang akan terjadi?
"Terima kasih." Secepat mungkin kuraih gelas berisi wine di tangan kiri Alex, dan berbalik meninggalkannya. Namun, pria penipu itu tak membiarkanku pergi begitu saja."Eit, tunggu, tunggu!" Alex memegang lengan bajuku sehingga langkahku tertahan. "Kau sungguh akan pergi begitu saja?"Dari ekor mata bisa terlihat jemarinya masih menjepit ujung lengan bajuku. Kutarik lenganku hingga terlepas dari tangan lancang Alex. Kulanjutkan langkahku untuk meninggalkan dirinya.Lagi-lagi mantan sialanku menghalangi. Menyebalkan!"Sungguh tak ada yang ingin kau tanyakan kepadaku? Tidakkah kau merindukanku?" Dilontarkannya pertanyaan tadi dengan suara bernada tak berdosa.Kubalikkan badan menghadapinya. Mataku melotot tajam. Pria itu meringis. "Rindu untuk menghajarku mungkin. Hehe," kekehnya sembari memamerkan gigi gingsulnya yang manis.Ah, untuk apa pula aku terkesima hanya karena sebuah gigi yang sedikit menonjol itu? Iya, dulu hal ini membuatku terpesona, tapi itu dulu. Kejahatan pria ini jelas l
"Hari ini kita sukses lagi, Xander. Aku yakin 100% Tiffany akan membujuk suaminya untuk menandatangani tender dengan perusahaan kita. Tentu saja kunci pertama adalah keahlianmu dalam melakukan lobi. Hahaha." Penuh keceriaan aku berceloteh dalam perjalanan pulang dari tempat Mr. Brown. Tuan rumah sangat welcome, acaranya seru, kateringnya mewah, makanannya enak-enak, dan para tamu undangan ramah. Mr. Brown bahkan membagikan door prize bagi hadirin yang beruntung, dan aku adalah salah satunya. Satu set cangkir minum teh cantik berhasil kubawa pulang. "Memang itu bukan hadiah utama, tapi justru aku lebih senang mendapatkan hadiah tersebut. Acara minum tehku pasti makin seru," ocehku puas. Hatiku sungguh gembira. Namun, baru kusadari ada satu hal yang janggal. Sedari tadi aku berkicau sendirian, tanpa mendapatkan tanggapan yang berarti dari Xander. Memang ia sedang fokus menyetir, tetapi reaksinya terlalu dingin. Tak biasanya dia seperti itu. "Kamu kenapa, Xander? Adakah hal yang sal
"Habis manis, sepah dibuang. Semua pria di dunia ini seperti itu." Judith berucap dengan begitu sengit.Kata-kata itu terlontar saat Judith memikirkan betapa tak beruntungnya dirinya dalam urusan cinta. Pria yang disukainya tak membalas perasaannya, sedangkan lelaki yang tampaknya menaruh perhatian kepadanya hanyalah pecundang yang ingin memanfaatkan kebaikan dan uangnya."Semua pria? Bagaimana dengan ayahmu?" Aku menanggapinya dengan raut serius. Omongan Judith sering bercanda dengan nada yang serius, maka aku menanggapinya dengan berpura-pura serius."Hmm ...." Gadis itu berpikir sejenak. "Kalau begitu 99% pria seperti itu."99%? Bagaimana dengan ayahku? Theo?" Kali ini nada suaraku sedikit naik, seolah tengah tersinggung."Baiklah. 90% pria seperti itu. Ini yang terakhir, jangan ditawar lagi.""Hahaha." Pembicaraan tak berarti itu berakhir dengan gelak tawa.Itu terjadi sekitar empat tahun lalu, di masa kuliah kami. Hari ini saat aku mengingatnya kembali, aku tak bisa lagi tertawa.
"Aunty Thea, adik kecilku tampan sekali!" Dengan mata berbinar si kecil Wendy membanggakan adik bayinya di hadapanku."Iya, sayang." Kutatap bocah lelaki yang baru berumur dua hari itu dengan takjub. Ia tengah terlelap di pelukan sang ibu, setelah kenyang meminum ASI.Kulitnya kemerahan, kedua matanya masih menutup, dan wajah mungilnya sangat menggemaskan. Namun, yang paling mengesankan adalah bibirnya seakan tersenyum, menawarkan keramahan kepada insan yang memandangnya.Wajahnya memang lebih mirip Joy, sang ibu, ketimbang ayahnya, William."Lebih ganteng mana dengan Uncle Xander?" Julia tahu-tahu nimbrung dan mengganggu gadis kecil yang selama ini kami kenal sebagai fans Xander.Wendy sejenak tampak berpikir serius, ah, gayanya tiba-tiba seperti orang dewasa saja."Uncle Xander memang tampan, tapi adik Wonder lebih tampan. Jadi sekarang Uncle Xander cuma nomor dua," jawabnya dengan ekspresi bersungguh-sungguh yang membuat kami semua tertawa.Di tengah riuh rendah suara tawa, aku dila
Menikah tidak pernah terasa sesulit ini sebelumnya. Selama ini Xander, meskipun tak mencintaiku, selalu bersikap baik. Kadang ia menyebalkan, memancing emosiku naik turun, tapi ada saat ia bersikap sangat manis, dan membuat jantungku berdebar tak karuan.Ia juga suami yang royal, tidak perhitungan, dan memperlakukanku dengan baik di hadapan orang-orang. Namun, sekarang semua sangatlah berbeda."Lembur terus, pergi pagi, pulang tengah malam," celetukku saat kami tidak sengaja berpapasan di dapur suatu pagi. Aku tengah menyantap sarapan kepagian berupa sereal dengan susu dan buah sendirian, ketika Xander turun dari lantai dua.Biasanya aku bersikap tak peduli, dan bangun tidur sesuka hati, bahkan menjelang tengah hari aku baru beranjak dari tempat tidur. Akan tetapi, pagi ini perutku tidak bisa diajak kompromi, dan minta diisi ulang secepatnya.Jadilah aku berpapasan dengan Xander yang super rajin, tengah bersiap untuk pergi bekerja. Pakaiannya semi formal, mengenakan kaos lengan panjang
Semua gara-gara ucapan Julia yang seakan meramalkan bahwa berat badanku akan bertambah karena napsu makanku yang meningkat.Suatu pagi aku iseng menimbang badan, dan mendapati kenaikan sebesar dua kilogram."Hhhh, bagaimana ini?" Panik menyerangku seketika.Meskipun tidak terobsesi dengan tubuh langsing, aku tak ingin mengalami kegemukan. Jadi kenaikan dua kilogram berat badan dalam waktu singkat menjadi hal yang cukup mengagetkanku.Benar-benar efek dari stres dan banyak makan, sesuai perkiraan Julia. Tanpa banyak pertimbangan aku memutuskan untuk berdiet."Kamu sungguh tidak mau iga bakar ini?" Keheranan Julia menyodorkan piring berisi steak iga yang menggiurkan. Butuh keteguhan hati yang teramat besar untuk menolaknya."Aku harus diet, Julia. Makanan berlemak harus kuhindari." Kusilangkan kedua lengan di depan dada, menolak tawaran Julia sembari menelan air liur.Makanan berlemak jelas-jelas no way! Menu yang aman jelaslah menu yang rendah kalori dan rendah lemak. Makan sayur dan bu
"Makanya, jangan dekat-dekat, apalagi bermesraan dengan laki-laki sampai melewati batas. Hamil, 'kan?"Dengan sikap serius, Judith menasihatiku seolah aku ini bocah SMA yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas hingga hamil di luar nikah.Setelah hilang kontak selama hampir sebulan, akhirnya aku mendapat kabar dari sahabatku itu. Katanya ia kehilangan ponselnya, tapi terlalu sibuk dengan acara pernikahan sepupunya di luar kota sehingga tak sempat membeli ponsel baru. Baru dua hari lalu Judith sempat mengurusnya, dan menghubungiku lagi."Enak saja! Memangnya kaupikir aku ini bocah nakal? Aku ini wanita yang sudah bersuami. Lagian kami tidak bermesraan," sanggahku bersikap keras kepala.Secara ringkas aku sempat mengisahkan insiden malam itu kepada Judith, langkah pertama menuju kehamilan yang tidak terduga. Tentu saja ceritanya mengandung cukup MSG untuk membuat eneg."Bukan bermesraan, ya? Seperti ini bukan bermesraan?" Dengan gaya aktris jadi-jadian Judith berakting seolah dirinya teng
"Adakah yang tidak beres di perusahaan, Xander?" Hati-hati aku bertanya kepada suamiku yang masih duduk dengan raut muka super serius.Semenjak kami sepakat untuk berdamai demi calon bayi kami, Xander lebih terbuka tentang masalah yang tengah dihadapi perusahaan keluarga Smith. Itulah sebabnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun aku tak bisa membantu setidaknya aku bisa mendengarkan keluh kesahnya.Namun, ternyata aku tak perlu khawatir lebih lanjut. Xander tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Pasti mukaku kelihatan serius sehingga kamu khawatir. Maafkan aku, Thea. Justru sekarang keadaan tengah membaik di perusahaan."Xander menuturkan bahwa orang yang selama ini mengkhianati mereka dengan membocorkan tender sudah ketahuan identitasnya. Sedikit mengecewakan karena pengkhianat tersebut adalah Helen Moss, salah satu sekretaris, orang yang sudah lama bergabung dengan perusahaan, dan menjadi orang kepercayaan ayah mertuaku.Katanya ia terlilit utang, dan didekati oleh salah
"Nakal sekali kamu!" Kutumbuk pelan lengan sahabatku yang otaknya sanggup memikirkan ide-ide random tapi kreatif itu. "Itu sangat tidak perlu, Jud, sebab suamiku sebenarnya sangat berjiwa modus."Selama berbulan-bulan aku memendam perasaanku sendiri, dan bertanya-tanya bila Xander juga mencintaiku, kadang tersipu-sipu atas sikap manisnya, dan di saat lain frustasi karena sikap dinginnya, padahal dalam kenyataan Xander-lah yang lebih dahulu menyukaiku."Hmm, sebenarnya hal semacam ini sudah kuduga, sih," sahut Judith dengan tampang sok tahu. Saat itu wajahnya terlihat sangat konyol sehingga alih-alih mencemooh, aku justru menertawakan tampang lucunya.Xander di masa kuliah yang kukenal dahulu terkesan sangat berbeda dari Xander sang pengusaha yang kutemui di hari pernikahan kami, sehingga aku sempat mengira kepribadiannya telah berubah.Padahal itu semua adalah bagian dari upaya serta modusnya untuk memenangkan hatiku. Mulai dari pernyataan tentang hukuman, permintaan untuk berakting m
"Kemarin kau bilang Vanessa orangnya perhitungan, sekarang malah justru aku menyaksikan kakak lelaki Vanessa bersikap jauh lebih perhitungan. Benar-benar, ya, kakak adik sama saja!" Kulirik Xander dengan apa yang orang sebut sebagai bombastic side eye.Xander tertawa, lalu dengan liciknya menyahut, "Kalau kau tidak suka kita bisa langsung pulang -""Eh, jangan! Sudah sampai sini masa langsung pulang sih?" Sebelum didahului oleh suamiku yang selalu bertindak ala seorang gentleman, aku bergegas membuka pintu mobil, keluar, dan berjalan mendahuluinya ke rumah yang kami tuju sambil cengar-cengir.Lebih baik melarikan diri sebelum Xander menggangguku lebih lanjut, atau malah betulan membawa kami pergi dari tempat ini.Suamiku memang se-sweet itu sampai-sampai saat kami pergi berdua dirinya selalu membukakan serta menutupkan pintu mobil untukku. Di dalam rumah pun kadang ia masih membukakan pintu untukku, sampai aku memarahinya karena ia ingin membukakan pintu toilet juga sewaktu aku kebelet
"Memangnya apa lagi? Sudah jelas karena Xander adalah pria yang lebih baik dari Alex; tampan, kaya, mandiri, bertanggung jawab, dan yang pasti menyayangimu," cerocos ibuku. "Bahkan Ibu sudah melihat sendiri sekarang kau juga ....""Ibu, tolong!" Kuhardik ibuku dengan mata melotot, ia membalas dengan lirikan masam. Biar saja masam, yang penting Bu Agatha Wilson tak melanjutkan omong kosongnya itu."Ibu," panggilku lebih lembut, "aku tahu ibuku ini adalah wanita yang keras, galak, suka mengomel, atau apalah.""Enak saja kau menyebut Ibu seperti itu." Ibuku bersungut dengan bibir komat-kamit."Tapi aku tahu," potongku tak mengalah, "Ibu adalah ibu terbaik yang kumiliki, yang menyayangi serta mendidik anak-anak untuk menjadi orang yang jujur."Kuingatkan dirinya tentang nilai-nilai luhur yang selalu ia ajarkan kepadaku dan Theo agar tidak menyontek, tidak mengganggu teman, dan tidak berbohong."Iya, aku memang telah menikah dengan Xander, dan benar, kami telah menemukan kebahagiaan dalam
"Mengapa kita ke mari, Xander? Kau mau kita membeli oleh-oleh untuk Ayah Ibu? Atau ... membelikanku lebih banyak kukis dan kue?" Mataku berbinar senang sekaligus penasaran saat mendapati mobil yang membawa kami berdua berhenti di depan Whatever Bakery, toko kue dan kukis favoritku.Siang ini kami berencana mengunjungi orang tuaku di Hazelton. Selama ini kami berkomunikasi lewat telepon atau panggilan video. Sudah lama aku ingin menengok mereka, tetapi Xander baru sempat sekarang. Suamiku melarangku pergi sendirian, dengan dalih aku tengah hamil, makanya aku harus menunggu sampai Xander punya waktu untuk pergi."Dua-duanya boleh," sahut Xander sembari membukakan pintu mobil untukku."Terima kasih." Kubalas kebaikannya dengan senyuman manis. Bergandengan tangan kami berjalan menuju toko.Aroma kue yang menyenangkan menyapa penciuman kami begitu kami memasuki bangunan itu. Serta merta waitress yang bertugas menyambut kami dengan keramahan luar biasa. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Smith
"Awalnya aku tidak mau," ucapnya terus terang. Sebagai seorang pebisnis yang memiliki citra bersih, serta selalu bermain adil, Xander menolak tawaran untuk menikahi calon istri sang sepupu. Namun, pada akhirnya ia merasa kasihan kepadaku."Kasihan?" tanyaku sedikit bingung. "Jika kau merasa kasihan, harusnya kau tak perlu menikahiku. Lunasi saja utang Alex, lalu kau buat perhitungan dengannya, seumur hidup, bila perlu."Meskipun pada akhirnya pernikahan kami telah mencapai titik sepakat, dan kami bahagia bisa hidup bersama, kemungkinan semacam itu lebih masuk akal. Toh mereka masih kerabat, orang tua mereka pun bisa dilibatkan.Xander tersenyum sedih. "Masalahnya tak sesederhana itu, sayang." Dengan lembut dibelainya pipiku. "Aku juga menyarankan agar dirinya membatalkan pernikahan itu, tetapi Alex terus mendesakku untuk menikahimu. Ketika akhirnya sepupuku berhenti memaksa, ia mengatakan bahwa kalian akan tetap menikah seperti rencana semula."Xander panik, pendiriannya goyah. Ia tahu
"Xander, tak bisakah kau melihat perasaanku dari perhatian yang kuberikan kepadamu selama ini? Juga bagaimana wajahku tersipu-sipu karena rayuan gombalmu, tak bisakah kau lihat itu?" Mataku menatapnya dengan perasaan terluka yang kurekayasa agar terkesan dramatis.Namun, Xander menanggapinya dengan serius. Ia mendesah berat, seolah hidupnya penuh dengan masalah pelik. Aku jadi sedikit merasa bersalah, tapi lagi-lagi ia terlihat menggemaskan, sampai-sampai aku nyaris gagal berakting."Thea, bahkan seorang pria paling percaya diri sekalipun perlu diyakinkan bahwa wanita yang dicintainya memiliki perasaan yang sama. Kau sendiri sering menggerutu bahwa aku ini kurang peka," keluh Xander dengan wajah semakin murung.Oh, tidak! Ini terlalu lucu. Kami seakan mengulang percakapan beberapa menit lalu di saat Xander menanyakan perasaanku. Interaksinya mirip, hanya saja fakta bahwa Xander menyebutkan ketidakpekaan di pihaknya membuat keseriusan pembicaraan ini buyar."Ahahahaha!" Aku tertawa terb
"Begitu, begini! Kalau bicara tuh yang jelas, jangan membuat orang bingung dan menerka-nerka," gerutuku, melirik Xander dari ekor mataku.Walaupun masih menerka-nerka, aku bisa melihat arah omongannya itu; ke arah yang 'berbahaya' ..., berbahaya untuk jantungku.Xander meringis. "Ah, kau sungguh menggemaskan!" desahnya putus asa. "Kalau saja aku tak punya urusan penting siang ini, aku akan menyampaikannya sekarang. Namun, istriku kau harus bersabar, tunggu sore ini, aku akan memasak untukmu, kita bisa makan bersama, dan bicara lebih banyak.""Memasak?" Sontak aku berdiri. Kupandang Xander setengah tak percaya."Kenapa? Kau tak mau aku memasak untukmu?" Ia meraih tanganku."Bukan begitu, aku hanya bertanya apa kau sudah mampu melakukannya. Tangan kirimu memang handal, tapi kau butuh dua tangan untuk memasak."Di dunia nyata memang ada orang yang hanya memiliki satu lengan, dan bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan.Akan tetapi, kasus Xander jelas berbeda. Sepanjang hidupny
"Hari ini akan ada beberapa rapat yang harus kuikuti. Bila aku belum keluar saat makan siang, kau bisa makan duluan." Tergesa Xander membenahi penampilannya.Pagi itu suamiku mengatakan bahwa jadwal kerjanya cukup padat dari pagi hingga siang atau bahkan sore hari."Aku akan meminta Julia untuk menyiapkan makan siang untukmu, atau ....""Iya, iya. Aku sendiri yang akan mengurusnya nanti, kau tak perlu mengkhawatirkanku, fokus saja pada pekerjaanmu," sergahku sebelum Xander bersikap cerewet seperti ibuku.Kudorong punggungnya agar ia segera memasuki ruang kerjanya, lalu kututup pintunya.Aku tersenyum. Suamiku sedang sangat semangat bekerja, katanya ini demi masa depan anak kami. Selama ini ia memang sudah rajin bekerja, tetapi kali ini berbeda, sikapnya sungguh mencerminkan tanggung jawab sebagai seorang suami.Oleh sebab itu, sebagai istri yang baik aku berusaha menunjukkan dukungan sebisaku.Meskipun Xander telah mengatakan bahwa dirinya akan sibuk, dan tak bisa makan siang bersamaku
"Tuan, ini doku ...."Kalimat terputus itu seolah menyadarkanku dari pesona wajah rupawan Xander yang telah melumpuhkan akal sehatku."Aduh!" Xander berteriak kaget saat kudorong dirinya sehingga terjatuh di kursi. Untung ada kursi di belakangnya, kalau tidak, aku tak tahu pantatnya akan mendarat di mana.Tergesa-gesa aku melangkah ke arah pintu keluar. Morgan, salah satu pekerja yang bisa disebut sekretaris perkebunan, tengah berdiri di dekat pintu yang kini terbuka lebar. Ia menggigit bibir, raut wajahnya tegang, seperti menahan tawa."Selamat pagi, Nyonya!" Sang pekerja menyapaku begitu aku mendekat."Pagi, Morgan," sahutku dengan gaya se-cool mungkin sembari melemparkan senyum 'tidak ada apa-apa yang terjadi'.Dari belakangku Xander berseru kesal kepada pegawainya itu. "Mengapa kau tak mengetuk dulu? Kebiasaan!""Maaf, Tuan, tadi saya sudah mengetuk sampai tiga kali, tapi ...."Sebelum pembicaraan antara pak bos dan bawahannya itu selesai, kakiku telah berhasil mencapai dapur, dan