Pagi itu di sebuah gedung yang berukuran sangat besar, tampak ratusan siswa kelas XII duduk dengan rapi di atas kursi yang telah disiapkan oleh panitia kelulusan. Tak terdengar satu suara pun kecuali suara kepala sekolah yang sebentar lagi akan mengumumkan kelulusan para siswa kesayangannya itu. Kepala sekolah sudah berdiri di atas panggung dan di depannya sudah ada microfon lengkap dengan penyangganya.
“Para siswa sekalian yang Bapak sayangi, dengan bangga Bapak umumkan bahwa tahun ini siswa kelas XII … lulus 100%!” ucap Kepala Sekolah.
Prok prok prok!
Terdengar tepuk tangan yang begitu riuh dari para siswa. Wajah mereka tampak begitu bahagia hingga ada yang sampai menitihkan air mata. Tidak sedikit juga yang bersorak senang dan suasana di dalam gedung itu terasa semakin hidup.
Setelah sekian banyak agenda acara kelulusan yang selesai dilakukan, akhirnya pa
Di dalam mobil Elvano yang tengah melaju dengan kecepatan sedang, Vindreya terus memperhatikan buket dalam pelukannya sambil beberapa kali menghirup aroma harumnya. Di sisi lain, Elvano memperhatikan jalanan di depannya sambil beberapa kali menoleh pada Vindreya sambil tersenyum.“Sayang banget gue nggak termasuk di antara banyaknya siswa kelas XII yang lulus tahun ini gara-gara depresi gue,” kata Elvano.Vindreya mengangkat wajahnya lalu menoleh pada Elvano. “Nggak apa-apa, El. Lo nggak perlu pikirin itu. Setelah ini, lo masih bisa lanjutin pendidikan lo yang tertunda itu.”“Lo bakal nunggu gue, ‘kan?”Alis Vindreya merapat. “Nunggu? Maksud lo?”Elvano tertawa kecil dan tampak sedikit malu-malu. “Lupain aja. Oh, iya. Tutup dong mata lo. Gue mau bawa lo ke suatu tempat.”&
Waktu tak pernah peduli dengan apapun yang sedang dan harus dihadapi oleh setiap orang. Yang waktu tahu, dia tetap harus berjalan, mengganti hari kemarin menjadi hari ini, dan mengganti hari ini menjadi hari esok. Tipikal orang yang bergelut dengan waktu juga banyak. Ada orang yang memilih untuk menyerah dan mengakhiri semuanya, dengan harapan kehidupan berikutnya akan lebih baik dari kehidupannya saat ini. Ada yang memilih menunggu dengan sabar, mencoba untuk berdamai dengan waktu. Ada juga yang berjuang, terus mengejar apa yang dia mau bahkan hingga harus bermusuhan dengan waktu.Vindreya adalah tipikal yang menunggu dengan sabar, mencoba untuk berdamai dengan waktu, berharap suatu saat nanti kesabarannya akan dihadiahi oleh sang waktu dengan kembali menghadirkan sosok yang begitu dirindukannya selama ini, meskipun untuk saat ini harus berkali-kali disiksa oleh rindu dan menahan sakit dulu.Untunglah ada Hansa. Sahabat yang beg
Elvano yang mendengar obrolan para siswi itu tersenyum menahan tawa lalu mendekati para penggemarnya itu. “Ssstt. Bukan pangeran hitam, tapi pangeran putih.”“Aaaa! Dia ngobrol sama kita!”Lalu, datang seorang pria yang kira-kira berumur 30 tahun menghampiri Elvano dan Vindreya. “Tuan Elvano, mari kita langsung ke titik peresmiannya.”Elvano mengangguk mantap. Dia kemudian menoleh pada Vindreya sambil menggenggam tangan gadis itu, seolah ingin menunjukkan pada orang-orang yang ada di sana bahwa Vindreya adalah kekasihnya, padahal bukan.Elvano telah berdiri di depan sebuah pita cantik berwarna putih perak dengan bunga plastik di tengah-tengahnya. Sambil memegang gunting, Elvano melihat dengan tampang berwibawa kepada orang-orang yang ada di depannya.“Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang suda
Senin pagi itu sekitar pukul tujuh, Elvano keluar dari kamar hotelnya. Di depan pintu, dia merentangkan tangannya sepanjang mungkin untuk meregangkan tubuhnya. Dia lalu melihat ke kanan dan ke kiri sambil tersenyum, tak sabar ingin kembali bertemu dengan Vindreya.Elvano berjalan ke sisi kanannya di mana tepat di sebelah kamarnya adalah kamar Vindreya. Dia memandangi pintu berwarna putih itu sambil tersenyum kecil.Tok tok tok.“Pagi, Vin. Ini Elvano. Yuk, siap-siap balik ke Jakarta,” ucap Elvano sambil setengah berteriak.Cukup lama tak ada jawaban. Elvano kembali mengetuk pintu sambil mengucapkan hal yang sama.Di belakang Elvano, ada seorang wanita yang tadi juga sempat berpapasan dengan Vindreya. “Mas?”Elvano yang merasa tak ada laki-laki lain di sekitar sana langsung merasa bahwa dialah orang y
Akhirnya saat-saat yang ditunggu Vindreya datang juga, saat di mana mobil Elvano tiba dan berhenti di depan rumah Vindreya. Dengan cepat Vindreya membuka pintu mobil, keluar dari mobil merah mengkilat itu dan berlari masuk ke rumahnya tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Elvano.“Vindreya!” panggil Elvano yang tak terima ditinggal begitu saja.Elvano meremas kuat stirnya dengan tatapan muak. Napasnya seketika cepat beriringan dengan amarahnya yang semakin menjadi-jadi. Dadanya bahkan sampai kembang kempis.“Tunggu aja, Vin. Gue pasti bakal buat lo jadi milik gue seutuhnya. Bahkan lo nggak akan lagi berani nyebut nama Kenzo,” yakin Elvano. Dia lalu menjalankan mobilnya, entah apa yang sedang dia rencanakan.…“Malam, Om, Tante,” salam Vindreya pada Nathan dan Greesa yang tengah duduk berdua di teras rumah.
Malam itu pukul setengah delapan, Vindreya dan Hansa tengah menonton TV di ruang keluarga milik Vindreya. Sambil duduk bersebelahan di atas sofa, mereka tampak sangat menikmati tontonan mereka itu.Ting nung!Vindreya langsung menengok ke belakang. Baru saja dia ingin beranjak dari sofa untuk membukakan pintu, Freya sudah lebih dulu melewatinya menuju ruang tamu. Tampaknya wanita itu yang akan membukakan pintu. Alhasil, Vindreya kembali fokus pada acara TV yang sejak tadi dia dan Hansa tonton.Tidak lama setelah itu, hanya sekitar semenit kemudian, Freya datang ke ruang keluarga dan berdiri di sebelah sofa tempat Vindreya dan Hansa duduk.“Sayang, itu di ruang tamu ada Elvano sama papinya. Samperin, gih. Kamu duluan aja ke ruang tamu. Mama mau panggil Papa dulu di ruang kerjanya,” kata Freya.Vindreya langsung tak bersemangat. Dia tahu ap
“Lho. Elvano kayak gitu?” Gavin tak menyangka.Vindreya mengangguk lagi.“Jangan, Vin. Jangan mengikat sebuah hubungan karena tujuan lain yang bukan cinta. Orang tua Papa udah buktiin itu dan hasilnya nggak baik. Nggak ada kebahagiaan yang didapat dari hubungan yang kayak gitu. Yang ada hanya rasa sakit, penderitaan dan tidak nyaman.”Vindreya tersenyum kecil. “Pa, aku takut kalo Elvano bunuh diri gara-gara aku. Tapi, mungkin nggak masalah kalo Elvano pergi selama-lamanya dari hidup aku karena sumpah Kenzo waktu itu.”Alis Gavin merapat. “Sumpah Kenzo? Maksud kamu?”“Waktu itu Kenzo sumpahin Elvano bahwa kalo Elvano buat aku ngerasa sedih dan tertekan melebihi dari yang sebelumnya aku rasain, maka saat itu juga Elvano bakal mati.”Gavin seketika bergidik ngeri. Kenzo mem
Vindreya duduk di salah satu kursi dengan meja bundar berukuran kecil di depannya. Di atas meja itu sudah ada semangkuk mie ayam dan segelas jus jeruk. Namun, bukannya menyantap hidangan di depannya itu, Vindreya justru melipat kedua tangannya di atas meja sambil memandangi dua orang yang duduk semeter di depannya sambil tersenyum.“Lo ngapain sih ngikutin gue terus? Pergi sana jauh-jauh!” suruh seorang mahasiswa pada mahasiswi yang duduk di sebelahnya.Mahasiswi itu memanyunkan bibirnya. “Ih. Gue mau makan di sini.”“Kenapa harus makan di sini, sih? Tuh, liat. Masih banyak meja yang kosong.”“Karena lo ada di sini, makanya gue makan di sini.”Mahasiswa itu menatap sinis. “Lo tuh jadi cewek nggak punya urat malu, ya. Berkali-kali ditolak, masih aja ngejar.”“Ish, b