"Martin, aku mencintaimu, aku tidak rela melihat kau menyentuh wanita lain, selain aku ...."
Sedari tadi Cordelia menitihkan air mata kala mendengar Martin akan mencari wanita lain bermaksud ingin mendapatkan anak. Karena sampai saat ini Cordelia tak kunjung hamil. Cordelia tahu jika tetua alias papa angkat Martin memerlukan keturunan untuk melanjutkan bisnis hitam Martin.Martin duduk di sofa sambil memegang cerutu. Asap terlihat udara, menandakan cerutu baru saja disesap. Mata elang nan tajam itu memandang ke arah Cordelia sedang terduduk di atas lantai sejak tadi."Lalu apa yang harus aku lakukan, Cordelia? Kemarin Papaku bertanya kapan kau akan hamil? Sebelum papa pergi, dia memintaku untuk segera memberinya seorang pewaris. Kau tahu sendiri kan, Papa hanya memiliki aku saja.Di umur tujuh tahun, Martin Martinez sudah tidak lagi memiliki orang tua. Orang tua kandungnya dibunuh oleh komplotan mafia lain. Masa lalu kelam mempertemukan Martin dengan Pablo. Pablo yang kebetulan tidak mempunyai istri ataupun sanak saudara, mengangkat Martin menjadi anaknya dan mengganti nama belakang Martin menjadi Martinez. Bisnis Pablo di antaranya adalah narkoba, perdagangan senjata ilegal, perdagangan organ manusia, dan masih banyak lagi.Pablo adalah kartel narkoba terkenal di Venezuela. Hanya segelintir orang yang mengetahui bisnis rahasia Pablo. Perusahaan yang diwariskan Pablo kepada Martin hanyalah kedok semata, untuk penyeludupan barang-barang ilegal tersebut."Tunggulah beberapa bulan lagi, Martin. Aku sangat mencintaimu ...."Martin enggan menanggapi, matanya masih menatap lurus ke depan. Dia tak menyangka wanita yang pernah ditemuinya di club begitu cinta padanya. Martin menikahi Cordelia atas perintah Pablo. Meskipun di awal ia tak langsung menikahi Cordelia, melainkan Diana. Di hari pernikahan, Cordelia menghilang tiba-tiba. Dia kembali lagi saat di hari perceraiannya dengan Diana. Cordelia mengatakan dia diculik oleh seseorang, Martin tak peduli. Namun, karena titah Pablo pernikahan harus tetap dilanjutkan, mau tak mau setelah bercerai dia menikahi Cordelia.Awal pertemuan dengan Cordelia. Berlangsung sangat cepat waktu itu, saat Martin menghadiri pertemuan bersama tetua-tetua di club. Cordelia tak sengaja menabrak tubuhnya dan berakhir Pablo meminta Martin menjalin hubungan dengan Cordelia. Martin pun berusaha mendekati Cordelia meski tak mencintai wanita tersebut. Hati Martin begitu keras dan dingin sehingga sampai saat ini belum pernah merasakan cinta.Sedari kecil Martin mendedikasikan hidupnya kepada perkerjaan. Martin berkerja tanpa mengenal rasa lelah, dari subuh hingga menjelang malam buta. Hal itulah yang membuat Pablo kagum padanya. Martin benar-benar melebarkan bisnis hitam Pablo tidak hanya di Caracas saja, di luar ibu kota bahkan keluar pulau.Saat ini, Martin tengah berada di kota Puerto La Cruz. Tak begitu jauh dengan ibu kota. Kota Puerto ini berdekatkan dengan lintang khatulistiwa dan sedang mengalami musim panas. Beberapa bulan lalu Martin sering datang kemari hendak meninjau pembangunan gedung baru. Besok dia akan meresmikan gedung yang akan mulai beroperasi di sini."Martin, kenapa kau diam?" Cordelia mendekat. Air matanya membuat riasan di wajah luntur sekarang. Maskara hitamnya terlihat di bawah mata."Hmm, baiklah. Malam ini aku akan bertemu Papa untuk membicarakannya." Martin menyesap kembali cerutu tersebut kemudian menghembuskan asap ke udara kembali.Cordelia tersenyum tipis lalu menghapus jejak air mata."Terima kasih, Martin. Jangan pernah menyentuh wanita lain selain aku ya," ujar Cordelia sambil duduk di samping Martin lalu menyenderkan kepala di bahu lebar Martin.Martin hanya diam saja, memandang ke depan dengan raut waja datar. Pria beriris cokelat itu tak berniat melirik Cordelia. Dalam sepersekian detik, Martin mendorong pelan kepala Cordelia dan bangkit berdiri."Aku mau keluar, kau di sini saja." Tanpa mendengar tanggapan Cordelia, Martin bergegas pergi menuju pintu."Ahk! Sialan!"Setelah melihat pintu ditutup rapat Cordelia langsung berteriak histeris. Cordelia kesal hubungannya dengan Martin tak ada kemajuan. Kemarahan merasuk hatinya ketika Martin mengabaikannya lagi. Wajahnya yang sendu sekarang nampak angkuh."Ursula!!!" Cordelia memekik seketika, memanggil asisten pribadi yang berada di luar ruangan sedari tadi.Saat mendengar namanya dipanggil, dengan buru-buru Ursula masuk ke dalam lalu membungkuk hormat."Iya Nona." Mata Ursula mengedar sejenak, melihat ruangan dalam keadaan baik-baik saja. Menarik napas lega, Ursula mencoba mendekati Cordelia. Meski mimik muka majikannya sekarang tak enak dipandang. Namun, dia tak mau terkena amukan Cordelia."Pergi kemana Martin tadi?" tanya Cordelia setengah berteriak."Tuan pergi ke bawah bersama tangan kanannya, Nona." Kepala Ursula menunduk. Suatu titah yang harus dilakukan jika berhadapan dengan Cordelia.Cordelia bangkit berdiri. "Cih! Hanya itu saja, apa lagi yang dikatakan Martin?""Um, tadi Tuan juga bilang dia akan pergi ke perusahaan sebentar, melihat proses peresmian besok dan tidak akan pulang malam ini." Ursula menyampaikan perkataan Martin apa adanya tidak ditambah ataupun dikurang-kurangi.Rahang Cordelia semakin mengetat, pupil matanya melebar lagi. Martin seakan memberi batasan dengannya. Sampai saat ini Cordelia tak tahu bagaimana perasaan Martin sesungguhnya. Martin tak mudah ditebak, sangat misterius dan dingin. "Sialan! Bagaimana aku bisa hamil! Jika dia sering keluar!"Ursula tak berani menyanggah, memilih diam dengan kepala tertunduk dalam."Aku sangat bosan di sini, Ursula!" Dengan muka tertekuk sempurna, Cordelia menghempas tubuh ke atas sofa lalu bersedekap di dada dan mengangkat sedikit kakinya ke udara.Melihat pergerakkan kaki sang majikan, Ursula berjongkok dan melepas sepatu Cordelia segera.Ursula mengangkat kepala, menatap sekejap mata Cordelia sambil mengulum senyum. "Aku dengar besok akan ada karnaval yang diadakan di kota, Nona. Apa Nona mau pergi ke sana?"Mata Cordelia langsung berbinar-binar, lantas berdiri dengan cepat. "Benarkah?""Iya, Nona." Ursula pun bangkit berdiri dan meletakkan heels runcing berwarna merah di sudut ruangan.Cordelia menyungging senyum tipis setelahnya. "Baiklah, besok kita pergi ke sana, aku ingin menikmati kota Puerto ini."Ursula berbalik. Dari sudut kamar, melihat Cordelia masih berada di dekat sofa. "Baik Nona. Apa Nona mau mandi? Cuaca sangat panas di sini?""Kau masih bertanya? Kau tidak lihat keringat di keningku ini hah!" bentak Cordelia dengan mata melotot tajam.Ursula sedikit tersentak. Sikap Cordelia terkadang membuatnya serba salah, bisa berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Ursula mengaruk tengkuk sambil tersenyum kikuk."Maaf Nona, kalau begitu aku akan ke kamar mandi menyiapkan air."Cordelia tak menjawab. Malah memutar mata ke atas kemudian berjalan cepat mendekati jendela kamar.Dengan langkah tergesa-gesa Ursula berjalan menuju kamar mandi di sebelah kanan ruangan. Meninggalkan Cordelia menatap lurus keluar jendela kamar. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, tapi tatapannya begitu aneh, senyumannya pun sekarang terlihat mengerikan."Martin, aku akan membuat kau tunduk padaku," desis Cordelia pelan sembari melihat Martin di bawah sana sedang masuk ke dalam mobil bersama tangan kanannya, Lopez.Menjelang petang, Martin tak pulang ke hotel memilih pergi ke club hendak bertemu Pablo. Membicarakan persoalan Cordelia sekaligus meninjau senjata api yang akan diselundupkan besok di gedung baru. Saat mendengarkan penjelasan Martin. Pablo tak langsung mengiyakan perkataan Martin. Namun, dari sorot matanya mengisyaratkan menghormati keputusan Martin dan berharap Cordelia akan hamil secepatnya.Bersamaan dengan itu, Diana dan Martha serta kedua anaknya telah sampai di Puerto La Cruz. Sementara Ruth memilih menetap di Baracoa. Begitu sampai di rumah singgah, mereka langsung beristirahat.***Pagi telah tiba, langit di kota Puerto La Cruz tampak indah dan menawan. Pagi-pagi sekali Cordelia sudah siap dengan gaun renda. Wanita berpenampilan glamor itu memakai topi bundar di kepala dan sarung tangan berwarna merah. Dia terlihat senang kala mendapat kabar dari Lopez, bila Martin memintanya datang ke perusahaan nanti siang."Ayo cepat, Ursula! Aku penasaran ada barang apa saja yang dijajakan di karnaval?"Saat ini, Cordelia sedang menunggu Ursula di pelataran hotel. Sebuah mobil hitam terlihat di depannya. Ursula baru saja sampai, tadi mengambil kipas tangan Cordelia yang tertinggal di dalam kamar."Baik Nona." Tak lupa Ursula menyodorkan kipas kayu kepada Cordelia lalu membukakan Cordelia pintu mobil.Cordelia masuk dan pergi bersama Ursula ke pusat kota. Walau masih pagi, suasana sudah mulai padat di pusat kota, Cordelia sedikit terhibur dengan karnaval. Sesekali dia membeli pernak-pernik yang dijual para pedagang di pinggir jalan.Berjarak belasan meter dari Cordelia dan Ursula.Angelo dan Angela tengah duduk di kursi kayu plastik, tepatnya di dalam booth ice lemon tea. Selagi menunggu Diana dan Martha melayani pembeli di dalam toko pakaian. Keduanya menjual ice lemon tea bermaksud ingin membantu Mommynya mencari uang. Meski Diana melarang. Namun, permintaan Angela harus dituruti. Alhasil mau tidak mau Diana mengizinkan. Apalagi keadaan toko nampak padat.Diana tak mengira pengunjung toko akan ramai kedatangan pengunjung hari ini. Padahal tadi Martha tidak mau membuka toko karena pakaian belum terpajang semua. Namun, salah seorang pelanggan menerobos masuk ke dalam ingin membeli syal. Syal bunga buatan Martha menjadi pilihan pembeli pertama dan ajaibnya pengunjung karnaval terpesona dengan syal tersebut lalu pergi ke toko Martha.Dia dan Martha sempat kewalahan, namun melihat betapa antusiasnya pengunjung, keduanya tampak bersemangat. Diana tak lupa menitipkan Angelo dan Angela kepada Pedro, penjaga keamanan yang kebetulan berdiri di luar toko bertugas juga memantau si kembar."Bang Angelo, bagaimana dengan penampilan Angela hari ini cantik tidak?"Sekarang, Angelo dan Angela sedang memperhatikan karnaval di depan mereka sambil menunggu pengunjung untuk membeli ice lemon tea.Angelo menoleh sekilas lalu menatap lurus ke depan lagi. "Tidak!""What?" Angela terperangah kala Angelo mengatakan dirinya tidak cantik. Padahal sekarang penampilannya begitu indah, rambut panjang sepinggang tergerai di belakang, dress mungil berwarna merah dengan hiasan bunga anyelir di bawahnya dan di atas kepala terdapat mahkota bunga kecil hasil buatan Martha."Sepertinya Abang katalak! Tidak bisa membedakan mana cantik mana jelek! Huh menyebalkan!"Karena suasana di dalam riuh, Angelo dan Angela terpaksa berteriak."Memang jelek kok, kau seperti badut! Badanmu pun gendut!"Mendengar makian yang terlontar dari bibir Angelo, mulut Angela menganga. Dengan cepat ia bangkit berdiri kemudian melipat tangan di dada, menatap tajam Angelo tengah duduk di kursi pendek."Abang ini benal-benal ketellaluan! Angela kasihan pada jodoh abang nanti kalena memilih Abang menjadi suaminya!" seru Angela."Berisik! Sebut 'r' saja kau belum bisa, duduklah Angela, kau menghalangi pandanganku!"Angela berdecak kemudian memutuskan duduk kembali."Bagaimana caranya berjualan, Angela. Kau tidak lihat, orang hanya lalu-lalang saja." Angelo memberi komentar tiba-tiba, karena belum ada pembeli yang datang ke booth mereka sedari tadi."Sabal! Tunggu sebental!" Angela berlari kecil ke dalam toko lalu keluar lagi sambi membawa sebuah kardus dan spidol hitam."Untuk apa itu?" tanya Angelo, heran.Bibir Angela mencebik sejenak. "Diamlah Bang! Lihat saja cala keljaku ini! Aku yakin sekali kita dapat duit banyak hali ini, Bang!" serunya sambil menulis sesuatu di kardus.Angelo membuang napas kasar, enggan membalas perkataan adiknya itu."Selesai!" Angela memperlihatkan isi tulisan kepada Angelo. "Lihat ini! Aku yakin sekali, akan ada banyak pembeli."Wajah Angelo berubah masam. Saat membaca tulisan Angela, yang berisi membeli dua ice lemon tea dapat melihat senyuman manis darinya. "Apa kau sudah gila, Angela! Tidak ada orang yang mau melihat senyumku!"Angela tersenyum smirk kemudian meletakkan kardus di atas booth. "Ish! Ini namanya teknik malketing, Bang. Diamlah, ikuti saja skenalio, Angela. Jika pembeli membeli 2 ice lemon tea, Abang tinggal tersenyum saja, oke?"Angelo mengendus kasar, memilih mengalah.Tak berselang lama, booth pun ramai pengunjung. Meski kesal Angelo tetap melaksanakan perintah Angela. Karena senyuman Angelo benar-benar manis. Dari dalam toko, melalui kaca pembatas, Diana sesekali melihat buah hatinya.Setelah 2 jam berjualan, Angela terlihat kelelahan dan memilih menghitung uang yang didapatkannya tadi."Panas juga ya." Komentar Angela sambil menyusun uang di tangan mungilnya."Kau mau minum?" tanya Angelo."Tidak, itu kan untuk pembeli, kita halus belhemat bial cepat kaya laya!" Angela terlihat bersemangat menghitung uang."Hei! Kemarilah, berikan aku satu ice lemon tea!"Angelo dan Angela reflek mengangkat kepala, berjarak sekitar 10 meter, di tengah-tengah kerumunan pengunjung karnaval, melihat wanita berambut panjang dan berpenampilan glamour bersama wanita berambut pendek, yang sedang memayungi wanita berambut panjang, siapa lagi kalau bukan Cordelia dan Ursula."Oh my God, pembeli aneh! Kenapa bukan dia yang ke sini!" kata Angelo, kesal.Angela meletakkan duit di dalam saku dress seketika. "Abang, pembeli adalah laja, kita halus melayani meleka. Lebih baik Abang buatkan satu ice lemon tea, bial aku saja yang mengantal ke sana!"Angelo tak mengubris perkataan Angela, memilih mengambil cup plastik dan mulai menuangkan lemon tea serta ice ke dalam cup. Setelah selesai, Angela membawa cup menuju Cordelia. Sementara Angelo memantau dari kejauhan gerak-gerik Angela sambil sesekali melayani pembeli yang datang ke booth."Ini Nona!" Begitu sampai Angela berjinjit dan menengadahkan kepala ke atas sambil menyodorkan cup kepada Cordelia.Cordelia langsung mengambil alih cup dari tangan mungil Angela dan meneguk minuman tersebut hingga tandas.Sementara Angela menelisik penampilan Cordelia dari atas hingga ke bawah sambil berkacak pinggang.'Hmm, sepeltinya banyak duit. Aku bisa membeli boneka beluang banyak-banyak nanti.' Boneka beruang kesayangan Angela tertinggal di Baracoa kemarin."Ya ampun panas sekali!" Cordelia memberi cup kosong kepada Ursula kemudian menggerakkan kipas kayu di wajahnya. Terlalu lama di bawah panas matahari tadi, membuat wajahnya terlihat merah sekarang."Nona, mana uangnya?" Dengan mata berkedip-kedip, Angela menengadahkan tangan kanan di hadapan Cordelia."Berapa?" tanya Cordelia sangat ketus."5 bolival!" Angela mengangkat jari-jemarinya sebanyak lima buah ke udara. Jika dihitung berjumlah sekitar delapan puluh ribu lebih.Mata Cordelia melotot lebar sebab harga yang tertera di kardus di depan sana 1 bolivar. "Apa? 5 bolivar! Jelas-jelas tulisan di sana 1 bolivar!?"Angela tersenyum smirk lalu menurunkan tangan dan berkacak pinggang lagi."Nona cantik, ini pelayanan khusus. Halga ice lemon tea memang 1 bolival tapi kalena jalak tempuhku ke sini lumayan jauh, tadi aku sempat menghitung sekitar 50 langkah, aku masih belbaik hati loh, membelimu diskon jadi 40 langkah, jadi 4 tambah 1 sama dengan 5 bolival," jelas Angela panjang lebar.Cordelia terperangah. Sementara Ursula senyam-senyum sendiri melihat tingkah Angela sedari. Namun, Ursula sedikit heran, merasa tak asing dengan wajah Angela seperti mirip seseorang."Pemerasan! Apa Daddymu mengajari kau memalak orang hah?! Mana ada pelayanan khusus hah! Lagipula ice lemon tea itu tidak enak! Aku tidak mau membayar segitu!" seru Cordelia.Angela langsung cemberut. "Daddy sudah mati! Tidak usah sangkut pautkan sama Daddy! Nona bilang tidak enak, tapi Nona habiskan tadi! Bayal saja cepat sekarang! Tidak usah banyak alasan!"Cordelia mengeluarkan tawa remeh setelahnya."Haha! Sudah mati, pantas saja anak menyebalkan sepertimu memalak orang!Angela naik pitam. Wajah bulatnya terlihat merah padam. Tidak suka dengan sikap Cordelia seakan merendahkannya. Biasanya orang dewasa akan bersimpati namun Cordelia berbeda. "Dengal ya, walaupun Daddy sudah mati, tapi ada manusia yang hatinya sudah mati total meneltawai kematian seseolang yaitu Nona!"Cordelia menahan geram, ingin menampar Angela, namun banyak pasang mata memandangnya sekarang. "Kau! Berani kau denganku hah!""Tentu saja Angela belani, kata Aunty Maltha, kita tidak boleh takut sama olang yang tidak bisa mengholmati kita! Cepat bayal Angela sekalang!" Angela mengangkat tangan kanan lagi ke udara.Cordelia tak mengubris perkataan Angela malah menoleh ke samping. "Ursula cepat berikan uang pada anak sialan ini!"Ursula tersenyum kikuk lalu berbisik di telinga Cordelia. "Maaf Nyonya, aku tidak punya uang cash."Mata Cordelia melebar lagi, sangat kesal karena Ursula tak membawa uang. "Kau!"Dalam hitungan detik Cordelia memberikan kode pada Ursula untuk berlari. Ursula mengerti dan berlari bersama Cordelia seketika."Hei! Jangan kabul! Dasal penipu!" teriak Angela sambil berlari juga. Kaki mungilnya bergerak sangat lincah, menerobos kerumunan pengunjung karnaval yang lalu-lalang di sekitar."Angela!" Saat melihat Angela menjauhi area toko pakaian, Angelo bangkit berdiri kemudian mengejar Angela juga."Angela!" panggil Angelo. Angelo terlihat panik, melihat Angela berlari sangat kencang. "Ya ampun, bagaimana ini! Pasti Mommy marah padaku! Anak itu, apa sih yang dia lakukan!" gerutunya sambil mempercepat langkah kaki kala melihat Angela berbelok ke kanan tiba-tiba. Dia tak melihat apa yang telah terjadi barusan karena sibuk melayani pembeli. Sementara itu di toko pakaian, Pedro sedang sibuk melerai dua wanita pengunjung pakaian yang terlibat adu mulut. Sehingga sejak tadi perhatiannya teralihkan dan tak menyadari bila Angelo dan Angela tidak berada di dalam booth. Begitupula dengan Diana dan Martha. Karena matahari semakin meninggi, para pengunjung toko semakin padat merayap. Sampai-sampai kedua wanita itu kewalahan dan tak menyadari pula si kembar tidak berada di sekitar. "Hei, belhenti!"Angela masih mengejar Cordelia dan Ursula sambil memegangi mahkota bunga di atas kepala. Bocah itu tak mau uang hasil kerja kerasnya terbuang begitu saja. Cordelia dan Ursula pun tak berniat m
"Hai, Uncle siapa ya?"Angela mencoba bertanya. Karena dia sangat penasaran. Namun, Martin malah memberi kode pada kedua karyawannya untuk pergi sekarang. Mereka mengangguk cepat kemudian berlalu pergi, meninggalkan Martin sedang memicingkan mata, mengamati wajah yang mirip dengannya itu. Martin terlihat enggan menyahut. Namun, entah mengapa kedua bocah itu menarik perhatiannya sekarang. Dengan sabar Angela menanti jawaban dan pada akhirnya baru sadar akan tujuan awalnya datang kemari. "Astaga, wanita penjahat itu belum membayal!" celetuknya tiba-tiba. Secepat kilat Angela memutar kepala ke samping, melihat Angelo masih bergeming dengan kepala mendongak ke atas."Abang, ayo kita minta bantuan olang ini untuk naik ke atas?" kata Angela sambil menepuk kuat pundak Angelo. Angelo tersentak, dengan cepat menoleh ke samping kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Angela. "Kau benar, tapi sebaiknya jangan minta bantuan orang ini, lihatlah dia terlihat menyeramkan," sahutnya sambil melir
"Agnes! Grace!" seru Angelo dan Angela bersamaan. Martin mengerutkan dahi sedikit ketika jawaban yang mereka berikan berbeda-beda. "Aku ulangi sekali lagi, siapa nama Mommy kalian?" Menyadari bila nama yang dilontarkan berbeda, Angelo dan Angela melirik satu sama lain. Mereka tengah kebingungan, ingin menyebut nama siapa. Walaupun saat ini berada jauh dari pantauan Diana. Keduanya tak lupa akan ajaran Diana, bila seseorang bertanya siapa nama orang tuanya, jangan pernah berkata jujur. Angelo dan Angela tak banyak bertanya dan mengira ajaran Diana untuk keselamatan mereka. "Hm, Agnes Grace nama lengkap Mommy kami, iya kan, Angela?" Angelo menyenggol kuat lengan Angela. Berharap pria asing di hadapannya dapat percaya.Angela langsung mengangguk-anggukkan kepala. "Iya benal, Agnes Grace, itu nama panjangnya, hehe."Martin memicingkan mata, tingkah laku Angelo dan Angela nampak mencurigakan. "Hmm."Tatapan Martin membuat Angela menatap balik. "Memangnya ada apa, Uncle? Mana uangnya, kam
Dikala Diana dilanda kepanikan dan saat ini mencari kesana kemari buah hatinya bersama Martha dan Pedro. Berbeda dengan Angelo dan Angela yang sedang berada di atas pencakar langit, tepatnya di helikopter, keduanya tengah tertidur dengan sangat pulas dalam pangkuan Martin sekarang. Sedari tadi pria berwajah bengis itu memperhatikan wajah mungil keduanya secara bergantian. Entah apa yang dipikirkan Martin. Namun, mampu membuat Cordelia gundah gulana. Sedari tadi, Cordelia mencoba mengajak Martin berbicara dan bertanya, mengapa membawa kedua anak itu ke Caracas. Akan tetapi, Martin tak menjawab sama sekali. Cordelia hanya dapat menahan kesal.'Tidak mungkin dua bocah ini anak Diana, itu tidak mungkin ....' Duduk di depan Martin, Cordelia mengigit ujung kuku-kukunya sambil menatap dingin Angelo dan Angela secara bergantian.Ursula yang duduk di sampingnya pun memandang Angelo dan Angela dari tadi. "Mister, kita langsung pergi ke mansion Hamilton?" Di kursi paling depan bersama co-pilot
Melihat mimik muka Martin, Diana semakin meradang. Matanya memancarkan kemarahan mendalam. Berarti benar prasangkanya jika Angelo dan Angela berada di sini. Dengan napas memburu Diana mendekat lalu melayangkan tatapan tajam pada Martin."Di mana anakku?!" tanya Diana lagi dengan rahang mengetat kuat. Martin menyungging senyum sinis lalu mengangkat sebelah alis mata kiri sedikit. "Apa aku tidak salah mendengar? Kau mencari anakmu di sini?"Netra Diana semakin melebar. Martin telah menyiram bensin di atas bara api. "Tentu saja, kau menculik mereka kan! Cepat jawab di mana mereka sekarang! Kau apakan mereka hah?!"Tawa keras membahana di ruang tamu itu seketika. Martin tertawa sambil memandang penuh cela. "Apa kau punya bukti kalau aku menculik mereka? Lihatlah tidak ada mereka di sini, 'kan?" Martin mengedarkan pandangan sesaat. Dia tak mau Diana sampai tahu bila si kembar ada di dalam kamarnya sekarang. Walau wajahnya mirip tapi Martin masih harus memeriksa apakah DNAnya cocok dengan
"Jangan pikir aku hanya mengertakmu, Diana!" Tanpa berniat menurunkan senjata api, Martin mencoba menarik pelatuk, yang jika ditarik larasnya tidak akan bersuara. Martin mendekat hingga pada akhirnya ujung pistol menempel di kening Diana sekarang. Pria itu menyungging senyum tipis, sangat tipis, hingga mampu membuat Diana meneguk ludahnya berulang kali saat ini. Aura pekat yang menguar dari tubuh Martin membuat Diana merinding tiba-tiba. Di mata Diana, Martin bak iblis yang siap menjemput ajalnya. Diana mulai ketakutan, keringat dingin pun menjalar dari pori-pori kulitnya sekarang. Angelo dan Angela masih tertidur dengan pulas, Diana dapat mendengar dengkuran halus masih berhembus dari hidung mungilnya. "Bawa kembali mereka ke kamar, Diana. Aku Tuan rumah di sini, kau orang luar yang berusaha masuk ke rumahku," desis Martin, dingin.Demi keselamatan Angelo dan Angela, Diana terpaksa membawa mereka kembali ke kamar Martin.Setelah sampai di atas, secara perlahan-lahan Diana merebah
"Jaga ucapanmu!" pekik Diana saat Cordelia berhasil mendaratkan tamparan di pipi kanannya barusan. Sambil memegangi pipinya yang terasa pedas, ia menatap tajam Cordelia dengan napas memburu."Apa! Memang benar kan, kau wanita murahan!" Cordelia melebarkan mata. Wajahnya terlihat merah padam, amarah terpancar jelas dari bola matanya. Beberapa menit sebelumnya, saat telah selesai menyantap makanan yang disuguhkan oleh Ursula. Cordelia mendengar dari kaki tangannya itu jika ada seorang wanita menerobos masuk ke dalam kamar Martin. Ursula tak mengenali Diana. Namun, mencoba menjelaskan ciri-ciri wanita tersebut. Tanpa pikir panjang Cordelia yakin bila wanita yang dimaksud Ursula adalah Diana. Cordelia pun bergegas turun ke bawah lalu melihat Martin bersama Diana di dalam kamar. Darahnya mendadak mendidih. Kecemburuan melandanya seketika. Sebab selama ini Cordelia dilarang Martin untuk masuk ke kamar tersebut. Dengan angkara murka di dalam dadanya, Cordelia mendekati Diana."Atas dasar ap
"Tidak, jangan kau pikir aku tidak bisa membaca jalan pikiranmu. Kau pasti ingin membawa kabur Angelo dan Angela dariku!"Martin melayangkan tatapan tajam kepada Diana.Netra Diana terbelalak, tuduhan Martin membuatnya semakin serba salah. Padahal sedari tadi dia tengah berperang dengan batinnya. "Aku tidak pernah berpikiran akan membawa mereka kabur," lirih Diana, berusaha membendung air mata agar tak tumpah. Sebelum membuka suara, Martin menyeringai tipis lalu berkata," Lalu mengapa kau mengajukan pertanyaan yang terdengar ambigu di telingaku."Lagi dan lagi, mata Diana membola. Apakah Martin tak paham akan perasaannya saat ini, harus memilih antara anak dan orang yang paling berjasa di dalam hidupnya. "Martin, aku akan berpisah dengan anak-anakku, aku ini ibu mereka, apa kau tak berpikiran sampai ke situ, apa yang akan kau katakan pada mereka nanti, jika mereka bertanya tentangku ...."Diana sudah tak mampu meneruskan kata-katanya lagi kala mendengar sebuah decihan keluar dari bib
"Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin
21+++***(Maaf tidak sesuai ekspetasi) ~~~Sepasang mata bulat Jane langsung membola, hendak melawan. Namun, Angelo mengekang tubuhnya. Terlebih, bibirnya dibungkam Angelo sekarang. Kali ini Jane tak bisa menolak. Mungkin karena rindu yang mengebu-gebu. Dia mulai pasrah terhadap perlakuan Angelo.Bibirnya dikecup, disesap dan lidahnya pun dililit-lilit Angelo hingga keduanya saling bertukar saliva. Jane memejamkan mata, menikmati kecupan ganas yang dilakukan Angelo saat ini. Sementara Angelo amat tak tahan. Sejak tadi menahan diri, melihat bibir ranum Jane bergerak-gerak. Di mata Angelo, wanita bertubuh mungil ini amat menggemaskan. Kini lelaki bermata cokelat tersebut. Dengan mata menutup mencekal pergelangan tangan Jane. Napasnya memburu, jantungnya pun berdetak kencang, seakan-akan organ dalamnya akan meledak. Sampai pada akhirnya ia menjauhkan sedikit wajah kala mendengar Jane kesulitan mengambil napas. Angelo membuka mata, menatap seksama wajah Jane yang masih berusaha mera
Sampai keluar mata Angelo kala mendengar perkataan Martin barusan. Dia terperangah sejenak."Daddy." Angelo menahan geram karena Martin tak dapat diajak berkompromi saat ini. "Ck, berkerjasamalah denganku, Dad, ayo cepat ralat ucapan Daddy barusan."Martin tak menyahut, malah mendengus lalu melipat tangan di dada. Angelo menghela napas lelah kemudian. Dengan cepat ia menekan bell rumah lalu berkata,"Maaf Tuan Georgio, Daddyku hanya bercanda tadi, sebenarnya dia ingin meminta maaf pada Tuan.""Cih, aku tidak bercanda! Aku memang mengajakmu berduel, sialan!" protes Martin cepat membuat Angelo semakin kalang kabut.Angelo menatap tajam Martin, memberi bahasa isyarat untuk diam. Lagi dan lagi Martin balas dengan mengeluarkan dengkusan kesal.Tak ada tanda-tanda pagar akan terbuka. Angelo pun mulai memarahi Martin. Tak lupa ia berulang kali melontarkan kata maaf dengan berbicara melalui alat di dekat pagar, yang di mana itulah adalah kamera pengintai berupa suara yang terhubung ke dalam m
Jane terbelalak. Dengan cepat meloncat dari atas ranjang kemudian bergegas menghidupkan lampu ruangan. Angelo meringis pelan tatkala mendapat pukulan di rahangnya barusan. Seumur-umurnya baru kali ini dia dipukul oleh seorang wanita. Sambil memegangi pipi, dia memandang ke sudut ruangan, di mana Jane berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Angelo, kenapa kau bisa di sini?" Jane heran mengapa Angelo bisa masuk ke dalam kamarnya. Padahal setahunya keamanan di mansion sudah diperketat Georgio. Namun, detik selanjutnya dia sadar bila Angelo adalah tentara yang memiliki kemampuan khusus di dunia militer. "Pergilah Angelo, sebelum ketahuan Daddyku," ujar Jane kemudian sambil membuang muka ke samping. Jujur saja, ia ingin sekali berlari kencang ke arah Angelo dan memeluknya erat-erat sekarang. Namun, mengingat pesan yang dikirim Claudia tadi, Jane urungkan. Angelo mendengus lalu menghampiri Jane hendak meraih tangan pujaan hatinya. Akan tetapi, Jane segera menepis tangannya dengan cepat