Besok author bakalan rutin update ya. Sebelumnya terima kasih yang sudah memberikan GEM. Semoga selalu diberi rezeki berlimpah-limpah, author akan berusaha update rutin, salam hangat untuk teman-teman semuanya ^^
Martin tak langsung membalas, keningnya berkerut samar, tengah mencari alasan yang masuk diakal. Bola mata setajam pisau itu memperhatikan Angela tengah memegang kedua pundaknya dan menatap dalam matanya sekarang. Dengan bibir mengerucut ke depan, Angela bersuara kembali. "Daddy, ayo ketemu Mommy, Angela kangen Mommy.""Hoamm ...."Perhatian Martin dan Angela teralihkan seketika kala mendengar Angelo menguap. Kepala mereka berputar ke arah Angelo, yang saat ini membuka mata perlahan-lahan dan menggeliatkan tubuh. "Abang," panggil Angela. "Hmm." Angelo berdeham rendah lalu duduk di atas kasur dan menatap Martin. Tak ada ekspresi sama sekali tergambar di wajahnya bulat itu. Hanya tatapan menghunus sama seperti Martin. Untuk sejenak keduanya saling memandang satu sama lain sampai pada akhirnya Angela membuka suara. Angela mengalihkan pandangan pada Martin. "Daddy, ayo ketemu Mommy."Martin memutus kontak mata lalu melirik Angela. "Mommy sedang sibuk, Angela.""Ya sudah kalau sibuk, k
Kornelius mengangkat kepala."Iya Nona, saya tidak sengaja menyemburkannya di dalam, saya benar-benar minta maaf karena sudah lancang menyentuh Nona Diana," ucapnya lalu menundukkan pandangan lagi.Cordelia berdecak sebal sesaat. "Ck! Aku tidak peduli, kau menyentuh tubuhnya atau tidak, tidak ada urusannya denganku dan berhenti memanggil Diana dengan sebutan Nona! Diana bukan majikan kau lagi!"Kornelius mengangguk pelan.Cordelia mendengus lalu bersuara lagi. "Tapi aneh ya, mengapa wajah mereka mirip sekali dengan Martin?""Kau ini bodoh sekali, Cordelia! Bisa saja terjadi percampuran. Seharusnya Martin periksa dulu, untuk membuktikan apa itu anak-anaknya atau bukan!" sembur Lauren seketika sambil memutar mata malas."Martin sedang menunggu hasil tes DNA keluar kok, dan minggu depan hasilnya akan keluar, Ma." Cordelia baru saja teringat akan perkataan Martin tadi. "Hm, baguslah, semoga saja bukan. Mama yakin seratus persen kalau Angelo dan Angela bukanlah anak Martin." Lauren melirik
Pria itu menghirup lentingan nikotin lagi lalu melirik ke center mirror dan memberi perintah pada sang supir. "Ayo, kita pulang, aku ingin bertemu Mamaku!""Baik Mister." Di kursi depan, sang supir mengangguk lantas melajukan kendaraan pelan-pelan."Ahk!"Tak sampai dua meter, dari arah berlawanan, ban mobil melindas ujung kaki jempol seorang wanita berambut blonde yang sedang berjalan di tepi jalan raya. Sang supir berniat tak berhenti, malah semakin melajukan kendaraan."Shftt .... hei!" Diana meringis sesaat sambil melihat kendaraan berwarna hitam itu melesat kencang, meninggalkan dirinya. Diana mengumpat kesal lalu menoleh ke kap belakang mobil. "Sialan! Semoga mobil kau menabrak pohon!" serunya lalu membungkukkan badan, hendak menajamkan penglihatan, melihat sekilas ujung kuku kakinya ternyata patah dan mengeluarkan darah sedikit. "Astaga, nasibku hari ini sangatlah tak bagus," desisnya pelan sambil menahan perih di bawah sana. Sekarang, Diana tengah jauh dari pusat kota. Se
"Daddy!" pekik Angela semakin takut kala sosok semakin mendekat.Sosok itu memakai pakaian seperti gembel. Kaos tanpa lengan berwarna hitam dan celana panjang jeans besar memiliki sobekan di beberapa tempat, dan terdapat anting-anting hitam di telinga sebelah kiri serta wajahnya terlihat hitam semua. Tak hanya itu, aroma amis darah menguar dari tubuhnya. Dengan tergesa-gesa Martin mengangkat tubuh Angela dan menoleh ke depan. Angela langsung membenamkan wajahnya di sela-sela leher Martin. "B, apa itu kau?" Sambil mengamati sosok di depan Lopez membuka suara tiba-tiba, melihat pria bertubuh agak gemuk berdiri tegap, dalam keadaan wajah hitam seperti terkena arang. B, anak buah Martin tersenyum lebar hingga menampakkan gigi-gigi putihnya terlihat. Ia malah menyengir kuda sekarang. "Hehe, iya, ini aku.""Mengapa wajahmu hitam semua?" Dengan kening berkerut kuat, Lopez melirik Martin sekilas. Martin pun membuang napas kasar setelahnya karena terkejut juga, melihat B berdiri tepat di h
"Angela, Nak?" Di ujung sana, Diana mulai cemas kala mendengar seseorang berteriak barusan. Angela menelan ludah berkali-kali, rasa takut mulai merasuk hatinya. Dia memandang ke depan dengan tangan masih memegang gagang telepon. Sedang melihat Lauren melotot tajam ke arah mereka sekarang. Sementara Angelo mengepalkan kedua tangan, menahan amarah dan kesal. "Mommy tol—ahk!"Angela tersentak ketika telepon direbut paksa Lauren tiba-tiba. Dengan sigap Angelo menarik tangan Angela dan mundur beberapa langkah, bersikap waspada terhadap wanita di hadapannya sekarang. "Dasar anak nakal!" Lauren melempar kuat telepon ke lantai seketika hingga kabel pun terputus dan puing-puing telepon berhamburan ke mana-mana. Lalu dia melangkah ke depan perlahan-lahan. Beberapa menit sebelumnya, Lauren dan Cordelia baru saja sampai di mansion. Cordelia sudah terlebih dahulu naik ke lantai empat menggunakan lift. Sementara ia yang kebetulan kamarnya di lantai dua, tak sengaja melihat Angelo dan Angela di
"Apa maksudmu, Cordelia?" tanya Lauren dengan raut wajah heran.Bukannya langsung menanggapi, Cordelia malah memeluk tubuh Martin, dengan wajah berbunga-bunga. "Baby, aku hamil, kau akan memiliki anak dariku!" Cordelia memberikan test pack pada Martin. Martin menyambar cepat test pack tersebut dari tangan Cordelia lalu membaca hasil dengan seksama, yang menunjukkan dua garis merah. Tanpa sadar Martin mengulas senyum. "Hamil?"Cordelia mengangguk cepat dengan senyum lebar menggembang di wajah sejak tadi. Sementara Lauren terkejut sekaligus senang kala baru saja mengerti akan perkataan Cordelia barusan, yang menyatakan dia akan menjadi seorang nenek sebentar lagi. "Kau benar-benar hamil?" Lauren bertanya seakan tak percaya. Tanpa menurunkan tangan yang melingkar di perut Martin, Cordelia mengalihkan pandangan kepada Lauren."Iya, Ma. Bukankah sudah aku katakan kemarin kalau aku memiliki feeling akan hamil sebentar lagi."Lauren tersenyum lebar lalu memandang ke atas tiba-tiba, mengu
"Kalau begitu, aku ke bawah dulu ya, mau mengambil makanan untuk Cordelia." Di luar pintu, Ursula tiba-tiba membuka suara. Sedari tadi Ursula menebar senyum kepada Angelo dan Angela. Meski sebenarnya dia dilanda ketakutan jikalau Cordelia atau pun Lauren mengetahui rencana si kembar. Namun, dia tak dapat menolak permintaan keduanya. Mengingat perlakuan kedua majikannya itu, yang sangat bertolak belakang dengan Diana. Belum juga seminggu Diana menetap. Menurut Ursula Diana memiliki hati yang baik. Diana bersikap ramah padanya dan memperlakukannya seperti seorang adik. "Iya Aunty, telima kasih ya! Bye!" Angela langsung melambaikan tangan pada Ursula.Angelo membalas dengan mengulas senyum tipis, sangat tipis, hingga Ursula tak dapat melihat senyuman itu. Sebuah senyuman yang tak pernah ia perlihatkan kepada siapa pun.Ursula lantas memutar tumit dan bergegas turun ke lantai dasar menuju dapur, hendak mengambilkan Cordelia makanan, sebelum sang majikan terbangun."Kita halus beljaga-jag
Diana dan Martin terkejut saat melihat kepala Angela membentur lantai barusan. Begitu pula dengan Cordelia. Dengan keadaan wajah nampak syok, ia melepaskan cengkeraman dan mundur beberapa langkah. "Angela!" Dalam keadaan rambut dan pakaian sobek di bagian pundak, Diana mendekati Angela, yang saat ini terbaring di lantai dengan mata terpejam.Martin pun bergegas menghampiri putrinya. Angelo yang berdiri di luar, berlari sangat kencang."Angela, bangun, Nak!" Diana menepuk-nepuk pipi Angela, berharap anaknya dapat segera membuka mata. Dia melempar pandangan kepada Martin dan Angelo nampak cemas dan gelisah juga. Martin meraba-raba tangan mungil Angela, memeriksa nadi, apakah masih berdenyut atau tidak, dan masih terasa. "Angela, bangun!" pekik Angelo sambil mengoyang kaki Angela kala tak kunjung membuka mata. Diana semakin gusar, merasa bersalah karena telah membuat putrinya terluka. Sedari tadi Diana tak berhenti menepuk pipi Angela sambil memanggil-manggil namanya. Namun, tak ada
"Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin
21+++***(Maaf tidak sesuai ekspetasi) ~~~Sepasang mata bulat Jane langsung membola, hendak melawan. Namun, Angelo mengekang tubuhnya. Terlebih, bibirnya dibungkam Angelo sekarang. Kali ini Jane tak bisa menolak. Mungkin karena rindu yang mengebu-gebu. Dia mulai pasrah terhadap perlakuan Angelo.Bibirnya dikecup, disesap dan lidahnya pun dililit-lilit Angelo hingga keduanya saling bertukar saliva. Jane memejamkan mata, menikmati kecupan ganas yang dilakukan Angelo saat ini. Sementara Angelo amat tak tahan. Sejak tadi menahan diri, melihat bibir ranum Jane bergerak-gerak. Di mata Angelo, wanita bertubuh mungil ini amat menggemaskan. Kini lelaki bermata cokelat tersebut. Dengan mata menutup mencekal pergelangan tangan Jane. Napasnya memburu, jantungnya pun berdetak kencang, seakan-akan organ dalamnya akan meledak. Sampai pada akhirnya ia menjauhkan sedikit wajah kala mendengar Jane kesulitan mengambil napas. Angelo membuka mata, menatap seksama wajah Jane yang masih berusaha mera
Sampai keluar mata Angelo kala mendengar perkataan Martin barusan. Dia terperangah sejenak."Daddy." Angelo menahan geram karena Martin tak dapat diajak berkompromi saat ini. "Ck, berkerjasamalah denganku, Dad, ayo cepat ralat ucapan Daddy barusan."Martin tak menyahut, malah mendengus lalu melipat tangan di dada. Angelo menghela napas lelah kemudian. Dengan cepat ia menekan bell rumah lalu berkata,"Maaf Tuan Georgio, Daddyku hanya bercanda tadi, sebenarnya dia ingin meminta maaf pada Tuan.""Cih, aku tidak bercanda! Aku memang mengajakmu berduel, sialan!" protes Martin cepat membuat Angelo semakin kalang kabut.Angelo menatap tajam Martin, memberi bahasa isyarat untuk diam. Lagi dan lagi Martin balas dengan mengeluarkan dengkusan kesal.Tak ada tanda-tanda pagar akan terbuka. Angelo pun mulai memarahi Martin. Tak lupa ia berulang kali melontarkan kata maaf dengan berbicara melalui alat di dekat pagar, yang di mana itulah adalah kamera pengintai berupa suara yang terhubung ke dalam m
Jane terbelalak. Dengan cepat meloncat dari atas ranjang kemudian bergegas menghidupkan lampu ruangan. Angelo meringis pelan tatkala mendapat pukulan di rahangnya barusan. Seumur-umurnya baru kali ini dia dipukul oleh seorang wanita. Sambil memegangi pipi, dia memandang ke sudut ruangan, di mana Jane berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Angelo, kenapa kau bisa di sini?" Jane heran mengapa Angelo bisa masuk ke dalam kamarnya. Padahal setahunya keamanan di mansion sudah diperketat Georgio. Namun, detik selanjutnya dia sadar bila Angelo adalah tentara yang memiliki kemampuan khusus di dunia militer. "Pergilah Angelo, sebelum ketahuan Daddyku," ujar Jane kemudian sambil membuang muka ke samping. Jujur saja, ia ingin sekali berlari kencang ke arah Angelo dan memeluknya erat-erat sekarang. Namun, mengingat pesan yang dikirim Claudia tadi, Jane urungkan. Angelo mendengus lalu menghampiri Jane hendak meraih tangan pujaan hatinya. Akan tetapi, Jane segera menepis tangannya dengan cepat