Widya merasa didera lelah luar biasa, bukan capek secara fisik, melainkan pikiran terbelenggu rasa takut, was-was, serba khawatir, bergulung menyatu memenjarakan kemerdekaan jiwanya. Dari pertama mengetahui kematian Mr. Ben dan memutuskan untuk mempercayai Sam, sejak itu Widya merasa harapan hidupnya hanya masalah waktu masih bisa menghirup udara bebas.
Menuruti anjuran Sam agar dirinya istirahat, sedari permulaan Landcruser memasuki jalan Tol, Widya memejamkan mata. Mata Widya terpejam namun pikiran dan jiwanya enggan diajak rehat barang sebentar. Bermenit lamanya sesaat setelah memejamkan mata, Widya justru melihat gambaran segala kemungkinan buruk berderet serupa lukisan panjang menampilkan beragam ekspresi ketakutan dirinya sendiri.
Merasa capek sendiri oleh ketakutan yang diciptakan pikirannya, Widya berupaya mengalihkan perhatiannya pada Sam, sekedar menghindari kekacauan pikirannya. Secara sadar Widya membohongi diri sendiri membayangkan Sam tak lain adalah kekasih hatinya yang sedang mengajaknya berlibur ke Pangandaran. Widya menyadari, suatu hal yang mustahil dirinya dapat menarik perhatian Sam, sedang Sam sudah tahu dirinya hanyalah seorang wanita penghibur. Terlepas dari daya tarik Widya selayaknya seorang model, Widya tetap merasa harus tahu diri.
Perlahan upaya Widya menghindari desakkan pikiran buruknya berhasil. Bersama imajinasinya Widya mengkhayalkan kebersamaan dengan Sam tak ubahnya sepasang kekasih yang sedang merenda kasih menuju suatu tempat berkhiaskan segala suka-cita. Lambat-laun menit berikutnya, khayal Widya berangsur-berganti ke alam mimpi. Ke alam bawah sadarnya.
Ketika pertama kali memasuki Landcrser dan melihat Sam di belakang kemudi, di luar duga-sangkanya terhadap Sam sebagai orang yang belum dikenalinya, Widya mengakui naluri kewanitaannya telah terpikat oleh Sam. Terutama setelah tahu bagaimana Sam sangat menghargai kaum perempuan, Tak terkecuali perempuan seperti dirinya. Sikap lelaki yang menghargai wanita penghibur adalah suatu sikap lelaki yang tergolong langka. Kemudian setelah melihat sosok Sam secara utuh saat turun dari Landcruser menemui Tyo, Widya merasa kian terpesona pada Sam. Intuisi Widya telah jujur membisiki relung terdalamnya bahwa dirinya jatuh hati pada Sam.
Dalam mimpinya hasrat Widya disambut baik oleh Sam, Sam menerima Widya dengan segala kelebihan-kekurangannya. Sam tak mempedulikan latarbelakang Widya. Sam hanya meminta Widya menyudahi dan meninggalkan apa yang telah dilakoni Widya. Lain daripada itu, Sam tak menuntut apa-apa.
"Benarkah, kamu menyambut perhatianku, Sam?" Widya menengadahkan wajah menatap lekat ke wajah Sam yang sedang merangkulnya.
Sam tersenyum membalas tatapan Widya, wajah mereka sangat dekat, napas keduanya saling menyapu wajah satu sama lain. Angin sore pantai Pangandaran membersamai keduanya. Tak nampak seorang pun di sana. Pantai Pangandaran hanya dihuni oleh mereka berdua.
"Apakah senyum-mu itu jawaban: Ya?" Widya membalas senyum.
"Apa kiranya perlu aku buktikan? Agar kamu percaya?" Sam balik bertanya.
"Kamu orang kepercayaan Mr. Ben. Setidaknya kamu memiliki kolega orang-orang ternama bertaraf pengusaha nasional. Benarkah kamu tidak peduli akan datangnya cibiran dari mereka?"
"Mereka sibuk mengurusi bisnisnya. Mana ada waktu mereka urusi kehidupan orang lain?"
"Setidaknya, Sam, semua kolegamu akan tahu siapa aku. Aku sendiri belum sepenuhnya percaya diri meski kamu menerimaku, Sam. Apa lagi kalau kelak sekali waktu aku harus mendampingimu ke suatu acara yang mengharuskan kamu hadir didampingi istrimu?"
"Kenapa pikiranmu terlalu jauh menduga hal-hal yang belum tentu terjadi?" Sam mengetatkan rangkulan kedua tangannya di pinggul Widya.
Widya merasa sedikit sesak ketika rangkulan Sam menguat, namun itu justru membuatnya kian merasa nyaman, dan aman.
"Mungkin karena aku merasa rendah diri oleh apa yang pernah aku jalani, Sam. Sedangkan, kamu? Selama ini kamu berada di lingkungan para pelaku usaha."
"Kamu pikir tidak ada kebobrokan di dunia mereka? Dunia para Pengusaha itu? Setiap dari kita, tak bisa bebas dari salah dan keliru. Setiap manusia pernah berbuat dosa. Hanya masing-masing dari kita saat berbuat dosa, berbeda jalan dan cara," ujar Sam seraya mendekatkan ujung hidungnya ke puncak hidung Widya.
"Oh, ya? Kenapa diusiamu jelang tiga puluh ini, kamu masih melajang? Sebelum bertemu aku, pasti sudah banyak wanita yang jatuh dipelukanmu?"
"Seperti kamu sering berganti pelukan dari lelaki satu ke pelukan lainnya, apakah kamu berkeberatan jika aku pernah melakukan hal sebaliknya?" Sam merenggangkan wajahnya dari wajah Widya. Mata mereka saling beradu pandang seolah ingin saling terbuka akan masa lalu.
"Sudah berapa wanita yang kamu pacari?" Selidik Widya.
"Hanya seorang saja, dulu aku pernah punya pacar. Kalau sekedar berkencan, eummm, aku lupa?" Sam menahan tawa.
"Maksudmu...?" Dahi Widya mengernyit.
"Setelah aku sempat punya pacar dan dikhianati, aku tak lagi tertarik berpacaran dengan ikatan suatu komitmen. Dan, diusiaku yang matang ini, tentu saja aku pun tak kuasa melawan kodrat sebagai lelaki normal? Untuk menyalurkan kebutuhan biologisku, aku suka menggunakan jasa wanita..." Sam ragu melanjutkan.
"Wanita penghibur sepertiku?" Terka Widya tanpa reaksi ketersinggungan.
Sam tersenyum lebar. "Kamu tahu jawabannya, Widya."
"Sedalam itukah luka pengkhianatan yang pernah kamu alami, Sam? Hingga enggan mencari pengganti?"
"Bagiku bila dalam suatu hubungan sudah menyepakati satu komitmen, pengkhianatan itu tak bisa ditolerir. Kecuali kalau hubungan sebatas senang-senang belaka sekedar memenuhi kebutuhan biologis satu sama lain, mungkin itu tak masalah?"
Widya terdiam sejenak. Matanya menatap lekat ke bola mata Sam. Kini kedua tangan Widya yang mengetatkan rangkulannya di bahu Sam.
"Bagaimana dengan wanita jika hendak menyalurkan hasrat biologisnya?" Sambung Sam, meski ragu, ia beranikan bertanya.
Widya terkekeh sesaat, "Aku tahu arah pertanyaanmu, Sam? Kamu berpikir, aku tak perlu repot memenuhi kebutuhan biologisku karena bisa aku dapatkan setiap melayani lelaki yang membayarku. Begitu kan, pertanyaanmu, Sam?"
Sam turut tertawa kecil, "Lantas?"
"Aku kira setiap wanita mengalami hal yang sama seperti yang aku alami dan rasakan? Perempuan tidak serta-merta dapat mengantar hasrat biologisnya dengan sembarang lelaki. Perempuan tidak bisa menikmati sex jika tidak dengan lelaki pilihannya sendiri, Sam. Terlebih dengan apa yang aku kerjakan. Aku tiada keberatan para lelaki yang membayarku itu menuntut pelayananku sesuai yang mereka kehendaki, selama tidak mengundang tindak kekerasan fisik terhadapku, tidak mengancam keselamatanku, aku biarkan tubuhku ini serupa boneka yang telah menjadi hak mereka mau seperti apa dinikmatinya, tanpa aku turut menikmati," terang Widya seolah tak ada yang perlu ia tutupi dari Sam.
Reaksi Sam serupa meringis menahan perih. Namun begitu Sam berupaya menyembunyikan luka perasaannya membayangkan hari-hari Widya yang telah berganti-ganti lelaki sebelum bertemu dengan dirinya.
"Tak ada niatku melukai hatimu, Sam. Karena kamu bertanya, maka aku pun tak ingin menutupinya. Itulah bagian dari kehidupanku. Dan segera akan jadi masa laluku jika benar kamu menerimaku, Sam?"
"Aku pun akan mengakhiri petualanganku untuk tidak lagi menyalurkan kebutuhan biologisku pada sembarang wanita. Kecuali denganmu, Widya."
"Apakah hubungan kita ke depan hanya sebatas saling memenuhi hasrat biologis semata, Sam? Tanpa ada komitmen yang jelas?" Melalui mata, Widya menuntut diyakinkan.
"Tentu saja aku berkomitmen dengan segera menikahimu, Widya."
"Sungguh, Sam?"
Sam mengangguk bersungguh diiringi bibirnya perlahan mengecup bibir Widya yang merekah.
Widya membalas kecupan Sam kemudian dari kecupan berganti menjadi saling melumat bibir satu sama lain dengan rakusnya berebut nikmat.
Suasana sepi pantai Pangandaran yang romantis menjadikan Sam dan Widya kian dibakar asmara. Kini keduanya berguling di atas pasir basah yang terjilati lidah ombak. Hasrat dewasa Sam dan Widya kian membara dan hampir tiba dipuncak kenikmatan andai ombak besar yang tak terduga telah mengejutkan mereka memporak-porandakan gelora berahi yang membakar.
Tangan Widya menggapai-gapai ketika tubuhnya terseret ombak menjauh dari bibir pantai. Beruntung Widya tak terlalu jauh terseret ombak setelah Sam menangkap tubuhnya dan membopongnya ke daratan. Widya sempat terbatuk karena tersedak air laut. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak terkendali.
"Widya! Kamu baik-baik saja?" Suara Sam dekat sekali di telinga Widya.
Widya menggeragap, ia kaget setelah membuka mata. Di sampingnya, Sam sedang menatapnya lekat-lekat serupa keheranan.
"Kamu, bermimpi?" Selidik Sam.
Widya menegakkan duduknya, matanya mengerjap mencari penglihatan terbaiknya. Widya menebarkan arah pandang keluar Landcruser, "Kita di mana?" Tanya Widya matanya masih memeriksa lingkungan sekitar.
"Kamu mimpi apa? Tubuhmu sampai seperti orang kejang-kejang?" Sam mengulang tanya.
Widya menoleh pada Sam dan seketika ia tersipu malu oleh khayalannya berbuah mimpi, "Kita di mana?" Alih Widya mengulang tanya.
"Di Race Area Padalarang, Bandung. Kendaraanku perlu tambahan bahan bakar. Kamu perlu sesuatu? Atau sekalian sarapan dulu?"
"Sudah menderang begini?"
"Baru pukul 07:30."
"Sepertinya aku perlu mandi."
"Baik. Mari turun.," ajak Sam.
Widya mengikuti Sam keluar dari Landcruser yang terparkir di muka rumah-makan cepat saji. Sam dan Widya menuju toilet umum terlebih dahulu di belakangnya.
Tyo baru saja memasuki kamar tidurnya ketika pintu rumah diketuk kasar dari luar. Tyo kembali keluar kamar dan langsung membuka pintu rumahnya yang sederhana. "Dimanam Widya!?" Salah seorang dari dua orang lelaki bertubuh tegap menyerobot masuk ketika Tyo membuka pintu. "Hey, kalian? Burhan, Toni! Ada apa ini...!?" Hardik Tyo tak tahu persoalan, seketika ia terpancing emosinya meski Tyo mengenal dua orang tamunya. Tyo mengenal Burhan dan Toni karena mereka sering bertemu di tempat hiburan malam.Burhan si penyerobot itu mendorong Tyo hingga terjerembab duduk di kursi tamu, "Kamu sembunyikan di mana, Widya?" "Kamu ini kenapa, Burhan!?" Tyo benar-benar tak mengerti duduk persoalan."Widya menghilang dari hotel, Tyo," hardik Toni turut masuk. Kini Burhan dan Toni berdiri angkuh di hadapan Tyo yang terduduk dengan wajah kebingungan."Kamu belum tahu beritanya, Tyo? Antara pukul tujuh tadi, pihak hotel mendapati Widya tidak ad
Setelah merasa cukup beristirahat di Race Area Padalarang, Sam kembali memacu Landcrusernya melaju di Jalan Tol arah Cileunyi. Di sebelah Sam, Widya nampak segar setelah mandi dan sarapan, namun begitu keceriaan tak begitu kentara di wajah Widya. Widya kian menyadari dirinya kini sedang dalam pelarian dari praduga pembunuhan meskipun ia bukan pelakunya. Widya tidak tahu sejauh mana Sam akan mampu membantu-melindungi dirinya sedang Sam sendiri besar kemungkinan akan sama seperti dirinya sebagai orang yang paling dicari setelah kematian Mr. Ben diketahui Polisi. "Sam..!" Widya berkata lirih. "Ya?" "Tubuhmu tidak terasa lengket tanpa mandi pagi hari?" "Perjalanan masih jauh. Aku bisa diserang kantuk kalau tubuhku merasa segar setelah mandi." "Ini sudah pukul sembilan. Adakah kemungkinan pihak hotel sudah mengetahui keadaan Mr. Ben?" Alih Widya. "Sep
Masuk melalui gerbang Tol Jagorawi, sebuah Minivan hitam meluncur cepat menuju Bandung. Burhan dan Tyo duduk di kursi tengah, satu orang rekan Burhan di kursi depan dan seorang lagi mengemudi. "Burhan, kenapa Bos kalian tidak melapor Polisi saja kalau memang mencurigai Widya pelakunya?" Tanya Tyo, kali ini kepalanya sudah dibebaskan dari kain penutup. "Itu bukan urusanku. Juga bukan urusanmu, Tyo. Aku sendiri tidak tahu kepentingan Bos itu apa mengharuskan aku jangan sampai didahului Polisi menangkap Widya dan Sam? Yang aku tahu, tadi pagi aku turut menyaksikan berita di tv telah ditemukan seorang tamu hotel JWM telah meninggal dunia dalam posisi duduk di kursi di dalam kamarnya. Yang ditemukan meninggal itu tak lain adalah, Mr. Ben. Sedangkan Widya yang menemani Mr. Ben, sudah menghilang," sahut Burhan kini sikapnya pada Tyo lebih bersahabat setelah Tyo menyatakan sikap dirinya bersedia bekerjasama. "Bos-mu mengen
"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah. Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya. "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam." "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya. Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?" "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana." "Berapa lama kita sampai hotel itu?" "Sepulu
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te
Sedari dua jam lalu, dengan alasan hendak menemui kolega yang menginap di hotel TP, Tyo izin pada karyawan hotel yang bertugas dan dipersilahkan oleh satuan pengamanan hotel untuk menunggu di lobi hotel dikawal dua orang teman Burhan. Mereka bertiga duduk-duduk tenang menirukan gaya seorang yang sedang mengemban urusan penting dengan tamu hotel yang hendak ditemuinya. Tyo sudah satu jam menunggu Widya yang sudah berjanji hendak menemuinya. Karena menunggu sesuatu yang membosankan, ditambah tubuh kelelahan, baik Tyo dan dua pengawalnya tertidur sejak Tyo menyudahi percakapan terakhir kali dengan Widya per-telepon, antara satu jam lalu. Ketiganya terlelap di kursi masing-masing melingkungi meja, saling berhadapan. Sedang pulas dalam tidurnya, Tyo dipaksa bangun oleh getaran ponsel di saku celananya. Mengutuk dalam hati setelah tahu siapa yang menghubnginya, tak urung Tyo menerima panggilan telepon, "Ya, Burhan?" "Belum
Minivan dipacu melampaui batas kecepatan yang tak sesuai peruntukkannya hingga Tyo dan Burhan sebagai penumpang di kursi belakang yang semula enggan menggunakan sabuk pengaman, terpaksa mereka pasangkan pada tubuhnya guna menghindari berkali-kali guncangan, akibat manufer Pengemudi yang diperintah Burhan agar segera dapat menyusul buruannya. "Apakah kita semakin mendekati mereka, Tyo?" Tanya Burhan pada Tyo yang perhatiannya tak lepas dari layar ponselnya mencermati titik target yang sedang dikejarnya. "Jarak kita dengan mereka kian mendekat. Sekitar sepuluh kilometer lagi selisih mereka dengan kita," sahut Tyo, matanya beralih memantau sekitar jalan yang dilaluinya. "Sepuluh kilometer itu, bukan jarak yang dekat, Tyo!" Gerutu Burhan. "Dibanding awal tadi kita mengejar mereka, selisih jarak dengan mereka lebih dua puluh kilometer, Burhan. Ternyata Pengemudi kita cukup bisa diandalkan dalam peng
Dua jam sejak meninggalkan Ciamis, bersama Landcrusernya kini Sam tengah melintasi daerah Banjarsari. Dari Banjarsari menyisakan satu jam untuk tiba di Pangandaran. Sam mengemudi dalam kecepatan wajar, sesuai permintaan Widya yang ingin menikmati setiap pemandangan sepanjang jalan, bertepatan malam ini merupakan malam purnama. Cahaya Bulan menciptakan gemerlap cahaya pada hamparan pematang sawah, juga menerangi pedesaan serta perbukitan yang sedang dilaluinya. "Kira-kira ke mana Truk itu membawa sepatumu, Sam?" Tanya Widya letak duduknya agak miring setengah menghadap pada Sam. "Entahlah? Dari Ciamis, tadi kita melewati kota Banjar. Kalau dari Banjar, Truk itu terus mengikuti jalan antar provinsi, Truk itu akan memasuki wilayah Jawa Tengah." "Mungkinkah Truk itu terkejar oleh Tyo dan...siapa itu namanya? Pelayan kamar itu?" "Burhan?" "Ya, Itu, Burhan. Jadi kamu mengenalinya, Sam?
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
"Sesampainya ke Jakarta, bagaimana denganku, Sam? ke mana aku menuju? Polisi sudah mendatangi apartemenku. Menginap di hotel, aku tidak mau diusir seperti tadi karena wajahku telah dikenali banyak orang sebagai tertuduh?" Tanya Widya ketika sudah dalam perjalanan meninggalkan Pangandaran. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu." Sahut Sam meski berupaya bersikap tenang, namun tetap saja kepalanya terasa berat menyusun siasat. "Bagaimana dengan ibumu jika aku berada di antara kalian untuk beberapa hari?" "Aku bisa memberi alasan yang bisa dimengerti ibuku. Juga ibuku bukan seorang yang suka berprasangka buruk pada siapapun." Widya terdiam berdetik lamanya. Sedari dirinya mengetahui Mr. Ben terbunuh, pikirannya sulit berdamai untuk bisa bersikap tenang. Isi kepalanya terasa berat dan kusut. Hanya ketika bercinta bersama Sam saja jiwanya dapat merasa tenang oleh kenikmatan birahi. Meski disadari oleh Widya, itu bukanlah sesuatu yang baik secara moral. Widya tahu apa yang dinik
Masih terbilang pagi, untuk kali kedua, Tyo datang ke rumah Dance dalam pengawalan Burhan serta dua kawannya. Mereka baru saja tiba. Kedatangan Tyo kali ini disambut hangat oleh Dance dengan segala kepura-puraan sikapnya bersimpati pada apa yang diderita kaki Tyo. Kali ini Dance menerima Tyo di ruang tamu dengan interior istimewa layaknya rumah bangsawan. Kursi mewah berbahan kulit, beberapa barang antik di sudut ruangan, lukisan karya senirupa ternama di dinding, cukup jelas memberitahukan kepada siapapun tamu yang datang bahwa pemilik rumah bukanlah orang sembarangan. "Bagaimana dengan kakimu, Tyo?" tanya Dance membuka percakapan setelah terlebih dulu mengusir Burhan dan yang lainnya bahwa dirinya hendak bicara empat mata dengan Tyo. "Seperti yang Bos lihat. Kaki ini belum bisa aku pergunakan secara sempurna." Tyo memperhatikan lututnya yang terbalut kain perban. "Bagaimana menurut dokter? Bekas luka tembak itu tidak akan membuat kakimu cacat permanen bukan?" "Tidak. Luka di kak
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man