Bab 20-B: Membalas Mertua dan Suamiku
“Aku tidak sebodoh itu!” ucapnya lagi, masih dengan intonasi yang rendah.
Kami berdiri di belakang pintu dengan posisi berhadapan. Bang Agam terus celingak-celinguk, seperti khawatir ada seseorang yang akan mendengarkan setiap perkataannya.
“Lalu?”
“Aku minta bantuan dari pemilik tanah sebelumnya, supaya dia beralasan kalau pengurusan tanahnya butuh waktu, ada beberapa masalah dan sertifikat tanahnya belum jadi. Tanah itu atas namaku, Dek.”
Kuhela napas, sedikit lega. Setidaknya Bang Agam tidak memberikannya pada Ibu mertua atau Iqmal begitu saja.
“Dek, percayalah, aku sebenarnya ....”
“Kamu harus kerjasama denganku, Bang. Kalau tidak, aku tidak akan peduli lagi sama kamu.” Aku berkata tegas sembari menekan dad
Bab 21-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Tunggu sebentar, jangan asal bicara!“Aku mengangkat tangan di depan perempuan bernama Tiara. Bisa-bisanya dia mengaku jika Bang Agam adalah ayah dari anak lelaki itu.“Itu kenyataannya!“ Tiara menyahut lagi.Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana longgar itu menatap diriku tanpa kedip. Sikapnya juga sangat tenang, bahkan tidak ada keraguan sama sekali dari mulut ranumnya itu.“Mana mungkin ini anaknya, Bang Agam. Suamiku belum pernah menikah!““Kalau datang hanya untuk berdebat denganku, lebih baik kamu pulang saja, Mbak.““Jangan begini, Dek. Dengarkan Ibu dulu, ya?“ sanggah Bu Ustadzah sebelum kami beradu mulut lebih jauh.Perempuan itu berdehem pelan, kemudian memandang ke arah Ibunya Tiara yang duduk diam. Keduanya seperti sedang bersepakat siapa yang harus berbicara lebih dahulu untuk meluruskan hal ini.“Aku minta maaf. Tolong, ceritakan semuanya.“Sadar tujuan ke sini, kubungkam diri dengan sekuat tenaga agar permasalahan
Bab 21-B: Membalas Mertua dan Suamiku Haruskah aku terus mendengarnya?“Dek Tiara juga tenang dulu, jangan dilanjutkan jika memang berat,” sergah Bu Ustadzah kemudian sebab suara Tiara juga menjadi sengau.Kian erat aku mengepal tangan di dalam pangkuan. Bagaimana bisa aku tidak pernah tahu akan hal ini?Apakah ini yang hendak dibisikkan adikku dahulu? Apakah ini alasan kenapa pria muda itu tidak suka dengan Bang Agam?“Keluarga Bang Agam memang begitu dari dulu. Sekarang Mbak Ima mencari informasi sejauh ini, pasti sudah merasakan apa yang kurasakan dulu!“ Tiara tidak berhenti.
Bab 22-A: Membalas Mertua dan SuamikuAku mendobrak masuk ke dalam rumah, tidak mempertimbangkan sama sekali andai ada ibu mertua atau Iqmal di ruang tamu. Bu Ustadzah dan suaminya juga lekas pamit usai mengantar diriku.“Dek? Kamu dari mana … katanya mau jalan-jalan sebentar ke warung, tapi ….“ Pria itu sudah berdiri di balik pintu.Bang Agam menemuiku dengan pakaian rapi. Kaos berkerah dari brand ternama serta celana jeans mahal, seperti akan keluar.Pria itu mencoba menebak diriku lewat gerak dan nada bicara. Dia juga berusaha bersikap perhatian dengan menawarkan segelas minuman dan camilan.Kutolak itu semua. Bang Agam terpana.“Jangan mengajakku bicara kalau kamu masih suka menipu, Bang. Saat kita kembali ke kota, aku akan mengajukan cerai!” tegasku pada Bang Agam dengan bersimbah air m
Bab 22-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek!”“Kita ketemu di pengadilan. Pokoknya ....”“Wallahi aku sayang sama kamu.” Bang Agam berseru.Aku terperangah. Ucapan Bang Agam membuat diriku terbungkam.“Wallahi, Ima. Aku benar-benar sayang sama kamu.”Sesaat, aku hampir terbuai. Harusnya kutampar saja pria ini, tapi tanganku lemas.“Omong kosong, kalau sayang sama aku kenapa kamu perlakukan aku seperti pengemis di rumahmu, Bang? Aku sampai bekerja jadi ojol, ngidupin diri sendiri agar setidaknya masih bisa beli paket internet dan makan seblak seperti perempuan lain!”“Kalau aku biarkan kamu memiliki semuanya, ibu akan menyerangmu, Ima. Ibu akan menyakitimu, Ibu akan menjadikanmu musuhnya. Apa itu yang kamu inginkan?” Bang Agam menekan kata-katanya lagi. Dia mencengkeram kedua pundakku dengan erat. “Ibu tidak pernah suka dengan perempuan manapun
Bab 23-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Ambil, Dek. Aku memang menyiapkannya untukmu!” ulang Bang Agam sekali lagi meski aku mendengar semuanya dengan sangat jelas.Tanganku tidak bergerak, mata ini hanya menatap lekat. Rasanya mustahil jika Bang Agam melakukan hal ini untukku setelah semua yang terjadi di dalam pernikahan kami.Dua tahun sudah aku hidup menderita, serba kekurangan dan kesulitan. Tiba-tiba, Bang Agam menghujaniku dengan uang?“Ini memang milikmu, ambil dan rahasiakan dari ibu atau Iqmal!” ingatnya lagi.Bang Agam beranjak lebih dulu, dia memungut dua lembar ATM itu dan langsung memberikannya padaku. Di dalam genggamanku yang tidak sekuat genggamannya, Bang Agam memaksa agar aku menerima uang sebanyak itu.“Jangan meragukanku lagi, aku memang salah karena merahasiakan soal Tiara dan anak itu. Tapi
Bab 23-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Bang, kamu kenapa?” tanyaku saat melihat Bang Agam mengisi keranjang biru dengan tiga batang cokelat. “Bang, kamu beli apaan?”“Yang kamu suka, Dek. Semoga belum terlambat!” balasnya.Bang Agam terus berjalan mengelilingi supermarket berukuran tiga pintu tersebut. Dia mengisi dua keranjang dengan berbagai makanan ringan, cokelat, roti, selai, dan juga susu UHT. Sedang aku mengekor dari arah belakang tanpa mengerti alasannya bersikap begini.Sampai Bang Agam selesai memilih, lalu kami berjalan menuju kasir. Satu per satu barang pilihan suamiku di-scan, totalnya mencapai empat ratus ribu rupiah, jauh lebih banyak dibanding uang bulanan yang selama ini diberikan olehnya.Tapi, yang aneh adalah Bang Agam tidak lekas membayar. Pria itu berdiri, melipat dua tangan di dada. Sedang s
Bab 24-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Apa Ibu tahu jumlah komisinya berapa?” ulangku sekali lagi karena khawatir ibu mertua tidak mendengarnya tadi.Perempuan paruh baya itu langsung menyelesaikan makan siangnya. Beliau melirik diriku dengan tajam, kemudian Bang Agam yang juga tercengang. Jika Bang Agam tidak tahu apa-apa soal komisi, aku bisa maklum, tapi ibu mertua yang notabenenya berpihak pada Iqmal dan Sari? Ah, rasanya tidak mungkin. Bisa saja beliau sedang berakting, seperti biasanya.“Kak Ima, apa Kakak akan terus begini di rumah kami? Mending Kak Ima balik saja ke kota, semenjak Kak Ima datang ke sini, semuanya jadi rumit.” Sari menghantam diriku dengan satu kalimat ketus darinya.Perempuan itu juga mendorong piring yang digunakan untuk makan, wajahnya bengis, bibirnya meruncing ke satu sudut. Sedang Iqmal menundukkan muka, mengepal tangan di atas meja hingga bisa dilihat oleh semua orang.“Kamu minta aku balik ke kota sekarang, Sar? Boleh, kok!”“Ima, dari tadi kamu bicara
“Bu, hati-hati kalau bicara. Tidak perlu bawa-bawa orang tuaku di sini!”Beliau terus menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam, seolah ada laser yang terbang dari kedua netranya yang terus menua itu. Ibu mertua mendorong kasar kursi Iqmal hingga terbuka jalur yang selebar tubuhnya, beliau berjalan cepat memutari meja makan sampai tiba di kursi tempatku duduk.“Pulang saja, Iblis!” celanya.Aku terperangah, ibu mertua menarik tanganku dengan keras hingga terasa sangat sakit. Seolah engsel di bahu terlepas.“Bu, lepas ... sakit!” rintihku.“Bu, hentikan. Bukan begini caranya menyelesaikan masalah,” tahan Bang Agam.Pria itu juga berusaha membujuk, tangan ibu mertua yang menarik diriku ditahan olehnya. Bang Agam memaksa untuk membuka cengkeraman keras di lenganku.Tapi, bukannya mendapat p
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld
Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me