"Kenapa kau masih di sini hah! Masih punya muka kau rupanya?!"
Bukan Martin yang menanggapi, melainkan Lauren. Wanita itu langsung berdiri dan menghampiri Diana. Sementara Kornelius hanya diam saja, tak langsung memberi penjelasan pada Martin."Aku tidak butuh tanggapanmu, Ma. Aku ke sini ingin berbicara dengan Martin."Diana mengabaikan Lauren dan memilih memandang ke arah Martin masih bergeming duduk di atas sofa bersama Cordelia. Pemilik mata cokelat itu tak berniat mendekat.Semakin mendidih darah Lauren, matanya melotot tajam. "Kau!"Tanpa banyak kata Lauren melayangkan tamparan di pipi kanan Diana.Plak!Diana tersentak, matanya melebar sedikit, secepat kilat memegangi pipinya yang terasa amat panas sekarang."Shft ..." Diana menatap Lauren dengan mata berkilat menyala. Lauren telah membuat kesabarannya habis.Plak!"Ahk!" Lauren terlonjak kaget saat Diana melayangkan tamparan pula di pipi kanannya seketika."Mama!" Cordelia berteriak, buru-buru mendekat diikuti Martin setelahnya. Wanita bersurai hitam itu tampak panik lantas dengan cepat memeriksa keadaan Lauren. Setelah memastikan Lauren baik-baik saja. Cordelia menatap nyalang Diana."Kau sudah berani melawan Mamaku?!""Apa?" Napas Diana terdengar memburu. Sedari tadi tak mampu menahan kemarahan yang membuncah di dalam hati kala Lauren menamparnya barusan. "Mamamu memang pantas mendapatkan tamparan, dia selalu ikut campur urusanku! Dahulu dialah yang menyuruh aku menjadi pengantin pengganti, tapi sekarang kalian membuangku begitu saja hah?!"Cordelia berdecak lalu menyeringai tipis. "Kau memang pantas dibuang, karena telah membuat nama papaku tercoreng. Kami tidak mau memiliki hubungan dengan wanita murahan sepertimu, yang dengan mudah bermain di belakang Martin. Jadi, lebih baik kau pergi dari rumah ini sekarang!"Diana berdecih sesaat, decihannya membuat Cordelia dan Lauren mengepalkan tangan. "Bukankah sudah aku katakan tadi, aku tidak berselingkuh, aku dijebak oleh seseorang! Aku ke sini ingin berbicara dengan Martin. Walau bagaimanapun janin yang ada di perutku adalah darah dagingnya. Kalian tenang saja, aku akan angkat kaki dari rumah ini nanti!""Apa yang mau kau sampaikan? Katakanlah sekarang?" Martin menimpali seketika. Pria itu menatap lurus ke arah Diana sejak tadi.Cordelia dan Lauren mengurungkan niat untuk membalas ucapan Diana kala Martin sudah angkat bicara.Diana langsung mengalihkan pandangan ke arah Kornelius. "Kornel, aku mohon, jelaskan pada Martin sekarang, malam itu kita hanya berbicara saja dan tidak terjadi apa-apa di antara kita. Jelaskan semuanya biar Lauren dan Cordelia tahu bahwa tuduhan mereka semuanya salah."Suara Diana mulai lembut, dia berharap Kornelius dapat menjelaskan salah paham yang terjadi. Selama menjadi anggota keluarga Hamilton, hanya Kornelius yang baik padanya selain Philip dan para asisten di rumah.Kornelius melirik Diana sekilas. "Mister Martin, aku minta maaf malam itu kami berdua minum anggur bersama dan mabuk berat. Kami pun lepas kendali la—""Apa maksudmu, Kornelius?!"Diana menyela saat apa yang disampaikan Kornelius tak sesuai kenyataan. Malam itu, hujan turun sangat lebat, Diana galau karena Martin sudah beberapa hari tak pulang ke rumah. Dia pun mencurahkan hati kepada Kornelius. Dua buah cangkir teh sebagai pelengkap teman bercerita, hingga tiba-tiba Diana mengantuk sekali dan tanpa sadar tidur di paviliun. Keesokan harinya dia pun bergegas kembali ke mansion utama dalam keadaan kepala seperti dihantam bongkahan batu besar. Diana mengira karena tidak tidur di kasur jadi kepalanya pusing.Untuk sejenak Kornelius terdiam lalu menatap Diana. "Nona Diana, aku sudah lama menyukaimu, bukankah malam itu, malam yang indah bagi kita berdua."Plak!Tanpa sadar Diana melayangkan tamparan kuat di pipi kanan Kornelius. Dengan perasaan kecewa ia menatap dalam mata Kornelius.Kornelius langsung menundukkan pandangan dan memegangi pipinya sesaat."Aku kecewa padamu, Kornel!!!" jerit Diana.Saat melihat kejadian di depan mata, Martin membuang napas kasar. Pria bertubuh tinggi itu terlihat mulai malas dengan drama di depan matanya.Sementara Lauren dan Cordelia membekap mulut mereka sendiri tiba-tiba, tak percaya bila Diana akan menampar Kornelius."Selama ini aku menganggap kau sebagai, Abangku, Kornel. Tapi apa sekarang, kau membuatku kecewa!"Air bening mulai membasahi pipinya, Diana terisak pelan sambil menatap sendu Kornelius. Selama ini Kornelius selalu berada di pihaknya. Namun, hari ini Kornelius membuat kepercayaan Diana runtuh."Kau pengkhianat, Kornel! Aku membencimu!" lanjut Diana lagi."Cukup Diana!" seru Martin, menginterupsi pembicaraan Diana.Dengan hati hancur berkeping-keping, Diana menoleh ke arah Martin."Tidak ada yang harus kau jelaskan lagi, semua sudah jelas, bahwa kau tidur dengan juga Kornelius. Kau harus tahu satu hal, anak di perutmu itu belum tentu anakku, Diana," Martin kembali menambahkan.Diana tergugu, dengan pundak bergetar pelan mencoba bersuara."Bu—kan anakmu ka—tamu?" Diana berkata terbata-bata.Ia tak menyangka, begitu mudahnya Martin mengatakan janin yang di dalam perutnya bukan anak Martin. Padahal Martin yang pertama kali menjamah tubuhnya. Walau pernikahan diawali karena keterpaksaan. Namun, lambat laun, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Diana. Meski Diana tahu Martin tidak mencintainya."Iya." Martin langsung menanggapi Diana.Dengan air mata terus menetes Diana menatap dalam iris Martin. Sekarang, rasa kagum dan cintanya berubah menjadi rasa benci. Diana mengeluarkan tawa setelahnya. Wanita berambut panjang dan blonde itu tengah menertawai kehidupannya."Haha!"Melihat reaksi Diana, Martin mengangkat alis mata kiri dengan kening berkerut samar.Cordelia dan Lauren tak kalah herannya, lantas melempar pandangan satu sama lain sejenak.Diana maju beberapa langkah dan mendongak ke atas kemudian mencengkeram kuat kerah kemeja Martin dengan sangat kuat sambil berjinjit sedikit."Baik! Jika kau mengatakan ini bukanlah anakmu! Jangan pernah menyesali keputusanmu suatu saat nanti! Kau telah membuang darah dagingmu sendiri, Martin! Aku membencimu, aku sangat membencimu!" seru Diana dengan api kebencian berkobar-kobar dari sorot matanya.Saat ini, Cordelia terlihat kesal ketika melihat Diana menyentuh Martin. Dia hendak mendorong Diana. Namun, Lauren menahan tangannya.Martin menyeringai tipis. "Aku tidak akan menyesal dengan keputusanku, Diana. Pergilah dari sini, aku tidak mau melihat wajahmu lagi."Rahang Diana mengetat, tangannya pun semakin mencengkeram kuat kerah pakaian Martin hingga wajah pria itu terlihat mulai merah karena lehernya dicekik."Iya benar, pergi kau dari sini! Kornelius, cepat ambil koper wanita ini, kasihan dia tidak punya baju kalau tinggal di jalanan." Lauren memberi komentar tiba-tiba sambil melipat tangan di dada.Kornelius mengangguk patuh dan melaksanakan perintah Lauren. Meninggalkan Diana dan Martin masih memandang satu sama lain.Dalam hitungan detik, Diana menyentak kasar tubuh Martin. "Aku membencimu!!!"Martin terhuyung ke belakang sesaat lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana dan berkata,"Pergilah dari sini sekarang, Diana. Anggap kita pernah tidak pernah ada hubungan."Diana berdecih, lalu dengan cepat menghapus air matanya. "Iya, lebih baik seperti itu! Anggap saja kita tidak pernah ada hubungan sama sama sekali."Tak lama kemudian Kornelius datang ke ruang tamu sambil menyeret koper kecil."Tunggu apa lagi! Pergi kau dari sini! Kembalilah ke tempat asalmu sana, yaitu ke jalanan!" Sambil menyungging senyum sinis, Cordelia menendang kasar koper ke arah Diana.Diana mengambil kopernya seketika. "Dengan senang hati, aku akan pergi dari neraka ini!"Tanpa melihat respon Martin, Cordelia dan Lauren, Diana membalikkan badan lalu menyeret cepat kopernya menuju pintu utama.Sesampainya di luar gerbang mansion, Diana memukul-mukul dadanya yang terasa amat sesak dari tadi. Entah mengapa air mata kembali mengalir lagi. Mungkin karena hormon kehamilan membuat suasana hatinya mudah berubah sewaktu-waktu. Meski Diana mengatakan benci tapi tetap saja, dia tak dapat menyangkal masih ada sedikit cinta yang tertinggal di lubuk hatinya."Maafkan Mommy, Nak. Kita cari tempat tinggal yang nyaman ya, Sayang ...."Diana mengelus perlahan perutnya yang terlihat membesar sambil menitihkan air mata. Diana melirik ke belakang sekilas, melihat bangunan megah dan kokoh, yang pernah memberikannya sebuah kenangan manis dan pahit. Mendiang Philip Hamilton adalah orang yang memiliki andil dalam membuat kenangan indah tersebut.Pria itu terlampau baik padanya meski bergelimpangan harta namun tidak sombong. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Hamilton, keluarga terpandang di kota Caracas karena kedermawanan Philip dalam memberi sumbangan ke panti asuhan dan panti jompo.Setelah puas memandang, Diana mengalihkan pandangan ke depan gerbang. Mata Diana mengerjap beberapa kali, saat air menetes dari atas langit tiba-tiba.Diana mendongak, melihat awan mulai berwarna hitam dan bersamaan pula air hujan pun turun dari atas langit. Sepertinya semesta mengetahui isi hati Diana saat ini.Diana tersenyum getir setelahnya. Di bawah guyuran hujan, dengan langkah berat ia menyusuri jalanan tersebut. Diana tak tahu kemana arah kakinya akan melangkah, sekarang pikirkannya tengah melayang-layang, memikirkan nasib buah hatinya yang belum lahir ke dunia."Diana, mengapa kau ada di sini?"Diana tersentak saat suara tak asing terdengar dari belakang. Dengan cepat menoleh, melihat Martha berlari kecil ke arahnya sambil membawa payung dan mengendong sebuah ransel. Martha adalah teman Diana dan merupakan seorang penjual pakaian di Caracas.Diana tersenyum getir. Senyumannya tak hangat seperti biasa. Wanita bernetra abu-abu itu memandang Martha dengan tatapan sendu. "Aku harus pergi dari sini, Martha."Alis mata Martha berkedut. "Pergi? Jangan bilang kabar burung bahwa kau diceraikan Mister Martinez itu benar."Diana mengangguk lemah.Seakan dapat memahami perasaan Diana, Martha terlihat sedih. "Lalu kau mau pergi kemana, Diana?"Diana menggeleng cepat, lalu menundukkan kepala. Dia pun tak tahu akan pergi kemana."Apa kau mau pergi bersamaku ke Baracoa, hari ini aku harus pulang ke sana, aku baru saja mendapat kabar nenekku sakit, Diana," ucap Martha dengan wajah muram."Ke Kuba?"Diana tahu betul jika Martha berasal dari Kepulauan Kuba, bagian Amerika Tengah, terletak sangat jauh dari Venezuela dan harus menyeberangi Lautan Karibia untuk sampai ke sana. Martha, pemilik rambut hitam bergelombang itu datang ke Caracas memang mengadu nasib di sini. Jika Diana pikir-pikir tidak ada salahnya dia ikut ke sana. "Iya, ayo pergilah bersamaku, Diana. Aku pun belum tentu akan kembali ke kota ini, pakaianku akhir-akhir ini kurang peminat dan biaya sewa gedung juga sudah habis, aku tidak punya uang untuk membayarnya." Martha menjelaskan dengan raut wajah nelangsa. Diana melempar senyum hambar, merasa kasihan dengan gadis 22 tahun itu. Selama berteman, Diana tahu betul betapa tekun dan uletnya Martha dalam melakukan perkerjaan meski toko kurang peminat selama ini. "Apa aku tidak merepotkanmu, Martha? Aku membawa seseorang di dalam perutku ini?" tanya Diana sambil mengelus perut. Martha menggeleng cepat lalu tersenyum sumringah. "Tidak sama sekali, Diana. Justr
"Martin, aku mencintaimu, aku tidak rela melihat kau menyentuh wanita lain, selain aku ...."Sedari tadi Cordelia menitihkan air mata kala mendengar Martin akan mencari wanita lain bermaksud ingin mendapatkan anak. Karena sampai saat ini Cordelia tak kunjung hamil. Cordelia tahu jika tetua alias papa angkat Martin memerlukan keturunan untuk melanjutkan bisnis hitam Martin.Martin duduk di sofa sambil memegang cerutu. Asap terlihat udara, menandakan cerutu baru saja disesap. Mata elang nan tajam itu memandang ke arah Cordelia sedang terduduk di atas lantai sejak tadi."Lalu apa yang harus aku lakukan, Cordelia? Kemarin Papaku bertanya kapan kau akan hamil? Sebelum papa pergi, dia memintaku untuk segera memberinya seorang pewaris. Kau tahu sendiri kan, Papa hanya memiliki aku saja.Di umur tujuh tahun, Martin Martinez sudah tidak lagi memiliki orang tua. Orang tua kandungnya dibunuh oleh komplotan mafia lain. Masa lalu kelam mempertemukan Martin dengan Pablo. Pablo yang kebetulan tidak m
"Angela!" panggil Angelo. Angelo terlihat panik, melihat Angela berlari sangat kencang. "Ya ampun, bagaimana ini! Pasti Mommy marah padaku! Anak itu, apa sih yang dia lakukan!" gerutunya sambil mempercepat langkah kaki kala melihat Angela berbelok ke kanan tiba-tiba. Dia tak melihat apa yang telah terjadi barusan karena sibuk melayani pembeli. Sementara itu di toko pakaian, Pedro sedang sibuk melerai dua wanita pengunjung pakaian yang terlibat adu mulut. Sehingga sejak tadi perhatiannya teralihkan dan tak menyadari bila Angelo dan Angela tidak berada di dalam booth. Begitupula dengan Diana dan Martha. Karena matahari semakin meninggi, para pengunjung toko semakin padat merayap. Sampai-sampai kedua wanita itu kewalahan dan tak menyadari pula si kembar tidak berada di sekitar. "Hei, belhenti!"Angela masih mengejar Cordelia dan Ursula sambil memegangi mahkota bunga di atas kepala. Bocah itu tak mau uang hasil kerja kerasnya terbuang begitu saja. Cordelia dan Ursula pun tak berniat m
"Hai, Uncle siapa ya?"Angela mencoba bertanya. Karena dia sangat penasaran. Namun, Martin malah memberi kode pada kedua karyawannya untuk pergi sekarang. Mereka mengangguk cepat kemudian berlalu pergi, meninggalkan Martin sedang memicingkan mata, mengamati wajah yang mirip dengannya itu. Martin terlihat enggan menyahut. Namun, entah mengapa kedua bocah itu menarik perhatiannya sekarang. Dengan sabar Angela menanti jawaban dan pada akhirnya baru sadar akan tujuan awalnya datang kemari. "Astaga, wanita penjahat itu belum membayal!" celetuknya tiba-tiba. Secepat kilat Angela memutar kepala ke samping, melihat Angelo masih bergeming dengan kepala mendongak ke atas."Abang, ayo kita minta bantuan olang ini untuk naik ke atas?" kata Angela sambil menepuk kuat pundak Angelo. Angelo tersentak, dengan cepat menoleh ke samping kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Angela. "Kau benar, tapi sebaiknya jangan minta bantuan orang ini, lihatlah dia terlihat menyeramkan," sahutnya sambil melir
"Agnes! Grace!" seru Angelo dan Angela bersamaan. Martin mengerutkan dahi sedikit ketika jawaban yang mereka berikan berbeda-beda. "Aku ulangi sekali lagi, siapa nama Mommy kalian?" Menyadari bila nama yang dilontarkan berbeda, Angelo dan Angela melirik satu sama lain. Mereka tengah kebingungan, ingin menyebut nama siapa. Walaupun saat ini berada jauh dari pantauan Diana. Keduanya tak lupa akan ajaran Diana, bila seseorang bertanya siapa nama orang tuanya, jangan pernah berkata jujur. Angelo dan Angela tak banyak bertanya dan mengira ajaran Diana untuk keselamatan mereka. "Hm, Agnes Grace nama lengkap Mommy kami, iya kan, Angela?" Angelo menyenggol kuat lengan Angela. Berharap pria asing di hadapannya dapat percaya.Angela langsung mengangguk-anggukkan kepala. "Iya benal, Agnes Grace, itu nama panjangnya, hehe."Martin memicingkan mata, tingkah laku Angelo dan Angela nampak mencurigakan. "Hmm."Tatapan Martin membuat Angela menatap balik. "Memangnya ada apa, Uncle? Mana uangnya, kam
Dikala Diana dilanda kepanikan dan saat ini mencari kesana kemari buah hatinya bersama Martha dan Pedro. Berbeda dengan Angelo dan Angela yang sedang berada di atas pencakar langit, tepatnya di helikopter, keduanya tengah tertidur dengan sangat pulas dalam pangkuan Martin sekarang. Sedari tadi pria berwajah bengis itu memperhatikan wajah mungil keduanya secara bergantian. Entah apa yang dipikirkan Martin. Namun, mampu membuat Cordelia gundah gulana. Sedari tadi, Cordelia mencoba mengajak Martin berbicara dan bertanya, mengapa membawa kedua anak itu ke Caracas. Akan tetapi, Martin tak menjawab sama sekali. Cordelia hanya dapat menahan kesal.'Tidak mungkin dua bocah ini anak Diana, itu tidak mungkin ....' Duduk di depan Martin, Cordelia mengigit ujung kuku-kukunya sambil menatap dingin Angelo dan Angela secara bergantian.Ursula yang duduk di sampingnya pun memandang Angelo dan Angela dari tadi. "Mister, kita langsung pergi ke mansion Hamilton?" Di kursi paling depan bersama co-pilot
Melihat mimik muka Martin, Diana semakin meradang. Matanya memancarkan kemarahan mendalam. Berarti benar prasangkanya jika Angelo dan Angela berada di sini. Dengan napas memburu Diana mendekat lalu melayangkan tatapan tajam pada Martin."Di mana anakku?!" tanya Diana lagi dengan rahang mengetat kuat. Martin menyungging senyum sinis lalu mengangkat sebelah alis mata kiri sedikit. "Apa aku tidak salah mendengar? Kau mencari anakmu di sini?"Netra Diana semakin melebar. Martin telah menyiram bensin di atas bara api. "Tentu saja, kau menculik mereka kan! Cepat jawab di mana mereka sekarang! Kau apakan mereka hah?!"Tawa keras membahana di ruang tamu itu seketika. Martin tertawa sambil memandang penuh cela. "Apa kau punya bukti kalau aku menculik mereka? Lihatlah tidak ada mereka di sini, 'kan?" Martin mengedarkan pandangan sesaat. Dia tak mau Diana sampai tahu bila si kembar ada di dalam kamarnya sekarang. Walau wajahnya mirip tapi Martin masih harus memeriksa apakah DNAnya cocok dengan
"Jangan pikir aku hanya mengertakmu, Diana!" Tanpa berniat menurunkan senjata api, Martin mencoba menarik pelatuk, yang jika ditarik larasnya tidak akan bersuara. Martin mendekat hingga pada akhirnya ujung pistol menempel di kening Diana sekarang. Pria itu menyungging senyum tipis, sangat tipis, hingga mampu membuat Diana meneguk ludahnya berulang kali saat ini. Aura pekat yang menguar dari tubuh Martin membuat Diana merinding tiba-tiba. Di mata Diana, Martin bak iblis yang siap menjemput ajalnya. Diana mulai ketakutan, keringat dingin pun menjalar dari pori-pori kulitnya sekarang. Angelo dan Angela masih tertidur dengan pulas, Diana dapat mendengar dengkuran halus masih berhembus dari hidung mungilnya. "Bawa kembali mereka ke kamar, Diana. Aku Tuan rumah di sini, kau orang luar yang berusaha masuk ke rumahku," desis Martin, dingin.Demi keselamatan Angelo dan Angela, Diana terpaksa membawa mereka kembali ke kamar Martin.Setelah sampai di atas, secara perlahan-lahan Diana merebah
"Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin
21+++***(Maaf tidak sesuai ekspetasi) ~~~Sepasang mata bulat Jane langsung membola, hendak melawan. Namun, Angelo mengekang tubuhnya. Terlebih, bibirnya dibungkam Angelo sekarang. Kali ini Jane tak bisa menolak. Mungkin karena rindu yang mengebu-gebu. Dia mulai pasrah terhadap perlakuan Angelo.Bibirnya dikecup, disesap dan lidahnya pun dililit-lilit Angelo hingga keduanya saling bertukar saliva. Jane memejamkan mata, menikmati kecupan ganas yang dilakukan Angelo saat ini. Sementara Angelo amat tak tahan. Sejak tadi menahan diri, melihat bibir ranum Jane bergerak-gerak. Di mata Angelo, wanita bertubuh mungil ini amat menggemaskan. Kini lelaki bermata cokelat tersebut. Dengan mata menutup mencekal pergelangan tangan Jane. Napasnya memburu, jantungnya pun berdetak kencang, seakan-akan organ dalamnya akan meledak. Sampai pada akhirnya ia menjauhkan sedikit wajah kala mendengar Jane kesulitan mengambil napas. Angelo membuka mata, menatap seksama wajah Jane yang masih berusaha mera
Sampai keluar mata Angelo kala mendengar perkataan Martin barusan. Dia terperangah sejenak."Daddy." Angelo menahan geram karena Martin tak dapat diajak berkompromi saat ini. "Ck, berkerjasamalah denganku, Dad, ayo cepat ralat ucapan Daddy barusan."Martin tak menyahut, malah mendengus lalu melipat tangan di dada. Angelo menghela napas lelah kemudian. Dengan cepat ia menekan bell rumah lalu berkata,"Maaf Tuan Georgio, Daddyku hanya bercanda tadi, sebenarnya dia ingin meminta maaf pada Tuan.""Cih, aku tidak bercanda! Aku memang mengajakmu berduel, sialan!" protes Martin cepat membuat Angelo semakin kalang kabut.Angelo menatap tajam Martin, memberi bahasa isyarat untuk diam. Lagi dan lagi Martin balas dengan mengeluarkan dengkusan kesal.Tak ada tanda-tanda pagar akan terbuka. Angelo pun mulai memarahi Martin. Tak lupa ia berulang kali melontarkan kata maaf dengan berbicara melalui alat di dekat pagar, yang di mana itulah adalah kamera pengintai berupa suara yang terhubung ke dalam m
Jane terbelalak. Dengan cepat meloncat dari atas ranjang kemudian bergegas menghidupkan lampu ruangan. Angelo meringis pelan tatkala mendapat pukulan di rahangnya barusan. Seumur-umurnya baru kali ini dia dipukul oleh seorang wanita. Sambil memegangi pipi, dia memandang ke sudut ruangan, di mana Jane berdiri dengan raut wajah kebingungan. "Angelo, kenapa kau bisa di sini?" Jane heran mengapa Angelo bisa masuk ke dalam kamarnya. Padahal setahunya keamanan di mansion sudah diperketat Georgio. Namun, detik selanjutnya dia sadar bila Angelo adalah tentara yang memiliki kemampuan khusus di dunia militer. "Pergilah Angelo, sebelum ketahuan Daddyku," ujar Jane kemudian sambil membuang muka ke samping. Jujur saja, ia ingin sekali berlari kencang ke arah Angelo dan memeluknya erat-erat sekarang. Namun, mengingat pesan yang dikirim Claudia tadi, Jane urungkan. Angelo mendengus lalu menghampiri Jane hendak meraih tangan pujaan hatinya. Akan tetapi, Jane segera menepis tangannya dengan cepat