"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah.
Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya.
"Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam."
"Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya.
Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?"
"Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana."
"Berapa lama kita sampai hotel itu?"
"Sepuluh menit, kira-kira."
"Masih sanggup kamu terjaga sepuluh menit lagi, Sam?" Widya mendadak tak percaya diri jadi penumpang Sam. Ingin sekali ia mengambil alih kemudi dari Sam.
Sam menoleh sebentar pada Widya, "Jangan khawatir. Aku tak akan mengulanginya."
Sepuluh menit kemudian Landcruser memasuki area parkir hotel TP di pusat kota Ciamis. Hotel TP setara bintang tiga, hotel termewah yang ada di kota Ciamis. Sam menurunkan Widya persis di depan lobi hotel, lalu ia mengarahkan Landcruser ke area parkir.
Widya langsung menuju meja receptionis menjinjing tas pakaiannya. Setelah mendengarkan sambutan dan keterangan ketersediaan kamar dari salah seorang receptionis, Widya tidak langsung memesan kamar melainkan menunggu Sam. Widya berdiri di muka meja receptionis menunggu kedatangan Sam.
"Sudah pesan?" Tanya Sam setelah di hadapan Widya.
"Yang tersisa kamar Super Dulux saja," sahut Widya mimik wajahnya serupa melihat sesuatu yang lucu.
"Memang itu kan, kamar terbaik dari hotel bintang tiga?"
"Masalahnya, yang tersisa hanya satu kamar saja dengan tempat tidur tunggal."
"Penuh?"
Widya mengangguk.
"Area parkir saja kosong begitu? Kamar hotel ini terisi penuh?"
"Sedang ada gelaran olahraga tingkat provinsi, katanya. Hotel ini di booking kontingen dari Bandung. Kecuali kamar Super Dulux yang satu itu," Widya mengabarkan apa yang diberitahukan oleh receptionis.
Sam tercenung sejenak, "Kalau kamu keberatan sekamar denganku, kita cari hotel lain," usul Sam.
Widya menggeleng, "Itu pertanyaanku untukmu, Sam. Kamu keberatan, tidak?"
"Aku hanya perlu tidur satu-dua jam saja, sudah cukup."
"Ya, sudah," Widya memutuskan memesan kamar yang tersisa.
Kamar yang dihuni Sam dan Widya berada di lantai dua, letaknya persis di atas lobi. Dari balkon kamar, area parkir di muka hotel nampak terhampar jelas. Lalu-lintas kendaraan di depan hotel pun nampak riuh namun kebisingan deru mesin kendaraan yang melintas tidaklah mengganggu sampai ke dalam kamar.
Setelah memasuki kamar, Sam langsung membanting tubuhnya ke atas kasur tanpa melepas sepatu terlebih dahulu. Sam benar-benar tak kuasa melawan lelah dan kantuknya.
Widya pun merasakan lelah meski sempat tertidur sesaat dalam perjalanan, tetapi ia masih merasakan tubuhnya lengket tidaklah nyaman. Sempat mandi alakadarnya di Race Area, tapi itu dirasai Widya serupa mandi asal-asalan saja. Widya memilih mandi dulu sebelum tidur.
Seusai mandi, Widya musti bersabar untuk tidak langsung istirahat menyusul Sam. Widya perlu mengeringkan rambutnya terlebih dahulu. Menggunakan alat pengering rambut miliknya, Widya duduk membelakangi meja-cermin, menghadap ke tubuh Sam yang tidur telentang.
Sembari memainkan helaian rambut panjangnya ditiupi uap panas dari alat pengering rambut, Widya leluasa membelai sekujur tubuh Sam dengan tatapannya yang entah mengapa ia menyukai Sam dalam waktu sesingkat itu? Secara fisik Sam tentu tak akan kesulitan untuk mendekati wanita seperti apa pun karena Sam seorang gagah-rupawan, juga Sam seorang kepercayaan Pengusaha besar sekalibet Mr. Ben. Tentu itu adalah sesuatu yang wajar bila Sam didamkan para gadis. Tetapi diluar kelebihan yang ada pada Sam, Widya lebih terkesan oleh sikap Sam yang sangat menghargai kaum perempuan.
Widya tak memungkiri mengidamkan pasangan yang rupawan, mapan secara ekonomi, dan bertanggungjawab. Tiga sarat itu mungkin tidak sulit ditemukan dari seorang lelaki masa kini, tetapi jika pun tiga sarat itu dapat dipenuhi oleh banyak lelaki, belum tentu mereka memiliki pemahaman rasa hormat kepada kaum ibunya, seperti Sam.
Widya sudah seringkali menemukan lelaki yang memiliki tiga sarat itu, tetapi Widya belum pernah dipertemukan dengan lelaki yang menghargai wanita tidak dari strata sosial belaka. Sudah tak terhitung Widya menemani tamunya dari kalangan eksekutiv yang dikenal beradab, tapi sudut pandangnya terhadap wanita penghibur seperti dirinya, sama saja dengan lelaki kebanyakan yang beranggapan; wanita penghibur adalah wujud perempuan yang diperjual-belikan tubuhnya tanpa hak dihormati, dihargai.
Hampir setengah jam Widya memandangi Sam, kini rambutnya cukup mengering dan matanya pun mulai dirasa berat didera kantuk. Widya menyudahi kegiatannya mengeringkan rambut lalu mengganti handuk yang membalut tubuhnya berganti dengan pakaian tidurnya. Hanya mengenakan pakaian tidur tanpa pakaian dalam, Widya bersiap merebahkan diri di sebelah Sam namun mata Widya tertuju pada sepatu Sam. Berpikir sepatu akan mengurangi kenyaman tidur Sam, hati-hati sekali Widya melepas sepatu di kaki Sam yang sudah pulas dari satu jam lalu.
Entah karena dorongan apa, Widya merasa nyaman tidur miring menghadap ke tubuh Sam yang telentang. Widya begitu dekat dan leluasa memandangi wajah Sam yang nampak kusut karena kurang istirahat namun pesona wajah rupawan Sam tak mengurangi daya pikatnya di mata Widya. Meski dirinya tahu sedang dalam pelarian, berada di samping Sam, Widya tidak lagi merasa takut luar biasa seperti waktu awal bertemu dengan Sam. Widya kian percaya Sam benar-benar sedang berupaya melindunginya.
Antara satu jam Widya tertidur, dalam keadaan setengah sadar Widya merasakan beban berat di bagian pinggulnya, juga ada yang menindih pada lengangnya. Widya berupaya membuka matanya yang dirasa lengket oleh tekanan kantuknya. Perlahan Widya membuka mata dan Widya hampir terjingkat-kaget oleh wajah Sam yang menghadap ke wajahnya dekat sekali. Mengertilah Widya beban berat yang menindih pinggulnya adalah sebelah kaki Sam, dan sebelah tangan Sam menyampir pada lengan Widya.
Widya sempat berpikir Sam telah melakukan sesuatu pada dirinya, hati-hati Widya menurunkan kaki dan tangan Sam dari tubuhnya lalu memeriksa bagian tubuhnya yang kira-kira sudah dijamah oleh Sam. Luput, Widya tak merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Kaki dan tangan Sam itu mungkin hanya karena refleks saja terdorong alam bawah sadar Sam menganggap tubuh Widya berupa bantal guling belaka? Praduga Widya.
Posisi tidur Sam yang miring berhadapan dengan dirinya, lambat-laun menjadikan Widya sendiri yang terpantik gairahnya. Wajah rupawan Sam yang polos saat tertidur, sulit ditepis naluri kewanitaan Widya bahwa dirinya kesulitan mengabaikan godaan pesona Sam. Penuh kesadaran akan menanggungkan malu jika Sam terjaga, perlahan Widya nekad menyentuhkan bibirnya ke bibir Sam.
Mula-mula sentuhan kecil saja bibir Widya menikmati bibir Sam, kemudian perlahan gairah Widya kian terbangkitkan. Bibir Widya pun tak lagi menyentuh lembut, melainkan melumat penuh bibir Sam serta lidah Widya mulai bermain menerobos barisan gigi Sam menggapai lidah Sam di dalam rongga mulutnya.
Akibat permainan lidah Widya di mulut Sam, Sam tersedak kemudian terjaga. Sam terjingkat mengetahui Widya sedang mencumbunya tanpa tatapan merendahkan Widya.
"Tadi kaki dan tanganmu mungkin mengira tubuhku ini bantal guling, Sam? Kamu merangkulku. Dan..." Widya tersipu.
Dalam posisi tubuh tetap miring menghadap Widya, Sam menatap lekat ke manik mata Widya seolah mencari sesuatu yang bermakna dari kedalaman jiwa Widya.
"Aku harap kamu tidak menilai aku binal, kalau aku jujur terpikat olehmu, Sam," Widya berterusterang menjawab pertanyaan mata Sam.
"Kamu menginginkannya?" Sam belum yakin dengan keterusterangan Widya.
Widya mengangguk cepat dengan wajah berseri.
"Kita akan melakukannya seperti kamu melayani...?" Sam tak berani meneruskan.
Widya menggeleng, "Aku ingin melakukannya seperti sepasang kekasih, Sam."
Sam tersenyum mengerti dan ia tak menunda waktu berlekas mencumbu-membalas gairah Widya yang menggelora.
"Pakaianmu, Sam?" Setelah bermenit lamanya berebut kenikmatan berciuman, Widya mengingatkan Sam agar melepas pakaiannya.
"Aku tidak membawa kondom, bagaimana ini?" Sam ragu melanjutkan setelah tak ada sehelai benang pun pada tubuhnya.
Widya menarik tubuh Sam ke atas tubuhnya yang juga telah terbebas dari pakaian tidurnya, "Ada kondom di tas-ku. Tapi tak perlu-lah kamu gunakan. Khusus untukmu, asal kamu bertanggungjawab, lakukan sesuka hatimu, Sam. Mau di dalam atau di luar, terserah kamu. Terpenting kita sama-sama menikmatinya."
"Sungguh?" Tanya Sam seraya menyerbu buah dada Widya yang ranum dengan mulutnya.
"Izinkan aku mencumbu milikmu yang perkasa itu terlebih dahulu, Sam," tanpa ragu Widya utarakan keinginannya.
Sam tersenyum mengerti, "Biar adil, aku pun ingin berkenalan dengan milikmu."
"Enam sembilan?"
Sam mengangguk dan ia segera telentang disusul Widya menaiki tubuh Sam dengab posisi berlawanan.
Seolah keduanya sama-sama berpengalaman Bercinta, Sam dan Widya memerlukan waktu setengah jam sebelum menuntaskan hasrat masing-masing hingga mencapai puncak kenikmatan setelah berganti bermacam gaya. Tiba dipuncak nikmat-syahwat, mereka pun terkulai layu saling berpelukan.
"Terima kasih, Sam. Tak disangka, setelah sekian lama mengidamkannya, akhirnya aku dapat menikmatinya sepenuh hati. Aku belum percaya, mimpiku tadi, kini jadi kenyataan?" Widya berkata lirih serta menghadiahi Sam senyum kepuasan.
"Apakah kita benar-benar Bercinta atas dasar saling suka? Bukan sekedar nafsu belaka, Widya?"
"Aku sangat menikmatinya. Entah denganmu? Jijik-kah aku di mata-mu, Sam?"
Telunjuk Sam gesit menempel pada bibir Widya, " Jangan ungkit masa yang terlewati, Widya. Kalau benar aku bisa memenuhi harapanmu, berjanjilah mulai detik ini, kamu akan meninggalkanya. Bangunlah kehidupan baru bersamaku!"
"Sungguh, Sam? Kamu menerima aku begini adanya?"
"Akan aku coba memulihkan kepercayaanku terhadap perempuan, yaitu kepadamu, Widya."
"Asal dikemudian hari kamu tak akan ungkit masa lalu-ku, sumpah demi keselamatan ibu-ku, aku tak akan mengkhianatimu, Sam. Juga aku penuhi permintaanmu, mulai detik ini, aku berhenti dari dunia hina itu, Sam," ikrar Widya matanya berkaca-kaca, antara senang dan sulit percaya dirinya begitu mudah jatuh hati pada Sam, dan Sam begitu menghargai dirinya.
"Demi keselamatan ibu-ku juga, aku berjanji tak akan pernah mengungkit masa lalu-mu," Sam mengecup kening Widya, "Aku masih perlu menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan."
"Tidurlah kembali, Sam," Widya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, juga Sam, keduanya masih telanjang bulat berangkulan di bawah selimut.
Meski hanya untuk sementara waktu saja, kekacauan pikiran Widya sebagai pelarian tergantikan oleh suka-cita. Widya tak menyangka ketertarikannya pada Sam, bersambut baik berbuah kebahagiaan bersama. Bagi Widya mimpinya dalam perjalanan tadi pagi sungguh ajaib berubah jadi kenyataan di hari yang sama. Misteri hati memang sulit dipahami, tetapi Semesta tahu cara mentautkan dua hati yang saling tulus mencintai.
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te
Sedari dua jam lalu, dengan alasan hendak menemui kolega yang menginap di hotel TP, Tyo izin pada karyawan hotel yang bertugas dan dipersilahkan oleh satuan pengamanan hotel untuk menunggu di lobi hotel dikawal dua orang teman Burhan. Mereka bertiga duduk-duduk tenang menirukan gaya seorang yang sedang mengemban urusan penting dengan tamu hotel yang hendak ditemuinya. Tyo sudah satu jam menunggu Widya yang sudah berjanji hendak menemuinya. Karena menunggu sesuatu yang membosankan, ditambah tubuh kelelahan, baik Tyo dan dua pengawalnya tertidur sejak Tyo menyudahi percakapan terakhir kali dengan Widya per-telepon, antara satu jam lalu. Ketiganya terlelap di kursi masing-masing melingkungi meja, saling berhadapan. Sedang pulas dalam tidurnya, Tyo dipaksa bangun oleh getaran ponsel di saku celananya. Mengutuk dalam hati setelah tahu siapa yang menghubnginya, tak urung Tyo menerima panggilan telepon, "Ya, Burhan?" "Belum
Minivan dipacu melampaui batas kecepatan yang tak sesuai peruntukkannya hingga Tyo dan Burhan sebagai penumpang di kursi belakang yang semula enggan menggunakan sabuk pengaman, terpaksa mereka pasangkan pada tubuhnya guna menghindari berkali-kali guncangan, akibat manufer Pengemudi yang diperintah Burhan agar segera dapat menyusul buruannya. "Apakah kita semakin mendekati mereka, Tyo?" Tanya Burhan pada Tyo yang perhatiannya tak lepas dari layar ponselnya mencermati titik target yang sedang dikejarnya. "Jarak kita dengan mereka kian mendekat. Sekitar sepuluh kilometer lagi selisih mereka dengan kita," sahut Tyo, matanya beralih memantau sekitar jalan yang dilaluinya. "Sepuluh kilometer itu, bukan jarak yang dekat, Tyo!" Gerutu Burhan. "Dibanding awal tadi kita mengejar mereka, selisih jarak dengan mereka lebih dua puluh kilometer, Burhan. Ternyata Pengemudi kita cukup bisa diandalkan dalam peng
Dua jam sejak meninggalkan Ciamis, bersama Landcrusernya kini Sam tengah melintasi daerah Banjarsari. Dari Banjarsari menyisakan satu jam untuk tiba di Pangandaran. Sam mengemudi dalam kecepatan wajar, sesuai permintaan Widya yang ingin menikmati setiap pemandangan sepanjang jalan, bertepatan malam ini merupakan malam purnama. Cahaya Bulan menciptakan gemerlap cahaya pada hamparan pematang sawah, juga menerangi pedesaan serta perbukitan yang sedang dilaluinya. "Kira-kira ke mana Truk itu membawa sepatumu, Sam?" Tanya Widya letak duduknya agak miring setengah menghadap pada Sam. "Entahlah? Dari Ciamis, tadi kita melewati kota Banjar. Kalau dari Banjar, Truk itu terus mengikuti jalan antar provinsi, Truk itu akan memasuki wilayah Jawa Tengah." "Mungkinkah Truk itu terkejar oleh Tyo dan...siapa itu namanya? Pelayan kamar itu?" "Burhan?" "Ya, Itu, Burhan. Jadi kamu mengenalinya, Sam?
"Bodoh, kalian..!" Hardik Dance dari ujung telepon setelah mendengarkan laporan dari Burhan, "...aku tidak mau kalian gagal! Kalian berempat tidak mencari cara lain, Burhan? Menemukan dan membawa mereka ke hadapanku?" "Maaf, Bos. Semua akan selesai kalau Tyo mendengarkan saranku." "Saranmu yang mana yang tak digubris Tyo?" "Andai Tyo menuruti saranku mendatangi kamarnya waktu mereka masih di hotel, mungkin kami telah membawa mereka ke hadapan Bos?" Kilah Burhan mengerling pada Tyo yang duduk di sebelahnya di sebuah rumah makan. "Bukan waktunya saling menyalahkan, Burhan! Sekarang kalian di mana?" Burhan bertanya melalui mata pada Tyo. "Banjar!" sahut Tyo disela menikmati rokok seusai bersantap malam. "Posisi kami di Banjar, Bos," Burhan meneruskan ke Dance. "Banjar?" "Betul, Bos." &n
Widya merasa jauh lebih segar setelah mandi, sisa-sisa tenaganya akibat terkuras bersama Sam karena Bercinta sepanjang malam, kini berangsur pulih tersirat dari wajahnya yang ceria. Andai tidak karena keharusan untuk segera mendatangi suatu tempat bersama Sam, Widya masih betah berleha-leha di atas pembaringan, bergumul bersama Sam di bawah selimut yang sama. Widya memutuskan tetap mengenakan pakaian kemarin sore; celana denim mini, kaos ketat tanpa lengan, dan jaket denim yang akan ia kenakan ketika di luar ruangan. Sudah menjadi ritual khusus bagi perempuan berambut panjang seperti dirinya, Widya memerlukan waktu untuk mengeringkan rambutnya terlebih dahulu sebelum merias wajah alakadarnya. Duduk di tepian tempat tidur menghadap layar televisi, Widya terpancing ingin melihat acara televisi, sekedar mengundang suasana gaduh di dalam kamar agar tidak sepi selagi Sam di kamar mandi. Layar televisi menampilkan stasiun T
Widya menebar pandang ke semua sudut pekarangan Rossline sejauh jangkauan penglihatannya. Pagar setinggi pinggang orang dewasa melindungi bagian depan Rossline, sedang dinding pagar di kiri-kanan Rossline berdiri kokoh tak kurang setinggi dua meter. Meninjau luasnya pekarangan Rossline, Widya menaksir pelataran Rossline memiliki luas lebih dari setengah luasnya lapangan sepakbola. "Sam, kita benar-benar akan memasukinya?" Widya mengamati bangunan di hadapannya mulai dari bawah hingga atap yang meruncing di atas sana. Widya perlu menengadah melihat puncak atap Rossline itu. "Kamu takut?" Sam menoleh-menatap ke wajah Widya yang nampak terpesona sekaligus terprovokasi-seram oleh bentuk bangunan Rossline. "Aku lebih suka menunggumu di hotel andai boleh memilih, Sam." "Mr. Ben seorang pengagum Borobudur. Seluruh bahan bangunan di hadapanmu itu seluruhnya dari batu," alih Sam. Widya me
Diikuti Tyo dan dua kawannya, Burhan memimpin rombongan kecil, mereka tergesa memasuki Rossline Pananjung, namun belum setengahnya memasuki ruangan Rossline yang luas itu, Burhan mengangkat sebelah tangan mengisyaratkan berhenti pada yang mengikutinya. "Tadi kita sudah ke sini. Dan gedung ini tak memiliki ruangan lain, Burhan! Utuhnya papan kayu penutup pintu pagar yang kamu rusak tadi itu, sebenarnya petunjuk kuat bahwa tidak ada yang memasuki gedung ini!?" protes Tyo. "Tadi waktu kita datang ke sini, tidak menemukan Landcruser di depan sana itu! Sekarang terbukti, mereka ada di sini!" "Kendaraannya tak terbantahkan, tapi orangnya? Mana mereka?" debat Tyo. "Bung, kalian lihat itu!?" kawan Burhan sang Pengemudi bersuara, telunjuknya menuding dua pasang jejak kaki berbeda terpatri pada lantai batu yang berdebu. Semua serempak memperhatikan jejak kaki di lantai, jejak kaki menuju k
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener
"Sesampainya ke Jakarta, bagaimana denganku, Sam? ke mana aku menuju? Polisi sudah mendatangi apartemenku. Menginap di hotel, aku tidak mau diusir seperti tadi karena wajahku telah dikenali banyak orang sebagai tertuduh?" Tanya Widya ketika sudah dalam perjalanan meninggalkan Pangandaran. "Kamu bisa tinggal di rumahku sementara waktu." Sahut Sam meski berupaya bersikap tenang, namun tetap saja kepalanya terasa berat menyusun siasat. "Bagaimana dengan ibumu jika aku berada di antara kalian untuk beberapa hari?" "Aku bisa memberi alasan yang bisa dimengerti ibuku. Juga ibuku bukan seorang yang suka berprasangka buruk pada siapapun." Widya terdiam berdetik lamanya. Sedari dirinya mengetahui Mr. Ben terbunuh, pikirannya sulit berdamai untuk bisa bersikap tenang. Isi kepalanya terasa berat dan kusut. Hanya ketika bercinta bersama Sam saja jiwanya dapat merasa tenang oleh kenikmatan birahi. Meski disadari oleh Widya, itu bukanlah sesuatu yang baik secara moral. Widya tahu apa yang dinik
Masih terbilang pagi, untuk kali kedua, Tyo datang ke rumah Dance dalam pengawalan Burhan serta dua kawannya. Mereka baru saja tiba. Kedatangan Tyo kali ini disambut hangat oleh Dance dengan segala kepura-puraan sikapnya bersimpati pada apa yang diderita kaki Tyo. Kali ini Dance menerima Tyo di ruang tamu dengan interior istimewa layaknya rumah bangsawan. Kursi mewah berbahan kulit, beberapa barang antik di sudut ruangan, lukisan karya senirupa ternama di dinding, cukup jelas memberitahukan kepada siapapun tamu yang datang bahwa pemilik rumah bukanlah orang sembarangan. "Bagaimana dengan kakimu, Tyo?" tanya Dance membuka percakapan setelah terlebih dulu mengusir Burhan dan yang lainnya bahwa dirinya hendak bicara empat mata dengan Tyo. "Seperti yang Bos lihat. Kaki ini belum bisa aku pergunakan secara sempurna." Tyo memperhatikan lututnya yang terbalut kain perban. "Bagaimana menurut dokter? Bekas luka tembak itu tidak akan membuat kakimu cacat permanen bukan?" "Tidak. Luka di kak
Seorang pria paruh baya namun nampak lebih muda dari usia sebenarnya berdiri tegak di hadapan Sam setelah ia membuka pintu kamar dan ia berdiri di mulut kamar tanpa membuka daun pintu sepenuhnya. "Selamat malam, perkenalkan, saya manajer hotel." Pria berpakaian rapih mendahului menyapa Sam, "saya sangat menyesal mengganggu waktu istirahat saudara." "Ada apa, pak?" sergah Sam mendadak tak sabar seakan telah mengetahui sesuatu yang buruk telah terjadi. Manejer hotel mencuri pandang berupaya meninjau ke dalam kamar seolah ingin memastikan ada orang lain selain Sam yang berdiri di hadapannya. "Saya berdua bersama kekasih saya." Sam menegaskan keberadaannya bersama Widya. Manajer hotel tersipu, matanya mencari-cari alasan, dan,"Mohon saudara berkenan waktunya sebentar saja untuk bicara empat mata dengan saya?" "Tidak bisa di sini saja?" Selidik Sam. "Tentu bisa. Maksud saya, bersediakah saudara menutup pintu kamar sejenak dan kita bicara di...!?" Dengan isyarat tangan yang sopan man