Ini tentang ingatan Karel akan hari di mana takdir telah mempertemukannya dengan Lara.....Karel mengenalnya dengan baik, namanya Lara. Isabella Lara Gilbert. Dia adalah salah satu mahasiswi baru paling cantik yang pernah ditemui oleh Karel semasa Karel masih menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusnya.Lara memang lupa siapa Karel pada saat pertemuan pertama mereka pada siang hari itu. Saat Lara memeriksakan kehamilannya pada Karel dan dompetnya tak sengaja jatuh.Dompet itu seperti variabel penghubung antara Karel dan juga Lara karena saat Karel mengejarnya hingga ke halte, Karel melihat Lara masih ada di sana. Tak lama setelah percakapan singkat mereka, Karel masih ingat betul dia melihat kedatangan seorang pria angkuh yang selanjutnya dia kenal sebagai suaminya Lara, Alex.Dari cara bicara mereka saja, Karel tahu betul ada yang tidak beres. Saat itu Karel berpikir dalam hati, apa ini yang membuat Lara tertekan dan tampak tidak bahagia dengan kehamilannya?Pernikahannya de
“Lara, menikahlah denganku ....”....Tak hanya sekali.Tak hanya sekali Karel mengatakan itu pada Lara.Mungkin dua kali, tiga kali, empat kali, atau tidak terhitung jumlahnya.Tetapi jawaban Lara selalu sama,“Maaf, aku tidak bisa.”“Kenapa, Lara?”“Aku tidak pantas, Dokter Karel. Aku hanya akan membebanimu kalau aku menjadi istri.”“Kenapa terbebani?”“Karena Dokter Karel adalah lelaki dari keluarga yang terhormat.”“Memangnya kamu tidak begitu?”“Tapi aku ini hamil dengan keadaan tidak diinginkan oleh lelaki lain, Dokter Karel.”“Dan aku tidak peduli dengan hal itu. Menikahlah denganku setelah anak-anakmu lahir nanti. Aku bersedia menunggumu.”Karel mengatakannya seraya memandang perut Lara yang membuncit. Usia kehamilannya kala itu menapaki tujuh bulan dengan diagnosa hamil kembar sepasang, laki-laki dan perempuan.“Maaf, aku tidak bisa.”“Meski kamu akan membesarkan anak kembarmu seorang diri?”“Iya. Aku akan lakukan itu, sebisaku. Aku hanya butuh bantuan dukungan saja. Tidak per
“Jangan menakutiku, Lara ....” pinta Alex sungguh-sungguh. Dia tidak ingin mendengar Lara mengatakan hal buruk apalagi membuatnya galau dan ketakuan.Padahal dia baru saja bisa merasakan kabahagiaan bersama Lara setelah masa yang menyakiti mereka dengan amat hebatnya.Padahal ... Lara belum keluar dari rumah sakit. Dia juga masih ada di kursi roda. Apa iya Alex harus merasakan kehilangan untuk ke dua kalinya?“Apa sih?” balas Lara saat dia menyentil hidung tinggi Alex dengan menggunakan jari telunjuknya.“Memangnya tidak begitu? Kamu tidak akan meninggalkan aku, ‘kan?”“Kamu pikir aku berpamitan pergi itu karena aku akan mati?”“Memangnya tidak begitu?” Mengulangi untuk yang ke dua kali, dengan matanya yang mengerjap beberapa kali, memastikan memang bukan itu yang diinginkan oleh Lara.Tentang pergi yang mengarah pada pergi untuk selamanya.“Bukan, Aleeex,” rengek Lara kesal seraya memukul bahu Alex dengan lirih.“Lalu apa? Aku berpikir kamu membicarakan soal pergi itu pergi yang ...
***“BHAHAHAHAK!”Ibra tidak hentinya tertawa memandang bibir Alex yang bagian atasnya terluka sehingga sekarang itu tampak seperti bibir bebek, ah ... atau haruskah Ibra menjulukinya Alex si buaya jontor?“Berhenti tertawa atau aku akan menarik bibirmu biar kita kembar!”“Sorry ... tapi Pak Alex lucu sekali.”“Haih ... bagaimana kakimu?” tanya Alex mengalihkan pembicaraan dengan membahas kaki Ibra.Mereka sedang ada di dalam kamar rawat Ibra karena Lara sedang istirahat siang hari ini,Dan kesibukan Alex saat Lara istirahat adalah mengganggu Ibra.“Baik kok. Besok aku sudah boleh keluar dari rumah sakit, Pak Alex.”“Bagus. Lara juga.”“Oh? Kami barengan?”“Iya. Karena kondisinya bagus, tinggal kontrol rutin saja.”“Aku juga.”Alex menganggukkan kepalanya lalu mengambil duduk di samping Ibra.“Lalu kita bisa sama-sama masuk ke JS Group setelah ini, Pak Alex,” ujar Ibra dan itu disetujui oleh Alex.“Iya. Kasihan papaku juga kalau kelamaan bekerja dan memikul tanggung jawab sendirian.”“
....“Kalian ngomongin apaan sih?” tanya Kalisha penasaran saat Alex keluar dari pintu ruang rawat Ibra.Yang ditanya mendengus kesal saat melemparkan punggungnya ke sandaran sofa, sedangkan Kalisha berkerut kedua alisnya karena tidak mendapatkan jawaban dari Ibra.“Biasalah, pak Alex tuh mesum.”“Jadi kamu juga begitu dong?”“Kenapa aku harus begitu, Kal?”“Karena yang diajak bicara sama pak Alex ‘kan kamu?”“Tapi aku memintanya diam. Kamu dengar ‘kan barusan?”“I-iya sih ....”“Kenapa kamu ke sini?”“Ah, tidak kok. Hanya mampir saja. Baru ketemu sama teman.”“Temanmu kerja di sini juga?”“Iya.”“Perawat?”“Iya.”“Laki-laki?”“Perempuan.”“Aku pikir laki-laki.”“Kenapa memangnya kalau laki-laki?”“Karena perawat laki-laki itu keren. Jadi aku pikir kalau sesama perawat berpasangan itu keren.”“Dan itu adalah karangan seorang Bapak Ibrani.”“Aku tidak setua itu buat kamu panggil sebagai Bapak Ibrani, Nona Kalisha.”Kalisha tertawa. Dia mendekat pada meja Ibra dan melihat kotak makan yan
***Kepulangan Lara disambut oleh senyum manis Nina, Kepala Pelayan di rumah Alex yang memberinya sebuket bunga yang sangat besar.Bunga yang warnanya soft dan mengandung banyak makna jika di-break down satu persatunya.Lara menerimanya dengan mata yang berair, Nina memeluknya saat mengatakan,“Selamat datang kembali di rumah ini, Nona Lara.”“Terima kasih, Bu Nina.”“Dengan begini, pak Alex, Neo, dan juga Shenina tidak akan menangis lagi, Nona Lara.”“Mereka sering menangis?” tanya Lara seraya menoleh pada Alex. Sedangkan Neo dan Shenina masih ada di halaman. Tertarik dengan sepeda baru yang dibelikan oleh Alex yang baru datang hari ini dan sedang diperiksa kondisinya oleh Ron, sopir mereka.“Iya, Non. Saya paling tidak tega itu kalau sudah lihat pak Alex melamun.”“Hm ... benar begitu?” Lara menoleh sekali lagi pada Alex yang mengangguk membenarkannya.“Iya, benar. Apa yang dibilang sama bu Nina benar kok. Aku harus menyangkalnya bagaimana kalau memang benar?”Alex merangkulkan tanga
“STOP!”“HENTIKAN!”Suara beberapa orang polisi wanita berusaha memisah Nala dan juga Shiera agar mereka berhenti saling jambak seperti dua anak kecil yang sedang bertengkar—meski memang benar demikian—tetapi ini karena mereka bertengkar sebab saling melempar kesalahan, dan tidak ada yang mau disalahkan.Beberapa orang polisi menggelandang Shiera serta Nala berlawanan arah karena dilihat dari manapun keduanya tidak ada yang ingin mengalah.Tidak ada yang ingin melepaskan sebelum lawan mereka dilumpuhkan.“Jangan bikin keributan!”“Kalian di sini karena kalian itu sama-sama bersalah! Tidak ada yang benar! Orang benar tempatnya bukan di sini!”Mereka membentak Shiera dan juga Nala yang rambutnya sudah berantakan seperti sarang burung. Ada rumput yang singgah di kepala mereka sebab keduanya sempat berguling dan disaksikan oleh narapidana wanita lain yang ada di sana.“Ayo ikut!”Mereka kembali digelandang, kali ini untuk menuju ke ruang pemeriksaan.Shiera yang lebih dulu pergi, selajutny
Alex terbilang ... pulang cukup larut malam hari ini. Dia mengirim pesan pada Lara bahwa dia akan memiliki pertemuan dengan beberapa temannya, pertama tepat setelah makan siang. Lalu disusul setelah jam pulang kerja. Lalu ada lagi saat menjelang makan malam.‘Sayang, aku pergi meeting sampai jam delapan malam ya? Paling lambat aku akan pulang jam sembilan.’Tapi setelah pesan itu dia kirim pada Lara, tidak ada balasan sama sekali dari Lara.Hanya tanda terkirim, tanpa tanda dibaca. Yang membuat Alex berpikir dalam hati jika Lara sedang istirahat di rumah. Atau anak-anaknya sedang tidak bisa ditinggal, mungkin ....Sehingga saat dia selesai meeting yang terakhir, dia meminta Ibra untuk segera bergegas mengantarnya. Sesampainya di rumah, dia melihat Lara yang ada di ruang tamu. Yang membuat Alex tahu seberapa besar hati baiknya.Lara ada di ruang tamu dengan keadaan terlelap. Berbantal tangan, wajahnya tampak lelah. Alex tersenyum saat mendekat dan berlutut di samping sofa. Dia memanda