Mengenakan celana jeans warna hitam berpadu switer warna abu berkerah tegak, bersepatu casual warna putih, rambut panjang hitam tebal diikat alakadarnya, Widya berupaya bersikap tenang berjalan gontai namun tetap saja kentara kesan tergesa-gesa ketika melintasi lobi hotel.
Tubuh semampai 172 sentimeter, kulit bersih kuning langsat, wajah mempesona khas Indonesia, cukuplah jadi suplemen pengusir kantuk para karyawan hotel dan petugas keamanan saat Widya lewat di antara mereka. Setiap karyawan hotel nampak sudah terbiasa ketika ada seorang wanita muda menarik seperti Widya keluar hotel di pagi buta. Mereka mafhum: wanita yang keluar hotel di waktu yang ganjil ditengarai wanita penghibur.
Komplek perkantoran Mega Kuningan Jakarta merupakan komplek prestiese di mana Hotel JWM angkuh berdiri. Suasana halaman hotel sangat lengang dijelang subuh. Taxi biru bernomor pintu 116 segera meluncur setelah Widya tanpa bertanya pada pengemudinya langsung masuk-duduk di kursi belakang.
Widya baru tersadar adanya keganjilan ketika mendapati Pengemudi Taxi seumuran bapaknya sendiri. Sedang suara penelepon yang menghubunginya beberapa menit lalu, cukup jelas terdengar suara seorang lelaki usia muda.
"Maaf, Pak!" Widya beranikan menyapa.
"Saya, Non?"
"Bapak yang tadi menghubungi saya?"
"Bukan. Sam tidak memberitahu Nona, kalau saya diutusnya menjemput Nona?"
Widya mengingat sejenak, "Ah, iya, saya lupa. Hanya saja, yang menghubungi saya tadi, tidak menyebutkan siapa yang menjemput saya,"
"Sabar ya, Non. Sebentar Nona akan bertemu dengan, Sam,"
"Sam?"
"Yang menghubungi, Nona. Yang mengutus saya menjemput Nona," di akhir kata-katanya Pengemudi telah membawa keluar Taxi-nya dari komplek Mega Kuningan Jakarta.
Taxi biru segera melesat dalam kecepatan tinggi ketika melintasi Jalan Raya Dr. Satrio ke arah Kampung Melayu. Setelah melewati terowongan Casablanca, Taxi menepi lalu berhenti di belakang sebuah Landcruser putih.
"Pak, ada apa?" Widya duduk tegak ketika mengetahui pengemudi Taxi memberi isyarat ke Pengemudi Landcruser di depannya melalui lampu tembak.
"Silahkan, Nona pindah kendaraan," anjur Pengemudi Taxi.
"Saya ikut Landcruser itu?"
Pengemudi Taxi mengangguk sopan. "Yang menghubungi Nona tadi, ada di Landcruser itu."
"Sam?"
"Betul."
"Baik. Terima kasih, Pak," Widya lekas turun berganti kendaraan.
"Terima kasih telah mempercayaiku," sambut Sam ketika Widya sudah duduk di sebelahnya.
"Kamu pikir ini lucu?" Ketus Widya merasa telah dibuat repot harus berganti kendaraan.
Landcruser segera melaju pada kecepatan tinggi memanfaatkan kelengangan jalan.
Bersikap acuh, Widya sempatkan curi pandang pada Sam, si Pengemudi Landcruser. Widya menaksir usia Sam lebih tua lima tahun dari dirinya, tinggi tubuhnya kira-kira 180 sentimeter ketika berdiri.
Dari sapaan pertama Sam, Widya meyakini suara Sam di sebelahnya ini, jenis suara yang telah meneleponnya beberapa menit lalu.
"Maaf, telah direpotkan," Sam bersungguh berharap maaf.
"Kamu, Sam?" Selidik Widya.
"Ya. Aku sendiri yang menghubungimu."
"Kenapa ini kamu lakukan padaku?" Widya belum bersedia bersikap ramah.
"Maksudnya?" Sam balik bertanya, sedang kosentrasi tetap fokus pada kemudi.
"Kenapa harus repot mengutus sopir Taxi menjemputku kalau akhirnya aku harus berpindah ke mobilmu ini?"
"Sekedar memastikan tidak ada yang membuntutimu sekeluarnya dari hotel. Kalau aku sendiri menjemputmu, kendaraanku ini akan mudah dilacak telah membawamu keluar dari hotel. CCTV hotel tertebar tidak hanya di dalam ruangan hotel saja, kan?"
"Kalau ada yang mengikutiku, apa kamu perbuat?"
"Entahlah? Mungkin akan cukup merepotkan? Tapi syukurlah tak ada yang membuntuti?"
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Pada Mr. Ben?"
Widya menoleh cepat, diperhatikannya bagian samping wajah Sam yang sebagian tertutupi rambut gondrongnya bergaya Andrea Pirlo pemain sepakbola asal Italia.
"Kamu pikir kita membincangkan siapa?" Sungut Widya, diam-diam sempat menikmati hidung bangir dan kumis tipis Sam.
"Mr. Bent telah diracun seseorang," kata Sam arah pandangnya tetap fokus ke jalan yang dilintasi. Dan tetap dalam kecepatan tinggi.
Widya tersentak, ia menegakkan duduknya dan menggeser arah tubuh menghadap Sam, "Diracun? Siapa yang melakukannya?"
Sam tak lekas menyahuti, Landcruser sudah melewati Kampung Melayu ke Utara dan tiba di persimpangan Matraman kemudian berbelok kanan ke arah Rawamangun.
"Apakah suaraku tidak cukup keras untuk didengar?" Widya mendesak jawaban.
"Kita akan cari tahu, siapa pelakunya?"
"Kita?"
"Sewaktu menemani Mr. Ben, pernah melihat seseorang menemuinya di hotel?" Alih Sam berbalik tanya.
"Aku tidak pernah suka, pertanyaanku dibalas pertanyaan. Kamu mengabaikan pertanyaanku, aku pun berhak tak perlu menjawab pertanyaanmu," kilah Widya, duduknya kembali menghadap ke muka.
"Maaf jika cara komunikasiku kurang baik. Tapi sepertinya memang aku yang perlu banyak bertanya mengenai Mr. Ben selama di hotel. Ini semua berkaitan denganmu. Dan aku akan berupaya membantu menyelamatkanmu dari tuduhan atas kematian Mr. Ben."
Kali kesekian tubuh Widya mendadak gemetar setiap mendengar kematian Mr. Ben, tuduhan yang akan menerpa dirinya, juga segala kejanggalan yang menimpa Mr. Bent, semua datang tak terkendali serupa air bah menyeret dirinya tanpa peringatan adanya hujan lebat terlebih dahulu sebagai penyebabnya.
"Kamu boleh ceritai aku sesukamu. Tidak sekarang pun tidak apa. Hanya saja, semakin cepat aku tahu, semakin besar kemungkinan aku menemukan titik terang," Sam mendesak halus.
"Aku diutus dan dibayar seseorang guna menemani Mr. Ben selama kunjungannya di Indonesia," akhirnya tanpa paksaan, Widya mulai berkisah, "kemarin siang aku datang ke hotel itu. Belum genap satu jam setelah kedatanganku, Mr. Ben pamit keluar hotel hendak menemui seorang teman dekatnya. Begitu dia bilang padaku. Selanjutnya, aku tidak tahu Mr. Ben kembali ke hotel pukul berapa? Sebelum tepat pukul sebelas malam aku sudah terlelap. Mr. Ben membawa kunci kamarnya sendiri."
"Mr. Ben kembali ke hotel, dini hari," terang Sam, kentara betul kecewa tersirat di wajahnya.
Widya menatap lekat pada Sam, matanya menuntut tanya.
"Seharian penuh, Mr. Ben bersamaku. Aku sendiri mengantarnya kembali ke hotel pukul 01:30 tadi," sambung Sam.
"Apa? Kurang dari tiga jam Mr. Ben kamu antar ke hotel, kini dia tiada?" Mata Widya membeliak disusul curiga muncul terhadap Sam, "kamu...?"
"Jangan salah mengerti," sela Sam melihat gelagat curiga dari Widya terhadap dirinya.
"Berhenti...!" Pekik Widya.
Sam tak bergeming, ia tetap memacu Landcrusernya yang sudah melintasi Jalan Pemuda arah Pulogadung.
"Baik. Kalau tak berhenti, aku bisa melakukannya," gertak Widya jemari lentiknya meraih panel pengunci pintu Landcruser.
Melihat gelagat nekat Widya, Sam tak mau gegabah. Sam terpaksa menepi dan berhenti di depan kampus negeri ternama.
"Siapa mengira kamu senekat ini?" Sam tak bisa sembunyikan kecewa oleh tingkah Widya.
Widya mendelik, tatap matanya kian tak bersahabat, "Kalau kamu mengira wanita itu selemah dalam pikiranmu, dari aku ini pelajaran untukmu! Harus kamu tahu, wanita yang rela menjual diri seperti aku, itu karena nekat. Karena tak peduli risiko. Jangan kamu kira aku lemah dan hanya menggertakmu!"
"Bukan itu maksudku."
"Apa? Kenapa?" Sungut Widya telah bersiap turun, "Aku berjanji tidak akan bocorkan ini pada siapa pun, bahwa sebelum kematian Mr. Ben, kamu orang terakhir yang bersamanya."
Tangan kiri Sam menangkap tangan kanan Widya yang telah berhasil membuka pintu.
"Sumpah demi keselamatan ibu-ku, sungguh aku tak berniat jahat terhadapmu. Aku akan berupaya menyelamatkanmu," suara Sam bersungguh bernada permohonan.
Widya sempat berusaha membebaskan tangannya, namun ketika mendengar Sam menyebut nama ibu, naluri kewanitaan Widya tersentuh syahdu. Sekalipun dirinya wanita penghibur, Widya tetap merasa berhak sebagai perempuan, bahwa dirinya calon ibu dari anak-anaknya kelak.
Kekacauan pikiran dan kekalutan hatinya yang sempat mengeras, kembali menyurut lembut. Widya menyudahi upayanya membebaskan tangan dari tangan Sam.
"Maafkan, aku, Widya," Sam membebaskan tangan Widya.
Widya diam sejenak mempertimbangkan sesuatu. Arah pandang Widya lurus ke muka menerobos kaca depan Landcruser.
"Matikan mesinnya!" Widya ajukan syarat, dan, "lekaslah buat aku mengerti atas apa yang terjadi pada Mr. Ben?"
"Baik. Kita akan membicarakan kematian Mr. Ben. Untuk memulainya, tolong beritahu aku, siapa yang mengutusmu untuk menemani Mr. Ben selama kunjungannya di Jakarta?"
"Orang yang mengutus dan membayar jasaku?" Tanpa menutupi siapa dirinya, Widya balik bertanya.
Sam terkesiap mendengar Widya yang blak-blak-an. "Aku tidak tahu istilahnya apa? Yang penting beritahukan orangnya."
"Tapi kamu tahu siapa aku, kan?" Tatapan Widya menyelidik ke wajah Sam.
Sam sempat gelagapan tak kuasa melawan tatapan Widya, "Aku tak ingin membahas apa yang kamu kerjakan. Aku perlu tahu orang yang mengutusmu."
"Kamu punya saudara perempuan?" Alih Widya.
Sam mengangguk membenarkan.
"Pantas saja kamu sangat menghormati perempuan? Kepada perempuan seperti aku pun kamu berusaha untuk tidak menyinggung perasaanku."
"Memiliki saudara perempuan atau tidak, bukan alasan untuk tidak menghormati perempuan. Kaum ibu-ku."
"Tak terkecuali menghormati perempuan penghibur seperti aku?"
"Kita sedang membicarakan Mr. Ben. Kenapa mendebatkan soal perempuan?" Sam tak ingin membahas masalah hampa.
"Baiklah. Aku menghargai caramu menghormati kaum ibumu," sikap Widya berangsur ramah.
"Kenal dengan orang yang mengutusmu untuk menemani Mr. Bent?" Sam mengulang tanya yang belum dijawab Widya.
Widya menaikan bahunya sebagai jawaban tidak mengenal secara pribadi orang termaksud."Mr. Ben itu majikanmu, kan? Tentunya ksmu banyak mengenal orang-orang yang berhubungan dengan Mr. Ben?"
"Hampir semua kolega Mr. Ben, aku mengenalnya. Tetapi tidak dengan pembunuh Mr. Ben. Mr. Ben hanya sempat cerita, kunjungannya ke Indonesia kali ini disambut oleh salah seorang kolega bisnisnya dengan mengutusmu untuk menemaninya. Dia seorang Pengusaha nasional ternama. Padahal, Mr. Ben sendiri tidak merasa mengabarkan kunjungannya kepada siapa pun, kecuali mengabari aku."
"Tentu hubungan Mr. Ben dengan koleganya itu sangat dekat? Hingga tahu betul kegemaran Mr. Ben?" Seloroh Widya.
"Benar. Tetapi itu sudah lama ditinggalakan Mr. Ben."
"Maksudmu?"
Sam tak lekas bersahut, mimik wajahnya mengisyaratkan canggung terhadap Widya.
"Katakan saja!" Desak Widya.
"Dulu, kebiasaan Mr. Ben ditemani wanita jelita asli Indonesia sepertimu, bagian dari kegemaran Mr. Ben setiap berkunjung. Tetapi itu sudah tidak dilakukan Mr. Ben sejak tiga tahun lalu."
"Sudah insyaf?" Tanya Widya setengah kelakar.
"Mungkin dapat dikatakan insyaf? Namun intinya bukan itu. Mr. Ben tidak ingin menularkan apa yang dideritanya."
Widya menggeser duduknya menghadap pada Sam, "Mr. Ben mengidap suatu penyakit?" Widya berharap bukan penyakit laknat jadi jawaban Sam.
"HIV telah bersarang di tubuhnya," meski ragu akan menyinggung perasaan Widya, Sam beranikan bicara apa adanya.
Seketika semua bulu halus di sekujur tubuh Widya berdiri. Ketakutan akan keganasan penyakit laknat itu bisa saja telah bersarang di tubuhnya tanpa ia sadari. Bukan tertulari oleh Mr. Ben yang bahkan belum sekalipun bersentuhan fisik dengan dirinya, melainkan bisa jadi ditularkan para lelaki yang telah menikmati tubuhnya, meskipun Widya selalu mewajibkan menggunakan kondom kepada mereka. Segala hal buruk menyerbu pikiran Widya.
"Maaf, andai kamu tidak menanyakannya, tak ada niatku menggunjing apa yang dideritakan Mr. Ben," Sam tahu kalau Widya terkejut olah virus HIV yang dideritakan Mr. Ben.
Widya tertunduk malu namun tak sedikitpun tersinggung oleh keterangan Sam soal penyakit Mr. Ben.
"Lantas, kenapa seseorang mengutusku menemani Mr. Ben kalau Mr. Ben sendiri tak lagi memerlukan teman wanita penghibur sepertiku?"
"Entahlah? Untuk itu aku ingin mencari tahu darimu siapa yang mengutusmu?"
Widya kembali menghadap muka pada Sam yang sedang menatap ke muka Landcruser dengan tatapan hampa. Widya berkesempatan memandangi wajah Sam yang menurutnya serupa kembaran Bucek Depp waktu muda. Juga Widya melihat jelas guratan duka di wajah Sam.
"Aku turut berduka atas kepergian Mr. Ben, Sam," ujar Widya, tulus.
Sam menoleh cepat, ia sempat memergoki Widya tengah menatapnya lekat-lekat, "Masih ingat ciri-ciri orang yang mengutusmu?"
Widya gelagapan merasa dirinya sial kepergok sedang menatap Sam, "Siapa?" Widya gugup.
"Orang yang mengutusmu?"
"Aku tak sempat bertemu dengan orangnya."
Sam menatap aneh ke wajah Widya. Melalui mata Sam menuntut Widya membuat dirinya mengerti.
"Begini. Aku dihubungi seseorang per-telepon, dia memintaku bersedia menemani koleganya dari Amerika selama sepekan. Selanjutnya dia minta nomor rekeningku setelah dia sepakat dengan angka yang aku ajukan. Dua jam kemudian, aku diminta cek saldo rekeningku dan memberitahukan alamat hotel serta nomor kamarnya. Setelah itu..."
"Nanti kamu lanjutkan," sela Sam, tangannya tergesa menyalakan mesin.
"Ada apa?" Widya melihat gelagat Sam ingin segera menghindari sesuatu.
"Aku lengah. Sebuah sedan rupanya dari tadi berhenti mengawasi di belakang kita," pungkas Sam.
Sam segera memacu Landcruser sekemampuan dirinya mengendalikan mobil bertenaga besar dan boros bahan bakar itu. Roda Landcruser berderit oleh putaran mendadak yang dipaksakan sebelum melesat cepat menyeruak gelapnya penghujung malam.
Sam menyukai beragam olahraga yang menantang, yang utama, Sam suka olahraga beladiri. Pencak silat dan karate adalah yang paling dikuasainya. Sam juga seorang pendaki berpengalaman. Menyukai Off Road, juga motocros. Berkat penguasaan ilmu beladirinya, Sam direkomendasikan oleh kawannya seorang Pengusaha Batu Bara kepada Mr. Ben. Sudah empat tahun ini Sam menjadi pengawal pribadi Mr. Ben. Juga karena Sam memiliki pengalaman bekerja sebagai marketing di perusahaan Batu Bara milik kawannya itu, Mr. Ben tak hanya mempercayakan keamanan dirinya ketika sedang berada di Indonesia, melainkan mempercayakan pengawasan seluruh asetnya yang ada di Indonesia kepada Sam. Dari kegemarannya pada olahraga kendaraan ekstrim, Sam nampak terbiasa memacu Landcruser berukutan bongsor itu serupa mengemudikan City Car. Lalu lintas Jakarta di pagi buta memang masih lengang, Sam lebih leluasa mengemudikan Landcruser dengan kecepatan tinggi untuk ukuran kecepata
Widya merasa didera lelah luar biasa, bukan capek secara fisik, melainkan pikiran terbelenggu rasa takut, was-was, serba khawatir, bergulung menyatu memenjarakan kemerdekaan jiwanya. Dari pertama mengetahui kematian Mr. Ben dan memutuskan untuk mempercayai Sam, sejak itu Widya merasa harapan hidupnya hanya masalah waktu masih bisa menghirup udara bebas. Menuruti anjuran Sam agar dirinya istirahat, sedari permulaan Landcruser memasuki jalan Tol, Widya memejamkan mata. Mata Widya terpejam namun pikiran dan jiwanya enggan diajak rehat barang sebentar. Bermenit lamanya sesaat setelah memejamkan mata, Widya justru melihat gambaran segala kemungkinan buruk berderet serupa lukisan panjang menampilkan beragam ekspresi ketakutan dirinya sendiri. Merasa capek sendiri oleh ketakutan yang diciptakan pikirannya, Widya berupaya mengalihkan perhatiannya pada Sam, sekedar menghindari kekacauan pikirannya. Secara sadar Widya membohongi diri sendiri memba
Tyo baru saja memasuki kamar tidurnya ketika pintu rumah diketuk kasar dari luar. Tyo kembali keluar kamar dan langsung membuka pintu rumahnya yang sederhana. "Dimanam Widya!?" Salah seorang dari dua orang lelaki bertubuh tegap menyerobot masuk ketika Tyo membuka pintu. "Hey, kalian? Burhan, Toni! Ada apa ini...!?" Hardik Tyo tak tahu persoalan, seketika ia terpancing emosinya meski Tyo mengenal dua orang tamunya. Tyo mengenal Burhan dan Toni karena mereka sering bertemu di tempat hiburan malam.Burhan si penyerobot itu mendorong Tyo hingga terjerembab duduk di kursi tamu, "Kamu sembunyikan di mana, Widya?" "Kamu ini kenapa, Burhan!?" Tyo benar-benar tak mengerti duduk persoalan."Widya menghilang dari hotel, Tyo," hardik Toni turut masuk. Kini Burhan dan Toni berdiri angkuh di hadapan Tyo yang terduduk dengan wajah kebingungan."Kamu belum tahu beritanya, Tyo? Antara pukul tujuh tadi, pihak hotel mendapati Widya tidak ad
Setelah merasa cukup beristirahat di Race Area Padalarang, Sam kembali memacu Landcrusernya melaju di Jalan Tol arah Cileunyi. Di sebelah Sam, Widya nampak segar setelah mandi dan sarapan, namun begitu keceriaan tak begitu kentara di wajah Widya. Widya kian menyadari dirinya kini sedang dalam pelarian dari praduga pembunuhan meskipun ia bukan pelakunya. Widya tidak tahu sejauh mana Sam akan mampu membantu-melindungi dirinya sedang Sam sendiri besar kemungkinan akan sama seperti dirinya sebagai orang yang paling dicari setelah kematian Mr. Ben diketahui Polisi. "Sam..!" Widya berkata lirih. "Ya?" "Tubuhmu tidak terasa lengket tanpa mandi pagi hari?" "Perjalanan masih jauh. Aku bisa diserang kantuk kalau tubuhku merasa segar setelah mandi." "Ini sudah pukul sembilan. Adakah kemungkinan pihak hotel sudah mengetahui keadaan Mr. Ben?" Alih Widya. "Sep
Masuk melalui gerbang Tol Jagorawi, sebuah Minivan hitam meluncur cepat menuju Bandung. Burhan dan Tyo duduk di kursi tengah, satu orang rekan Burhan di kursi depan dan seorang lagi mengemudi. "Burhan, kenapa Bos kalian tidak melapor Polisi saja kalau memang mencurigai Widya pelakunya?" Tanya Tyo, kali ini kepalanya sudah dibebaskan dari kain penutup. "Itu bukan urusanku. Juga bukan urusanmu, Tyo. Aku sendiri tidak tahu kepentingan Bos itu apa mengharuskan aku jangan sampai didahului Polisi menangkap Widya dan Sam? Yang aku tahu, tadi pagi aku turut menyaksikan berita di tv telah ditemukan seorang tamu hotel JWM telah meninggal dunia dalam posisi duduk di kursi di dalam kamarnya. Yang ditemukan meninggal itu tak lain adalah, Mr. Ben. Sedangkan Widya yang menemani Mr. Ben, sudah menghilang," sahut Burhan kini sikapnya pada Tyo lebih bersahabat setelah Tyo menyatakan sikap dirinya bersedia bekerjasama. "Bos-mu mengen
"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah. Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya. "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam." "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya. Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?" "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana." "Berapa lama kita sampai hotel itu?" "Sepulu
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te
Sedari dua jam lalu, dengan alasan hendak menemui kolega yang menginap di hotel TP, Tyo izin pada karyawan hotel yang bertugas dan dipersilahkan oleh satuan pengamanan hotel untuk menunggu di lobi hotel dikawal dua orang teman Burhan. Mereka bertiga duduk-duduk tenang menirukan gaya seorang yang sedang mengemban urusan penting dengan tamu hotel yang hendak ditemuinya. Tyo sudah satu jam menunggu Widya yang sudah berjanji hendak menemuinya. Karena menunggu sesuatu yang membosankan, ditambah tubuh kelelahan, baik Tyo dan dua pengawalnya tertidur sejak Tyo menyudahi percakapan terakhir kali dengan Widya per-telepon, antara satu jam lalu. Ketiganya terlelap di kursi masing-masing melingkungi meja, saling berhadapan. Sedang pulas dalam tidurnya, Tyo dipaksa bangun oleh getaran ponsel di saku celananya. Mengutuk dalam hati setelah tahu siapa yang menghubnginya, tak urung Tyo menerima panggilan telepon, "Ya, Burhan?" "Belum
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
"Sesampainya ke Jakarta, bagaimana denganku, Sam? ke mana aku menuju? Polisi sudah mendatangi apartemenku. Menginap di hotel, aku tidak mau diusir seperti tadi karena wajahku telah dikenali banyak orang sebagai tertuduh?" Tanya Widya ketika sudah dalam perjalanan meninggalkan Pangandaran. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu." Sahut Sam meski berupaya bersikap tenang, namun tetap saja kepalanya terasa berat menyusun siasat. "Bagaimana dengan ibumu jika aku berada di antara kalian untuk beberapa hari?" "Aku bisa memberi alasan yang bisa dimengerti ibuku. Juga ibuku bukan seorang yang suka berprasangka buruk pada siapapun." Widya terdiam berdetik lamanya. Sedari dirinya mengetahui Mr. Ben terbunuh, pikirannya sulit berdamai untuk bisa bersikap tenang. Isi kepalanya terasa berat dan kusut. Hanya ketika bercinta bersama Sam saja jiwanya dapat merasa tenang oleh kenikmatan birahi. Meski disadari oleh Widya, itu bukanlah sesuatu yang baik secara moral. Widya tahu apa yang dinik
Masih terbilang pagi, untuk kali kedua, Tyo datang ke rumah Dance dalam pengawalan Burhan serta dua kawannya. Mereka baru saja tiba. Kedatangan Tyo kali ini disambut hangat oleh Dance dengan segala kepura-puraan sikapnya bersimpati pada apa yang diderita kaki Tyo. Kali ini Dance menerima Tyo di ruang tamu dengan interior istimewa layaknya rumah bangsawan. Kursi mewah berbahan kulit, beberapa barang antik di sudut ruangan, lukisan karya senirupa ternama di dinding, cukup jelas memberitahukan kepada siapapun tamu yang datang bahwa pemilik rumah bukanlah orang sembarangan. "Bagaimana dengan kakimu, Tyo?" tanya Dance membuka percakapan setelah terlebih dulu mengusir Burhan dan yang lainnya bahwa dirinya hendak bicara empat mata dengan Tyo. "Seperti yang Bos lihat. Kaki ini belum bisa aku pergunakan secara sempurna." Tyo memperhatikan lututnya yang terbalut kain perban. "Bagaimana menurut dokter? Bekas luka tembak itu tidak akan membuat kakimu cacat permanen bukan?" "Tidak. Luka di kak
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man