Dogfight : Duel di Udara Roger : Diterima
Author minta maaf kemarin ada kesalahan di bab 71, seharusnya kabelnya warna pink bukan warna hitam, sudah author perbaiki, nggak fokus kemarin, menulisnya di hp, laptop author rusak, kalau ada kesalahan atau typo komentar saja ya. Trims ***"Kenapa kau tembak pesawat mereka hah?!" Theodore melempar pistol ke kepala anak buahnya, yang menjadi pilot di pesawat satunya. Dia terlebih dahulu kembali ke gedung pribadi miliknya. Sedari tadi berusaha mengecoh para tentara yang hendak menangkapnya. Berhasil, berkat bantuan polisi. Untuk saat ini persembunyiannya belum terdeteksi. "Maaf Mister, lagipula aku juga tidak menembak pesawat mereka sampai hancur." Pilot tersebut sedikit heran dengan tanggapan Theodore, bukannya senang, Theodore malah marah. Bukankah rencana awal ingin membunuh Martin. "Ck, di mana mereka sekarang?!" tanya Theodore. "Mister, pesawat mereka terseret ke angin puting beliung jadi—"Belum juga pria itu menyelesaikan kalimatnya, Theodore langsung memotong. "Apa?" Mata
"Huhuhu!" Para kumpulan manusia aneh itu tiba-tiba menghentikan langkah kaki, kemudian mengeluarkan suara-suara aneh sambil mengangkat tombak ke udara. Kulitnya terlihat berwarna cokelat, dihiasi tato-tato bercorak aneh, rambutnya panjang dan diikat ke belakang serta tak ada alis mata terlihat di wajah mereka. Hampir semua di dominasi para lelaki, tak memakai baju dan hanya bagian alat vitalnya yang ditutupi dengan daun. Mereka pun tidak mengenakan alas kaki. Dengan cepat Martin meraih tubuh mungil Angela lalu membawa putrinya itu ke belakang. Diana langsung meraih tangan Angelo. B dan Lopez pun berdiri di samping Martin seraya memasang sikap waspada. "Cukule, kuku, lele, cuk, cuk, cuk, huhuhu," sahut salah satu di antara mereka sambil menatap tajam ketiga pria dewasa secara bergantian. Sontak B dan Lopez mengerutkan dahi. "Apa kau mengerti? Aku tidak mengerti," sahut B melirik Lopez sekilas. Lopez mengedikkan bahu sejenak. "Kau pikir aku mengerti.""Maaf kami tidak mengerti ba
Dor! Dor! Dor!Bunyi tembakan disertai suara tawa menggema di sekitar. Martin, B dan Lopez berkali-kali menembakkan timah panas ke arah buah Theodore sebanyak lima belas orang. Tentu saja ia kalah jumlah. Terlebih, pakaian anti peluru yang mereka kenakan membuat kulit mereka tak dapat ditembus. "Diana!" teriak Martin sambil melirik ke tenda kecil, di mana si kembar masih tertidur pulas. Martinez pun menyalak sedari tadi kala mendengar keributan. Diana hendak memberontak. Akan tetapi, Theodore berhasil memukul tengkuknya dengan kuat hingga membuat Diana pingsan. Dengan cepat dia menaruh tubuh Diana di pundak lalu berlari gesit menuju pesawat tempur. Bersamaan pula para anak buah Theodore mundur tanpa menghentikan serangan pada B dan Lopez. "Diana, sialan kau kembalikan kekasihku!!!" Martin murka, matanya memerah dan menyala-nyala bak kobaran api yang siap meluluh lantakan pulau tanpa nama tersebut. Dengan gesit dia berlari ke depan sambil melontarkan timah panas berulang kali ke pes
"Kau tidak berhak !" lontar Diana. Lalu memberontak dengan kuat tatkala Theodore mencekal pergelangan tangannya barusan."Kenapa aku tidak berhak hah?! Aku ini abangmu!" Tatapan tajam Theodore, tak membuat Diana gentar. Saudara sedarah yang baru disatukan itu, saling menilik dan menatap tajam satu sama lain. Sampai-sampai keheningan pun tercipta sesaat di antara mereka. Di luar jendela, Martin memperhatikan dengan seksama interaksi keduanya. Secara perlahan dia mencoba menodongkan pistol ke kepala Theodore, bersiap-siap bila Theodore menyakiti Diana. Maka pelurunya akan bersarang di kepala Theodore. Di bawah sana, B dan Lopez telah berhasil melumpuhkan anak buah Theodore sehingga pria bermata cokelat itu dapat leluasa masuk ke wilayah musuh. "Kau belum tentu Ab ...." "Apa kau meragukan perkataan Mama, Nak?" Diana enggan meneruskan. Lidahnya mendadak kaku dan kelu. Helena tiba-tiba menghampiri sambil memegang pundak sebelah kanannya, memberi sentuhan, yang membuat hatinya menghan
Hari yang di nanti-nantikan Martin dan Diana telah tiba. Pagi ini pernikahan akan segera di langsungkan di taman bunga dengan konsep outdoor, beberapa bunga mawar merah menghiasi taman tersebut. Saat ini, suasana di sekitar mansion Martinez terlihat ramai yang kedatangan tamu undangan satu-persatu. Kini, para tamu undangan tengah menunggu calon mempelai wanita untuk melangkah ke depan altar, di mana Martin sudah berdiri tegap dengan tuxedo hitam melekat di tubuhnya. Ia terlihat tampan dan gagah. Senyum sumringah pun tak pudar dari wajahnya sedari tadi. Di sampingnya, B dan Lopez pun berdiri bersamanya, sebagai pendamping pria. Sesekali B melirik-lirik Ursula yang duduk di barisan paling depan. Wanita itu nampak anggun hari ini mengenakan balutan dress panjang berwarna pink. "Awas saja Diana, kalau sudah selesai pemberkatan, aku akan mencincang tangannya nanti!" Di sebelah Ursula, Martha duduk sambil mengumpat kesal kala kemarin tiba-tiba diundang ke pernikahan Diana dan Martin. Di
"Dasar anak kurang ajar! Mengapa kau gengsi meminta maaf pada Martin? Kau pikir Mama tidak tahu isi pikiranmu itu! Pasti kau sudah tahu pelaku sesungguhnya! Kau sengaja membuat huru-hara di sini agar bisa melihat pesta adikmu kan!""Oh my, hentikan Ma!" Pukulan bertubi-tubi Theodore dapatkan. Theodore merendahkan tubuh, melindungi diri dari tangan Helena yang tak berhenti bergerak di punggungnya sedari tadi. Theodore tak mengira Helena mengetahui jika bukanlah Martin si pelaku, melainkan Sephire yang menyuruh Margaret menculik Ameli. Dahulu, ia dan Sephire memang memiliki masalah internal. Selama seminggu ini anak buahnya menelusuri lebih dalam lagi. Kelucuan Ameli saat masih bayi membuat Margaret mengurungkan niatnya memberi Ameli kepada Sephire. Ia kabur dan selalu bersembunyi hingga pada akhirnya Sephire melihatnya di jalan. Margaret pun mencari akal agar Sephire tak membunuh Ameli. Ia meninggalkan Ameli di jalanan. Kendati demikian, pelaku yang menabrak mobil belum tahu siapa.
"Jangan berkata seperti itu, apa Anda tidak kasihan dengan Mister Martin. Hanya Anda yang dia punya.""Tidak Lopez, justru dia masih memiliki keluarga di California, keluarga yang tidak mengetahui keberadaannya. Sampai hari ini mereka pasti sedang mencari bocah lelaki yang aku ambil dari mereka.""Mister tidak mengambilnya, kalian bertemu karena sudah takdir." Lopez menatap sendu, pria tua nan malang di hadapannya. Kepala Pablo menggeleng-geleng pelan. Ia menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Mengingat betapa kejamnya ia dahulu. Telah berhasil menanamkan kebencian pada seorang anak laki-laki. Lingkar matanya mulai memerah dan pandangannya sedikit buram."Tidak, aku memang mengambilnya, seharusnya aku bisa mengontrol emosiku malam itu ...." Pablo—lah yang membunuh Albert, teman, sahabat sekaligus musuhnya. Cinta segitiga di antara Maria, ia dan Albert membuat Pablo gelap mata."Tapi semua itu terjadi karena Albert menyiksa Maria, bukan sepenuhnya salah Anda, hal yang wajar dilakuka
Pada akhirnya semua akan kembali ke tempat semula. Lahir ke dunia hanya lewat dan singgah sebentar. Begitu pula dengan Pablo. Penyakit menua yang diderita Pablo selama ini. Membuat lelaki paruh baya yang tidak memiliki sanak saudara alias sebatang kara itu, diambil kembali oleh sang semesta. Semalam, tangis menggema di sudut-sudut mansin Pablo. Martin datang ke kamar. Memeluk tubuh ringkih Pablo yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Pecah tangisnya, pria tua yang ia amat sangat sayangi, pergi untuk selama-lamanya. Bagaikan batu besar menghimpit dada, Martin tak mampu membendung air mata. Pria berhati dingin itu meraung histeris bagai orang kesetanan. Dipeluknya Pablo, diciumnya berkali-kali kening sang papa begitu lama. Tak hanya Martin, seluruh anak buah Pablo pun menangis pilu. Diana, Helena dan Theodore ikut merasakan kesakitan yang dirasakan Martin. Semuanya berkabung tanpa terkecuali. Tepat pagi ini, gereja katedral telah ramai dengan kedatangan teman-teman Pablo, hendak meng