Minggu pagi itu sekitar pukul enam, Vindreya berdiri di pinggir jembatan jalan raya sambil melihat sungai panjang yang airnya mengalir deras karena hujan lebat tadi malam. Sambil beberapa kali kedua telapak tangannya saling digesekkan untuk mendapatkan rasa hangat, Vindreya melirik jam di ponselnya.
‘Dia bakal dateng nggak, ya? Gimana kalo dia marah apalagi sampe nggak mau temuin gue lagi setelah denger ucapan Mama kemarin?’ batin Vindreya. Dia gelisah dan khawatir sekali.
Syus.
“Aduh.” Seketika pandangan Vindreya gelap.
Sebuah jaket tiba-tiba dilayangkan seseorang sampai menutupi kepala hingga wajah Vindreya. Vindreya menarik jaket itu dari kepalanya lalu melihat bingung ke sekelilingnya sampai akhirnya dia mendepati Kenzo sedang berdiri di belakangnya.
Dengan tampang cueknya, Kenzo berjalan mendekati Vindreya lalu kembali me
Hari Minggu seperti ini memang paling cocok untuk me time. Entah sudah berapa jam Elvano duduk melantai di depan sebuah layar besar berbentuk kotak itu, dia masih saja belum merasa bosan untuk terus memainkan game-nya.Ayah Elvano tiba-tiba datang tanpa mengetuk terlebih dulu pintu kamar anaknya itu lalu mencabut kabel yang tersambung dengan stop kontak hingga membuat layar besar yang tadinya penuh warna dengan karakter bergerak itu kini mendadak menjadi hitam total.Elvano membanting stik PS-nya dengan kesal. “Ih, Papi! Kok dimatiin, sih?!”“Gimana sama hubungan kamu dengan Vindreya? Kamu udah lakuin yang Papi minta waktu itu, ‘kan? Kamu udah deketin dia, ‘kan? Ingat, Vano. Kelancaran bisnis kita tergantung pada sebaik apa hubungan di antara kamu dan anak dari Gavin Sanjaya itu.”“Hubungan kami makin baik seiring dengan berjalannya wa
Kriiing ….Bel berbunyi nyaring dan membuat para siswa yang mendengarnya bergegas menuju lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. Di salah satu barisan, Vindreya menoleh pada barisan siswa di sebelah kanannya mulai dari depan hingga belakang. Senyumnya mengembang ketika mendapati Kenzo berdiri paling belakang karena memang memiliki tubuh paling tinggi dibandingkan dengan siswa lainnya di kelasnya. Vindreya keluar dari barisannya untuk pindah ke barisan paling belakang agar bisa bersebelahan dengan Kenzo.“Lho, Vin. Kok lo pindah paling belakang? ‘Kan masih tinggian gue,” kata salah satu siswi di barisan siswi paling belakang.“Gue di sini aja, ya. Please,” mohon Vindreya.“Kenapa emang?”“Tuh.” Vindreya memanyunkan bibirnya ke arah Kenzo.Siswi tadi melihat Ke
~Aku menyesal pernah sebenci itu padanya. Sekarang aku merasa malu dengan rasa cinta ini~ Hansa.Setelah selesai mengubah susunan tempat duduk, Bu Winda memulai pelajaran Matematika hari itu. Sekilas, tampak beberapa siswa merasa senang dengan perubahan tempat duduk itu, sisanya lagi ada yang merasa kurang senang, ada juga yang mencoba untuk beradaptasi dengan teman semeja barunya.Sejak upacara bendera hingga pelajaran pertama dimulai, Elvano masih belum menunjukkan batang hidungnya karena masih disibukkan dengan persiapan lomba melukis di ruang kesenian. Hal itu membuat Hansa harus duduk sendirian di meja pojok kanan belakang dan Elvano pastinya belum mengetahui tentang perubahan tempat duduk ini.Kefokusan Hansa dalam menyimak penjelasan Bu Winda di depan kelas beberapa kali dibuyarkan dengan pemandangan di depannya di mana tampak Kenzo dan Vindreya sepertinya semakin dekat. Tidak, Hansa tidak cembur
“Permisi, Bu,” ucap Elvano dengan sopan setibanya di ruang guru, tepatnya di depan meja Bu Winda, wali kelasnya sekaligus tantenya.Bu Winda yang tadinya fokus pada buku bacaannya kini mendongak dan melihat Elvano. “Iya, Vano. Ada apa?”“Saya nggak mau duduk bareng Hansa, Bu.”“Lho. Kenapa, Vano? Hansa ‘kan pinter. Dia bisa bantu kamu untuk memahami pelajaran di kelas yang nggak kamu pahami.”“Percuma saya semeja bareng cewek pinter tapi duduknya di belakang. Pelajaran tetap nggak akan masuk ke otak saya, Bu.”“Oh, kalo gitu Ibu akan pindahin kalian berdua ke meja paling depan. Gimana?”“Eh, enggak gitu, Bu. Saya pengen tukaran tempat duduk sama Kenzo. Jadi, biar Kenzo yang duduk di belakang bareng Hansa, saya di depan bareng Vindreya.&rdquo
Kriiing ….Bel pertanda pulang berbunyi. Para siswa yang tadinya mulai lesu, kini kembali bersemangat dan bergegas memasukkan alat tulis mereka lalu buru-buru keluar kelas.“Yuhuuu, akhirnya pulang!” Vindreya juga sama dengan para siswa yang lain. Dia begitu bersemangat ketika bel pulang berbunyi. Dia yang sejak tadi harus bersabar karena jauh dari Kenzo, sekarang bisa kembali dekat dengan laki-laki yang dia cintai itu dengan memanfaatkan statusnya sebagai majikan dari pangeran hitam itu.“Vin, pulang bareng, yuk. Bentar lagi kayaknya mami gue udah mau sampe sini untuk jemput. Sekalian gue mau mampir dulu ke rumah lo,” kata Elvano.“Pulang bareng?”Elvano mengangguk penuh harap.Vindreya menengok ke belakang. Di sana, tampak Kenzo sedang memasukkan alat tulisnya ke dalam tas. Jadi,
Di sepanjang perjalanan pulang, Vindreya tak kunjung mengangkat wajahnya dan mengucapkan satu kata pun. Kenzo juga harus dibuat bingung dengan sikap aneh gadis yang biasanya tidak bisa diam itu. Padahal sebelumnya baik-baik saja tadi. Ingin bertanya apa yang terjadi, tetapi percuma saja. Tampaknya Vindreya masih ingin menutupinya dari Kenzo.“Udah sampe. Ayo, turun,” kata Kenzo yang telah menghentikan langkahnya.“Bohong. Kok cepet?” tanya Vindreya yang masih saja tak menunjukkan wajahnya.“Makanya kepalanya itu diangkat dan liat ada di mana lo sekarang.”Dengan mata sembab dan menyipit karena menangis dan lama tak melihat cahaya, Vindreya mengangkat wajahnya dan melihat ke sekelilingnya. Di sebelah kirinya tampak sebuah bengkel yang dia tahu itu berada di dekat rumahnya. Gadis itu akhirnya melompat turun dari punggung Kenzo.
Vindreya duduk di atas sebuah sofa sambil menonton TV. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang berada di depan atasnya. Jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore. Seharusnya Gavin sebentar lagi pulang.Ting nung ….“Papa!” Vindreya seketika bersemangat.Vindreya beranjak dari sofa lalu bergegas menuju pintu utama untuk membukakan pintu. Benar saja. Yang tadi menekan bel memanglah Gavin.“Hai, Papa. Capek nggak?” tanya Vindreya sambil mengambil alih tas yang berada di tangan Gavin.“Tadinya capek. Tapi setelah liat tuan putri Papa ini, capeknya langsung hilang.”“Aaah, Papa. Em, berarti bisa dong kalo aku mau curhat sekarang?”“Ah. Udah Papa duga. Kalo udah nanya Papa capek atau nggak, ujung-ujungnya pasti mau lakuin sesuatu.”“Ih, Papa. Jadi gimana? Boleh nggak nih aku curhat?”Gavin
Pagi itu Vindreya dan Hansa berjalan beriringan menuju sekolah. Di sepanjang perjalanan, keduanya tampak diam. Vindreya memikirkan tentang adanya cinta yang sama di antara dia dan Hansa, sedangkan Hansa masih bergelut dengan pikiran dan perasaannya sendiri sambil bertanya-tanya apakah pantas dia jatuh cinta pada laki-laki yang selama ini begitu dia benci?Langkah Hansa tiba-tiba terhenti. Dia baru ingat bahwa Vindreya mampu membaca seseorang hanya dengan menatap matanya. Apa jangan-jangan Vindreya juga bisa melihat rasa cinta Hansa pada Kenzo?Menyadari Hansa tak berada di sisinya, Vindreya ikut berhenti lalu menoleh ke belakang. “Lho, Han. Kok berhenti?”“Vin, ada sesuatu yang pengen lo bilang ke gue nggak?”Alis Vindreya merapat sampai akhirnya dia menggeleng.“Semuanya baik-baik aja ‘kan, Vin?”&nbs