Amel ikut tercengang, ia merasa tak percaya dengan ucapan Sintya.
"Kamu yang bener, Sin? Itu benar Mas Aryo atau bukan? Coba kamu liatin yang bener dong." "Iya, Mel. Itu benar suami kamu, aku gak mungkin salah lihat." Dengan sigap Amel langsung menyuruh Sintya untuk merekam kejadian itu, agar bisa digunakan untuk bukti. "Sin, tolong rekam dan foto mereka. Jangan sampai lolos. Aku harus punya bukti, jika tidak mereka pasti akan menganggap aku memfitnah mereka." "Oke, rapih Mel. Semua sudah aku foto tadi." "Terimakasih ya Sin. Cuma kamu yang bisa membantuku saat ini. Aku istirahat dulu ya. Besok aja aku lihat fotonya." Amel mematikan telepon, ia lebih memilih untuk beristirahat, karena besok sudah mulai masuk kerja lagi. *** Keesokan harinya Pagi ini, Amel bangun lebih awal untuk menunggu orang yang sudah di sewa menjadi baby sitternya. "Kamu ngapain jam segini sudah bangun? Oh... Mama tau, seperti biasa kamu mau membuatkan sarapan dan membersihkan rumah kan?" ucapnya dengan senyum sinis. "Haha, iya lah Ma. Itu kan memang pekerjaan yang cocok untuk Mbak Amel. Masak, cuci piring, cuci baju, bekerja, ngurus anak, sudah itu saja." Hari masih pagi, tapi Amel sudah di suguhi hinaan-hinaan dari mulut Mama mertua beserta Adik iparnya. "Gak kaya Mbak Risma ya, Ma. Dia cantik banget. Bersih, putih, terawat. Pokonya perfect." ucap Mega terang-terangan di depan Amel. Amel tak mau membalas sedikitpun perkataan mereka, ia tak mau membuang tenaga dan waktunya hanya untuk meladeni ocehan tak penting. Karena yang terpenting saat ini adalah bagaimana cara agar Aisha tetap aman ketika ia tinggalkan. Walau sebenarnya dari hati wanita itu merasa sakit, karena keberadaan nya yang tak pernah di hargai. Harusnya Arum mengerti posisi Amel di rumah ini sebagai menantu, tapi ia malah tega mendekatkan Aryo dengan wanita masa lalunya. Mengetahui hal itu, Amel jadi ingin bertindak lebih tegas lagi. Dia takkan mau tunduk dan menuruti semua perintah dari Arum. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini pun ia enggan melakukan. "Kamu ngapain pagi-pagi gini duduk di luar?" Tanya Aryo sedikit terheran. "Semalam, kamu dari mana, Mas?" ucap Amel ganti bertanya. "A-aku...." Aryo tergagap menjawab pertanyaan Amel. "Abis makan lah sama Mama semuanya, emang kenapa?" "Hem, yakin cuma makan aja?" Pertanyaan Amel membuat Aryo menjadi salah tingkah. "Iya lah, ngapain lagi emang? Kan aku sudah bilang di hari sebelumnya, kalau mau makan malam sama Mama dan semuanya. Apalagi sejak kejadian kemaren saat Tifa nangis, ya sekalian lah ngajak jalan-jalan dia." "Oh, gitu ya? Kamu mengajak Tifa jalan keluar, tetapi tidak dengan Aisha? Kamu acuh dengan putrimu sendiri Mas." "Kamu ini apa-apaan sih, Mel? Kamu nanya, Mas sudah jawab. Capek kalau kamu selalu ngajak berantem kaya gini. Pagi-pagi ngajak berantem." ucap Aryo lalu meninggalkan Amel." "Oke Mas. Kamu duluan yang menyalakan korek, kamu pula yang membakarnya. Mari kita liat, aku akan ikuti permainan kamu Mas. Jangan salahkan aku, jika akhirnya nanti kamu yang akan menyesal... Sudah cukup aku berjuang selama ini. Tapi kamu tak pernah menghargai itu, bahkan kamu tega mengkhianati aku. Kita buktikan, siapa yang akan menyesal dan siapa yang akan berbahagia." Batin Amel sambil menatap tajam ke arah Aryo, walau lelaki itu membelakanginya. Tak lama kemudian, ada seorang wanita mengenakan seragam putih biru dengan celana bahan berwarna hitam datang ke rumah. Ya, itu adalah wanita yang Amel sewa menjadi baby sitter. Wanita itu bernama Mirda. "Mir, kamu ikut saya sekarang." Amel menyuruh Mirda untuk masuk ke dalam kamar, tempat dimana Aisha bermain dan beristirahat. Mirda mengikuti Amel dari belakang, setibanya di kamar, Amel memberi tahu apa saja yang harus ia lakukan ketika Amel sedang berada di luar. "Kamu sudah paham? Dengan semua yang saya jelaskan tadi?" "Sudah Bu, saya mengerti." "Baik. Pokoknya saya nitip putri saya, jangan sampai kamu meninggalkannya walau hanya sesaat." Mirda mengangguk. Sementara itu Daniel, Hakim, semua orang di rumah ini terhenyak ketika membuka tudung saji di atas meja. Tak ada sedikitpun masakan di atas sana. Bahkan, piring dan sendok pun tak ada. "Ini gimana sih, Mah? Gak ada makanan sama sekali, udah siang loh ini. Mana Tifa sudah lapar Mah. Mega juga laper nih. Kemana sih Mbak Amel? Perasaan tadi dia kan sudah bangun. Ngapain aja sih dia." Mega menggerutu sambil memangku Tifa di kursi meja makan. "Mah, kok gak ada sarapan sekali? Tumben kosong kaya gini?" Tanya Hakim. "Loh, ini makanan kemana sih? Amel gak masak apa gimana, Mah?" Tanya Aryo. Di susul dengan Daniel, ia pun ikut heran karena tak biasanya Amel bersikap seperti ini. "Mungkin Amel ngambek karena kita gak ngajakin dia waktu pergi semalam, bisa jadi seperti itu," ucap Hakim. Karena kesal, Arum langsung menghampiri Amel ke dalam kamarnya, di susul dengan Mega dibelakangnya. Betapa kagetnya mereka ketika membuka pintu kamar Amel, dan mendapati ada orang lain di dalam sana. "Siapa dia? Kamu bawa orang luar tanpa seizin Mama disini, kamu fikir ini rumah siapa?" Arum tak bisa menahan emosinya. Ia sudah lapar, ditambah dengan keberadaan orang asing di rumahnya. "Ih, siapa sih Mah wanita itu? Mana makan di dalam kamar lagi. Mereka enak-enakan makan, sedangkan kita kelaperan kaya gini. Udah siang gini kok kamu belum bikin sarapan sih, Mbak?" Mega ikut-ikutan berkomentar. Sebelum Mirda datang ke rumah, ia memang di beri perintah oleh Amel untuk membelikan sarapan dahulu. Karena hari ini Amel memang sengaja tak memasak untuk orang-orang di rumah ini. Ia sudah tak peduli lagi dengan keadaan perut orang-orang yang selalu menghinanya. "Mah, coba jangan berisik. Mama liat kan? Amel lagi ngapain disini. Kasihan Aisha, nanti ia merasa terganggu karena omelan Mama. Ini masih pagi Mah... Mendingan Mama masak dulu tuh orang udah pada laper." Kali ini, Amel gantian meledek Arum dan juga Mega. "Kurangajar sekali dia Mah. Udah berani ngeledek Mama dan Mega kaya gini. Mana di depan orang yang baru kita kenal lagi," ucap Mega sambil memicingkan matanya. "Kamu udah berani menghina Mama seperti ini di depan orang Mel? Sudah kurangajar kamu ya. Gak sopan sama sekali ke orang tua." Hardik Arum. Seketika wanita itu memberhentikan sarapannya. Matanya kini berpindah menatap wajah Arum. "Mama bilang apa? Aku gak menghargai Mama selaku orang tua? Coba Mah. Amel gantian nanya. Apa selama ini Mama menghargai Amel sebagai menantu Mama disini?""Amel itu menantu disini, dan namanya menantu, mertua itu harus menyayangi bak anak kandungnya sendiri. Apa Mama pernah begitu ke Amel? Menganggap Amel ini anak Mama? Kalau Mama emang merasa sedemikian, kenapa disini Amel terus-menerus di hina, di perlakukan seperti pembantu, di kucilkan, bahkan sewaktu makan saja mau ngambil lauk daging Amel tak di perbolehkan. Padahal jelas yang membeli semua kebutuhan di rumah itu Amel, buat menafkahi orang di rumah ini. Gimana, Mah?"Kesabaran Amel sudah tak bisa di toleransi kembali, ia mencerca Arum dengan berbagai macam pertanyaan. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah kesalnya, begitu juga Mega, ia tak menyangka Amel bisa mengatakan semua ini.Arum memicingkan matanya, "Kamu ini, sudah mulai berani berbicara seperti itu ke Mama? Gak tau diri kamu tinggal di rumah ini.""Mah, coba tanyakan pada diri Mama sendiri. Yang gak tau diri disini itu Amel, atau siapa? Amel gak mau nyebutin, cobalah Mama berfikir sendiri. Terus,
"Iya, Ayah juga laper loh, Ma. Apa Mama gak bisa buat masakin sarapan untuk kita?" Tanya Hakim."Kalian ini, lagi ribut kaya gini bisa-bisanya masih mikirin makan. Urusan isi perut itu gampang, kalian bisa beli di luar. Banyak orang jualan makanan pagi-pagi gini. Mama gak mau capek-capek ngurusin rumah. Apalagi harus keluar untuk membeli bahan-bahannya dulu, karena stok bahan sudah habis. Untuk kamu Mega, bisa beli bubur ayam di luar untuk sarapan Tifa, kasihan dia udah rewel minta makan." Arum menggerutu. Ia memang tak pernah mau membersihkan rumah, maunya terima beres karena ia orang pemalas, begitu pun dengan Mega."Oke deh, Ma..." Jawab Mega dengan lesu."Heran Mama, gak habis fikir dengan Amel. Bisa-bisanya kaya gitu sekarang, baru pertama Mama ngeliat dia berani melawan seperti ini. Seperti tak punya harga diri Mama dibuatnya," ucap Arum kesal seraya menyilangkan kedua tangannya.Jelas, semua manusia punya batas kesabaran. Sudah tiga tahun lebih Amel mengabdi, menyerahkan tenaga
"Mel? Tumben mukanya di tekuk gitu, apa ada masalah lagi sama Mama mertua kamu?" Tanya Sintya, ia berjalan menghampiri dan duduk di sebelah Amel."Aku sedih, Sin. Kenapa Mama gak sayang sama Aisha? Dia kan cucunya. Kalau aku yang disakiti masih mending. Ini Aisha, anak kecil gak tau apa-apa." Mata wanita itu mulai berkaca-kaca."Maksud kamu apa? Emangnya Aisha kenapa Mel? Apa mereka melukainya?" Timbul beberapa pertanyaan dalam benak sahabatnya itu."Lusa kemarin, pas aku lagi masak, aku tuh naruh Aisha di ruang tengah. Dia lagi main sama sepupunya, Tifa. Pas aku udah selesai motongin sayuran tiba-tiba denger dia nangis, teriak kaya kesakitan gitu Sin... Nangisnya itu tak kunjung berhenti. Karena khawatir aku coba liat kan. Pas aku tanya Aisha gak mau jawab, ternyata pas nyoba cek di sekujur tubuhnya, ada luka di bagian kepala belakang sama lututnya." Amel menangis sesenggukan, ia sedih karena mengingat kejadian saat itu. Kenapa keluarga suaminya tak peduli padanya juga anaknya."Ya A
Kurir itu segera mematikan mesin dan mengambil bingkisan makanan yang digantung di dasboard. "Pesanan makan atas nama Aisha dan Mirda?" Tanya kurir."Iya, saya Mirda, Pak. Ini yang digendong ialah Aisha,", ucapnya sambil menghampiri dan akan mengambil bingkisan makanan itu "Gimana sih, Pak? Bapak salah baca kali. Itu pasti makanan buat saya dan menantu. Gak mungkin kalau Amel membelikan hanya untuk pengasuh murahan kaya gini." Arum tak terima."Mohon maaf, Bu. Yang memesan makanan ini Bu Amel, ia berpesan pada saya bahwa makanan ini jangan diberikan pada selain atas nama Mirda dan Aisha," jelas Pak kurir.Setelah memberikan makanan itu, kurir delivery pun segera pulang. Sementara Mirda dan Aisha segera masuk ke dalam kamar kembali. Ia tak memperdulikan ocehan Arum dan Mega. "Heh, pembantu sialan. Kurangajar ya kamu asal nylonong tanpa pamit. Lagian itu si Amel udah gayanya udah kaya konglomerat aja mesen-mesen makanan online." Sungut Arum tak terima dengan perlakuan menantunya. Ia g
"Lancang kamu ya! Baru pertama kali saya liat pembantu belagu kaya kamu Mir! Kamu itu harusnya tau diri tinggal dirumah siapa, ini rumah saya bukan Amel! Cuma pembantu aja kok belagunya kelewatan. Gak punya sopan santun sama pemilik rumah!" Wanita paruh baya itu berkacak pinggang, emosinya sudah meledak.Sementara, hari sudah menjelang sore. Waktunya Amel untuk pulang kerja, ia segera membereskan buku-buku dari meja kerjanya. Sebelum pulang, wanita itu berencana ingin membelikan cemilan untuk Aisha dulu, karena stok kemaren sudah habis."Mel, mau pulang sekarang?""Iya Sin. Aku udah pengen sampe rumah, pengen liat putriku. Tapi kayanya aku mau nyimpang dulu beliin cemilan buat Aisha. Baru setelah itu pulang," balasnya."Oh oke deh. Aku duluan ya. Kamu hati-hati di jalan. By Mel." Sintya melambaikan tangan pada sahabatnya.Jarak antara supermarket dan rumah tidak terlalu jauh, kebetulan masih satu arah. Hanya butuh waktu sepuluh hingga lima belas menit untuk sampai.Di pinggir jalan se
"Mir, sekarang kita siap-siap untuk makan malam di luar dengan Aisha, tolong siapkan segala keperluannya. Pasti sekarang Aisha sudah lapar. Saya tunggu diluar ya." Perintah Amel.Amel bergegas keluar dari kamar untuk pergi dinner dengan putri dan juga pengasuhnya. Ia tak peduli jika Arum ataupun Mega belum makan malam ini, yang terpenting sekarang adalah ia dan juga putrinya.Selang lima belas menit, Mirda menggendong Aisha untuk keluar menghampiri Amel. "Bu, sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," ucapnya."Eh tunggu. Mau kemana kalian? Pergi gak pamit-pamit. Kaya jaelangkung aja." Arum menghadang tepat disebelah pintu depan."Kami mau makan diluar Ma. Pasti sekarang Aisha sudah lapar, kasihan dia belum makan malam ini. Keburu malam nanti bisa ngantuk di jalan," ucap Amel."Enak aja main keluar. Kalian boleh keluar, asalkan pulang membawa makanan untuk Mama dan juga Mega. Kami juga belum makan malam." Tegas Arum."Maaf Ma. Nanti Ayah atau Mas Aryo kan pulang, Mama bisa minta uang
"Jaga bicaramu pada Mega, kamu gak punya sopan santun pada Adik iparmu juga sekarang," emosi Arum memuncak, sejenak ia memberhentikan makan malamnya."Apa ada yang salah Ma? Coba Mama fikir, apa yang Amel ucapkan itu nyata atau tidak. Lagian, siapa yang mulai ngehina duluan? Kenapa harus Amel lagi yang kena? Harusnya Mama bisa mengajari Mega bagaimana cara bersikap santun pada Kakak iparnya. Dia gak berhak berbicara gitu ke Amel," balasnya tak terima."Arghh, bikin gak napsu makan aja Mbak Amel!""Oh, gak napsu? Baik, Mbak bisa masuk kamar sekarang kok. Lagian ngapain disini lama-lama, menghabiskan waktu hanya untuk berdebat." Amel langsung meninggalkan meja makan dan bergegas masuk ke kamar.***Hari sudah malam, sekarang hampir jam sepuluh. Arum belum tidur, ia masih di depan tv bersama dengan Hakim. Sementara itu, Aryo baru saja pulang sampai rumah. Ia berjalan masuk ke dalam rumah mengendap-endap seperti maling. Mungkin ia khawatir jika kepulangannya diketahui oleh Amel. Karena ba
"Yah, ada Mama lagi disini, buang-buang waktuku saja," batinnya."Mau kemana pagi-pagi gini Mel?" Tanya Aryo."Lah, kamu gak liat Mas aku pakai baju apa? Sudah rapih begini, ya mau berangkat kerja lah. Masa mau nyuciin baju," "Tumben pagi-pagi begini? Biasanya juga agak siangan kamu berangkatnya," Aryo sedikit heran."Palingan dia mau menghindar untuk membersihkan rumah, kan sekarang istri kamu sudah mulai berani lupa sama pekerjaan nya." Tukas Arum seraya menyilangkan kedua tangannya."Sebenarnya jam kerjaku pagi, Mas. Namun karena Mama kamu banyak tuntutan, menyuruhku untuk memasak, membersihkan rumah, belum lain sebagainya. Jadi aku terpaksa berangkat agak siang. Tapi, sekarang kan aku sudah gak mau melakukan hal itu.""Kenapa? Aku kan suamimu. Mendingan sekarang kamu beresin rumah lalu masak pagi ini, mumpung masih ada waktu,""Maaf Mas. Aku sudah tak mau melakukan semua itu, disini menantu bukan hanya aku, tapi ada Mega. Lagian, Mama juga bisa masak kalau memang ada kemauan. Say
"Lo denger gak apa kata bos gue? Apa mau gue sumpelin langsung ke mul ut lo?" Tanya salah satu napi yang lainnya."I-iya, Bang. Saya denger.""Gitu dong!" ujarnya sambil melemparkan bungkus yang berisi nasi bekas."Apes banget hidup disini, gak ada perasaan, udah mirip sama bina tang. Aku harus segera menghubungi Mama, agar mempercepat untuk bertemu dengan Amel dan segera membebaskan aku," batinnya sambil terus memandangi nasi bekas, Aryo merasa risih jika harus memakan nasi itu.Namun tak ada pilihan lagi selain menghabiskan nasi bekas itu, karena para napi yang lainnya juga memperhatikan gerak-gerik Aryo. Dengan terpaksa, lelaki itu memakannya, walau dalam hati sebenarnya ingin muntah.___Arum kini sudah tiba di klinik bersama Risma, ia langsung dilarikan ke UGD karena pendara-ha nya semakin hebat.Tubuhnya lemas terkulai hingga nyaris membuat Risma tak sadarkan diri. Dokter segera mengecek kondisinya, karena gumpalan da rah mulai keluar dari area sensi tifnya.Sementara dengan Aru
"Terus, langkah apa yang akan Mama ambil untuk sekarang? Apa Mama akan tetap mewakili Mas Aryo untuk mempersulit proses perceraian. Atau Mama memilih mengalah dan pasrah jika Mas Aryo dan Mbak Amel benar-benar sah bercerai?" Tanya Mega. Ia turut merasakan tegang bercampur resah, nyalinya untuk menghadapi Amel sudah tak se bar-bar dulu.Ia khawatir jika nantinya malah ikut terseret, karena dulu Mega pernah melakukan kekerasan terhadap Aisha hingga terluka. Bahkan, sampai sekarang Amel pun masih menyimpan bukti visum atas itu.Mega tak menyangka, Amel akan melakukan hal senekad ini. Ia benar-benar menjebloskan lelaki yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang tanpa rasa belas kasihan."Mbak Amel ke Mas Aryo aja bisa setega itu, padahal Mas Aryo adalah lelaki yang dulu pernah sangat ia cintai. Apalagi ke aku? Bisa habis aku dibuatnya," batinnya dengan dada yang berkembang kempis. Wajah wanita itu seketika nampak pias. Ia tak mau jika bernasib sama seperti Aryo."Yah, mau gak mau Mama har
"Semudah inikah Mama bisa mengucapkan kata maaf? Apa Mama gak ingat, bagaimana perlakuan Mama ke Amel waktu dulu? Dan bayangkan, berapa lama Amel menahan sabar atas sikap Mama yang zolim?""Mama menyesal Mel, gak ada yang bisa membantu Mama saat ini kecuali kamu. Karena kamu lah yang berkuasa untuk mencabut tuntutan itu," ujar Arum berusaha untuk terus memohon. Karena satu-satunya orang yang bisa membebaskan Aryo dari penjara adalah Amel.Sebenarnya, Aryo bisa keluar penjara dengan cepat, asal ia membayar denda sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Namun, jangankan membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja sekarang keadaan keluarga mereka sangatlah sulit. Berbeda dengan yang dulu, uang mereka selalu utuh karena banyak bergantung dengan Amel."Iya, Mama menyesal karena baru tau kan kalau ternyata Amel gak seburuk dan semiskin yang Mama kira? Andai dari awal Mama mengetahui semua harta yang Amel punya, pasti Mama tak akan bersikap seperti itu, yang ada Mama bakal menjunjung ting
"Aku harus segera membawa suamiku ke klinik, agar ia cepat sembuh dan bisa bekerja lagi. Benar-benar kacau, jika sampai tak ada yang menafkahi keluarga ini. Secara, mau makan pakai apa? Sedangkan Aryo juga belum bebas, Daniel pun tak selalu bisa di andalkan. Aku memang mempunyai uang tabungan. Tapi sayang sekali jika harus merogoh tabungan hanya untuk makan sehari-hari. Apa gunanya aku mempunyai anak dan suami jika harus memakai uang tabungan?" ujar Arum sembari melirik ke arah jalan dari kaca mobil yang tertutup. Sekarang, ia dan Hakim sedang dalam perjalanan menuju klinik. "Ma, rasanya gak kuat. Kepala Ayah kaya di putar-putar, rasanya juga mual." Hakim terus memegangi kepala, sambil menahan mual yang kini terasa mengkocok isi perutnya."Ayah, ini juga kita lagi di jalan, bentar lagi juga sampe. Biar enak nanti sampe sana gak usah ngantri lama, karena hari sudah mulai siang."Mobil yang di tumpangi Arum dan Hakim kini sudah berhenti di parkiran sebelah kanan klinik, mereka segera m
Arum langsung memutuskan teleponnya dengan Mega, ia dibuat kaget dengan kehadiran Lia yang berbisik tepat di telinganya. "Bu Arum, apa anda mendengar ucapan saya?" "Iya, saya dengar.""Baik, semuanya sudah jelas. Anda bisa pergi dari sini secepatnya,""Bu, lantas bagaimana dengan Aryo? Kapan ia bisa bebas? Tolong, kasihanilah anak saya." Pinta Arum sedikit memelas."Maaf, yang lebih berhak untuk memutuskan anak Ibu bisa keluar dari tahanan bukan saya, tapi Amel. Dia lah yang mempunyai hak, kapan bisa mencabut tuntutan itu. Karena, yang bersangkutan disini sebagai korban ialah putri saya." "Tapi, apakah Ibu gak bisa untuk membujuk Amel? Di penjara sana tempat orang-orang krim!nal Bu, saya takut Aryo kenapa-napa.""Tadi sudah saya jelaskan ya Bu Arum, yang bisa mengeluarkan Aryo dari sana bukan saya, tapi Amel.""Sekarang Amel ada dimana, Bu? Tolong sebelum saya pergi. Saya ingin tau keberadaan Amel.""Anak saya lagi kerja Bu, gak bisa diganggu di jam-jam sekarang.""Baik, kalau begi
"Saya ingin Aryo di bebaskan, tolong. Ibu gak bisa jika selalu semena-mena terhadap kami.""Semena-mena anda bilang? Apakah menurut kalian, bahwa perilaku kami terhadap kalian ini tak pantas?" Lia berjalan mendekati Arum, tepat di sebelah kolam ikan yang menghiasi halaman rumahnya."Iya, memang anda tak pantas jika berperilaku seperti itu pada anak saya Bu. Apalagi Aryo itu ayahnya Aisha. Jika anak Bu Lia memang mau menggugat anak saya tolong kalian bersikap yang adil.""Adil apa yang anda maksud? Apakah selama ini anda berlaku adil kepada putri saya saat pertama kali ia sah menjadi menantu anda? Apakah anda memperlakukan Amel dengan baik dengan mengingat bagaimana cara Ibu mertuaharus bersikap kepada menantunya?" Lia mencerca Arum, ia mulai geram.Karena Lia paham dengan karakter besannya itu. Pasti Arum takkan terima jika putra sulungnya mendekam dalam tahanan. Arum sesaat hening tak bergeming di hadapan Lia."Bagaimana pun Aryo, ia tetap Ayah biologis dari Aisha Bu. Ibu gak boleh
Di samping itu, kini Aryo sedang dimintai keterangan oleh penyidik. Ia dilaporkan atas dasar kasus perzinahan. Bahkan Amel juga malaporkan kasus saat Mega mendorong Aisha hingga terluka.Namun petugas kepolisian sengaja tak membicarakannya terlebih dulu, karena dilarang oleh Zain dan Lia.Andai saja, ia dan keluarganya tak terus-terusan mengganggu Amel, pasti kejadiaannya tak akan fatal seperti ini."Apa benar kamu melakukan zina ketika masih berstatus kan suami dari saudari Amel?" Tanya polisi."Gak Pak. Semua ini salah paham, tolong bebaskan saya. Saya gak tau menahu soal ini. Mungkin Amel hanya bergurau saja Pak, gak mungkin dia tega melaporkan saya, karena saat ini saya masih sah berstatus kan sebagai suami Amel.""Saya hanya menjalankan tugas, dan saya gak bisa jika harus membebaskan anda, terkecuali Bu Amel datang kemari dan menyabut tuntutannya." Tegas polisi.Aryo terdiam, hanya bisa mendengkus kesal dan meratapi nasib. Ia tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini."Samp
Pagi harinya"Permisi, apa benar ini kediaman dari Pak Aryo bin Hakim Wahyudi?" Tanya dua orang lelaki yang menggunakan seragam serba hitam."Benar Pak, itu anak saya. Maaf, Bapak siapa dan ada perlu apa kemari?" Tanya Arum, dari hatinya ia menduga bahwa kedua lelaki yang sedang dihadapinya itu berprofesi sebagai polisi."Kami dari pihak kepolisian, ingin menangkap saudari Aryo Wahyudi. Mohon maaf Bu.""Loh, ada apa Pak? Apa salah anak saya hingga mau ditangkap seperti ini?"Belum juga menjawab, salah satu polisi memberi kode untuk memperintah kan temannya masuk ke dalam."Siap Ndan!"Salah satu polisi itu langsung masuk ke dalam rumah dan menggeledah untuk mencari Aryo."Maaf, apa Bapak bernama Aryo?" Tanya polisi ketika sedang melihat Aryo bersantai dengan Risma."Iya, maaf Bapak siapa? Kok berani masuk ke rumah saya seperti ini?"Tanpa berkata lagi, kedua polisi itu langsung memborgol tangan Aryo. Lelaki itu mencoba memberontak karena tak terima. "Heh, apa-apaan ini? Apa salah saya
Semua orang sudah berkumpul di ruang sidang, Amel tinggal menunggu panggilan sekarang.Setelah menunggu kurang dari lima belas menit akhirnya nama Amel dipanggil oleh Pak Hakim (Ketua Pengadilan)."Selamat pagi, saudari penggugat. Apakah anda hari ini sehat dan siap untuk melaksanakan sidang pertama?" Sapa Pak Hakim."Pagi Pak. Saya sehat, dan siap untuk menjalankan sidang hari ini." Jawab Amel dengan tegas."Apakah anda tetap yakin untuk bercerai? Walaupun sudah ada anak di antara kalian? Sudahkah anda mempertimbangkan nya kembali?" "Saya sudah mempertimbangkan berkali-kali, Pak Hakim. Dan keputusan saya mutlak untuk bercerai dengan suami saya.""Bagaiman dengan Aryo, saudari tergugat?" Tanya Pak Hakim pada Aryo."Maaf yang mulia, saya tidak mau bercerai dari Amel. Saya ingin ia mempertimbangkan kembali atas keputusan ini. Karena bagaimana pun anak kami masih membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Istri saya memang keras kepala Pak. Padahal sudah berkali-kali