Lima tahun kemudian...
Langkah kaki Alex terdengar sesaat setelah dia keluar dari lift yang terbuka. Ia menyusuri lobi kantor JS Group sambil sesekali mengibaskan tangan ketika beberapa karyawan menyapa dan menunduk hormat padanya.
Mereka sebenarnya tidak bisa menyembunyikan kekagetan melihat sosok sang CEO secara langsung sore ini. Biasanya bos besar mereka itu akan melewati lorong khusus eksekutif. Entah apa yang membuat seorang Jest Alexander Suh memilih jalan umum kali ini.Alex tak terlalu memusingkan pandangan bertanya-tanya yang mengikuti langkahnya. Dia malah terlihat lega karena setelah ini bisa pulang ke rumah dengan tenang. Sudah lepas lima tahun sejak Alex mengusir Lara pergi. Alex tidak pernah melihatnya lagi di sekitar sini atau kebetulan bertemu dengannya di tempat lain. Wanita itu pasti sudah lama pergi dengan selingkuhannya. Hanya itu kesimpulan yang ada di pikiran Alex selama ini.Alex hampir keluar dari lobi untuk masuk ke dalam mobil, tapi langkahnya terhenti saat dia melihat seorang petugas kebersihan diminta membawa beberapa barang naik ke lantai sepuluh, padahal wanita yang tengah hamil besar itu sudah tampak kesusahan.Alis Alex berkerut, dalam hati mempertanyakan kenapa ada wanita hamil yang bekerja di kantornya? Alex menunggunya untuk lewat, menyaksikannya yang kesulitan membawa barang yang sedikit berat. Beberapa tumpukan map dan kertas bersegel yang membuat Alex mendekatinya."Tuan Alexander?"Dia menyapa Alex dengan gugup, tidak berani memandang bosnya."Kenapa masih bekerja saat sudah hamil besar? Ambillah cuti!"Wanita itu menggeleng dengan sopan saat menjawab Alex dengan seulas senyum, "Saya butuh sedikit tambahan uang buat lahiran nanti, Tuan. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya..." "Suamimu ke mana?"Petugas kebersihan itu tampak tertegun, tidak menduga bos yang kata orang terkenal arogan itu bertanya tentang suaminya. Dia bahkan tidak menyangka pria itu akan repot-repot menghampirinya seperti ini. Dia memiringkan kepalanya sejenak sebelum menjawab Alex dengan ragu."Tidak ada, Tuan. Dia sudah pergi dengan selingkuhannya. Hanya saya yang dimiliki anak saya sekarang," kata wanita itu sambil mengusap perut buncitnya. Setelah itu ia pamit undur diri dari hadapan Alex yang berdiri mematung di tempatnya. Pandangan Alex mengikuti ke mana wanita itu pergi, sampai hilang di balik lorong.Dada Alex tiba-tiba sesak oleh pengakuan itu. Dia tidak tahu mengapa kalimat itu membuat perasaannya jadi tidak enak. Mengapa seorang wanita hamil malah bekerja keras seorang diri? Bukankah seharusnya wanita itu beristirahat saja di rumah menunggu kelahiran anaknya?Dengan langkah yang gamang Alex berjalan keluar dari lobi. Dia menatap pada gugusan mendung kelam yang mengingatkannya akan hari di mana dia mengusir Lara pergi dari rumahnya."Bukannya saat itu dia bilang dia sedang hamil?"Alex memejamkan matanya sekilas saat berpikir, 'Kalau benar dia hamil, bukankah ada kemungkinan itu adalah anakku?'Gerimis turun mendinginkan keadaan sekitar bersamaan saat keringat dingin yang keluar dari keningnya."Dia pergi ke mana..." gumam Alex tanpa sadar.Sebuah perasaan bersalah menyelinap dalam hati Alex. Waktu ternyata berjalan dengan sangat cepat. Sudah lima tahun mereka tidak pernah bertemu setelah hari itu.Lara seperti menghilang tanpa jejak. Dengan keadaan terusir, apalagi dia tidak punya tujuan dan tidak mungkin mengatakannya kepada keluarganya bagaimana sikap Alex, bukankah tidak ada yang bisa menjamin Lara akan baik-baik saja?Alex ingat Lara pernah mengatakan bahwa dia juga melakukan pernikahan karena terpaksa. Tapi Alex sangat membencinya seolah Lara bukan manusia yang berharga. Sial. Selama ini Alex hidup seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apapun. Lantas mengapa hari ini ia tiba-tiba merasa terusik dan memikirkan wanita itu?Alex menghela nafas kasar. "Harusnya aku tidak boleh menimpakan kebencian padanya sebesar itu," lirihnya, teringat betapa buruk ia telah memperlakukan Lara. Setelah meraba apa yang pernah dia lakukan, Alex sadar dia sangat egois. Tidak pernah menganggap Lara bahkan saat dia meratapi duka atau mengeluh sakit.'Kamu dimana, Lara?' batin Alex sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Alex tidak ingin larut dalam pemikiran tentang Lara. Bagaimana pun, mereka sudah hidup masing-masing. Di mana dan apa yang dilakukan wanita itu bukan urusan Alex. Saat tiba di rumah, Alex mengernyit mendapati Shiera ternyata ada di sana, seolah memang sudah sewajarnya demikian."Kamu di sini?"Shiera yang duduk di ruang tamu menoleh saat Alex datang seraya melepas jas yang dia kenakan."Aku menunggumu," sahut Shiera sambil tersenyum manis."Aku sedang tidak ingin melakukan apapun sekarang. Tinggalkan aku sendiri!"Shiera berdiri dari duduknya, berjalan menghampiri Alex dan memeluknya."Aku mau menginap di sini, Alex.""Pulanglah!" kata Alex dingin."Kenapa? Bukannya kamu bilang aku boleh melakukan apapun di sini?" tanya Shiera, terlihat bingung dengan penolakan Alex hari ini. Tapi dia dengan cepat menguasai diri. Jemari tangannya mainkan kerah kemeja Alex dengan gerakan sensual."Kamu pernah bilang kalau pernikahanmu dengan Lara hanya sebatas status. Sekarang dia sudah tidak ada. Tapi kenapa kamu tidak kasih kejelasan buat hubungan kita, Sayang?" katanya dengan suara yang terdengar manja.Alex mendorong napasnya dengan sedikit kasar, meraih kedua tangan Shiera yang ada di dadanya dan menjauhkannya."Kamu tidak bosan tanya soal itu terus?""Karena hubungan kita tidak jelas sampai sekarang, Alex.""Apa berada di sampingku seperti masih belum cukup bagimu, Shiera?"Shiera menelan ludah, lalu menatap Alex dengan tatapan menggoda. Ia masih terlihat berusaha melunakkan pria di hadapannya. "Kalau aku jawab tidak, bagaimana?"Tapi bukannya melunak, Alex malah terlihat muak. "Aku mulai bosan denganmu yang selalu meminta banyak hal!""Karena kita setiap hari tidur bersama, Alex. Apa kamu tidak ingin menjadikanku sebagai istrimu?"Alex menghela napas lagi. "Kita bahas lain kali. Aku lelah."Alex meninggalkan Shiera yang menggigit bibirnya menahan rasa kecewa. Berulang kali Shiera tanyakan hal ini jauh setelah Lara diusir. Tapi jawaban Alex masih sama.Alex sebenarnya mulai bosan dengan sikap Shiera. Kekasihnya itu terlalu banyak menuntut. Marah jika Alex tidak melakukan atau terlalu lama mengabulkan keinginannya. Lambat laun Alex merasa jika hidupnya ini dikendalikan oleh Shiera.***Beberapa waktu berlalu, Alex masih berkubang dengan rasa ingin tahunya. Dia sudah memerintahkan salah satu bawahannya untuk mencari tahu keberadaan Lara. Alex pikir, saat itu dia hanya teringat saja pada Lara, tapi ternyata rasa ingin tahunya itu berubah menjadi keinginan yang besar agar mereka kembali dipertemukan.
Pagi ini saat dia berangkat ke kantor, dia mendapat kabar dari sekretarisnya bahwa dia belum bisa menemukan di mana keberadaan Lara.Saat hampir mendekati persimpangan lampu merah, sopir yang mengemudikan mobil Alex menginjak pedal remnya dengan cepat karena mobil di depannya melakukan hal yang sama lebih dulu.Alex hampir mengeluarkan umpatan kasar sebelum dia mendengar jeritan seorang wanita yang sampai di telinganya. Alex keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi.Seorang anak perempuan yang berumur sekitar empat tahun tergeletak tak berdaya di tepi jalan, bersimbah darah dengan bibir memucat sedangkan mobil yang tadi menabraknya langsung pergi begitu saja.Wanita yang menjerit itu tampak ketakutan dan menengok sekeliling meminta bantuan.Alex berlari ke arahnya, berlutut di sebelah tubuh mungilnya. Perlahan mengangkat kepala terkulai gadis kecil itu ke pangkuannya. Menatap matanya yang sayu saat tangan kecilnya yang berbalut darah menyentuh pipi Alex dan dengan nelangsa memanggilnya, "Papa?"Alex tercenung dengan panggilan itu, kedua netranya basah menyadari kesedihan yang tersirat di dalamnya.Batinnya pun mengalami pergolakan, 'Dulu Lara bilang dia sedang hamil saat aku mengusirnya. Kalau apa yang dia katakan hari itu benar, anak itu sudah pasti sebesar ini, 'kan?'Alex terjaga saat gadis ini menutup mata. Dia tak menunggu jawaban saat mengatakan, "Ayo kita bawa dia ke rumah sakit."Dia mengangkat dan memeluk tubuh kecil anak ini ke dalam mobil dengan diikuti oleh wanita itu.Alex meminta sopirnya untuk bergegas memburu waktu, dia takut terjadi sesuatu yang buruk karena saat Alex mengangkatnya, tubuh mungil itu terasa sangat dingin.Mereka tiba di instalasi gawat darurat, menyerahkan anak perempuan itu dibawa perawat untuk ditangani. Sementara wanita yang tadi bersamanya diminta untuk mendaftar di administrasi.Percakapan itu masih bisa didengar oleh Alex dari tempatnya berdiri."Namanya Shenina. Kiran Shenina," kata wanita itu, masih terdengar sangat panik."Anda walinya?""Saya guru yang mengajar di playgroup tempatnya sekolah, Bu.""Bisa tolong Ibu kasih tahu walinya untuk segera datang ke sini?""Bisa. Akan saya telepon ibunya.""Baik, siapa nama ibunya? Untuk pendataan.""Isabella Lara Gilbert."Alex berdiri dengan punggung tegak saat mendengar nama yang baru saja disebutkan. Anak perempuan yang baru saja dia peluk dan memanggilnya 'papa' itu adalah anaknya Lara?Setengah jam berlalu, seorang perempuan berambut panjang berlari memasuki teras instalasi gawat darurat, itu adalah Lara.Dia mendekat pada guru playground yang baru saja dia sapa sebagai Lily, yang memberi tahunya bahwa anaknya yang bernama Shenina sedang ditangani oleh tenaga medis."Maaf kami lalai, Bu Lara," ucap Lily seraya menunduk di depan Lara yang kedua bahunya jatuh.Lara tidak serta-merta memberinya jawaban karena kedua matanya mengarah lurus pada pintu ruang IGD yang tertutup. Di dalam sana, Lara yakin Shenina kecil sedang kesakitan."Apa yang terjadi, Miss Lily?" tanya Lara pada Lily dengan suara yang gemetar."Shenina tadi bertengkar dengan teman-temannya.""Shen bertengkar?" ulangi Lara, dia tidak percaya karena baginya Shenina adalah anak yang cenderung pendiam."Iya. Dia bertengkar dengan teman-temannya karena mereka bilang kalau ...." Ada jeda yang menjadi pertimbangan Lily, mimik wajahnya seperti bicara, 'Haruskah aku katakan ini?'Namun, akhirnya Lily mengaku, "Me
Sejak dulu, Lara sangat benci dengan Alex. Setelah sekian tahun berlalu, rasa benci itu masih sama besarnya.Lara tidak salah dengar saat Alex baru saja mengatakan agar Lara kembali ke rumahnya sebagai syarat dia akan menjadi pendonor untuk Shenina."Ibu tolong putuskan segera ya, anak anda butuh pertolongan dengan cepat. Kantong darah yang kami berikan untuknya itu kantong darah terakhir yang kami punya di rumah sakit ini."Dokter yang tadi bicara dengan Lara undur diri. Menyisakan dirinya yang berhadapan empat mata dengan lelaki yang paling dia benci di dunia ini.Alex menunggu jawaban Lara yang tersembunyi dalam diam, dia tak juga bicara, mereka diselubungi bisu meski kesibukan rumah sakit berlalu-lalang tanpa henti.Lara hengkang meninggalkan Alex, akan dia cari sendiri golongan darah yang sama dengan Shenina. Dia tidak membutuhkan bantuan lelaki arogan itu.Namun, langkah gelisahnya terhenti saat dia mendengar Alex yang berujar, "Putuskan Lara, kamu yang memegang hidup dan mati S
Tiga hari berlalu .... Setelah dirundung harap-harap cemas, akhirnya Lara bisa melihat Shenina sadar. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka mendapatkan stok darah cadangan yang sama dengan golongan darah Shenina sehingga Lara tak perlu mengkhawatirkan apapun.Anak gadisnya itu sekarang duduk di atas ranjang kamar rawatnya dengan berulang kali bertanya apa yang terjadi dengan kakinya yang digips, kenapa dibungkus seperti itu?"Mama, kenapa ini kakinya Shen?" tanyanya dengan lucunya."Sakit, Shen. Makanya kakinya Shen dikasih obat biar cepat sembuh. Ya?" rayu Lara karena Shenina ingin melepasnya."Iya, Mama.""Cepat sembuh, Sayang. Jangan sakit-sakit lagi!""Iya. Di mana kakak Neo?""Di rumah sama bu Alin, Shen." Alin yang dia katakan itu adalah nama pengasuh yang Lara minta untuk menjaga Neo saudara kembarnya Shenina, selama Lara jaga malam di rumah sakit."Shen tidur dulu ya? Ini sudah malam, Sayang."Lara mengusap puncak kepalanya dengan lembut, mengambil selimut untuk Shenina
Di dalam ruang CEO JS Group ....Alex yang tadinya duduk di balik meja kerjanya dan tengah menanda tangani soft file secara cepat mengangkat wajahnya.Itu disebabkan karena pintu ruangannya terbuka dengan sedikit kasar dan dia bisa menjumpai wajah seorang perempuan yang masuk dengan raut yang marah.Shiera, selingkuhan Alex. Napasnya naik turun tak beraturan saat sekretarisnya Alex yang bernama Ibra itu mencegahnya untuk tidak mendekat.Alex memutar kedua bola matanya dengan malas, dan itu bisa dilihat oleh Shiera yang tahu jika kehadirannya di sini tidak diinginkan atau disambut dengan baik."Beraninya kamu memasang wajah seperti itu padaku, Alex!" teriaknya marah, mendekat pada Alex yang sesegera mungkin ditahan oleh Ibra."Jangan membuat keributan di sini, Shiera! Keluarlah!"Ibra hampir menyeret Shiera keluar dari sini sebelum mendengar Alex yang mengatakan, "Biarkan dia bicara, Ibra! Tinggalkan kami!"Ibra memutar kepalanya pada Alex dengan tatapan yang seperti bicara, 'Serius?'A
Dengan langkah yang terasa gamang, Lara berjalan di sepanjang koridor yang mengantarnya menuju ke ruang ICU.Lara tidak sendirian melainkan dengan Alex yang berjalan di sebelah kanannya. Tidak ada yang bicara di antara mereka.Alex menyetujui Lara untuk datang ke sini dan melihat keadaan Shenina selepas percakapan mereka di lobi JS Group.Tidak ada yang bicara juga selama perjalanan mereka menuju ke tempat ini. Lalu-lalang tenaga medis dan pasien mengiringi mereka hingga sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Dari jendela besar yang ada di depan mereka, Lara menunjuk pada seorang anak perempuan yang terbaring dan memejamkan matanya. Tangan kecilnya diinfus dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya."Shenina di sana," ucap Lara lirih, tanpa memandang Alex.Alex melihatnya. Itu adalah gadis kecil yang sama yang hari itu dia selamatkan. Gadis kecil yang tangannya berbalut darah dan memanggilnya sebagai 'papa.'"Ya, aku melihatnya, Lara."Lara memandang Alex dari samping, tid
Alex menunduk dalam, wajahnya tidak terlihat. Hanya kedua bahunya yang sedikit berguncang karena tangis itulah yang tampak.Dia tidak mengatakan apapun setelah jatuh berlutut di depan Lara dan Neo.Alex meremas kedua tangannya saat irisnya yang kelam perlahan menatap Lara. Yang tidak tahu harus bersikap bagaimana melihat matanya yang dipenuhi oleh kabut sesal. Lara tidak penah melihatnya seperti ini, dulu sepanjang dia mengenal Alex. Matanya tertoreh sakit, dan itu saat dia mengaku salah di depan Lara karena keegoisan yang dia agungkan."Maaf, Lara. Maafkan aku ...." lirihnya hampir tak terdengar.Menunggu jawaban Lara, dadanya justru dipenuhi dengan jelaga.Meski mata mereka bersambut, tapi hati mereka tidak."Memaafkanmu sekarang pun tidak ada gunanya, seperti yang kamu bilang, Alex. Ini sudah terlambat.""Tidak, Lara. Tolong beri aku kesempatan. Maksudku ... aku tahu aku salah. Aku egois, aku akui itu."Lara tertawa pahit, dia mengangkat kedua bahunya sekilas saat menggantung jaw
Dari kursi ruang tunggu yang ada di depan ICU, Lara terbuka lebar kedua matanya mendengar apa yang dikatakan oleh Karel.Karel ke sini sesaat setelah Alex pergi meninggalkan Lara dengan berpamitan membelikan makanan.Dia melihat keadaan Shenina sejenak sebelum mengambil duduk di sebelah Lara. Tidak banyak yang dikatakan oleh Karel sampai ajakan menikah itu tiba di telinga Lara.Memang ini bukan untuk yang pertama kalinya. Tapi sekarang, Karel memiliki alasan yang lebih kuat. Itu karena sakitnya Shenina, anak gadisnya yang membutuhkan sosok 'papa' dan Karel maju untuk mewujudkan keinginannya."Dokter Karel tahu kita tidak bisa melakukan itu, 'kan?" tanya Lara seraya membuang napasnya dengan tidak nyaman."Kenapa kita tidak bisa melakukan itu, Lara? Maksudmu kita tidak bisa menikah?""Iya," jawab Lara singkat, yang tak memuaskan bagi Karel."Ada perempuan yang dijodohkan sama Dokter Karel. Kita tidak bisa menikah."Karel menggeleng, ada penolakan yang besar di kedua matanya."Tidak, Lar
"Lepas!"Lara menarik tangannya dari Alex dengan cepat. Mungkin bisa dibilang sedikit kasar.Biar!Lara tidak peduli.Dan itu menimbulkan reaksi Alex yang kurang baik. Lelaki itu hampir mengambil napasnya untuk bicara pada Lara sebelum Lara lebih dulu mengatakan, "Jangan mengaturku!"Rasa nyeri di pipi sebelah kiri Lara membuatnya marah.Matanya yang basah bergantian memandang Alex dan juga Karel yang bergeming di sisinya."Kamu tidak berhak mengatur atau mendesak dengan siapa aku hidup, Alex!"Lalu memutar kepalanya pada Karel yang tampak khawatir menyaksikan wajah Lara yang sebentar lagi pasti akan lebam dan membiru."Kamu juga berhentilah memintaku menikah denganmu, Karel! Aku tidak bisa lakukan itu! Berapa kali harus aku bilang?""Jadi kamu tidak memilih di antara kami?" tanya Karel dengan serak."Kamu harus memutuskan lara!" desak Alex masih tak ingin menyerah.Tangan Lara terkepal erat kedua sisinya. Tak habis pikir dengan dua pria dewasa yang sama-sama tidak waras baginya ini.
Lara tidak bisa menahan haru melihat api yang meliuk di atas lilin kecil pada kue black forest yang dibawa oleh Neo. “Selamat ulang tahun, Mama,” kata Shenina pertama-tama. “Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya.” Lara dengan segera melakukan itu. Ia merapatkan tangannya dan berdoa agar kebahagiaan ini tidak pernah putus. Untuknya, untuk keluarganya. Agar mereka diberkati dalam kebahagiaan yang sempurna. Barulah setelah itu Lara menunduk, merendahkan tinggi tubuhnya untuk meniup lilinnya. Lara menerima kue dari Neo yang mengatakan, “Selamat ulang tahun untuk Mama,” katanya manis. “Tidak banyak yang Neo minta selain Mama menjadi Mama yang bahagia.” “Selamat ulang tahun, Mama,” kali ini Shenina yang berujar. “Shen juga memiliki harapan yang sama, semoga Mama tetap bahagia. Dan tetap menjadi Mama cantiknya Shen.” Lara lebih dulu meletakkan kue ulang tahun dari para kesayangannya ke atas meja makan kemudian ia memeluk si kembar yang dengan senang hati membalasnya. “Terima kasih unt
*** Merasakan dingin yang memeluknya, Lara membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal bahkan setelah ia membuka matanya. Ia baru saja berpikir dirinya sedang tidur di lantai seperti lima tahun silam agar anak-anaknya bisa tidur dengan nyaman di atas ranjang. Ia menggigil, kenangan akan sulitnya masa lalu sekali lagi membuatnya terjaga dengan keadaan yang berbeda. Dulu, Lara terbangun karena dingin dan tidak nyaman, tidak ada selimut untuknya selain ia menggunakan apapun untuk menutupi tubuhnya. Tetapi sekarang ia terbangun di tempat yang nyaman dan bahkan tidak sendirian. Tangisan Sky itulah yang pasti membuat intuisi seorang ibu dalam dirinya membuka mata. Dan saat hal itu ia lakukan, Lara telah menjumpai Alex yang berdiri dan menggendong Sky. Ia tampak memandang Lara dengan hanya bibirnya saja yang bergerak seolah bertanya, ‘Kenapa kamu bangun?’ “Sky baik-baik saja?” tanya Lara lirih. Alex mengangguk, menunjukkan Sky yang kembali terlelap saat Alex menepuk lem
.... Dari tempat bulan madu Karel dan Sunny. Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Lara bahwa ada kemungkinan mereka memang sedang berbulan madu ... hal itu memang benar! Mereka pergi berbulan madu setelah penantian yang cukup panjang dan lama mengurus izin cuti Karel yang notabene adalah seorang dokter yang bisa dikatakan ... hm ... masih baru di tempat ia bekerja. Udara sejuk Edinburgh membelai wajah Sunny begitu ia membuka pintu geser di sebuah hotel tempat mereka menghabiskan waktu selama mereka di sini. Ia memandang ke luar dan berdiri di balkon. Pandangannya ia jatuhkan paada jalan yang tampak lengang pada hari MInggu pagi ini yang sebagian besarnya basah oleh sisa hujan. Semalam memang Edinburgh diguyur hujan. Bukan hujan deras tetapi itu cukup untuk membuat bunga kecil dan dahan pepohonan kedinginan pagi ini. “Cantik sekali pemandangan setelah hujan,” gumamnya. Meski ia sebenarnya juga suka pemandangan sebelum hujan, tetapi setelah curahan air turun dari langit ... ia
.... “Apakah Neo dan Shenina suka dengan sekolah baru mereka, Lara?” tanya Alex pada Lara yang saat ini tengah menatapnya setelah mengalihkan wajahnya dari layar ponsel yang ada di tangannya. “Aku rasa mereka senang,” jawab Lara. Memandang sekilas pada jam digital yang ada di atas meja kemudian pada Sky yang terlelap di dalam box bayi miliknya. “Karena mereka bisa bertemu dengan si kembar Zio dan Asha juga, ‘kan? Kamu ‘kan tahu kalau mereka itu bestie.” Alex tak bisa menahan senyumnya. Ia menutup laptop yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas yang tak jauh dari ranjang sebelum meraih ponsel Lara. “Jangan main ponsel terus! Peluk aku sekarang, hm?” Alex merengkuh pinggang Lara, membuatnya berbaring dengan nyaman saat mereka merasakan hangat di bawah satu selimut yang sama. Mereka saling memagut untuk beberapa lama sebelum Alex mengecup pipinya. “Cantik sekali ....” “Bukankah aku memang selalu cantik?” tanya Lara, menyentuh garis dagu Alex, tersenyum saat merasaka
*** . . Berhasilkah? Tidak! Tapi mungkin saja, 'kan? Pertentangan batin sedang bergejolak di dalam benak Kalisha. Ia berdiri bersandar di pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Menggenggam sebuah test pack yang ada di tangannya. Yang baru saja ia gunakan untuk mengetes, apakah ia benar hamil ataukah tidak. Ia memang sering terlambat datang bulan. Tapi tak seperti kali ini. Ini sangat jauh dari hari biasanya. Jadi ia ingin melakukan tes. Sejak pernikahannya dengan Ibra, lebih dari satu tahun lamanya, lebih dari berbulan-bulan pula ia selalu terlambat datang bulan dan hasilnya selalu satu garis setiap ia ingin melihatnya. Dan ia tak pernah mengharap lebih soal itu. Tapi sekarang, dadanya berdebar lebih dari biasanya. Sebagai seorang perawat yang tahu betul seperti apa detak jantung normal dan detak jantung yang tidak normal, maka Kalisha akan menggolongkan ini sebagai detak jantung yang tidak normal. Berisik sekali. Berdentum. Seolah tak mau diam setiap kali tanya muncul m
Yang dilihat oleh Lara itu adalah Roy, ayahnya. Ia tak berdiri di sana sendirian melainkan bersama dengan ibunya Lara, Laras. Tak ia ketahuai berapa lama waku berjalan hingga membawa Roy ke hadapannya. Sudah tahun demi tahun berlalu, bukan? Lara memang mendengar jika hukuman untuk ayahnya itu mendapatkan keringanan karena ia berperilaku baik selama menjadi tahanan. Dan ternyata, kepulangannya itu adalah hari ini. Atau mungkin beberapa saat lebih awal dari hari ini karena setidaknya ia membutuhkan waktu untuk bersiap ke sini. Barangkali dengan meneguhkan hatinya untuk bisa menghadapi Lara. Sebab beberapa kali Lara mengunjunginya di tahanan, Roy selalu mengatakan hal yang sama. ‘Mungkin nanti Papa tidak bisa langsung menemuimu karena merasa sangat bersalah, Lara.’ Tapi sekarang dia di sini. Di hadapan Lara. Berdiri dengan tampak canggung dan air matanya mengembun membasahi pipi saat ia tersenyum dan membiarkan Lara datang guna memeluknya. “Papa ....” Lara mengulanginya sekali
*** Beberapa waktu setelah tertangkapnya Selim, Lara kemudian tahu bahwa yang dilakukan oleh pria itu jauh lebih parah daripada yang ia bayangkan. Bagaimana ia mengawasi Lara sebelum dan sesudah kembalinya ia dari luar negeri membuat Lara bergidik merinding saat Alex menceritakannya dan membawa beberapa catatan yang difoto oleh Ibra. Salah satunya juga adalah soal kegugurannya kala itu yang disebut oleh Selim sebagai 'hilangnya anak monster.' Hati Lara sakit. Ia tak pernah tahu ada orang sejahat itu yang hadir di hidupnya. Dan rasanya itu bertubi-tubi. Ingat saja berapa banyak orang yang membuatnya sengsara. Dimulai dari Nala yang kabur pada hari pernikahannya, atau Shiera yang membencinya karena menganggapnya merebut Alex. Tetapi Selim memberikan rasa tersendiri, ketakutan dan juga was-was. Lara bahkan memerlukan waktu tenang selama beberapa jam setelah Alex mengatakan itu. Ia kembali tersadar dan menepis hal tak penting yang mengganggunya itu saat melihat Sky yang miring
*** "Pulanglah, ini sudah malam," ucap Ibra saat ia merapikan lengan kemejanya dan memandang Alex yang masih berdiri di depan sandsack dengan napas yang naik turun tak beraturan. Kedua tangannya masih terbungkus oleh sarung tinju. Rambutnya tampak basah saat ia menoleh pada Ibra dengan salah satu alis yang terangkat tak percaya. "Kamu sudah mandi dari tadi?" tanya Alex memastikan. Memandang Ibra dari atas hingga ke bawah. Di dalam ruang gym, hanya ada mereka berdua. Ruangan ini disewa oleh Alex yang tidak ingin melihat ada orang lain masuk sebab sekitar tiga jam yang lalu, lepas ia pergi dari unit apartemen Selim ia harus melampiaskan kekesalannya. Saat ia meminta agar Ibra menjadwalkan ulang untuk ia bisa mengunjungi Selim dan membuatnya babak belur jilid dua, Ibra tak mengabulkannya. Alih-alih mengiyakan Alex, Ibra dengan santainya malah mengatakan, 'Tidak perlu, Pak Alex. Kita tunggu saja nanti di pengadilan. Kita ledek dia sampai dia muntah dan kesetanan. Sayang tanganmu kala
Entah berapa ratus, atau bahkan ribu banyaknya foto Lara yang ada di dalam kamar itu—selain kamar yang diyakini oleh Alex sebagai kamar utama. Pada dindingnya yang lebar itu Alex bisa menjumpai foto Lara. Jika Alex biasanya melihat hal seperti ini lumrahnya ada di film atau di drama thriller tentang seorang psikopat, tetapi kali ini Alex melihatnya ada di depan mata. Alex pernah mengatakan bahwa pria itu—Selim—memiliki pengetahuan tentang Lara sama sepertinya. Tetapi sangkaan itu harus ia tepis sekarang karena sepertinya Selim lebih banyak tahu tentang Lara. Sebab ada banyak sekali foto Lara yang tinggal di rumah lamanya, bersama dengan Neo dan Shenina yang masih kecil. Berada di depan rumah, atau sedang membeli jajanan di toko yang tak jauh dari rumahnya. Atau saat Lara mengantar mereka ke sekolah bersama dengan wanita paruh baya yang dikenal Alex sebagai pengasuh si kembar dulu, selama Lara bekerja. Ada buku yang memiliki catatan apa-apa saja yang dilakukan oleh Lara. Tanggal,