“Hati-hati di rumah, Dek. Jangan buka pintu sembarangan, kalau ada apa-apa hubungi aku!“ ingat Bang Agam.
Aku mengekori tepat di sebelahnya, mengantar pria itu menuju pagar rumah. Selama ibu mertua ada di sini, beliaulah yang mendampingi Bang Agam, mengandeng lengannya dan berjalan beriringan. Sedang aku, tidak lebih dari perempuan asing yang hanya bisa melihat dari kejauhan.
“Dek?“ Bang Agam menegur lagi.
Sontak aku terhenyak, lalu menengadahkan kepala demi melihat parasnya. Di sana, kudapati ekspresi hangat yang tidak biasa. Bang Agam menatapku dengan sorot mata yang sama dengan dulu saat kami baru saling mengenal.
&ldq
Bab 27: Membalas Mertua dan Suamiku “Dek, sudah enakan badannya?” Suara Bang Agam mendayu di telinga.Gara-gara mimpi yang mengerikan itu, seluruh tubuhku jadi meriang dan berakhir dengan terbaring lemah di ranjang sejak semalam. Bang Agam bahkan harus izin sehari karena tidak tega meninggalkanku di rumah seorang diri.“Aku baik-baik saja, harusnya Abang berangkat kerja. Kemarin habis cuti panjang juga,” balasku sembari beranjak duduk dengan menyandarkan punggung di dasboard ranjang.“Tidak bisa, Dek. Kalau aku berangkat kerja, terus kamu sendirian di sini?” Bang Agam menjawabku, lalu menempatkan diri di tepian ranjang.Pria itu sudah bersih, mandi dan berpakaian ala rumahan. Aroma harum dari lotionnya juga menguar kuat, menyentuh hidungku yang setengah tersumbat.“Kalau dulu, ada Ibu.”
Bab 28: Membalas Mertua dan Suamiku Kami tiba di desa sebelum jam sembilan pagi. Bang Agam memacu mini bus yang direntalnya dalam kecepatan tinggi dengan hati terus gelisah. Pria itu memintaku menelepon seluruh nomor keluarga yang dia punya untuk bertanya keberadaan Ibu mertua serta Iqmal.“Dek, coba hubungi lagi! Mungkin Iqmal atau Sari sudah aktif teleponnya,” pinta Bang Agam saat kami memasuki pagar rumah.Benar seperti perkataan Pak Ustad semalam, Ibu mertua atau Iqmal berniat menjual rumah utama. Ada papan berukuran sedang di depan, menghadap ke jalan dan bertuliskan jika rumah tersebut dijual.“Bang, belum terhubung juga!” ucapku sembari memandang ke arah Bang Agam.Pria itu sudah berdiri di depan mobil, dia menghadap ke arah rumah sembari berkacak pinggang. Tatapannya terus tertaut dengan rumah ibu mertua yang sudah sepi, begitu banyak daun berhamburan di halaman, sedangkan terasnya telah kosong dan berdebu tebal.Rumah ini benar-benar tidak berpenghuni untuk waktu yang lama.
Bab 29: Membalas Mertua dan Suamiku“Gadai, Pak Ustad?” Bang Agam mengulang pertanyaan pada pria bijak di depannya.“Apa kami boleh tahu detailnya, Pak? Karena sejujurnya kami tidak tahu apa-apa setelah kembali kota,” sambungku karena Bang Agam sepertinya masih syok.Pria itu, pastilah dia kembali terluka dengan kenyataan yang didengarnya dari Pak Ustad hari ini. Lagi dan lagi, suamiku dikecewakan oleh keluarganya sendiri.“Sudah digadaikan sejak lama, Dek Ima. Cuma kejelasannya kami tidak tahu. Digadaikan ke juragan di sini,” sahut Bu Ustazah.Kualihkan pandangan pada Bang Agam. Pria itu terus menekuk tengkuk, jemari tangannya yang panjang saling memilin, lututnya bergoyang, gelisah melingkupi seluruh tubuh pria ini.“Apa yang harus kami lakukan sekarang, Pak? Apa baiknya kami lapor
Bab 30: Membalas Mertua dan SuamikuMalam datang, hujan berganti gerimis dan kondisi jalanan yang tadi lengang ramai kembali. Kami keluar dari warung makan usai mengganjal perut dan salat Magrib. Kami akan pulang ke kota sebelum jam sepuluh malam karena harus mampir ke rumah Tiara terlebih dahulu. Bang Agam terpaksa menurutiku sesaat lalu meski wajahnya manyun sepanjang waktu.“Yang mana rumahnya, Dek?” Bang Agam menanyaiku.Pria itu berkeringat, pelipisnya banjir dan wajahnya berekspresi aneh. Dia juga terlihat bingung saat menyetir, bahkan menekan tombol wiper kaca mobil hingga kami kaget.“Jangan pura-pura tidak tahu, Bang. Berbulan kamu pulang ke rumah itu,” sindirku sembari melipat kedua tangan di dada.Bak terlakban mulutnya, Bang Agam diam. Dia hanya memandang lurus ke jalanan, lalu membelokkan mobi
Bab 31: Membalas Mertua dan Suamiku “Dek Ima?” Bu Ustazah memanggil namaku. Beliau menatap sangat dalam, seolah mencoba mengorek apa isi hati yang tersembunyi di dalam dada ini.Sepertinya, ada banyak orang yang meragukan diriku. Mereka memandang, juga berbisik.Tiba-tiba saja, di tengah keheningan rumah ini, kata yang paling tidak pernah kusangka mengudara dari banyak mulut, “Ibu tiri!”Aku tidak ingin dianggap demikian, walau itu kenyataannya. Tidak bisakah aku dipanggil ibu juga, sama seperti Tiara? Apa rasanya punya anak, membesarkannya dengan tangan sendiri hingga dewasa kemudian menikahkannya?“Dek Ima, apa yang Dek Ima katakan barusan bukanlah hal sepele. Selama ini kalian hidup berdua, tapi tiba-tiba membawa Qais ke kota dan hidup bersama, tentu akan butuh banyak penyesuaian,” jelas Bu Ustazah.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan