Hari yang di nanti-nantikan Martin dan Diana telah tiba. Pagi ini pernikahan akan segera di langsungkan di taman bunga dengan konsep outdoor, beberapa bunga mawar merah menghiasi taman tersebut. Saat ini, suasana di sekitar mansion Martinez terlihat ramai yang kedatangan tamu undangan satu-persatu. Kini, para tamu undangan tengah menunggu calon mempelai wanita untuk melangkah ke depan altar, di mana Martin sudah berdiri tegap dengan tuxedo hitam melekat di tubuhnya. Ia terlihat tampan dan gagah. Senyum sumringah pun tak pudar dari wajahnya sedari tadi. Di sampingnya, B dan Lopez pun berdiri bersamanya, sebagai pendamping pria. Sesekali B melirik-lirik Ursula yang duduk di barisan paling depan. Wanita itu nampak anggun hari ini mengenakan balutan dress panjang berwarna pink. "Awas saja Diana, kalau sudah selesai pemberkatan, aku akan mencincang tangannya nanti!" Di sebelah Ursula, Martha duduk sambil mengumpat kesal kala kemarin tiba-tiba diundang ke pernikahan Diana dan Martin. Di
"Dasar anak kurang ajar! Mengapa kau gengsi meminta maaf pada Martin? Kau pikir Mama tidak tahu isi pikiranmu itu! Pasti kau sudah tahu pelaku sesungguhnya! Kau sengaja membuat huru-hara di sini agar bisa melihat pesta adikmu kan!""Oh my, hentikan Ma!" Pukulan bertubi-tubi Theodore dapatkan. Theodore merendahkan tubuh, melindungi diri dari tangan Helena yang tak berhenti bergerak di punggungnya sedari tadi. Theodore tak mengira Helena mengetahui jika bukanlah Martin si pelaku, melainkan Sephire yang menyuruh Margaret menculik Ameli. Dahulu, ia dan Sephire memang memiliki masalah internal. Selama seminggu ini anak buahnya menelusuri lebih dalam lagi. Kelucuan Ameli saat masih bayi membuat Margaret mengurungkan niatnya memberi Ameli kepada Sephire. Ia kabur dan selalu bersembunyi hingga pada akhirnya Sephire melihatnya di jalan. Margaret pun mencari akal agar Sephire tak membunuh Ameli. Ia meninggalkan Ameli di jalanan. Kendati demikian, pelaku yang menabrak mobil belum tahu siapa.
"Jangan berkata seperti itu, apa Anda tidak kasihan dengan Mister Martin. Hanya Anda yang dia punya.""Tidak Lopez, justru dia masih memiliki keluarga di California, keluarga yang tidak mengetahui keberadaannya. Sampai hari ini mereka pasti sedang mencari bocah lelaki yang aku ambil dari mereka.""Mister tidak mengambilnya, kalian bertemu karena sudah takdir." Lopez menatap sendu, pria tua nan malang di hadapannya. Kepala Pablo menggeleng-geleng pelan. Ia menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Mengingat betapa kejamnya ia dahulu. Telah berhasil menanamkan kebencian pada seorang anak laki-laki. Lingkar matanya mulai memerah dan pandangannya sedikit buram."Tidak, aku memang mengambilnya, seharusnya aku bisa mengontrol emosiku malam itu ...." Pablo—lah yang membunuh Albert, teman, sahabat sekaligus musuhnya. Cinta segitiga di antara Maria, ia dan Albert membuat Pablo gelap mata."Tapi semua itu terjadi karena Albert menyiksa Maria, bukan sepenuhnya salah Anda, hal yang wajar dilakuka
Pada akhirnya semua akan kembali ke tempat semula. Lahir ke dunia hanya lewat dan singgah sebentar. Begitu pula dengan Pablo. Penyakit menua yang diderita Pablo selama ini. Membuat lelaki paruh baya yang tidak memiliki sanak saudara alias sebatang kara itu, diambil kembali oleh sang semesta. Semalam, tangis menggema di sudut-sudut mansin Pablo. Martin datang ke kamar. Memeluk tubuh ringkih Pablo yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Pecah tangisnya, pria tua yang ia amat sangat sayangi, pergi untuk selama-lamanya. Bagaikan batu besar menghimpit dada, Martin tak mampu membendung air mata. Pria berhati dingin itu meraung histeris bagai orang kesetanan. Dipeluknya Pablo, diciumnya berkali-kali kening sang papa begitu lama. Tak hanya Martin, seluruh anak buah Pablo pun menangis pilu. Diana, Helena dan Theodore ikut merasakan kesakitan yang dirasakan Martin. Semuanya berkabung tanpa terkecuali. Tepat pagi ini, gereja katedral telah ramai dengan kedatangan teman-teman Pablo, hendak meng
Martin enggan menanggapi. Namun, keningnya berkerut samar-samar, sedikit heran. Dengan cepat ia mengambil kertas dari tangan Lopez sambil matanya melirik Diana sekilas di samping. "Bacalah seorang diri, Mister," sahut Lopez lagi. Kali ini berhasil membuat Diana mengerutkan dahi. "Hmm." Martin membalas berdeham rendah. Lopez pun membalikkan badan dan melangkah cepat, menjauhi Diana dan Martin yang saling lempar pandangan. "Sebaiknya kau mandi saja dulu, selepas itu bacalah surat ini ya." Diana menyentuh perlahan pundak Martin. Dia tak mau suaminya jatuh sakit. Terlebih saat ini bibir Martin terlihat sedikit bergetar, menahan gigil akibat terpaan air hujan tadi. "Iya Sayang, ayo kita masuk." Tanpa ekspresi sama sekali Martin menanggapi. Setelahnya ia masuk bersama Diana ke kamar. Tak lama, setelah membersihkan diri dan meminum teh hangat racikan Diana. Martin mulai meraih lembaran kertas di atas meja rias Diana lalu berbalik badan dan berjalan cepat menuju tempat tidur sambil memb
Hening melanda.Martin mengurai pelukan, perlahan-lahan memegang pinggang Diana. Ketakutan merayap hatinya seketika, akankah Diana memaafkan kesalahannya. Semula Martin ingin menyimpan rapat-rapat rahasianya tersebut. Namun, mengingat bahwa kelanggengan sebuah pernikahan, dengan saling terbuka satu sama lain. Martin dilanda dilema dan mencoba untuk berkata jujur saat ini. Pengantin baru itu menatap satu sama lain tanpa mengedipkan mata. Diana bergeming, ekspresi wajahnya tak dapat terbaca sama sekali. "Sayang, aku minta maaf," lirih Martin tatkala Diana hanya diam saja dengan bibir tertutup rapat sejak tadi. "Aku melakukan sesuatu yang membuat semua orang berkubang dalam dendam. Maafkan aku, walau sebenarnya aku tak pantas dimaafkan."Martin mencoba menilik lebih dalam mata Diana. Untuk pertama kalinya ia tak dapat menebak isi pikiran Diana. Pemilik rambut emas itu bungkam. Dalam hitungan detik, pupil mata Martin melebar. Manakala melihat senyuman tipis terpatri di wajah Diana sek
Sebulan kemudian. Honolulu, Hawaii, bagian Amerika Serikat."Sayang sudah, aku capek, ayo kita berjalan-jalan keluar, aku ingin menikmati bulan madu ini bukan hanya di tempat tidur saja." Sedikit kesal Diana. Sudah dua hari di Honolulu. Tapi, dari kemarin hanya di dalam kamar saja. Pagi ini, sudah kali Martin menggempur tubuhnya. Jejak-jejak kemerahan di leher dan dadanya menjadi tanda betapa bringasnya Martin di atas ranjang. Dengan bibir merengut ke bawah, Diana menatap ke arah pintu yang menghadap ke laut, memperlihatkan matahari mulai naik perlahan-lahan. Martin malah terkekeh-kekeh dan menghentikan pergerakkan pinggul sambil mengecup pelan punggung mulus Diana. Batang miliknya belum juga ia keluarkan. Sedari tadi memompa tubuh Diana dengan posisi samping. "Satu ronde lagi, setelah itu kita mandi lalu makan dan berjalan-jalan." Diana menoleh ke belakang. Menatap Martin dengan tatapan memelas. Sebab badannya terasa remuk dan lemas akibat permainan Martin. "Sekarang saja Sayang
"Martin!" Diana menghampiri, menyentuh pundak Martin hendak menenangkan emosinya. Seluruh keluarga masih berteriak histeris. Hanya sang kakek dan Benjamin diam dengan mimik wajah datar, tanpa ekspresi. "Martin, dia Bibimu, turunkan senjatamu!" Isabel pun tak kalah paniknya lantas mendekat sambil sesekali melirik Benjamin. Meminta pertolongan. Akan tetapi, pria bertubuh tegap itu tak berniat sekalipun mendekat. Isabel heran dan semakin panik. Ia pinta anak ketiga dan keempatnya, takut-takut mereka karena Benjamin memberi perintah untuk duduk di tempat. Tegang, semuanya semakin tegang. Irene mulai menangis. Air mata mengalir dari sudut mata, membasahi pipi mulusnya itu dalam sekejap. Agak kesal Isabel. Lalu menatap Martin lagi. "Martin, maafkanlah Irene, dahulu bibimu masih muda, dia—""Diam, Nek! Jangan ikut campur urusanku, aku hanya ingin bermain-main sebentar dengannya!" Martin langsung menyela dengan mata melotot keluar. Isabel tersentak dan semakin panik. Sebab Martin mulai