Bab 25: Membalas Mertua dan Suamiku
“Agam, tega kamu bicara begitu sama Ibu?” sentak ibu mertuaku kembali.
Awalnya, aku benar-benar ingin bergegas keluar dari rumah lalu masuk ke mobil sesuai perintah Bang Agam. Namun, kudapati Bang Agam menyimpan keraguan di raut wajahnya. Pria itu bahkan terhenti setiap kali Ibu mertua menghardik dirinya dengan begitu keras.
“Bu, biarkan saja Bang Agam pergi dari sini, memangnya kita enggak bisa hidup kalau enggak ada dia?” sahut Iqmal. Sari juga mengiyakan perkataan suaminya.
Suasana jadi semakin tidak terkendali. Ini bukan yang aku harapkan saat mengungkap rahasia di antara keluarga ini. Aku hanya ingin Ibu mertua dan Iqmal tahu jika kami bukanlah sapi perah yang harus selalu memenuhi semua kemauan mereka sampai mengabaikan diri sendiri. Kami bersedia membantu, tapi bukan berarti harus sampai mengosongkan tabungan dan menc
Bab 26: Membalas Mertua dan Suamiku Bang Agam membawaku ke rumah sakit saat gawainya terus berdenting karena panggilan masuk dari adiknya. Hal itu membuatku merasa tidak nyaman merasa telah menjadi penyebab dari rusaknya hubungan antara Bang Agam dengan ibunya.Aku tidak bisa menghentikan tatapan pada layar gawai suamiku. Gawai itu tidak berhenti berbunyi dan layarnya berkedip, ditambah lagi ada beberapa pesan beruntun yang terus masuk.Ternyata kegelisahanku itu diketahui oleh Bang Agam, dia segera mengambil gawainya dan menyimpan di saku celana.Sikapnya tersebut membuatku bertanya pada Bang Agam sekali lagi
“Hati-hati di rumah, Dek. Jangan buka pintu sembarangan, kalau ada apa-apa hubungi aku!“ ingat Bang Agam.Aku mengekori tepat di sebelahnya, mengantar pria itu menuju pagar rumah. Selama ibu mertua ada di sini, beliaulah yang mendampingi Bang Agam, mengandeng lengannya dan berjalan beriringan. Sedang aku, tidak lebih dari perempuan asing yang hanya bisa melihat dari kejauhan.“Dek?“ Bang Agam menegur lagi.Sontak aku terhenyak, lalu menengadahkan kepala demi melihat parasnya. Di sana, kudapati ekspresi hangat yang tidak biasa. Bang Agam menatapku dengan sorot mata yang sama dengan dulu saat kami baru saling mengenal.&ldq
Bab 27: Membalas Mertua dan Suamiku “Dek, sudah enakan badannya?” Suara Bang Agam mendayu di telinga.Gara-gara mimpi yang mengerikan itu, seluruh tubuhku jadi meriang dan berakhir dengan terbaring lemah di ranjang sejak semalam. Bang Agam bahkan harus izin sehari karena tidak tega meninggalkanku di rumah seorang diri.“Aku baik-baik saja, harusnya Abang berangkat kerja. Kemarin habis cuti panjang juga,” balasku sembari beranjak duduk dengan menyandarkan punggung di dasboard ranjang.“Tidak bisa, Dek. Kalau aku berangkat kerja, terus kamu sendirian di sini?” Bang Agam menjawabku, lalu menempatkan diri di tepian ranjang.Pria itu sudah bersih, mandi dan berpakaian ala rumahan. Aroma harum dari lotionnya juga menguar kuat, menyentuh hidungku yang setengah tersumbat.“Kalau dulu, ada Ibu.”
Bab 28: Membalas Mertua dan Suamiku Kami tiba di desa sebelum jam sembilan pagi. Bang Agam memacu mini bus yang direntalnya dalam kecepatan tinggi dengan hati terus gelisah. Pria itu memintaku menelepon seluruh nomor keluarga yang dia punya untuk bertanya keberadaan Ibu mertua serta Iqmal.“Dek, coba hubungi lagi! Mungkin Iqmal atau Sari sudah aktif teleponnya,” pinta Bang Agam saat kami memasuki pagar rumah.Benar seperti perkataan Pak Ustad semalam, Ibu mertua atau Iqmal berniat menjual rumah utama. Ada papan berukuran sedang di depan, menghadap ke jalan dan bertuliskan jika rumah tersebut dijual.“Bang, belum terhubung juga!” ucapku sembari memandang ke arah Bang Agam.Pria itu sudah berdiri di depan mobil, dia menghadap ke arah rumah sembari berkacak pinggang. Tatapannya terus tertaut dengan rumah ibu mertua yang sudah sepi, begitu banyak daun berhamburan di halaman, sedangkan terasnya telah kosong dan berdebu tebal.Rumah ini benar-benar tidak berpenghuni untuk waktu yang lama.
Bab 29: Membalas Mertua dan Suamiku“Gadai, Pak Ustad?” Bang Agam mengulang pertanyaan pada pria bijak di depannya.“Apa kami boleh tahu detailnya, Pak? Karena sejujurnya kami tidak tahu apa-apa setelah kembali kota,” sambungku karena Bang Agam sepertinya masih syok.Pria itu, pastilah dia kembali terluka dengan kenyataan yang didengarnya dari Pak Ustad hari ini. Lagi dan lagi, suamiku dikecewakan oleh keluarganya sendiri.“Sudah digadaikan sejak lama, Dek Ima. Cuma kejelasannya kami tidak tahu. Digadaikan ke juragan di sini,” sahut Bu Ustazah.Kualihkan pandangan pada Bang Agam. Pria itu terus menekuk tengkuk, jemari tangannya yang panjang saling memilin, lututnya bergoyang, gelisah melingkupi seluruh tubuh pria ini.“Apa yang harus kami lakukan sekarang, Pak? Apa baiknya kami lapor
Bab 30: Membalas Mertua dan SuamikuMalam datang, hujan berganti gerimis dan kondisi jalanan yang tadi lengang ramai kembali. Kami keluar dari warung makan usai mengganjal perut dan salat Magrib. Kami akan pulang ke kota sebelum jam sepuluh malam karena harus mampir ke rumah Tiara terlebih dahulu. Bang Agam terpaksa menurutiku sesaat lalu meski wajahnya manyun sepanjang waktu.“Yang mana rumahnya, Dek?” Bang Agam menanyaiku.Pria itu berkeringat, pelipisnya banjir dan wajahnya berekspresi aneh. Dia juga terlihat bingung saat menyetir, bahkan menekan tombol wiper kaca mobil hingga kami kaget.“Jangan pura-pura tidak tahu, Bang. Berbulan kamu pulang ke rumah itu,” sindirku sembari melipat kedua tangan di dada.Bak terlakban mulutnya, Bang Agam diam. Dia hanya memandang lurus ke jalanan, lalu membelokkan mobi
Bab 31: Membalas Mertua dan Suamiku “Dek Ima?” Bu Ustazah memanggil namaku. Beliau menatap sangat dalam, seolah mencoba mengorek apa isi hati yang tersembunyi di dalam dada ini.Sepertinya, ada banyak orang yang meragukan diriku. Mereka memandang, juga berbisik.Tiba-tiba saja, di tengah keheningan rumah ini, kata yang paling tidak pernah kusangka mengudara dari banyak mulut, “Ibu tiri!”Aku tidak ingin dianggap demikian, walau itu kenyataannya. Tidak bisakah aku dipanggil ibu juga, sama seperti Tiara? Apa rasanya punya anak, membesarkannya dengan tangan sendiri hingga dewasa kemudian menikahkannya?“Dek Ima, apa yang Dek Ima katakan barusan bukanlah hal sepele. Selama ini kalian hidup berdua, tapi tiba-tiba membawa Qais ke kota dan hidup bersama, tentu akan butuh banyak penyesuaian,” jelas Bu Ustazah.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me