“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.
“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.
“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?
Arif menggeleng.
“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.
Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”
Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak menangis. Ibu mendekat dan mengelus pundakku, seakan menguatkanku. Kulihat juga raut wajah Tuan Rey berubah, entah apa aku tidak mengetahuinya.
“Tetap pancing Arif untuk menceritakan semuanya sebagai bukti ke polisi, aku sudah merekamnya.” Tuan Rey berbisik padaku.
“Arif, kalau boleh tahu apa yang terjadi setelah Ibu pergi?”
Arif hanya diam.
“Tidak apa-apa kalau Arif belum bisa cerita, Ibu tidak memaksa.
“Permisi, waktunya Arif minum obat.” Datang seorang suster membawakan obat untuk arif.
“Iya, Suster.” Aku menerima obat darinya.
“Yuk, Nak minum obatnya dulu biar cepet sembuh dan bisa pulang.” Aku mengambil segelas air minum untuknya.
Prang!
Gelas jatuh dan pecah. Arif menghempaskan gelas itu dengan tangannya.
“Aku tidak mau sembuh, aku tidak mau pulang. Aku mau di sini saja biar ayah tidak memukulku. Ayah jahat! Aku benci Ayah!!” Arif berteriak sambil menutup kepalanya dengan tangan.
“Ya, Allah ... Arif.” Aku panik. Suster datang dan menyuntikkan obat penenang. Agak susah memegangi Arif yang masih berteriak dan meronta-ronta.
Arif mulai tenang dan tertidur.
“Anakku kenapa suster? Tadi dia baik-baik saja, bahkan dia juga senang sudah bisa sekolah lagi, Tapi kenapa dia bisa berteriak histeris seperti tadi?” tanyaku pada suster itu.
“Biar dokter yang menjelaskan, Bu. Nanti saya panggilkan. Saya Permisi.” Suster itu kemudian pergi.
Tak berapa lama dokter datang, aku segera menanyakan hal yang sama padanya.
“Anak Ibu mengalami trauma, mungkin karena kekerasan fisik yang diterimanya selama bertahun-tahun menjadikannya seperti ini. Emosinya tidak stabil. Nanti saya akan kasih surat rujukan untuk ke psikiater, agar traumanya tidak berlanjut sampai dewasa.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?” Aku pun bertanya.
“Sebaiknya Ibu tidak memaksanya bercerita ataupun mengingatkan Arif tentang ayahnya. Tapi nanti lebih jelasnya Ibu bisa tanyakan kepada Psikiater itu,” ujar Dokter kemudian.
“Baik, kalau sidah tidak ada pertanyaan, saya permisi, masih ada pasien yang akan konsultasi.”
Aku mengantar dokter sampai pintu ruangan.
“Sampai seperti itu anakmu, Ris?” Tuan Rey bertanya padaku.
“Iya, Tuan,” jawabku lirih.
“Risma ... lihat aku!” Aku pun menatap mata birunya.
“Kamu harus kuat, kamu harus balas, dan kamu harus tega juga kepada mereka! Setelah Arif dan Ririn sembuh jangan biarkan keluarga suamimu mengambil kedua anakmu. Nanti aku juga akan menghubungi pengacaraku untuk membantumu. Jadi kau harus tetap tegar!” Tuan Rey menatapku serius.
“Baik, Tuan,” jawabku.
Dia memandangku, “Bisa aku minta tolong berhenti memanggilku Tuan? Aku bukan lagi majikanmu karena kamu sudah tidak bekerja padaku. Panggil saja, Rey.”
“Tapi, Tuan ....”
“Sssttt ... bukan Tuan, tapi Rey.”
“Baiklah, Rey.” Akhirnya aku menurut saja.
“Aku pamit dulu. Besok aku ke sini lagi. Kalau kau butuh bantuan hubungi saja aku.”
“Iya, Terimakasih, Rey.”
Dia pamit pada Ibu lalu keluar ruangan. Sepeninggalnya, aku senyum-senyum sendiri.
“Ehem ... “ Ibu berdehem, lalu tersenyum.
“Sepertinya kamu bahagia sekali dijenguk majikanmu. Tapi ingat Risma, kamu masih istri orang. Seleseikan dulu masalahmu dengan suamimu, setelah itu terserah kamu.”
“Ah, Ibu. Dia Cuma majikanku, Bu.” Aku menyangkal ucapan Ibu.
“Ya siapa tahu apa yang terjadi besok?”
Drrt ... Drrtt ... Drrt
Saat masih mengobrol dengan Ibu, gawaiku berdering.
“Halo.”
“Bos, Ibu mertua anda mengamuk di rumah,” jelas preman yang kutugasi mengawasi rumah Mas Rido.
“Hah?”
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 11Aku baru saja pindah ke Amerika, membantu ayahku mengurusi bisnis keluarga kami. Aku memutuskan membeli rumah dan tinggal sendiri daripada bersama ayahku. Aku pun mencari Asisten Rumah Tangga yang akan membantu mengurusi rumah, hingga dari yayasan penyalur ART memberikan CV seorang wanita bernama Risma. Dia berasal dari Indonesia, tanah kelahiran Ibuku.Wajah Risma cantik, bersih, tanpa make up menor, mengingatkanku akan almarhumah istriku. Kerjanya rajin dan masakannya enak. Tinggal berdua di rumah menimbulkan benih cinta di hatiku, walaupun aku tahu dia sudah bersuami. Aku hanya diam, tak mau aku mengganggu rumah tangga orang lain. Sampai akhirnya Risma berpamitan, mengundurkan diri dan akan kembali ke Indonesia saat kutanya alasannya ternyata suaminya selingkuh. Akhirnya aku ikut ke Indonesia dengan dalih menengok Ibuku, padahal aku tak bisa jauh dari Risma.Saat mendengar dia di rumah sakit, secepat kilat aku datang. Ternyata anaknya terluka dan koma akibat perbuatan ayahny
Bab 12“Rey ... Rey ....” Risma menangis, tangannya gemetar melihat begitu banyak darah.“Tolong, siapa saja tolong bantu aku membawanya ke rumah sakit.” Risma melihat sekeliling, lalu dari arah belakangnya seseorang mendekat.“Aku akan membantumu, Mbak!” ucap Lita, dan Imran—suaminya—segera memapah Rey untuk membawanya ke rumah sakit.Sesampai di rumah sakit tindakan langsung dilakukan. Risma sempat mengambil gawai Rey di mobil, hendak menghubungi Nyonya Riana, Ibunya Rey.“Halo, Rey,” ucap Riana di seberang“Ini Risma, Nyonya. Tuan Rey masuk rumah sakit, jadi korban penusukan.” Risma mengadu sambil menangis.“Apa?! Rumah sakit mana? Aku kesana sekarang!”Risma memutuskan panggilan setelah memberi tahu rumah sakitnya. Tak berapa lama Nyonya Riana datang dan duduk disampingnya. Sekilas Risma menceritakan semua yang terjadi. Dan seperti yang ia duga, Nyonya Risma tak bisa memaafkannya.“Jadi ini semua gara-gara kamu?! Ku kira wanita mana yang membuatnya sampai terbang ke sini. Jadi kam
“Dia adalah Aida, asisten pribadiku, dulunya. Sekarang aku tugaskan dia untuk menemanimu, Risma.” Nyonya Riana memperkenalkan wanita itu kepadaku.“Tapi kenapa, Nyonya? Saya bukan pengusaha ataupun orang penting yang harus didampingi asisten pribadi. Maaf, saya menolaknya, Nyonya.”“Kau tak usah menganggapnya asisten, jadikan dia temanmu, Risma. Dia akan membantumu membalas keluarga suamimu itu.” Rey menimpali.“Kamu dan Rey bukan muhrim, dan kamu masih bersuami, tak baik selalu kelihatan bersama. Jadi, lebih baik kau bersama Aida saja,” ujar Nyonya Riana.“Sudahlah, kau menurut saja, semua sudah kuatur. Kau turuti saja semua rencana ini,” kata Rey meyakinkan Risma.“Mulai besok Aida akan tinggal di bersamamu, ujarnya kemudian.Risma menghela napas. “Baiklah, Tuan.”“Oke, Risma. Aku manggil nama aja ya? Kayaknya kita seumuran. Kita pergi sekarang.” Aida menarik tangan Risma.“Sebentar, aku pamit dulu. Tuan Rey, Nyonya Riana, saya permisi dulu.” Risma sedikit membungkukkan badannya.Ia
Azan berkumandang, aku segera bangun dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, berserah diri kepada Tuhan atas apa yang akan terjadi selanjutnya.Aku kebawah hendak memasak sarapan, tapi ternyata di dapur sudah ramai, para asisten rumah tangga tampak sibuk di tugasnya masing-masing.Aku kembali keatas, hendak mandi dan mempersiapkan diri. Di pintu lemari sudah digantung pakaian yang akan kupakai hari ini, aku tersenyum, biasanya aku yang melakukan pekerjaan itu, menyiapkan baju dan perlengkapan Rey sebelum kerja, tapi sekarang aku yang dilayani. Memang roda kehidupan akan berputar.“Risma, sudah belum? Ayo sarapan dulu, kita harus segera berangkat kerumah mertuamu.” Terdengar suara Aida di depan pintu.“Iya, sebentar lagi selesei.” Teriakku dari dalam kamar.Aku mengambil gawaiku dan menghubungi Ibu, memberitahunya bahwa akan ada yang menjemput kepulangan Arif dan tak usah kuatir masalah biaya karena sudah dibayar lunas.Arif dan Ririn akhirnya boleh pulang. Ya, Ririn juga boleh pu
Bab 15“Risma ... sayang.” Tiba-tiba Mas Rido memegang tanganku.Aku menghempaskannya kasar. Tidak sudi dipegang oleh tangannya.“Aku masih suamimu, kamu pasti tak akan membiarkanku tidur di jalan kan? Bukannya dulu kamu bilang susah senang kita sama-sama? Sekarang aku baru kesusahan ayo kita berjuang bersama, biarkan aku dan Mala tinggal di rumahmu, ya?” Mas Rido mengatakan permintaan yang sungguh tidak masuk akal.“Aku tidak sudi! Aku beri waktu sampai besok untuk meninggalkan rumah ini. Terserah kalian mau kemana.” Aku berlalu pergi.“Risma, bagaimana keadaan Arif dan Ririn?” Mas Rido berteriak.Aku berhenti.“Yang jelas mereka lebih bahagia tinggal bersamaku,” ucapku tanpa menoleh kebelakang, lalu masuk ke dalam mobil. Di sana Aida sudah menungguku.“Sudah?” tanya Aida.Aku mengangguk.“Mau langsung pulang?” tanyanya kemudian.“Kita kerumah sakit dulu, aku ingin menjenguk Rey.”Aida langsung pamit begitu mengantarku ke rumah sakit. Ia bilang ada urusan mendadak.Aku segera menuju
Bab 30 PoV MalaAku benci anak-anak. Mereka berisik, pengganggu dan bikin emosiku naik. Kalau bukan karena duitnya, aku juga nggak mau dinikahin lelaki seperti Mas Rido. Apalagi ditambah kedua anaknya. Selalu bikin emosi. Mereka anak yang nakal, selalu membantah saat kusuruh, makanya aku memberitahu Mas Rido agar mendidik dengan kekerasan biar mereka jadi anak yang penurut.Selama ini baik-baik saja, aku pun nggak perlu mengeluarkan uangku karena membayar sekolah mereka, justru aku mengajari mereka mencari uang dengan mengamen di jalan. Bukannya aku Ibu tiri yang baik?Tapi entah darimana si Risma, istri pertama dari Mas Rido tahu tentang pernikahanku dan Mas Rido. Si*lnya dia pulang dan mengambil semua harta yang telah diberikan kepada Mas Rido, bahkan perhiasan yang telah kukumpulkan pun diambilnya juga. Puncaknya saat rumah itu dirobohkan. Harusnya sertifikat itu diganti atas namaku biar dia gak bisa macam-macam.Rumah Mas Rido sudah dirobohkan, rumah mertua yang cerewet itu sudah
Bab 29Risma masih duduk di cafe itu sendirian. Menikmati segelas kopi susu hangat. Dia tersenyum. Akhirnya mereka akan mendapat balasan atas perbuatan mereka.Risma mengambil gawai dan menghubungi seseorang.“Halo, Lit. Lagi sibuk nggak?”“Enggak, lagi nyantai aja di rumah, gimana?” ucap Lita dari seberang telepon.“Bisa bertemu sekarang? Aku di rich cafe.”“siap! Otewe!”“Oke. Kutunggu.”Risma memesan minuman dan camilan untuk Lita. Tak lama kemudian, Lita pun datang karena memang letak cafe itu tak jauh dari rumahnya.“Mbak Risma, tumben ngajak ketemu, Mbak!” Begitu tiba, Lita langsung duduk di depan Risma.“Iya, Lit. Aku mau nanya soal yang aku minta tolong dulu.” Risma mendekatkan minuman dan makanan ke depan Lita.Lita tersenyum. “Makasih. Iya, Mbak. Aku sudah nyari tetanga-tetangga yang mau jadi saksi atas kekejaman Rido dan keluarganya, ada tiga orang. Dua wanita dan satu pria.”“Wah, makasih banget, Lit. Mereka melihat langsung atau gimana?” Risma antusias.“Wanita pertama Bu
Bab 28“Hei! Bangun kalian! Dasar gelandangan! Pergi dari depan tokoku! Bikin rusak pemandangan aja, jangan tidur di sini nanti pembeliku pada kabur.” Rido dan Mala yang masih tidur dibangunkan oleh pemilik toko itu.Rido kaget, mendadak pusing dibangunkan secara kasar.“Yang sopan dong, Pak. Masa numpang tidur semalam aja kayak gitu! Aku bukan gelandangan. Semalam hujan jadi numpang neduh aja!” Rido tak terima dikatai gelandangam oleh pemilik toko.“Terserah apa katamu. Pergi dari sini! Aku mau buka toko.” Usir pemilik itu lagi.“Mala, bangun yuk, kita cari pom bensin buat numpang mandi.” Rido membangunkan Mala yang masih lelap tidur.“Iya, Mas.” Mala mengucek mata dan merapikan rambutnya.“Di depan sana ada pom, kita mandi lalu ke kantor polisi buat ngelaporin adiknya si Risma. Kita tuntut biar dapat uang ganti rugi,” ucap Rido sambil membereskan baju yang dipakai sebagai alas tidur.“Aku nggak mau dan nggak setuju, Mas! Tuntut aja langsung nggak usah lewat polisi, ngapain sih!” Mal
“Apa?! Lalu gimana? Dia mengizinkan kita di sana kan, Mas? Nanti kalau tinggal di sana lama kelamaan kita bisa menguasai rumah itu. Kamu nggak perlu kerja kita udah kaya raya, Mas!”**“Mauku juga gitu, kita tinggal di sana enak, nggak usah kerja. Risma itu sebenarnya bod*h, pasti dia mengizinkan kita tinggal di sana.” Rido yakin mereka akan bisa tinggal di rumah Risma.Saat ini Risma sedang bersiap mengantarkan kedua anaknya ke pondok, semua keluarga Risma ikut berangkat, Aida dan Rey pun turut serta. Risma memutuskan untuk melupakan saja permasalahan dengan Rey kemarin, toh juga mereka tidak ada hubungan apa-apa.Arif dan Ririn ikut rombongan Ustaz, sedangkan lainnya berada di mobil Rey.“Mbak? Sekali lagi aku tanya, Kamu beneran mau mengizinkan Mala tinggal di rumahmu?” Rian membuka percakapan di dalam mobil.“Maksudmu apa, Yan?” Rey menyela pertanyaan Rian.“Risma mau mengizinkan Mala tinggal di rumahnya, Bang! Gila nggak Mbak Risma?” ucap Rian.“Apa?! Aku tidak setuju! Aida kenap
Bab 26Bugh! Bugh! Bugh!Terdengar suara orang dipukul“Akhirnya kita ketemu juga!”**Rian memukuli Rido sekuat tenaga. Ia melampiaskan semua emosinya. Dia sungguh tak terima keponakannya mengalami semua kejadian itu.“Kamu lelaki bangs*t, brengs*k, menjij*kkan, pengecut beraninya sama anak kecil. Ayo lawan aku seperti kau memukul Arif!” Rian berkacak pinggang di depan Mas Rido yang tersungkur. Kekuatan Rian memang tak main-main karena ia seorang pelatih beladiri.“A—aku tak sengaja,” jawab Rido terbata.Bugh!“Sori, tak sengaja juga!” Rian sengaja mengejek Rido.Ia menghentikan pukulannya setelah melihat Rido terkapar tak berdaya, wajahnya sudah bengkak dan berdarah. Karena seorang pelatih, Rian pun tahu titik mana yang bukan daerah vital.“Apa maumu datang ke sini!” Rian bertanya kepada Rido saat melihatnya sudah sadar“Aku ingin minta maaf dan meminta Risma agar mengizinkan kami tinggal di sini.” Rido menjawab dengan terbata-bata.“Kami?” ulang Rian memperjelas.Rido mengangguk. “
Pagi hari Risma bersiap-siap untuk menyambut Ustadz Soleh, memang setelah tinggal di rumah ini, Risma memutuskan untuk memanggil ustadz setiap hari untuk mengajari kedua anaknya mengaji dan ilmu agama. Setelah mengikuti beberapa kali mengaji bareng, Risma melihat ada peningkatan Arif dalam mengatur Emosinya, sedangkan Ririn sudah mulai ceria dan banyak berceloteh seperti dulu.“Syaikh Ali al-Shabuni dalam Rawa'iul Bayan menjelaskan bahwa orang tua dianjurkan untuk mendidik anaknya agar menutup aurat, khususnya perempuan, pada saat mereka berumur sepuluh tahun. Ketika umur anak sudah sepuluh tahun mintalah mereka untuk berhijab dan menutup auratnya.” Ustadz Soleh memberikan tausiahnya. Risma pun merasa tertampar, selama ini memang dia tak pernah menutup auratnya, apalagi mengajari anak perempuannya.“Maaf, Bu Risma. Sepertinya hari ini terakhir saya bisa mengajar mengaji, karena besok saya dipanggil pondok untuk mengajar disana. Semoga Ilmu yang selama ini saya berikan bisa berguna bag
Bab 24“Apa?! Memangnya apa yang terjadi?”**Mala terdiam.“Jawab Mala!” bentak Rido.“Se—Sebenarnya ini bukan rumahku. Rumah ini dulu diberi oleh pacarku, sekarang istrinya minta dikembalikan.”“Apa?! Jadi benar kamu ini seorang pelak*r?!” Rido tak sadar diri kalau dia juga terpikat dengan pelak*r ini.“Kamu pikir aku dapat uang darimana selama ini kalau bukan uang dari pria-pria itu?! Aku pun mau menikah denganmu karena kupikir kamu ini orang kaya, tapi ternyata malah zonk. Uang itu punya istrimu! Nyesel aku nikah sama kamu!” Mala mulai marah.“Aku yang harusnya nyesel! Kalau tak nikah sama kamu, aku pasti sudah tinggal di rumah mewah milik Risma itu!” Rido tak mau kalah.“Mas, aku heran, kenapa keluarga Sasongko bisa memberikan rumah itu? Jangan-jangan dia pake pelet? Kan nggak mungkin bisa gitu aja ngasih rumah kalo nggak pake apa-apa?” Mala berasumsi.“Mungkin juga, itu sebabnya juga aku dari kemarin memikirkan Risma dan ingin kembali padanya. Si*l licik juga dia pakai dukun! Ki
“Bangun! Dasar suami pemalas! Bisanya nyusahin aja!” sungut Mala.Semakin hari Mala semakin jengkel dengan kelakuan Rido yang pemalas dan tak mau bekerja. Mereka berdua terbiasa hidup enak menggunakan uang Risma, sehingga saat Risma tak lagi memberi uang, mereka kelabakan.“Aku lapar, mana uang buat beli makanan?! Mala meminta uang kepada Rido. Rido yang baru bangun masih setengah sadar Cuma menoleh ke arah Mala.“Aku kan nggak kerja, Sayang, darimana bisa dapat uang? Kamu masih punya simpanan di Bank kan?” ucap Rido.“Nggak ada! Sudah kubelikan perhiasan, tapi diambil sama Si Risma Sial*n itu! Kamu juga jadi cowok lembek banget sih! Harusnya kamu tu bisa tegas! Mana uang dari jual motor diambil semua sama Ibumu!” kamu beneran nggak ada simpanan juga, Mas?” cerca Mala.“Nggak ada, Mala. Kamu tau sendiri tiap Risma kirim uang sudah kubagi kamu dan Ibu, jadi mana ada uang!” “Kalau begitu cepat keluar dari rumah ini dan cari uang! Jangan pulang kalau tak bawa uang!” Mala mendorong t
Pagi ini Risma, Aida dan Rey berencana untuk memilih sekolah untuk Arif dan Ririn. Sebenarnya Rey hanya ingin mengajak Risma, tapi Risma tidak mau kalau hanya berdua, takut timbul fitnah. Jadilah mereka pergi bertiga walaupun awalnya Aida menolak, males menjadi obat nyamuk katanya, tapi setelah dibujuk akhirnya mau juga.Risma selesei mandi, seorang ART mengetuk pintu kamarnya.“Nyonya, ada Ibu mertua Nyonya di depan,” ucapnya dibalik pintu.“Iya, tunggu sebentar.” Risma segera membuka pintu kamarnya. Dalam hati ia heran kenapa pagi-pagi Ibu mertua sudah datang ke sini.Risma menemui Bi Inah, ART yang tadi mengetuk pintu kamarnya.“Bi, kan sudah kubilang, jangan panggil aku nyonya, nggak pantas, ah. Aku ini dulunya juga ART lho, sama seperti Bi Inah ini.”“Tapi sekarang kan Nyonya menjadi majikan saya, tidak pantas kalau manggil nama, bagaimana kalau saya panggil Mbak Risma saja?” Bi Inah memberikan usul.“Boleh kalau itu, Bi.” Risma tersenyum. Risma mendengar suara langkah menuruni