Belum sempat Angelo dan Angela berlari. Bagian tengkuk mereka diangkat anak buah Sephire seketika. Pria bertubuh gemuk mengangkat Angela. Sementara pria yang satunya lagi mengangkat Angelo.
"Lepaskan kami!" teriak Angela sambil mengayunkan kaki ke depan hendak menendang pria bertubuh gempal tersebut. Akan tetapi, kaki mungilnya tak sampai dan hanya bergerak-gerak di udara saja."Hahaha, tidak akan!" Kedua anak buah Sephire tertawa terbahak-bahak, senang karena telah berhasil menemukan Angelo dan Angela."Guk, guk, guk!" Martinez langsung mengigit kaki pria tersebut sambil memasang tampang menakutkan. Namun, karena wajah imutnya itu membuat anak buah Sephire tergelak kembali.Angelo hendak meminta pertolongan. Namun, tak bisa karena mulutnya sekarang dibekap dengan kuat sekarang. Matanya celingak-celinguk ke segala arah, memperhatikan keadaan tampak sepi dan tak ada orang lalu-lalang di sekitar. Dalam hitungan detik, Angelo menendang kaki AngelaMendengar suara Angela di sekitar, Diana memutar kepala ke sumber suara. Matanya berbinar-binar, melihat buah hatinya, dalam keadaan baik-baik saja sekarang. "Angelo, Angela ...." Diana bangkit berdiri seraya menghapus cepat air matanya lalu mendekati kedua buah hatinya, yang nampak ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh Pablo sedari tadi.Martin masih bergeming di tempat dengan perasaan tak menentu. Saat ini, perasaannya campur aduk, ada rasa senang dan sakit menyelinap di relung hatinya. Ia senang karena buah hatinya dalam keadaan baik-baik saja sekarang. Namun, ada rasa sakit pula saat mendengar Angela mengatakan dirinya penjahat barusan. Secara perlahan Martin melepas kepala Sephire dan melangkah cepat ke depan, hendak menghampiri buah hatinya yang tengah dikecup-kecup pipinya oleh Diana. Tak jauh dari mereka, Pablo, B dan Lopez saling melempar pandangan satu sama lain, melihat kekacauan di dalam bangunan. Pablo tak mengira Martin akan membunuh seseorang tepat di hadapan A
Diana menoleh ke sumber suara. Melihat sosok yang amat sangat ia kenali mendekatinya sambil melirik Angelo dan Angela sesekali.Melihat kedatangan sosok tersebut, ekspresi wajah Cordelia mendadak berubah menjadi lebih lembut. "Mengapa kau ingin pergi?"Diana menghela napas panjang kala mendapat pertanyaan dari Pablo. Kemarin Pablo meminta padanya untuk memberi pengertian Angelo dan Angela, mengenai perkerjaan Martin. Akan tetapi, setelah diberi pengertian buah hatinya tak memberi jawaban sama sekali. Angelo dan Angela memilih bungkam dengan raut wajah ketakutan. Entah apa yang dipikirkan si kembar. Diana hanya bisa menerka-nerka. Sejak kemarin pula Angelo dan Angela tak aktif seperti biasa-biasanya. Lebih banyak melamun. Sampai-sampai Miss Ariel yang melihat perubahan sikap keduanya memanggil Diana ke sekolah. Bagaimana tidak, jika jam beristirahat Angela tidak mau makan sama sekali. Mungkin masih trauma dengan kejadian mengerikan kemarin. Diana menatap seksama wajah keriput Pablo.
"Martin, sadarlah ini aku, Diana. Aku bukan Cordelia."Dengan sekuat tenaga Diana berusaha meloloskan diri dari dekapan Martin. Beberapa detik sebelumnya, dalam keadaan mata tertutup rapat, Martin tiba-tiba menarik tangannya hingga membuatnya terjembap ke atas kasur. Alhasil kini Diana berada di atas tubuh Martin. "Martin, lepaskan aku, please ...." Diana mulai panik. Martin memeluknya dengan begitu erat dan dalam, sampai-sampai detak jantungnya seakan ingin keluar dari sarangnya saat ini. Diana berusaha menggerakkan kaki dan tangannya yang terkunci rapat. Berharap Martin dapat segera terbangun dan sadar akan tindakannya. Namun, nyatanya Martin masih bergeming dengan mata tertutup rapat. Diana tak mau bila Martin mengira dirinya Cordelia. Seperti yang pernah terjadi sebelum-belumnya. Diana mengigit bibir bawah, sempat terpesona dengan wajah seksi Martin. Yang saat ini, di matanya tampak seksi dan menggoda meski bibir Martin terlihat pucat pasi sekarang. Mungkin karena hawa panas ya
Ini terlalu sakit, pria yang sangat ia cintai. Sekali lagi menorehkan luka di hatinya. Entah sadar atau tidak Martin membuat dada Diana bergemuruh kuat sekarang. Diana bersumpah akan mengubur dalam-dalam rasa cintanya. Karena dia tahu Martin membencinya sampai ke tulang-tulang. "Martin!"Dengan sekuat tenaga Diana berteriak hingga pada akhirnya mata Martin tersadar dan melihat yang dicekiknya ternyata Diana. Pria itu reflek menurunkan tangan. Diana terjatuh ke lantai sambil terbatuk-batuk, berusaha menghirup kembali udara di sekitar.Martin mundur beberapa langkah. Melihat tangan kanannya dengan mimik wajah tampak ling-lung. "Diana, aku ...."Diana mendongak. Menatap sendu bola mata Martin. Secara perlahan berdiri sambil memegang lehernya yang masih terasa sakit."Aku minta maaf karena masuk ke kamarmu tadi. Kalau kau membenciku, lebih baik bunuh saja aku, Martin ...."Suara Diana terdengar gemetar. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya meluruh juga. Tanpa mendengarkan tanggapan M
Diana tersentak. Dengan cepat membuka mata dan mendorong kuat dada Martin. Martin terhuyung-huyung ke belakang sesaat. Diana dan Martin menoleh ke sumber suara bersamaan, melihat Lauren tengah mendekat dengan raut wajah merah padam."Apa yang kalian lakukan hah! Apa kau sudah gila, Martin! Apa wanita ini merayumu hah?!" tanya Lauren sambil melirik-lirik Diana dan Martin bergantian. Niat hati ingin berjumpa dengan Martin di kamar, memberi kabar jika Cordelia muntah tiba-tiba. Namun, Lauren harus melihat pemandangan yang membuat dadanya panas barusan. Martin menaikkan satu alis mata dengan raut wajah datar. "Tidak ada, Ma. Aku tadi mengambil bulu mata Diana yang jatuh, tenanglah Diana tidak merayuku, tapi aku yang merayunya. Apa ada masalah?" Semakin memburu napas Lauren. Martin membuatnya habis kesabaran. "Martin, Cordelia sedang hamil anakmu! Apa kau tidak bisa menjaga perasaan Cordelia! Cordelia muntah lagi karena darah dagingmu! Pergilah ke kamarnya, dia memerlukanmu sekarang!"
Fabrizio mendekatkan bibirnya ke telinga Theodore lalu menyebutkan satu nama yang membuat Theodore mengembangkan senyum licik."Hmm, aku akan mempertimbangkannya Fabrizio, untuk saat ini aturlah strategi agar rencana kita ke depannya berjalan dengan mulus," sahut Theodore, kemudian menyesap kembali rokok.Fabrizio menegakkan badan lalu menyeringai tajam. "Baik Mister, serahkan saja semuanya padaku. Mister tidak usah khawatir."Theodore tak menanggapi, malah membuang asap kelabu ke udara. "Martin, inilah waktunya kau hancur," desisnya pelan sambil menyeringai tipis. ***Kembali ke mansion Martinez. Akibat ketegangan tadi, Lauren diancam Martin untuk jangan mendekati Angelo dan Angela. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun, Lauren berlalu pergi dengan raut wajah merah padam.Usai kepergian Lauren, penghuni rumah kembali ke aktivitasnya masing-masing. Martin memilih pergi ke kamar hendak tidur kembali. Diana pun pergi ke kamarnya ingin membersihkan diri. Sementara Angelo dan Angela ten
Martin mengepalkan kedua tangannya seketika. Sorot matanya begitu tajam dan dingin sekarang. "Iya, benar biarkan B saja yang mengajari Diana!" seru Cordelia menyetujui rencana B. Tadi, sebelum mamanya pergi dari mansion. Lauren berpesan untuk berhati-hati pada Diana. Diana memiliki rencana terselubung. Cordelia penasaran lantas bertanya. Tetapi, Lauren hanya diam saja. Mungkin bermaksud menjaga perasaannya yang tengah berbadan dua sekarang. Dengan muka tak berdosa, B mengangguk cepat sambil tersenyum sumringah."Hei, jangan, bial Daddy saja!" Angela langsung angkat bicara. Tak mau jika rencananya dan Angelo akan gagal."Hei, apa aku melewatkan sesuatu!" Di belakang B, Lopez menepuk kuat pundak B. Pria itu saja tiba dan mengedarkan mata di sekitar kala merasa hawa di ruangan sedikit mencekam."Lopez!" panggil Martin, dengan rahang masih mengetat keras. Lopez melemparkan pandangan ke arah B sekilas. "Iya Mister?" "Potong gaji B 90 persen!" Martin menyeringai tajam setelahnya. Mata
Diana panik bukan main. Dengan sekuat tenaga mendorong dada Martin. Namun, tenaganya tak mampu menandingi Martin. Sosok di hadapannya itu melempar senyum aneh tiba-tiba."Martin, apa kau sudah gila! Lepaskan aku, kau mau apa?" teriak Diana, tanpa berhenti memberontak.Diana seketika membeku kala Martin memegang lehernya dan tengah melihat lehernya sekarang hingga membuat dagu Diana terangkat sedikit. "Kenapa kau panik? Aku hanya ingin periksa keadaan lehermu, biru atau tidak, aku penasaran mengapa tidak biru padahal aku mencekikmu lumayan kuat," kata Martin seraya menilik keadaan leher Diana. Yang tidak ada bekas sama sekali. Tadi, saat sudah selesai mandi, Diana menutupi bekas cekikikan dengan foundation dan concealer agar tak terlihat. Dengan susah payah Diana menelan ludah. Mencoba bersikap tenang walau jantungnya serasa ingin melompat dari sarangnya juga sekarang. "Kau tenang saja, aku baik-baik saja kok, sudah, sebaiknya kau turunkan tanganmu itu!"Diana menyentak kasar tanga