Bab 5
Sesampainya di garasi, kulihat pintu belakang sedikit terbuka. Aku pun langsung masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Biasanya aku selalu mengucap salam saat hendak memasuki rumah ataupun saat mau membuka butik. Tetapi untuk kali ini aku hanya mengucapkan salam di dalam hati.
Saat melewati dapur, aku terkejut mendapati piring kotor menumpuk di wastafel. Sampah plastik mie instan berserakan di atas kompor. Meja makan berantakan. Gelas-gelas yang tadi pagi telah dicuci bersih dan ditata di tempatnya telah berpindah ke wastafel. Lantai juga kotor dan berminyak.
Astagfirullah … aku mengelus dada sambil beristighfar berulang kali agar bisa menenangkan hati.
Siapa yang tidak marah jika mendapati rumah yang tadi ditinggal sudah bersih, saat pulang malah berantakan seperti kapal pecah. Tidak cukup sampai di situ, saat memasuki ruang tengah, sampah kacang kulit berserakan di mana-mana. Begitu juga dengan ruang tamu. Di atas sofa dipenuhi dengan sampah kacang kulit.
Astagfirullah, lagi-lagi aku mengelus dada sambil beristighfar. Baru sebentar wanita itu tinggal di rumah ini, keadaannya sudah seperti kapal pecah.
Apa saja sih, yang mereka lakukan sampai rumah berantakan seperti ini?
Aku sudah capek, tambah capek lagi setelah menyaksikan kondisi rumah seperti ini.
Anehnya dari tadi aku tidak melihat batang hidung Mas Farid dan wanita itu. Pikiranku terlalu fokus dengan rumah yang berantakan sehingga aku melupakan rencanaku pulang lebih awal hari ini.
Pintu kamar Rini tertutup rapat, nampaknya Rini sedang berada di dalam.
Aku memasuki kamar kami, kulihat Mas Farid sedang tidur di atas ranjang dengan hanya memakai celana hawai saja. Kuperhatikan tubuhnya berkeringat, padahal ada AC di dalam kamar ini. Aneh.
Kuletakkan tas di atas meja rias dengan sedikit keras agar Mas Farid terkejut. Benar sekali, Mas Farid akhirnya terbangun dan segera mengambil baju di lemari, kemudian memakainya.
"Sudah pulang, Dek? Tumben pulangnya cepat," tanya Mas Farid. Ia kini duduk di atas ranjang dan menatapku yang sedang melepas Khimar.
"Mas enggak senang kalau aku pulang?" tanyaku ketus.
"Bukan begitu, Dek. Biasanya kan, kamu pulangnya habis magrib. Tumben dua hari ini kamu pulang cepat?" Mas Farid malah balik bertanya padaku. Kelihatan sekali bahwa ia tidak suka aku pulang cepat. Mungkin ia senang jika aku pulang malam, jadi bisa berduaan terus dengan wanita itu.
"Tadi siang kenapa enggak ngasih kabar, Mas? Ngapain Mas pulang segala ke rumah? Mas 'kan tahu kalau aku di butik, kenapa Mas malah pulang ke rumah?" Kucecar Mas Farid dengan berbagai pertanyaan.
"E-nggak, bu-bukan begitu, Dek. Mas pikir karena kita baru kedatangan tamu, mungkin kamu nggak kerja, karena enggak enak ninggalin tamu sendirian di rumah," jawab Mas Farid terbata. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela.
"Yakin?"
"Apaan sih, Dek? Kamu kok' curigaan gitu, sih?" Mas Farid malah tersinggung dengan ucapanku.
"Jika memang enggak ada apa-apa, enggak usah sewot gitu, dong, Mas!"
"Aku juga mau tanya, Mas, kenapa rumah kita jadi berantakan? Sudah seperti kapal pecah saja! Sampah berserakan di mana-mana, dari ruang tamu sampai dapur. Kalian di rumah ngapain aja, Mas?" Kutatap Mas Farid dengan tatapan tajam, menanti jawaban darinya.
"Oh, itu. Biar nanti Mas beresin. Enggak usah diperpanjang. Mas capek," ucapnya, kemudian melangkahkan kakinya hendak keluar kamar, tapi aku menahannya.
"Mas, tadi kamu pulang jam berapa? Kok ada yang bilang kalau hari ini Mas nggak ngantor?" tanyaku penuh selidik. Mas Farid terlihat salah tingkah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku hapal betul bagaimana kelakuan Mas Farid. Jika ia sedang menyembunyikan sesuatu pasti ia akan menggaruk-garuk kepalanya. Pasti ada yang tidak beres dengannya!
"Mas, jawab dong!"
"Jangan terlalu percaya sama ucapan orang, Dek. Percaya sama suamimu saja. Mas mau mandi dulu, ya!" Mas Farid mengambil handuk kemudian meninggalkanku yang masih menunggu penjelasan darinya.
Ya Allah, sulit sekali untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi antara suamiku dan wanita itu.
Tak lama kemudian, Mas Farid kembali lagi. Wajahnya terlihat lebih segar. Ia membuka lemari dan mengambil bajunya di rak paling atas.
"Dek, bantuin Mas beresin rumah yuk," ajaknya dengan santai sambil menyisir rambutnya.
"Eggak mau! Suruh si Rini aja yang beresin. Kan kalian yang berantakin. Aku mau istirahat," jawabku ketus.
"Nggak enak nyuruh Rini, Dek. Jangan dulu ganggu dia. Kasihan, nanti dia stres loh, Dek."
"Jika Mas merasa nggak enak, biar aku saja yang menyuruhnya," tegasku. Tidak kuhiraukan lagi ucapan Mas Farid.
Enak saja, sudah numpang gratis di rumahku, sudah berantakin rumah, tapi tidak mau membereskannya. Eggak bisa dibiarkan!
Tok tok tok!
Kuketuk pintu kamar Rini, tapi tak ada jawaban. Kuketuk lagi pintunya, hingga aku mendengar sahutan dari dalam.
"Sebentar!"
Tak lama kemudian, Rini membuka pintu kamarnya. Aku sungguh terkejut saat melihatnya hanya memakai daster tipis di atas lutut. Seksi sekali!
"Ada apa, Mbak?" tanyanya cuek.
"Kamu menggunakan pakaian seperti ini di rumahku? Aku tidak suka kamu berpakaian seperti ini. Di rumah ini bukan cuma ada kamu dan aku, tapi ada suamiku juga."
"Yaelah, Mbak. Masalah pakaian juga di permasalahkan. Aku enggak berniat merebut suamimu, Mbak. Aku itu cuma kepanasan," kilahnya. Seolah tidak terima jika aku melarangnya berpakaian seperti itu.
"Ini rumahku, dan orang yang tinggal di rumah ini wajib mematuhi aturan yang kubuat," tegasku agar ia tahu diri bahwa ia hanya menumpang di rumahku.
"Ngomong-ngomong, apa saja kerjaanmu di rumah seharian? Kenapa rumah jadi berantakan seperti kapal pecah? Sekarang juga kamu bersihin, ayo cepat," perintahku kepada Rini. Aku yang dari tadi mencoba bersabar, tidak tahan lagi menghadapi sikapnya.
"Iya … iya!" Rini pun melewatiku yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tunggu, kamu tidak boleh keluar kamar dengan pakaian seperti ini. Cepat ganti!"
Rini terlihat kesal, ia berdecak sambil mengumpat, "dasar cerewet," lirihnya. Meskipun pelan, tapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu bilang apa barusan?" tanyaku dengan sorot mata tajam, mengisyaratkan kemarahan.
"Eggak ngomong apa-apa, Mbak," kilahnya. Padahal aku mendengarnya.
Aku juga ikut masuk ke kamar Rini untuk memastikan bahwa ia memakai baju yang sopan alias tidak kekurangan bahan.
"Mbak kok' ikutan masuk, sih?" Rini memonyongkan bibirnya karena tidak suka aku memasuki kamarnya.
"Kamu lupa? Ini kan rumahku, kamu hanya numpang." Aku sengaja berkata seperti itu agar ia sadar diri.
Saat menunggu Rini yang sedang mengganti pakaian, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berbeda di kamar ini. Hawanya begitu sejuk dan dingin, seperti ruangan ber-AC.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, ternyata benar bahwa kamar ini telah di pasang AC.
Sejak kapan ada AC di kamar ini? Setahuku hanya kamarku dan Mas Farid saja yang ada AC-nya.
"Siapa yang memasang AC di kamar ini, Rin? " tanyaku, tidak sabar ingin mendengar jawabannya. Berani sekali wanita ini memasangnya tanpa persetujuan dariku.
"Anu, Mbak. Begini, mm …." Ia gelagapan, sepertinya tidak tahu mau jawab apa.
"Anu apa? Jangan berbelit-belit!" Aku melipat tangan di atas dada, wanita ini benar-benar menguji kesabaranku.
Bukan Jawaban yang kudapat, melainkan suara tangisan yang kudengar. Rini malah menangis seperti anak kecil yang habis dipukul.
"Ada apa ini? Kenapa Rini menangis?" Tiba-tiba Mas Farid sudah berdiri di ambang pintu.
"Enggak tahu tuh, Mas. Aku cuma nanya, eh … dia malah nangis," jelasku pada Mas Farid.
Rini masih menangis sesenggukan, sedangkan Mas Farid tampak kasihan melihatnya.
"Aku cuma nanya masalah AC, tapi dia malah nangis. Salahku dimana, coba?" Aku mengedikkan bahu, pertanda tidak tahu perihal yang membuat Rini menangis seperti itu.
Rini pandai sekali ber acting, seperti orang yang habis disakiti, padahal aku tidak melakukan apapun padanya. Aku tahu, pasti ia ingin menarik perhatian Mas Farid.
"Oh, masalah AC. Mas yang membelinya dan menyuruh orang buat masangnya. Mas enggak tega lihat Rini kepanasan," ucap Mas Farid, seolah tanpa beban.
Keterlaluan sekali Mas Farid, ia tidak memikirkan angsuran rumah dan cicilan mobil yang harus dibayar setiap bulannya. Sekarang malah beli AC. Duit dari mana, coba! Pasti memakai uang hasil gaji Mas Farid.
Aku mendengus kesal melihat dua manusia di hadapanku. Gegas kukeluar dari kamar itu dan langsung masuk ke kamarku sambil membanting pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Aku tidak peduli!
Rasanya, aku tidak lagi mengenali suamiku. Aku sudah seperti orang lain baginya.
Bersambung
Rupanya Mas Farid menyusulku ke kamar. Melihatku membuang muka padanya, Mas Farid pun berusaha merayu agar aku memaafkannya. Tidak semudah itu, Mas!"Apa aku sudah tidak ada artinya sehingga Mas tidak meminta pendapatku tentang pembelian AC itu, Mas?" Suaraku sedikit serak, menahan tangis sekaligus amarah yang kian memuncak. "Maafin Mas ya, Dek. Mas tidak bisa menolak keinginan Rini. Tidak tega melihatnya kepanasan." Jawaban Mas Farid sungguh membuatku semakin marah. Ia lebih memilih menuruti permintaan wanita itu, sementara cicilan mobil dan rumah sudah mendekati tanggal pembayaran dan Mas Farid sama sekali belum menyerahkan gajinya bulan ini padaku. "Kamu lupa, Mas, bulan ini kita belum membayar cicilan mobil dan rumah, loh! Oh ya, hari ini Mas kan gajian, mana uangnya, Mas?" Aku menengadahkan tangan, meminta gaji suamiku yang biasanya setiap bulan tidak perlu kuminta. Tapi kali ini, aku memintanya, takut uangnya digerogoti sama wanita itu. "Maaf, Dek. Gaji mas bulan ini sudah
Pukul dua dini hari, aku terbangun dari tidurku, kepalaku terasa sakit dan pusing. Entah kenapa, sudah dua hari setiap bangun tidur kepalaku pasti sakit, ini tidak seperti biasanya.Aku terkejut saat mendapati bahwa tubuh Mas Farid ternyata tidak ada di sampingku. Ini kan sudah tengah malam, kemana Mas Farid? Kupaksakan untuk bangkit, demi mencarinya. Aku turun dari ranjang dengan pelan, tapi tiba-tiba tibuhku terjatuh ke lantai. Rasa sakit di kepalaku semakin menjadi. Aku tidak bisa melawan rasa sakit ini. Akhirnya kuputuskan untuk menunda niatku. Sudah dua malam ini kepalaku selalu sakit dan aku selalu tidur lebih awal. Tingkah Mas Farid juga semakin mencurigakan, setiap aku terbangun tengah malam, pasti Mas Farid tidak ada. Anehnya saat aku terbangun, Mas Farid sudah berada di atas ranjang, sedang terlelap. Jika kutanya, pasti Mas Farid mengatakan kalau aku hanya bermimpi. Padahal, aku yakin sekali bahwa apa yang kualami benar-benar nyata, bukan mimpi. Aku yakin, pasti Mas Fari
"Mbak, kok' bengong sih! Rini permisi dulu, mau mandi." Baru berjalan dua langkah, aku menghentikannya, "tunggu! Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Rini berhenti, kemudian berbalik menghadapku. "Ini apa? Kenapa di lehermu ada tanda merah seperti ini?" Jari telunjukku mengarah pada tanda merah di leher Rini. Ia terlihat gelagapan sambil merapikan rambutnya yang terurai untuk menutupi lehernya. "Oh, ini toh, ini bekas kerokan, Mbak! Sebenarnya semalam Rini mau minta tolong sama Mbak Adel buat ngerokin Rini, tapi Mbak Adel nya udah tidur. Jadi ngerok sendiri deh," jawabnya. Aku tidak yakin kalau itu adalah bekas kerokan. Bisa saja ia telah melakukan sesuatu. Apalagi semalam aku ketiduran, jadi tidak bisa mengawasinya. "Rini mandi dulu ya, Mbak, gerah ni," ucapnya sambil mengipas-ngipaskan tangannya pertanda bahwa ia kegerahan. Kemudian berlalu dari hadapanku. Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. Sudah banyak cerita di aplikasi KBM yang kubaca belakangan ini. Ceritanya sa
Bab 9 Kutinggalkan Rinia yang masih berada di ruang makan. Semakin lama, aku semakin muak melihatnya. Lebih baik aku ke klinik dokter Aidil saja. Disana nanti akan kutanyakan tentang bungkus obat yang kutemukan itu. Rumah yang dulu tenang dan penuh kehangatan, sekarang berubah seratus delapan puluh derajat setelah kehadiran Rini. Aku tidak tahu sampai kapan wanita itu menumpang di rumahku. Mas Farid pasti akan marah jika aku mengusir wanita itu secara paksa. Yang jelas, aku sangat keberatan. Bukan karena masalah pengeluaran yang semakin bertambah, tetapi aku khawatir kecurigaanku benar-benar terbukti. Semoga saja tidak. Setelah selesai bersiap, kuambil tas tangan dan juga kunci motor. Sebelum keluar kamar, kupastikan kalau pintu kamar benar-benar terkunci agar Rini tidak bisa memasuki kamarku. Aku tidak suka jika ada orang lain masuk ke dalam kamarku. Saat keluar kamar, tidak kutemukan lagi Rini di ruang makan. Rini memang pemalas. Ia memilih menahan lapar daripada harus memasak. M
Bab 10 Setelah memarkirkan mobil, Mas Rian membantu Bu Sari untuk membawaku ke dalam. Saat hendak memasuki klinik, kami berpapasan dengan Mas Farid dan Rini. Rini berjalan sambil memegangi perutnya, sedangkan Mas Farid memegang pundak Rini, persis seperti suami siaga. Sakit yang kurasakan semakin menjadi setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di depan mataku. Jadi ini alasanmu tidak mau mengangkat telpon dan membalas pesanku, Mas. Ternyata kamu lebih mementingkan wanita itu dari pada istrimu sendiri. Sayangkan kata-kata itu tidak sanggup kulontarkan. Karena tenagaku sudah semakin habis. Mas Farid berlaku begitu saja, tidak mengkhawatirkanku sama sekali. Seolah tidak peduli padaku. Mas Rian dan Bu Sari langsung membawaku ke dalam agar mendapatkan penanganan medis. Setelah membaringkanku di atas kasur khusus pasien, Bu Sari pun pamit karena masih ada urusan lain. Aku hanya menganggukkan kepala saat beliau berpamitan, karena kondisiku semakin lemah. Dokter langsung memerik
Bab 11Setelah dokter pergi, Mama kembali duduk di sampingku. Mama menggenggam tanganku, menatapku dengan rasa kasihan."Kenapa kamu tidak menjaga kandunganmu dengan baik, Nak? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa kaitannya keguguran yang kamu alami dengan obat tidur itu, Nak?" Mama terlihat semakin khawatir."Adel tidak tahu kalau ternyata Adel sedang mengandung, Ma. Soal obat tidur itu, sepertinya ada yang sengaja mencampurnya ke minuman Adel, Ma," jelasku pada Mama."Cerita sama Mama, Nak. Sebenarnya apa yang terjadi?" Mama mendesakku. Air mata tak bisa lagi kutahan, mengalir deras dari kelopak mata. Sungguh aku tidak sanggup menceritakan semua ini pada Mama. Takut jadi beban pikiran baginya."Nak, apapun yang terjadi, Mama akan selalu bersamamu. Ceritakan semuanya pada Mama." Mama memperkuat genggaman tangannya, mengisyaratkan bahwa beliau akan selalu ada untukku, apapun yang terjadi.Aku menarik napas dalam, kemudian menghembusnya perlahan. Ya, aku akan menceritakan semuanya pada Ma
Bab 12Terdengar suara pintu terbuka, muncullah sosok seorang lelaki yang sangat kukenal dari balik pintu itu. Ia adalah orang yang sudah mendampingiku selama empat tahun, dan ia juga lah yang telah membuatku kehilangan janinku."Dek!"Mas Farid menghampiriku, mengelus kepalaku kemudian mengecup keningku. Aku membuang muka, masih marah dan benci padanya."Ma!" Mas Farid meraih tangan Mama , tapi Mama menepisnya."Kenapa baru datang sekarang?" tanya Mama ketus."Farid baru pulang dari kantor, Ma, terus langsung pulang ke rumah!" Mas Farid menundukkan kepalanya, mungkin ia takut pada Mama. Selama menjadi menantu Mama, Mas Farid belum pernah sekalipun mendapatkan perlakuan buruk atau kata-kata kasar dari Mama. Mama sayang sama Mas Farid dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri."Maafin Farid, Ma," lirihnya, masih belum berani menatap wajah Mama."Oh ya, siapa wanita hamil yang bersamamu tadi?" Mama menatap Mas Farid dengan tatapan tajam."Itu sepupunya Farid, Ma," kilahnya untuk menu
Bab 13Mama mendorong pintu kamar tempatku dirawat dengan sedikit kasar, lalu menjatuhkan bokongnya di atas kursi sambil menghela napas.Aku pun heran melihat sikap Mama yang tidak seperti biasanya. Akhirnya aku pun bertanya, "Mama kenapa, kok' kelihatannya kesal begitu?""Bukan hanya kesal, Del, Mama marah, kecewa dan juga benci kepada suamimu itu.""Kenapa lagi, Ma?""Ternyata kecurigaan kita benar, Del. Suamimu ada main sama wanita itu. Tadi Mama habis dari ruangan dokter, Mama meminta rekam medis pasien yang bernama Rini itu. Awalnya dokter menolak, tapi setelah Mama memberikan alasan, akhirnya dokter menyuruh asistennya untuk mengambil rekam medisnya Rini dan mengizinkan Mama melihatnya. Di dalamnya tertulis bahwa Farid adalah ayah dari anak yang ada di dalam kandungan Rini," ungkap Mama. Mama beristighfar berulang kali untuk meredam emosinya. Agar sakit jantungnya tidak kumat lagi.Astaghfirullah ... aku menggeleng pelan, tidak menyangka jika Mas Farid setega itu padaku.Aku mem
Bab 68"Mbak Adel," tangan Rini bergerak, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun menurutinya, mendekat ke arah Rini."Mbak, maafin Rini, ya! Rini telah merusak rumah tangga Mbak Adel dengan Mas Farid. Mas Farid tidak bersalah, Mbak. Rini lah yang sudah menjebak dan memaksa Mas Farid. Ini semua adalah kesalahan Rini. Rini mohon, berikan kesempatan kedua buat Mas Farid, Mbak. Mas Farid sangat menyayangimu, Mbak."Rini kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Mulai dari penolakannya saat dilamar oleh Mas Farid, sampai akhirnya ia nekat menyusul Mas Farid ke kota. Di stasiun seorang preman menawarkan bantuan, dan preman itulah yang menjebaknya dan merenggut kesuciannya. Rini juga menceritakan semua kisah pilunya saat dijual oleh preman tersebut hingga akhirnya ia terjebak, menjadi wanita penghibur di tempat prostitusi.Rini juga bercerita saat ia menjebak Mas Farid, hingga ia hamil dan tidak tahu anak siapa. Karena Rini tidak hanya berhubungan dengan Mas Farid, ia juga melakukan hubun
Bab 67Aku, Mas Farid, Ibu dan juga Mama, kini berada di rumah sakit umum, di ruang rawatnya Rini.Entah apa yang terjadi pada Rini sehingga kondisinya kritis seperti itu. Rini berbaring lemah tak berdaya di atas kasur yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Di hidungnya dipasang selang pernapasan, sedangkan di punggung tangannya terdapat selang infus.Mas Farid tertunduk lesu melihat kondisi istrinya itu, sementara ibu mertua, entahlah. Aku tidak bisa menerka-nerka bagaimana perasaannya saat ini.Tak lama kemudian, seorang anggota kepolisian datang menghampiri kami. Beliau kemudian menjelaskan kondisi Rini kepada kami."Selamat pagi, Pak, Bu. Tadi, pasien sempat siuman, dia meminta agar kami menghubungi saudari Adel. Katanya ada hal penting yang ingin ia katakan pada saudari Adel," ucapnya sambil memandangi tubuh Rini yang kini sedang berbaring lemah tak berdaya."Sebenarnya, apa yang terjadi pada Rini, Pak?" tanya Mama penasaran. Ternyata Mama sama denganku, aku juga ingin menany
Bab 66Kembali? Berarti Mas Farid telah salah mengira. Ia pikir dengan aku memaafkannya, aku akan bersedia kembali lagi padanya. Aku memang sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kembali lagi padanya."Tidak, Mas. Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, maaf aku tidak bisa," ucapku dengan tegas."Itu berarti, kamu belum ikhlas maafin Mas, Dek. Mas harus meyakinkanmu dengan cara apa lagi? Biar kamu tahu betapa Mas sangat mencintaimu?" Mas Farid terlihat frustasi, hingga ia menjambak rambutnya sendiri."Apa karena kaki Mas sudah cacat? Makanya kamu tidak bersedia lagi menerima Mas? Jawab, Dek." Mas Farid terus mendesakku agar menjawab pertanyaannya."Sejujurnya, bukan karena kondisi fisikmu yang membuatku tidak mau lagi bersama denganmu, Mas. Tetapi karena kebohongan dan juga pengkhianatanmu itulah yang membuatku enggan untuk kembali lagi bersamamu," tegasku lagi agar Mas Farid bisa mengerti.Andai saja Mas Farid tidak mengkhianatiku, mungkin saat ini aku masih setia mendampingi
Bab 65. POV AdeliaSyukurlah, akhirnya Rini ditangkap polisi. Kini tidak ada lagi yang mengusik ketenanganku. Sekarang, Rini sudah mendekam di dalam penjara, ia pantas menerima balasan atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.Mas Farid juga sudah siuman dan kini kondisinya sudah semakin membaik. Mas Farid telah keluar dari rumah sakit dan kini ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sedangkan Mas Rudi, memilih untuk kembali lebih dulu ke kampung karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak dan istrinya.Sejak Rini ditangkap polisi, aku tidak pernah lagi menjenguk Mas Farid. walaupun Ibu dan Mas Rudi berulang-kali menelponku dan memintaku untuk datang, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka.Ibu bilang, Mas Farid ingin sekali bertemu denganku, dan ia juga ingin meminta maaf padaku.Aku tidak berniat lagi untuk menemui Mas Farid. Bagiku, ia bukan siapa-siapa lagi, meskipun kami belum resmi bercerai. Tapi sekarang, proses perceraian kami sedang diproses dan sebentar lagi ka
Bab 64Semenjak Mbak Adel ninggalin rumah, Mas Farid selalu murung, apalagi setelah kami pindah ke kontrakan karena rumah tersebut sudah disita.Aku sudah mencoba menghiburnya, melakukan apapun agar bisa menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padaku. Tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja tidak berhasil.Hingga pada suatu hari, Mas Farid nekat menemui Mbak Adel di butiknya. Aku tahu, pasti Mas Farid ingin membujuk Mbak Adel agar mau balikan padanya.Usaha Mas Farid gagal total karena aku berusaha memanas-manasi Mbak Adel dengan cara meminta harta gono-gini. Aku sudah tahu bahwa butik itu milik Mbak Adel, aku sengaja melakukannya agar Mbak Adel semakin kesal.Mas Farid terlihat kesal saat seorang ibu-ibu datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya Mbak Adel.Mas Farid tidak terima, bahkan sampai adu jotos dengan lelaki itu.Aku dan Mbak Adel berusaha untuk melerai mereka, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Mbak Adel memilih untuk pergi meni
Bab 63Akhirnya, aku nekat mendatangi rumah Mas Farid. Aku ingin tinggal bersama Mas Farid dan istrinya. Awalnya Mas Farid menolak, tapi akhirnya ia setuju setelah aku kembali mengancamnya. Saat Mbak Adel mendapati bahwa aku telah berada di rumahnya, ia terlihat tidak suka dan sepertinya menaruh curiga. Tapi aku beralasan bahwa aku adalah sepupunya Mas Farid dan suamiku sudah meninggal. Dengan berat hati, Mbak Adel mengizinkanku tinggal di rumah mereka. Rumah yang akan menjadi milikku juga.Hidup satu atap bersama Mas Farid dan istrinya membuatku tidak nyaman. Aku ingin, Mas Farid menjadi milikku satu-satunya. Aku tidak ingin berbagi.Aku sengaja berlagak seperti tuan putri di rumah itu agar Mbak Adel merasa tidak tenang dan akhirnya pergi meninggalkan Mas Farid. Aku sengaja membuat Rumah berantakan seperti kapal pecah, dengan begitu aku berharap agar mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.Aku juga sering meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti AC misalnya. Agar Mbak Adel cembur
Bab 62Bus yang aku tumpangi sudah tiba di terminal. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke kampung halaman. Desa tempat tinggalku merupakan desa terpencil, sehingga tidak bisa dilintasi oleh bus. Hanya mobil angkot lah satu-satunya angkutan umum di desaku.Sambil menunggu angkot, aku menyempatkan diri mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Untungnya, tadi Bang Zon menghentikan motornya di sebuah butik dan menyuruhku untuk membeli beberapa helai pakaian. Menurutnya, pakaian yang kukenakan tidak pantas dipakai oleh wanita baik-baik. Yah, Bang Zon menginginkan agar aku berubah menjadi wanita yang lebih baik setelah keluar dari tempat tersebut.Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke tempat semula. Ternyata di sana sudah ada angkot yang menunggu penumpang.Aku pun segera menaiki angkot tersebut dan tidak lupa menyebutkan nama kampungku.Di tengah perjalanan, angkot yang aku tumpangi tiba-tiba mogok. Sementara, penumpangnya tinggal aku sendiri dan saat ini k
Bab 61"Mampir ke cafe dulu ya, Bang. Rini lapar nih," ucapku kepada Bang Zon saat kami dalam perjalanan pulang menuju tempat pros--titusi yang sudah menjadi tempat tinggalku. "Iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala.Saat Bang Zon menghentikan laju motornya di depan cafe, aku melihat sosok seorang lelaki yang selama ini ku cari-cari. Lelaki itu adalah Mas Farid, lelaki yang sangat kurindukan dan sangat kucintai.Mas Farid keluar dari dalam cafe, bergandengan tangan dengan seorang wanita berhijab. Parasnya sangat cantik dan ayu. Aku tidak tahu siapa wanita itu.Tanpa terasa, bulir bening mengalir dari sudut netra saat melihat dengan langsung sang pujaan hati bergandengan dengan wanita lain. Ingin segera kupeluk lelaki yang sangat kucintai itu, tapi kuurungkan niatku. Tidak mungkin aku menemuinya dengan penampilanku yang seperti sekarang, apalagi Mas Farid sedang bersama dengan wanita lain.Aku masih berdiri, mematung di depan cafe sambil memandangi Mas Farid dari belakang. Mas Fari
Bab 60Saat membuka mata, aku shock bukan main saat mendapati lelaki yang sudah berumur, tidur satu selimut denganku. Tubuhku hanya ditutupi oleh selimuti, begitu juga lelaki itu, ia juga sama sepertiku.Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir dengan deras begitu saja. Aku sudah kotor, najis dan hina. Tubuhku sudah tidak suci lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibku."Kamu kenapa nangis?" Lelaki tersebut mendekat dan mencoba untuk mengelap air mataku. "Jangan sentuh aku," bentakku, membuat ia terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidur."Nggak usah munafik. Kamu 'kan melakukannya bukan untuk yang pertama kalinya, kenapa malah menangis seperti itu? Kayak baru kehilangan keperawanan aja," ejeknya sambil memunguti bajunya yang berserakan di lantai."By the way, om suka pelayananmu. Lain kali, om akan boo-king kamu lagi," ucapnya. Setelah itu, lelaki itu pun pergi.Tubuhku masih dibalut oleh selimut. Perlahan, aku bangkit dari atas ranjang, memunguti pakaianku yang jug