Pagi hari aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak lupa juga dengan barang-barang lainnya. Akhirnya selesei juga tiga koper penuh.
“Risma ... sudah belum? Pesawat kita dua jam lagi take off kita harus berangkat sekarang.” Terdengar suara Tuan Rey dari depan kamarku.
Aku segera membuka pintu. Tampak Tuan Rey memakai polo shirt putih dan celana kargo pendek. Sungguh kelihatan tambah gagah.
“Tuan yakin mau ikut ke Indonesia? Maaf bukannya lancang, tapi sebaiknya Tuan tidak terlalu dekat denganku karena aku istri orang,” ucapku sungkan.
“Pede sekali kau menganggap aku pulang ke Indonesia untukmu. Aku memang bilang akan ke sana, tapi untuk bertemu Ibuku, Ya ... sekalian sedikit membantumu,” jawabnya panjang.
Astaga ... sungguh malu aku mendengarnya. Aku sudah salah sangka.
Setelah penerbangan yang lama akhirnya sampai di kotaku. Tuan Rey sudah memberi tahuku rencananya, dan aku setuju.
“Berikan aku alamat rumahmu. Kita nanti berpisah setelah membeli nomor baru,” ujarnya setelah sampai di pintu keluar bandara.
“Baik, Tuan,” jawabku.
Kami segera mencari konter terdekat untuk membeli nomor baru. Telepon sengaja kumatikan dari kemarin setelah ibu mertua menghubungiku. Beberapa hari sebelumnya aku telah meminta temanku di sini untuk mencari rumah untuk kutinggali. Aku tak mau tinggal di tempat sebelumnya karena rumah itu menjadi saksi suamiku menikah. Rumah itu memang aku yang membangun tapi tanah masih atas nama suamiku karena itu tanah dari mertua.
“Ini alamat rumah saya, Tuan dan ini nomor barunya.” Aku menyerahkan kertas berisi alamat rumah dan nomorku.
“Berikan kepada supirku, aku akan mengantarmu ke alamat itu.” Dia segera masuk kemobil didepannya.
“Ayo, cepat masuk,” ujarnya lagi.
Aku segera masuk dan mobil pun berjalan ke alamat tujuan.
“Terima kasih, Tuan,” kataku setelah sampai di depan rumah.
“Sama-sama. Ingat dengan apa yang kukatakan. Hubungi aku kalau ada apa-apa.”
“Iya, Tuan.”
Mobil pun segera berlalu. Aku segera masuk ke rumah dan bersiap-siap untuk pembalasan suami penghianat itu
Selesei bersiap aku segera memanggil taksi online untuk mengantarku ke tempat suamiku.
Dalam perjalanan aku menangis. Mengingat pernikahanku harus berakhir dengan pengkhianatan. Aku kuatir dengan kedua anakku terutama mentalnya. Sepertinya setelah ini aku harus menghubungi psikolog untuk konsultasi anakku. Aku mengahapus air mataku dan menambahkan sedikit bedak agar tidak kelihatan habis menangis. Aku harus kuat!
Terlihat rumah suamiku dari kaca mobil. Rumah megah dua lantai menjadi rumah yang termewah di kampung ini. Aku meminta taksi menunggu dan berjalan ke arah rumah itu.
“Bersihkan ini dengan mulutmu! Dasar anak tak tahu diri! Sudah dikasih makan malah diberantakin nasinya!” Terdengar suara suamiku dari dalam rumah.
Aku mendekat dengan hati-hati ingin melihat apa yang terjadi. Aku melongok ke jendela yang terbuka.
Astagfirullah ... tak dapat kupercaya. Suamiku terlihat memegang rambut anakku, Arif dan mendekatkannya ke lantai menyuruh Arif untuk memakan nasi yang berhamburan seperti anj*ng. Seketika amarahku memuncak. Anak yang kusayangi dan kurindukan setiap harinya diperlakukan layaknya binatang oleh ayah kandungnya.
Sambil menahan emosi aku mengambil gawaiku dan merekamnya. Terlihat di samping suamiku ada perempuan yang hanya melihat saja. Pasti itu istri baru suamiku.
Arif hanya diam, tak menangis ataupun melawan, tapi aku yakin hatinya terluka. Kupandangi wajah anakku, terlihat begitu menderita dan tertekan. Aku tak bisa lagi menahan emosiku. Pintu langsung kudorong dengan kasar ternyata tak terkunci.
“Jadi ini yang kau lakukan pada anakku, hah!!” Aku berkata dengan amarah yang memuncak. Mas Rido kaget melihatku tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya. Seketika ia melepaskan tangannya dari rambut anakku, tapi terlambat, aku sudah melihatnya.
“Ris—Risma .... Bagaimana kau bi—bisa ada di sini?” Mas Rido sampai tergagap saking kagetnya melihatku berkacak pinggang.
“I—ini tak seperti yang kau lihat.”
Aku diam saja masih mengatur napas yang masih emosi. Segera aku mendekat ke arah Arif dan memeluknya. Aku menangis memanggil namanya. “Arif ... ini Ibu, Nak.”
Arif menoleh dan memelukku dengan kencang “Ayah jahat ,Bu ...” Arif menangis tergugu. Tak kusangka anak laki-lakiku bisa menangis seperti ini pasti luka hatinya sangat dalam.
“Tenang, Nak ... Ibu sudah ada di sini. Ibu tak akan membiarkan siapaun menyakitimu lagi , Nak,”ucapku sambil mengelus kepalanya, menenangkan anakku yang masih menangis. Arif berhenti menangis tapi masih sedikit terisak. Aku menoleh menatap marah dua manusia berhati ibl*s itu.
“Dasar laki-laki baj*ngan beraninya kau menyakiti anakmu sendiri ... dimana hatimu, hah! Di mana Ririn? Katakan padaku di mana Ririn?!” murkaku.
Mas Rido dan selingkuhannya hanya terdiam.
“Ririn dikunci di gudang karena memecahkan gelas ayah saat mencuci piring.” Terdengar suara Arif yang menjawab.
“Apa?! Biad*p kamu, Mas.”
Plak!
Aku menampar Mas Rido sekuat tenaga. Terlihat Mas Rido terhuyung kebelakang saking kuatnya. Kutampar lagi pipi satunya hingga berulang kali. Kutendang juga perutnya hingga membuat Mas Rido terjatuh. Gundiknya hanya berteriak melihat Mas Rido tersungkur
“Tolong ... tolong ... ada orang gila memukuli suamiku!” Si Gundik berteriak minta tolong hingga tetangga berdatangan.
Karena teriakannya, warga mulai berdatangan ingin melihat apa yang terjadi. Mereka yang datang tak ada yang menolong, hanya melihat saja. Banyak orang pun tak membuat emosiku turun. Aku tetap memukuli Mas Rido yang tak melawan. Kemudian aku menengok ke arah ibu-ibu berbaju putih. “Tolong jaga anakku sebentar, aku mau mencari anakku yang satu lagi.” Ibu itu menganggguk dan mendekat ke arah Arif.
Aku berjalan ke belakang rumah. Ruang kecil di samping taman memang dijadikan gudang untuk menyimpan peralatan. Pintu gudang terkunci.
“Ririn ... Ririn ....” Aku berusaha membuka pintu sambil memanggil nama anakku.
Tak ada jawaban. Aku mulai panik. Terus memanggil nama anakku sambil berusaha mendobrak pintu gudang. Tak berhasil. Aku melihat kesekeliling, tak sengaja aku melihat kapak yang digantung di dinding gudang. Aku mengambilnya dan mengayunkannya ke pintu. Akhirnya, pintu bisa dibuka. Anakku terbaring di lantai, pakaiannya sangat kotor, terlihat ada darah mengering di tangannya yang mungil. Mungkin anakku berusaha membuka pintunya. Aku kembali menangis. Anakku tersayang dua-duanya menjadi korban kekejaman ayahnya.
Aku tak akan memaafkannmu, Mas!!
Aku menggendong Ririn yang masih terkulai lemas. Berjalan kembali ke dalam rumah hendak melihat keadaan Arif. Terlihat Ibu berbaju putih tadi memeluk Arif sambil duduk di teras rumah. Mas Rido tak kelihatan, bersembunyi di dalam rumah atau malah pergi ke rumah Ibu mertua yang hanya berjarak berberapa rumah. Aku tak peduli, yang kupedulikan hanyalah keselamatan anakku terlebih dahulu. Aku masuk kedalam taksi yang sedari tadi masih menunggu. Hendak berangkat ke rumah sakit. Kemudian menelepon Ibuku. Selama ini Ibuku juga tak tahu kalau Mas Rido menikah lagi karena memang rumah Ibuku lumayan jauh, butuh satu setengah jam perjalanan.[Halo, Bu? Ini aku Risma. Bisa minta tolong datang ke Rumah Sakit Pelita Hati?][Bisa, tapi ada apa memangnya?][Nanti aku ceritakan di sana, Bu. Kalau bisa sekarang, ya. Aku tunggu.][Iya, Ibu berangkat sekarang.]Kuakhiri panggilan telepo
Aku hanya tersenyum sinis. Dasar lelaki buaya buntung! Nggak bisa lihat yang bening dikit.“Ambil semuanya jangan ada yang tersisa.”Mas Rido tersadar dan berusaha mengambil televisi yang diangkut salah satu preman, tarik menarik pun terjadi. Mas Rido memukul wajah preman tersebut. Preman tersebut tak terima akhirnya membalas memukuli Mas Rido. Wajahnya yang masih lebam berdarah kembali.Dengan wajah penuh amarah Mas Rido menatapku. “S*alan kau Risma! Kenapa kau perintahkan preman itu untuk mengambil barang-barangku, hah?!” Dasar tak tahu malu. “Apa aku nggak salah dengar?! Itu semua punyaku, aku yang kerja dan barang itu dibeli pakai uangku!” hardikku“Angkut dan masukkan semua ke dalam truk itu, Bang!” Aku menyuruh salah satu preman yang sedang membawa kursi di ruang tamu. Aku memang meminta mereka datang dengan truk agar memudahkan membawa semuanya.
“Risma ... tunggu dulu Risma ....” Mas Rido mengejarku.“Aku masih mencintai kamu ... Percayalah padaku! Aku ....”“Cukup, Mas! Aku sudah Muak!” Aku menghentikan ucapan Mas Rido.“Kau tidak hanya melukaiku tapi juga melukai hati anakmu. Kau bahkan tidak merasa bersalah telah menyakiti mereka! Aku bukan hanya kecewa padamu, tapi aku membencimu!!”“Maaf, aku sedang emosi saja saat itu, tapi aku menyayanginya, bagaimanapun mereka anakku!”“Sayang kau bilang? Menyiksa anak seperti hewan apa itu bentuk rasa sayangmu?” Aku tidak bisa menerima alasan Mas Rido.Mas Rido terdiam tak membalas ucapanku.“Kalau aku tak datang, kau pasti masih akan terus menyiksa anakku.“Kau urusi saja istri barumu itu, Mas.” Aku melirik ke arah Mala yang hanya diam saja me
[Halo, Tuan][Kenapa belum memberi kabar, Risma?][Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.][Kamu dimana sekarang?][Di Rumah Sakit Pelita Hati][Aku kesana sekarang.]Tut.Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.Aku
“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?Arif menggeleng.“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak me
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 30 PoV MalaAku benci anak-anak. Mereka berisik, pengganggu dan bikin emosiku naik. Kalau bukan karena duitnya, aku juga nggak mau dinikahin lelaki seperti Mas Rido. Apalagi ditambah kedua anaknya. Selalu bikin emosi. Mereka anak yang nakal, selalu membantah saat kusuruh, makanya aku memberitahu Mas Rido agar mendidik dengan kekerasan biar mereka jadi anak yang penurut.Selama ini baik-baik saja, aku pun nggak perlu mengeluarkan uangku karena membayar sekolah mereka, justru aku mengajari mereka mencari uang dengan mengamen di jalan. Bukannya aku Ibu tiri yang baik?Tapi entah darimana si Risma, istri pertama dari Mas Rido tahu tentang pernikahanku dan Mas Rido. Si*lnya dia pulang dan mengambil semua harta yang telah diberikan kepada Mas Rido, bahkan perhiasan yang telah kukumpulkan pun diambilnya juga. Puncaknya saat rumah itu dirobohkan. Harusnya sertifikat itu diganti atas namaku biar dia gak bisa macam-macam.Rumah Mas Rido sudah dirobohkan, rumah mertua yang cerewet itu sudah
Bab 29Risma masih duduk di cafe itu sendirian. Menikmati segelas kopi susu hangat. Dia tersenyum. Akhirnya mereka akan mendapat balasan atas perbuatan mereka.Risma mengambil gawai dan menghubungi seseorang.“Halo, Lit. Lagi sibuk nggak?”“Enggak, lagi nyantai aja di rumah, gimana?” ucap Lita dari seberang telepon.“Bisa bertemu sekarang? Aku di rich cafe.”“siap! Otewe!”“Oke. Kutunggu.”Risma memesan minuman dan camilan untuk Lita. Tak lama kemudian, Lita pun datang karena memang letak cafe itu tak jauh dari rumahnya.“Mbak Risma, tumben ngajak ketemu, Mbak!” Begitu tiba, Lita langsung duduk di depan Risma.“Iya, Lit. Aku mau nanya soal yang aku minta tolong dulu.” Risma mendekatkan minuman dan makanan ke depan Lita.Lita tersenyum. “Makasih. Iya, Mbak. Aku sudah nyari tetanga-tetangga yang mau jadi saksi atas kekejaman Rido dan keluarganya, ada tiga orang. Dua wanita dan satu pria.”“Wah, makasih banget, Lit. Mereka melihat langsung atau gimana?” Risma antusias.“Wanita pertama Bu
Bab 28“Hei! Bangun kalian! Dasar gelandangan! Pergi dari depan tokoku! Bikin rusak pemandangan aja, jangan tidur di sini nanti pembeliku pada kabur.” Rido dan Mala yang masih tidur dibangunkan oleh pemilik toko itu.Rido kaget, mendadak pusing dibangunkan secara kasar.“Yang sopan dong, Pak. Masa numpang tidur semalam aja kayak gitu! Aku bukan gelandangan. Semalam hujan jadi numpang neduh aja!” Rido tak terima dikatai gelandangam oleh pemilik toko.“Terserah apa katamu. Pergi dari sini! Aku mau buka toko.” Usir pemilik itu lagi.“Mala, bangun yuk, kita cari pom bensin buat numpang mandi.” Rido membangunkan Mala yang masih lelap tidur.“Iya, Mas.” Mala mengucek mata dan merapikan rambutnya.“Di depan sana ada pom, kita mandi lalu ke kantor polisi buat ngelaporin adiknya si Risma. Kita tuntut biar dapat uang ganti rugi,” ucap Rido sambil membereskan baju yang dipakai sebagai alas tidur.“Aku nggak mau dan nggak setuju, Mas! Tuntut aja langsung nggak usah lewat polisi, ngapain sih!” Mal
“Apa?! Lalu gimana? Dia mengizinkan kita di sana kan, Mas? Nanti kalau tinggal di sana lama kelamaan kita bisa menguasai rumah itu. Kamu nggak perlu kerja kita udah kaya raya, Mas!”**“Mauku juga gitu, kita tinggal di sana enak, nggak usah kerja. Risma itu sebenarnya bod*h, pasti dia mengizinkan kita tinggal di sana.” Rido yakin mereka akan bisa tinggal di rumah Risma.Saat ini Risma sedang bersiap mengantarkan kedua anaknya ke pondok, semua keluarga Risma ikut berangkat, Aida dan Rey pun turut serta. Risma memutuskan untuk melupakan saja permasalahan dengan Rey kemarin, toh juga mereka tidak ada hubungan apa-apa.Arif dan Ririn ikut rombongan Ustaz, sedangkan lainnya berada di mobil Rey.“Mbak? Sekali lagi aku tanya, Kamu beneran mau mengizinkan Mala tinggal di rumahmu?” Rian membuka percakapan di dalam mobil.“Maksudmu apa, Yan?” Rey menyela pertanyaan Rian.“Risma mau mengizinkan Mala tinggal di rumahnya, Bang! Gila nggak Mbak Risma?” ucap Rian.“Apa?! Aku tidak setuju! Aida kenap
Bab 26Bugh! Bugh! Bugh!Terdengar suara orang dipukul“Akhirnya kita ketemu juga!”**Rian memukuli Rido sekuat tenaga. Ia melampiaskan semua emosinya. Dia sungguh tak terima keponakannya mengalami semua kejadian itu.“Kamu lelaki bangs*t, brengs*k, menjij*kkan, pengecut beraninya sama anak kecil. Ayo lawan aku seperti kau memukul Arif!” Rian berkacak pinggang di depan Mas Rido yang tersungkur. Kekuatan Rian memang tak main-main karena ia seorang pelatih beladiri.“A—aku tak sengaja,” jawab Rido terbata.Bugh!“Sori, tak sengaja juga!” Rian sengaja mengejek Rido.Ia menghentikan pukulannya setelah melihat Rido terkapar tak berdaya, wajahnya sudah bengkak dan berdarah. Karena seorang pelatih, Rian pun tahu titik mana yang bukan daerah vital.“Apa maumu datang ke sini!” Rian bertanya kepada Rido saat melihatnya sudah sadar“Aku ingin minta maaf dan meminta Risma agar mengizinkan kami tinggal di sini.” Rido menjawab dengan terbata-bata.“Kami?” ulang Rian memperjelas.Rido mengangguk. “
Pagi hari Risma bersiap-siap untuk menyambut Ustadz Soleh, memang setelah tinggal di rumah ini, Risma memutuskan untuk memanggil ustadz setiap hari untuk mengajari kedua anaknya mengaji dan ilmu agama. Setelah mengikuti beberapa kali mengaji bareng, Risma melihat ada peningkatan Arif dalam mengatur Emosinya, sedangkan Ririn sudah mulai ceria dan banyak berceloteh seperti dulu.“Syaikh Ali al-Shabuni dalam Rawa'iul Bayan menjelaskan bahwa orang tua dianjurkan untuk mendidik anaknya agar menutup aurat, khususnya perempuan, pada saat mereka berumur sepuluh tahun. Ketika umur anak sudah sepuluh tahun mintalah mereka untuk berhijab dan menutup auratnya.” Ustadz Soleh memberikan tausiahnya. Risma pun merasa tertampar, selama ini memang dia tak pernah menutup auratnya, apalagi mengajari anak perempuannya.“Maaf, Bu Risma. Sepertinya hari ini terakhir saya bisa mengajar mengaji, karena besok saya dipanggil pondok untuk mengajar disana. Semoga Ilmu yang selama ini saya berikan bisa berguna bag
Bab 24“Apa?! Memangnya apa yang terjadi?”**Mala terdiam.“Jawab Mala!” bentak Rido.“Se—Sebenarnya ini bukan rumahku. Rumah ini dulu diberi oleh pacarku, sekarang istrinya minta dikembalikan.”“Apa?! Jadi benar kamu ini seorang pelak*r?!” Rido tak sadar diri kalau dia juga terpikat dengan pelak*r ini.“Kamu pikir aku dapat uang darimana selama ini kalau bukan uang dari pria-pria itu?! Aku pun mau menikah denganmu karena kupikir kamu ini orang kaya, tapi ternyata malah zonk. Uang itu punya istrimu! Nyesel aku nikah sama kamu!” Mala mulai marah.“Aku yang harusnya nyesel! Kalau tak nikah sama kamu, aku pasti sudah tinggal di rumah mewah milik Risma itu!” Rido tak mau kalah.“Mas, aku heran, kenapa keluarga Sasongko bisa memberikan rumah itu? Jangan-jangan dia pake pelet? Kan nggak mungkin bisa gitu aja ngasih rumah kalo nggak pake apa-apa?” Mala berasumsi.“Mungkin juga, itu sebabnya juga aku dari kemarin memikirkan Risma dan ingin kembali padanya. Si*l licik juga dia pakai dukun! Ki
“Bangun! Dasar suami pemalas! Bisanya nyusahin aja!” sungut Mala.Semakin hari Mala semakin jengkel dengan kelakuan Rido yang pemalas dan tak mau bekerja. Mereka berdua terbiasa hidup enak menggunakan uang Risma, sehingga saat Risma tak lagi memberi uang, mereka kelabakan.“Aku lapar, mana uang buat beli makanan?! Mala meminta uang kepada Rido. Rido yang baru bangun masih setengah sadar Cuma menoleh ke arah Mala.“Aku kan nggak kerja, Sayang, darimana bisa dapat uang? Kamu masih punya simpanan di Bank kan?” ucap Rido.“Nggak ada! Sudah kubelikan perhiasan, tapi diambil sama Si Risma Sial*n itu! Kamu juga jadi cowok lembek banget sih! Harusnya kamu tu bisa tegas! Mana uang dari jual motor diambil semua sama Ibumu!” kamu beneran nggak ada simpanan juga, Mas?” cerca Mala.“Nggak ada, Mala. Kamu tau sendiri tiap Risma kirim uang sudah kubagi kamu dan Ibu, jadi mana ada uang!” “Kalau begitu cepat keluar dari rumah ini dan cari uang! Jangan pulang kalau tak bawa uang!” Mala mendorong t
Pagi ini Risma, Aida dan Rey berencana untuk memilih sekolah untuk Arif dan Ririn. Sebenarnya Rey hanya ingin mengajak Risma, tapi Risma tidak mau kalau hanya berdua, takut timbul fitnah. Jadilah mereka pergi bertiga walaupun awalnya Aida menolak, males menjadi obat nyamuk katanya, tapi setelah dibujuk akhirnya mau juga.Risma selesei mandi, seorang ART mengetuk pintu kamarnya.“Nyonya, ada Ibu mertua Nyonya di depan,” ucapnya dibalik pintu.“Iya, tunggu sebentar.” Risma segera membuka pintu kamarnya. Dalam hati ia heran kenapa pagi-pagi Ibu mertua sudah datang ke sini.Risma menemui Bi Inah, ART yang tadi mengetuk pintu kamarnya.“Bi, kan sudah kubilang, jangan panggil aku nyonya, nggak pantas, ah. Aku ini dulunya juga ART lho, sama seperti Bi Inah ini.”“Tapi sekarang kan Nyonya menjadi majikan saya, tidak pantas kalau manggil nama, bagaimana kalau saya panggil Mbak Risma saja?” Bi Inah memberikan usul.“Boleh kalau itu, Bi.” Risma tersenyum. Risma mendengar suara langkah menuruni