"Kenapa, Mas?" Sabrina pura-pura tak paham dengan penolakan suaminya."Ya, aku tidak suka aja," jawab Jaka. Sejujurnya pria itu memang tidak mau menyakiti perasaan istrinya."Iya, Jak. Sabi benar kok. Bagaimama kalau kita minta Raisa menemani Sabi di sini. Sementara saja. Setelah Mama kembali dari pontianak, tugas Raisa selesai," timpal Jeni.Jaka mematung dengan wajah tegang. 'Tolong, Sabi. Janganlah kamu melukai perasaanmu sendiri. Aku tidak mau semakin melukai perasaanmu,' gumamnya. Jaka melirik tajam pada istrinya. Tatapannya dibalas oleh Sabrina yang nampak memahami. Jaka menggelengkan kepala sebagai kode penolakan yang tegas.Sabrina nampak paham hingga ia segera menurunkan tatapan, segera menunduk. 'Aku tahu, Mas Jaka tak mau aku semakin terluka,' batinnya menerka."Jak, kalau Sabrina tak ada yang menemani, Mama tak akan tenang pergi ke Pontianak," celetuk Jeni lagi. Ia belum bisa memutuskan."Aku akan carikan orang lain yang akan menemani Sabi. Tapi bukan wanita itu," tegas Ja
Demi mengalihkan perhatian tentang topik perbincangan mengenai jas, Raisa yang sudah kembali duduk di sofa, segera memperbaiki perasaan yang sempat menegang."Oh iya, bolehkah saya tahu mengenai tujuan Tante ke rumah saya?" tanya Raisa setelah isi dadanya terasa tenang."Iya, Tante sampai lupa mengenai tujuan hari ini." Jeni pun kembali pada topik awal."Sebenarnya kedatangan Tante ke sini ingin minta tolong sama kamu," lanjutnya.Raisa mengerutkan dahinya. "Minta tolong apa, Tante? Saya akan bantu jika mampu," balasnya."Tante pikir kamu belum punya suami. Tante datang ke sini untuk minta kamu temani menantu Tante—Sabrina," terang Jeni."Temani bagaimana Tante?" Raisa nampak belum paham."Tante harus ke Pontianak secepatnya. Namun bingung karena khawatir jika meninggalkan Sabrina sendirian di rumah. Tante ingin meminta kamu menemaninya. Tapi kamu ternyata sudah punya suami." Jeni memperjelas.Nampaknya Raisa ragu. "Maaf, Tante. Saya tidak keberatan walau pun harus menemani Mba Sabrin
Dalam beberapa saat, Jaka dan Sabrina nampak mematung. Mereka tak menyangka kalau Jeni benar-benar akan meminta bantuan Raisa untuk menemani Sabrina."Tidak usah. Sabrina akan ditemani orang lain," tegas Jaka pada Raisa."Tapi, Mas. Aku tidak akan kenapa-kenapa kalau pun Raisa yang harus menemani selama Mama pergi," timpal Sabrina. Mereka masih melakukan sambungan telepon bersama Raisa."Tidak, Sabi. Tolong hargai keputusanku. Semua ini karena aku menghargai kamu sebagai istriku," tegas Jaka pada Sabrina."Baiklah, aku menurut." Sabrina menurunkan tatapan. Ia sangat paham maksud suaminya.Kemudian Jaka kembali berbicara pada Raisa lewat benda pipih yang masih berada pada telapak tangannya."Raisa, tolong kamu tolak permintaan mama saya. Saya tidak bisa mengizinkan kamu dan Sabrina tinggal dalam satu rumah. Semoga kamu paham," tegas Jaka pada Raisa lagi."Baik, Pak. Saya akan mematuhi perintah Pak Jaka." Suara Raisa mengiyakan perintah suaminya.Tak ada ucapan pamit atau pun kalimat ak
Sabrina dan Jaka saling melempar tatapan. Dalam hati mereka cukup penasaran dengan sesuatu yang akan disampaikan Raisa.Cuaca siang ini cukup cerah, langit nampak berwarna biru disertai semilir angin yang sesekali masuk melewati pintu rumah Raisa yang nampak terbuka lebar.Setelah beberapa menit, Raisa kembali sambil menjinjing paper bag di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya tampak menggenggam sebuah kotak persegi berukuran kecil."Ini Jas Pak Jaka yang tertinggal di sini." Raisa menyodorkan paper bag pada Sabrina."Jas!" Sabrina mengernyitkan dahi."Iya, Mba Sabrina. Ini jas Pak Jaka. Tertinggal dan tak sengaja sempat terlihat oleh Tante Jeni saat berkunjung ke sini tempo lalu." Raisa menerangkan.Seketika Jaka paham. 'Pantas saja kemarin Mama mempertanyakan mengenai jas itu. Rupanya tertinggal. Bisa-bisanya aku seteledor ini,' rutuk Jaka dalam hati.Namun berbeda dengan Sabrina, lagi-lagi wanita berlesung pipi itu berusaha menyadarkan diri kalau pria yang duduk di sampingnya
Siang ini Jaka dan Sabrina segera membawa Raisa untuk pergi ke Dokter kandungan. Demi meyakinkan jawaban, Mereka ingin mengetahui berapa usia kehamilan Raisa saat ini."Pak Jaka, sedang apa berada di Dokter kandungan?" Salah satu wanita menyapa dan bertanya pada Jaka saat bertemu di depan poli Dokter kandungan. Tentu Jaka duduk di dekat Sabrina.Wanita yang bertanya itu adalah salah satu kariyawan Jaka di kantornya."Istri saya sedang hamil dan akan periksa kandungan," jawab Jaka segera."Oh ya! Selamat ya, Mba Sabrina dan Pak Jaka." Wanita itu nampak bahagia dengan berita yang baru saja di dengarnya. Ia segera menyodorkan sebelah telapak tangan kanan pada Sabrina dan Jaka guna mengucapkan kalimat suka citanya."Terima kasih ya," balas Sabrina.Setelah itu, wanita tadi pergi dengan ramah tanpa bertanya tentang Raisa yang duduk di samping Sabrina.Tak lama Raisa dipanggil Dokter. Ditemani Jaka dan Sabrina, Raisa masuk ke dalam ruang pemeriksaan kehamilan. Perutnya dilakukan pemeriksaa
"Pusing." Raisa menekan kepalanya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa perut dan kepala seperti tidak baik-baik saja."Mas!" Sabrina segera memanggil Jaka. Ia melihat Raisa nampak lemah."Iya!" Jaka menghampiri."Tolong bawa Raisa ke kamarnya, Mas. Sepertinya dia lemas," pinta Sabrina nampak cemas.Jaka tak bisa menolak. Ia mengiyakan dan segera membopong Raisa ke kamar tamu. Sementara Sabrina mengekori di belakangnya.Mereka tak sadar dengan keberadaan Ijah dan dua pembantu lagi yang mengamati pemandangan kurang pantas menurut mereka."Kok Non Sabi gak marah sih melihat suaminya menggendong wanita lain?" celetuk salah satu pembantu di dekat Ijah."Non Sabi mana bisa marah, kan itu terpaksa, Siti. Tuan Jaka 'kan hanya menolong." Ijah segera membantah untuk sekedar menepis pikiran buruknya."Tapi 'kan tetap saja bukan muhrim," tekan Siti. Pembantu yang berusia dua puluh tahun itu tetap saja merasa aneh dengan pemandangan majikannya."Iya juga sih. Biasanya juga Tuan Jaka gak pernah g
Seketika Jaka nampak gugup. Ia melemparkan tatapan pada Sabrina yang duduk di sampingnya."M-Mama, Mama tahu dari mana?" Jaka malah berbalik tanya. Ia masih gugup."Tidak penting Mama tahu dari mana. Mama tanya sama kamu, apa benar Raisa tinggal di rumah?" tanya Jeni lagi."Hanya sementara saja, Ma." Jaka tak bisa mengelak."Kamu berubah pikiran? Bukankah tempo lalu kamu menolak kalau Raisa tinggal di rumah kita?" Jeni terdengar menyindir."Sabi merasa kasihan pada Raisa. Dalam keadaan sakit Raisa sendirian di rumahnya. Sabi iba dan mengajak Raisa tinggal sementara sampai suaminya pulang," elak Jaka meski dalam hati ia merasa bersalah karena lagi-lagi harus berbohong."Oh iya Mama ingat. Katanya Raisa memang sudah menikah. Raisa bilang suaminya kerja di luar kota. Tapi, apa tak akan mengganggu Sabi? Mama gak mau Sabi kecapean, Jaka." Lagi-lagi Jeni menekan."Sabi gak akan kecapean, Ma. Ada suster yang mengurus semua keperluan Sabi. Sementara Raisa hanya menemani Sabi saja," alasan Jak
Sabrina telah kembali ke kamarnya. Ia segera menutup kembali pintu kamar dengan pelan. Bersamaan dengan itu, air matanya tumpah ruah di pipi tanpa bisa dibendung. Sabrina terduduk lemas di atas ranjang. Isi dada terasa hancur. Ia tak menyangka rasanya akan sesakit itu.Sabrina menyangka kalau suaminya tengah berada di kamar Raisa. Meski pun sudah berusaha ikhlas dimadu, namun tetap saja ia merasakan sakit yang luar biasa saat mengetahuinya."Ya Tuhan, kuatkan iman hamba." Dalam hatinya Sabrina tersedu-sedu. Kepalanya tertunduk bersamaan dengan air mata yang terus saja membasahi pipi. Ia benci dengan pikirannya sendiri. Ia benci tatkala membayangkan apa yang tengah dilakukan Jaka dan Raisa di kamar tamu.Sabrina menutupi telinganya tatkala bisikan-bisikan terasa memanas-manasi telinganya. Deru suara napas bahkan terasa lebih kencang. Sabrina merasa sesak. Ia tak bisa mengatur napas. Inilah hal yang tak pernah ia bayangkan saat dipoligami. Ketika api cemburu membakar jiwa sampai jantung
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena