"Mau jadi pacarku?"
Sorak sorai langsung riuh terdengar memenuhi seluruh jagat kantin. Ini benar-benar peristiwa langka karena inilah pertama kalinya seorang Dirga Hadinata langsung nembak cewek didepan umum. Karena biasanya kalau ia baru jadian, nggak ada angin nggak ada hujan, keesokan harinya ia sudah akan langsung menggandeng pacar barunya didepan seluruh mahasiswa, bak pasangan artis yang tengah berjalan di red carpet.
Dan ini juga pertama kalinya bagi Dirga memilih seorang cewek yang berbeda dari tipe para mantan pacarnya sebelumnya. Lyan memang cukup cantik, tapi terlalu sederhana dibandingkan para mantan Dirga yang selalu berpenampilan bak selebgram. Bahkan juga cukup aneh bahwa Dirga akhirnya tertarik pada seorang cewek cerdas semacam Lyan. Bukannya semua orang tahu, cowok itu malas belajar. Jelas ia tidak berminat berkencan dengan cewek cerdas yang nantinya akan membuatnya repot karena terus-terusan diminta untuk serius belajar.
Lantas, kenapa kali ini harus Lyan?
"Gimana? Mau nggak?" tanya Dirga lagi.
"Jadian! Jadian! Jadian!!" teriak para penonton heboh. Lyan menghela napas kesal. Ia menatap Dirga serius, mendekat ke hadapannya.
"Mau tahu jawabanku?"
Dirga mengangguk. Lyan tersenyum sinis. Dan kemudian...
Bhukk!!
Sorakan yang tadinya riuh langsung terhenti seketika. Semua orang ternganga dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Lyan menonjok keras pipi Dirga.
Lyan mengembalikan ponsel yang dpinjamnya pada si pemilik aslinya. "Langsung aja confirm ke grup. Dirga di tolak!" tegasnya lalu segera beranjak dari tempat itu. Mulai melangkah pergi meninggalkan para penonton yang masih membatu.
Namun tak lama kemudian, gilirannyalah yang berdiri membatu, ketika di hadapannya muncul Abi bersama Retania disampingnya.
"Ada apa ini?" tanya Abi sambil menatap sekeliling. Suara rendahnya yang terdengar seksi mulai mengalihkan perhatian para mahasiswi, bergantian menatap ke Arah Abi sambil berbisik-bisik. Kali ini mereka tidak berani terang-terangan bersorak karena melihat keberadaan Retania disamping dosen tampan itu, yang balik memandang semua mahasiswi dengan tatapan mengintimidasi, dengan makna tersembunyi bahwa dosen ganteng ini adalah miliknya. Berani mendekat, kalian mati.
Lyan menahan napasnya. Tangannya bergetar, namun sialnya, matanya tak bisa lepas memandang Abi. Dan sial, beberapa detik kemudian, pandangan Abi akhirnya terarah padanya. Ekspresi wajahnya langsung berubah. Sorot matanya terlihat ramah. Namun ketika ia baru akan mengatakan sesuatu, akhirnya Lyan berhasil memaksakan kakinya agar melangkah pergi.
Ia benci situasi ini. Dan ia tidak mau menciptakan drama lagi.
****
"Katanya nggak mau ketemu aku lagi," sindir Dirga ketika melihat kedatangan Retania di apartemennya. Ia masih memegangi pipinya yang masih terasa sakit akibat pukulan Lyan tadi. Sial, cewek itu ganas juga.
Retania tertawa sinis. "Pertunjukanmu lumayan. Bersiaplah dengan pamormu yang bakal turun mulai sekarang,"
"Kenapa? Karena penolakan Lyan? Atau pamor gebetan barumu itu?"
"Yah, barangkali keduanya,"
Gantian Dirga yang tersenyum sinis. "Aku rasa kau salah,"
"Oh ya?"
"Ya! Buktinya kau masih kesini, nemuin aku. Padahal katanya nggak mau ketemu lagi. Kenapa? Itu karena kau merasa aku masih menarik, kan?" sahut Dirga percaya diri. Retania mencibir.
"Aku kan udah bilang, itu karena pertunjukanmu..."
"Tentang Lyan..." Dirga memotong ucapan Retania, membuat Retania juga berhenti bicara. Lalu Dirga melanjutkan, "aku semakin suka dia karena dia ngasih aku tantangan. Lihat saja, dalam waktu dekat, aku bakal lihat kecemburuan dimata cantikmu karena dia. Karena dia mengalahkanmu," Dirga menyentuh bawah mata Retania.
"What?? Kau bercanda?!"
"Apa kau menyadari sesuatu saat itu?" tanya Dirga lagi, sambil mengingat kembali momen dimana dosen baru itu menatap lembut ke arah Lyan namun Lyan justru langsung pergi mengabaikannya. Dirga langsung tahu, ada sesuatu di antara mereka. Dan sudah jelas, dosen itulah rival barunya. Bukan demi merebut hati Retania, melainkan Lyan.
"Apa maksudmu?"
Dirga berdecak. "Ck! Ternyata kau nggak cukup jenius,"
"Kau bilang ap...mmhh..." Retania lagi-lagi belum selesai berbicara ketika kemudian bibirnya diraup oleh Dirga.
"Dan mengenai gebetan barumu itu..." lanjut Dirga ketika ia menghentikan sesaat ciumannya di bibir Retania. Ia mulai membuka kausnya dan merengkuh tubuh Retania.
"I know that he's not as hot as me. Itu sebabnya kau datang kemari..." Dirga menjatuhkan tubuh mereka berdua ke atas kasur.
"Karena kau masih 'butuh'. Aku benar, kan?"
Dirga kembali mengecup bibir Retania. Ia memang tidak memberi kesempatan pada Retania untuk membalas perkataannya dengan kata-kata. Namun kecupan balasan dari gadis itu pada detik berikutnya sudah menjadi jawabannya.
Dirga tahu, hubungan mereka yang seperti ini mustahil untuk berakhir.
****
"Iya, oke, aku langsung jalan kesana ini ya. Sekalian ntar aku bawain buah. See you," ucap Lyan pada Deana diseberang telepon. Sahabatnya itu sudah heboh begitu mendengar kabar tentang insiden antara Lyan dan Dirga di kantin. Dalam waktu singkat, kabar itu langsung cepat menyebar luas melalui grup chat, berbarengan dengan rumor mengenai Retania dan dosen baru itu juga. Deana berkoar-koar di telepon bahwa ia menyesal karena nggak masuk hari ini akibat sakit. Padahal ada dua kejadian heboh yang terjadi dalam satu hari, bahkan salah satunya menyangkut Lyan, sahabatnya sendiri.
Lyan menghela napas. Kenapa hari ini terasa begitu hectic? Ia benci hari-hari semacam ini dimana kehidupan kampusnya yang biasanya tenang kini terganggu. Parahnya lagi, ia benci sekali harus terlibat dengan drama dengan para makhluk good looking dikampus mereka.
Lyan memegangi dadanya. Jantungnya masih berdetak cukup kencang disana, mengingat momen ketika akhirnya ia kembali bertatapan dengan Abi setelah sekian lama. Sial, kenapa sorot kelembutan itu masih terlihat sama?
Lyan menghela napas lagi. Lelah.
"Lily...?"
Dan rasa lelah itu kini berganti cemas seiring terdengar olehnya sebuah panggilan yang sudah lama tak didengarnya sejak delapan tahun yang lalu.
***
8 tahun yang lalu..."Namaku Lyan!" seru Lyan cepat, menjawab pertanyaan seorang pemuda dewasa dihadapannya yang menanyakan namanya dengan ramah."Hmm, namamu cukup unik. Apa itu nama panggilan?"Lyan menggeleng cepat. "Nama lengkapku Lyan Keshwari,"Pemuda itu tersenyum lagi sambil menatap lembut ke arahnya. "Kalau nama kakak? Sudah tahu kan?"Lyan mengangguk. "Abimana Hattala," sahutnya. Ia mengetahuinya dari KTP di dompet Abi yang ia temukan terjatuh di jalan. Demi menemukan sang empunya dompet, Lyan terpaksa membuka isinya demi mencari identitas pemiliknya. Namun alamat yang tertera justru sebuah alamat di luar kota. Karena kebingungan, Lyan pun pergi ke kantor kepala desa untuk melaporkan dompet yang ia temukan. Dan bersyukurnya, orang-orang di kantor kepala desa mengenal sang pemilik dompet. Yang ternyata salah satu mahasiswa yang sedang ikut kegiatan volunteering di desa mereka. Ya, desa mere
Abi tersenyum sambil memegangi dompet yang kini telah kembali ke tangannya. Bukan senang karena dompetnya telah kembali, melainkan terkesan dengan gadis kecil yang telah mengembalikan dompetnya meskipun ia bisa saja menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ada beberapa ratus ribu di dompet itu, dan tak satu lembar pun yang hilang. Ya, Abi mengagumi kejujuran anak itu serta usahanya demi menemukan dirinya sebagai pemilik dompet."Wahh... akhirnya ketemu juga ya sayang. Dapat dimana?"Abi melirik seorang gadis disampingnya yang sedang bergelayut manja di lengannya yang kini ikut memperhatikan dompetnya.Anara. Kekasihnya.Abi mengusap lembut rambut Anara."Dibalikin sama anak kecil,"Anara mendongak. "Anak kecil? Serius? Tumben masih ada anak yang sejujur itu ya di zaman sekarang,"Abi menggumam setuju sambil tersenyum lagi.
"Ly... kenapa nangis?" tanya Deana cemas melihat Lyan yang berdiri didepan pintunya sambil berurai air mata. Sekian lama bersahabat dengan Lyan, baru kali ini ia melihat Lyan menangis. Deana mulai berpikir macam-macam. Apakah pernyataan cinta Dirga membuat Lyan di bully para penggemar fanatiknya? Apa mereka menghinanya? Menyakitinya secara fisik karena merasa tak terima?Deana merasa miris melihat Lyan yang seperti ini. Meskipun belum tahu pasti apa penyebabnya kesedihan Lyan, namun Deana serasa ingin menangis bersamanya."Ma...maaf De, a...aku... nggak bawa...buah untukmu..." sahut Lyan sambil sesenggukan. Ia sibuk mengusap air matanya yang tak henti mengalir.Deana memeluknya. "Nggak perlu pikirin itu. Lagian aku juga udah mulai enakan. Yuk masuk dulu. Kamu tenangin diri didalam,"Lyan mengangguk. Deana menuntunnya masuk lalu segera menutup pintu. Lyan segera duduk di tepi kasur sementara Deana mengambilkan segela
Abi masih tidak bisa berhenti memikirkan Lyan. Di satu sisi ia terpana, Lily-nya telah tumbuh dewasa dan cantik meskipun hanya berpakaian kasual ala mahasiswa. Namun, sorot matanya tidak lagi ceria. Atau, apa tatapan itu hanya ditujukan padanya saja?Abi menggeliat gelisah. Pertemuan kembali dengan Lyan yang tak terduga telah mengubah fokusnya untuk sesaat. Ia menatap nomor ponsel Retania yang telah ia simpan. Bukankah seharusnya ia langsung saja mendekati gadis ini dengan gencar sesuai rencananya? Namun entah kenapa ia mulai tidak tertarik. Meskipun ternyata aslinya Retania begitu cantik.Ia mulai iseng membuka akun sosial medianya. Dan tiba-tiba terpikir untuk mencari akun Lyan. Tak butuh waktu lama, dalam beberapa detik, ia berhasil menemukannya. Sebuah akun bernama Lyan Keshwari. Abi tersenyum menatap foto profilnya yang ceria. Namun sayang, akunnya terkunci. Tanpa pikir panjang, Abi langsung meng-klik tombol permohonan pertemanan.***
"Pasti sengaja, kan?"Lyan dan Deana kompak menengadah, membatalkan suapan mereka begitu mendengar suara yang familiar ini. Dihadapan mereka, Dirga berdiri menjulang dan menatap lurus ke arah Lyan.Lyan memperhatikan sekeliling. Seisi kantin sibuk berbisik-bisik memperhatikan mereka. Ia menghela napas berat. Lagi-lagi cowok di hadapannya ini suka sekali berulah dengan membuat drama. Dan Lyan benci sekali ini.Lyan melirik Deana sekilas. Sahabatnya itu tampak menatap cemas ke arahnya. Kemudian Lyan kembali beralih menatap Dirga."Apa maksudmu sengaja?" tanya Lyan pura-pura tidak mengerti. Sedikit banyak, dia tahu apa yang dimaksud Dirga."Akun sosmedmu. Kenapa mendadak isinya kosong semua? Bahkan foto profilmu pun nggak ada," protes Dirga."Kan terserah aku. Itu akunku. Lagian aku udah konfirmasi akunmu. Apalagi yang kurang?" sahut Lyan santai.Dirga berdecak k
"Kita bisa sepakat untuk ini," ujar Dirga. Lyan menatapnya bingung, "maksudmu?""Aku tahu kau nggak mau berurusan dengan dosen itu. Kalian pernah ada sesuatu, kan? Aku bisa bantu,""Nggak usah!" tolak Lyan cepat."Kenapa?"Lyan menatap Dirga serius,"karena kita nggak lagi main drama sekarang. Kau mau bantu apa? Kita pura-pura pacaran, gitu? Mau bikin orang lain cemburu? Aku tahu, kau suka Retania, kan?""Ap...apa?""Jangan remehkan insting perempuan,"Dirga tertawa kecil. Dalam hati, ia benar-benar mengagumi Lyan."Satu lagi. Jangan pernah berpikir untuk menjadikan aku umpan hanya demi memancing perhatian Retania. Aku sibuk, nggak punya waktu untuk main-main dengan itu. Kau cuma perlu berhenti jadi playboy. Fokus aja ngejar Retania,"Dirga tertawa lagi. Lyan mengernyit heran menatapnya. "Aku heran kenapa kau terus tertaw
"Ma..."Anara melirik cepat ke arah Lila sebagai kode untuk merubah panggilannya."Tante..." Lila meralat panggilannya. Anara tersenyum lalu bertanya, "ada apa, sayang?"Lila menunjukkan sehelai kertas berisi gambar hasil karyanya. Gambar sebuah pemandangan pedesaan. "Bagus nggak, Tante?"Anara memperhatikannya dengan seksama, namun akhirnya ia tak terlihat berminat. "Bagus," jawabnya sekenanya."Tante suka?" tanya Lila lagi dengan mata berbinar. Anara menarik napas sesaat. "Suka. Tapi tante akan lebih suka lagi kalau Lila bisa menang di kompetisi piano," sahutnya. Wajah Lila lantas berubah murung. "Tapi piano sulit, Tante. Lila nggak berbakat. Lila lebih suka menggambar,"Anara menghela napas sesaat lalu mengusap lembut rambut Lila. "Tapi piano penting untuk masa depanmu, sayang. Kakek dan nenek, semuanya menginginkan Lila untuk jadi pianis hebat suatu hari nanti. Seperti ibu
Chapter 16: INVITATIONBeberapa detik kemudian, Anara segera tersadar dan langsung menampar Pram dengan ekspresi marah yang mendominasi wajah cantiknya. Pram tak membalas. Ia hanya menatap Anara tenang lalu berkata, "bahkan kau sendiri tak bersedia jadi istri yang baik untukku. Sudahlah. Setidaknya kita akan sama-sama ada disana nantinya," Pram bangkit, melangkah dengan tenang meninggalkan Anara yang masih terkejut dan marah.Sepeninggal Pram, Anara menghela napas berat. Ia selalu tak suka keintiman fisik seperti ini. Bahkan sejak awal pernikahannya dulu, ketika Pram menyentuhnya, ia merasa jijik. Tak pernah ia bayangkan bahwa suatu saat Pram lah pria pertama yang menyentuhnya, kakak iparnya sendiri.Sebetulnya, saat masih menikah dengan Amira, Pram memang sosok pria yang baik. Bahkan sebelum menikah dengan Amira pun, ia yang saat itu datang pertama kali ke kediaman Aryasena dalam rangka pesta perayaan pernikahan orang tua Anara dan