Chapter 16: INVITATION
Beberapa detik kemudian, Anara segera tersadar dan langsung menampar Pram dengan ekspresi marah yang mendominasi wajah cantiknya. Pram tak membalas. Ia hanya menatap Anara tenang lalu berkata, "bahkan kau sendiri tak bersedia jadi istri yang baik untukku. Sudahlah. Setidaknya kita akan sama-sama ada disana nantinya," Pram bangkit, melangkah dengan tenang meninggalkan Anara yang masih terkejut dan marah.
Sepeninggal Pram, Anara menghela napas berat. Ia selalu tak suka keintiman fisik seperti ini. Bahkan sejak awal pernikahannya dulu, ketika Pram menyentuhnya, ia merasa jijik. Tak pernah ia bayangkan bahwa suatu saat Pram lah pria pertama yang menyentuhnya, kakak iparnya sendiri.
Sebetulnya, saat masih menikah dengan Amira, Pram memang sosok pria yang baik. Bahkan sebelum menikah dengan Amira pun, ia yang saat itu datang pertama kali ke kediaman Aryasena dalam rangka pesta perayaan pernikahan orang tua Anara dan
Dirga menghentikan motornya tepat di sebuah bangunan yang tak asing baginya. Bangunan yang selalu menjadi tempat bernaungnya dulu.Panti Asuhan Muara CahayaDirga menatap plang nama bangunan itu yang kini mulai melapuk akibat termakan usia. Ia menghela napas. Ia begitu merindukan tempat ini. Meskipun beberapa teman sebayanya sudah tak lagi ada disini. Beberapa tahun telah berlalu sejak Dirga diambil oleh Hardian Hadinata dari panti asuhan ini. Sejak itu pula ia tak pernah lagi menginjakkan kakinya disini.Saat itu semua teman-temannya iri karena Dirga akan tinggal bersama keluarga kaya raya. Kehidupannya pasti akan sejahtera. Dirga pun sama yakinnya. Bahwa ia pasti akan bahagia. Asanya melambung tinggi ke angkasa.Tapi nyatanya?Ia begitu malu untuk kembali ke tempat ini. Untuk memberi tahu bahwa bukannya merasa bahagia, ia justru sangat terluka. Tak disangka, dunia di luar bangunan ini terasa begit
"Nak Dirga, kenalkan, ini Nak Lyan. Ibu ketemu sama Nak Lyan minggu lalu di pasar. Nak Lyan ini baik sekali. Dia nolongin ibu yang lagi di copet. Nak Lyan berhasil mengambil kembali dompet ibu dan menghajar pencopetnya. Sejak itu Nak Lyan berminat untuk bantu bantu disini. Sudah beberapa kali dalam minggu ini Nak Lyan bantu mengajar anak-anak panti," cerita Bu Sumia pada Lyan dan Dirga yang kini berdiri berhadapan. Dirga sendiri tercengang menatapnya. Tak menyangka, karena sepertinya Lyan akan terus memasuki kehidupannya.Lyan tersenyum canggung pada Bu Sumia yang memujinya. Lalu menatap Dirga dengan kaku."Nah, Nak Lyan, ini Nak Dirga. Dia ini sudah ibu anggap seperti putera kandung ibu sendiri karena sejak kecil dia tinggal disini. Nak Dirga ini juga anak yang baik. Lihat, walaupun dia sudah tidak lagi tinggal di panti ini, tapi dia masih mau datang kesini,"Dirga tersenyum miris. Lyan menatapnya dengan pandangan yang kini berbeda
Siang ini di kantin kampus seharusnya sama seperti biasanya. Sama tenangnya, sama serunya. Namun kali ini Deana mendengus kesal. Tak lain tak bukan karena lagi-lagi ia dan Lyan menjadi pusat perhatian penghuni kantin. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan si mahasiswa penuh kontroversi, Dirga Hadinata?Dirga melangkah cepat ke arah mereka dan kemudian langsung duduk dihadapan mereka. Namun anehnya, kali ini Lyan diam saja. Ia bahkan menatap Dirga dengan tenang. Deana bergerak-gerak gelisah.Ada apa ini?"Hai!" sapa Dirga singkat. Lyan hanya menggumam kecil sebagai balasannya. Sementara Deana masih menatap heran kepada keduanya.Dirga meraih buku menu dan segera memanggil penjual kantin. Mbak Ratmi, sang penjual kantin, tergopoh-gopoh mendekati mereka."Kalian mau makan apa? Pesan aja. Biar aku yang traktir," ujar Dirga."Nggak usah!" sahut Deana cepat. Dirga mengernyit heran ke arahnya."Ayam penyet dua," sahut Lyan kemudian."Wha
"Wah...ternyata nggak sulit juga," komentar Dirga begitu Lyan selesai menjelaskan materi. "Kau cocok jadi guru. Kau pintar mengajar," lanjut Dirga lagi, memuji dengan tulus.Lyan tersenyum. "Mungkin karena kau juga sebetulnya mudah diajari,""Mungkin karena pengajarku cantik" goda Dirga sambil mengerling. Lyan langsung melempar pelan sehelai kertas ke wajah Dirga. "Berani gombal sekali lagi privatnya nggak gratis,""Oke! Mau aku traktir lagi? Atau mau kubelikan hadiah?" tawar Dirga antusias. Lyan memutar bola matanya sebal, "lupakan!"Tiba-tiba ponsel Lyan berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di layar. Lyan segera mengangkatnya."Halo," sapa Lyan."Ini aku,"Sebuah suara yang tidak asing di seberang telepon. Tidak dibutuhkan kejeniusan bagi Lyan untuk segera mengetahui sang penelepon tak lain tak bukan adalah Abi. Ia terdiam sesaat, kemudian bangkit."Sebentar ya guys," pamitnya. Deana mengiyakan sambil tetap fokus pa
Dirga ingin langsung keluar dari persembunyiannya begitu melihat air mata Lyan yang jatuh karena dosen yang sangat dicintainya itu. Namun pegangan tangan Deana mencegahnya. Dirga melotot ke arahnya. Namun Deana hanya menggeleng."Lyan harus berhenti menjadi pengecut," bisiknya dengan nada tegas. Dirga mengernyit."Lyan harus menyelesaikan masalahnya dengan cinta pertamanya. Dan kita jangan ikut campur," lanjut Deana lagi.Dirga terdiam. Dalam hati ia setuju meskipun sesungguhnya dia ingin sekali segera menarik Lyan menjauh dari sana. Akhirnya ia kembali menunggu di tempat persembunyiannya bersama Deana. Sudah beberapa menit mereka disini sejak Lyan tak juga kembali. Mereka pun mencarinya, namun begitu ketemu, ternyata Lyan terlihat sedang berbicara serius dengan Pak Abi. Dan Deana pun segera menarik Dirga agar jangan mendekat."Kita harus pergi," ujar Deana tiba-tiba."Apa?!""Kita harus menghormati privasi mereka,""Apa kau nggak pena
"Hei! Kau nggak capek ya terus-terusan sok baik?? Dasar cowok munafik!"Kenangan itu melintas sejenak kala Anara tengah memejamkan matanya. Kenangan masa lampau yang tidak akan pernah dia lupakan. Kenangan ketika pertama kalinya dia berbicara langsung dengan Abi. Dan selamanya, Anara akan selalu mensyukuri hari itu sebagai hari terbaik dalam hidupnya.Hari itu sebelas tahun yang lalu, ketika Anara masih berstatus sebagai mahasiswi tahun pertama. Siapa yang tidak kenal dirinya? Putri keluarga Aryasena yang meskipun prestasinya tidak pernah terdengar gaungnya, tapi setidaknya ia cantik jelita."Kamu Anara kan? Aku udah lama lho naksir kamu. Pacaran yuk!"Kalimat langganan yang selalu terdengar membosankan di telinga Anara. Ia melirik cowok yang tengah berdiri di hadapannya. Ia bahkan sudah malas menghitung sudah di urutan keberapakah cowok ini yang mendamba dirinya sambil memamerkan mobil mewahnya di depan Anara, berharap benda mahal itu akan semakin meningkatk
"Kau dan Abi, kalian pacaran ya?"Sebuah pertanyaan meluncur dari salah seorang anggota organisasi yang ditujukan pada Anara. Anara gugup. Jantungnya berdebar kala mendengar pertanyaan itu."Hmm...itu...kami cuma lumayan akrab aja kok," sahut Anara seadanya. Ya, nyatanya hubungannya dan Abi hingga saat ini hanya sebatas itu.Beberapa bulan sudah berlalu sejak peristiwa itu. Anara memutuskan untuk bergabung dengan organisasi kemasyarakatan yang juga diikuti Abi. Ia sangat tertarik. Ia bertanya tentang banyak hal. Dan ia pun mulai melakukan banyak hal.Mau tak mau, ia juga mulai akrab dengan Abi. Tak disangka, meskipun berbeda sifat, nyatanya keduanya nyambung kala berbicara. Selain itu, Abi juga rutin selalu mengantar dan menjemputnya.Anara tak memikirkan banyak hal selain fokus pada kuliahnya dan juga membantu di organisasi ini. Hingga kemudian pertanyaan barusan mulai mengusik pikirannya.Mendengar kata 'pacaran', kenapa jantungnya berdeba
"Aku langsung mendapat tawaran pekerjaan yang bagus begitu lulus kuliah. Lalu aku bekerja keras dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar bisa menikahi Anara," ujar Abi yang masih melanjutkan ceritanya. Lyan masih setia mendengarkan. Ekspresinya berubah. Tak ada lagi rasa benci yang tersirat di wajahnya. Ia mulai bersimpati pada kisah Abi dan Anara semasa muda."Jadi aku memutuskan untuk menemui orang tua Anara untuk melamarnya. Saat itu Anara terlihat sangat bahagia. Kami sudah merencanakan banyak hal untuk masa depan kami. Jadi saat itu aku cukup percaya diri kalau kami pasti bisa mendapatkan restu. Tapi ternyata hari itu adalah hari terburuk bagiku di dunia. Dan selamanya, aku tidak akan pernah melupakannya..."Abi memejamkan matanya sesaat demi mengingat kembali momen menyakitkan saat itu. Momen ketika ia berbicara langsung dengan keluarga Aryasena untuk melamar Anara."Nak Abi, kamu pasti tahu fungsinya cermin, bukan?" tanya Tuan Wisnu Aryasena, ayah Anar
Sambil menutup mulutnya karena tak menyangka dengan apa yang dia lihat, kaki Retania pun tak mampu bergerak. Dirga di depan sana, sedang tercebur ke dalam kolam renang akibat di pukul ayahnya. Melihat luka yang tergambar jelas di wajah Dirga, hati Retania ikut merasakan sakit. Dia jadi teringat pembicaraan mereka dulu."Kau tahu Reta, ada terlalu banyak hal yang kubenci di dunia ini.""Oh ya? Apa saja?""Aku benci belajar, benci keluargaku, dan terutama, aku benci ayahku."Retania terdiam, lalu akhirnya menyahut, "kenapa?""Karena dia itu pria paling brengsek di dunia. Karena kebrengsekannya, aku harus lahir di dunia ini. Dan dia juga mencampakkan ibuku, sampai akhirnya ibuku meninggalkan dunia ini tanpa ikut membawaku."Retania terdiam lagi. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga yang bahagia dan terhormat. Tidak pe
Beberapa saat sebelumnya..."Kau...benar-benar datang?"Lyan menyambut kedatangan Dirga dengan ekspresi tidak percaya. Namun Dirga bisa melihat rasa iba di matanya. Seakan-akan akan ada hal buruk yang akan terjadi padanya setelah ini."Tentu saja. Mana mungkin aku berbohong padamu, kan?" Sahut Dirga santai sambil melepaskan helmnya dan turun dari motornya. "Sekarang bawa aku menemui ibunya Deana." Dirga langsung menarik tangan Lyan sementara Lyan masih terperangah.Lyan segera membawanya menemui Bu Narita dan memperkenalkan Dirga padanya. Bu Narita kemudian menjelaskan secara ringkas mengenai tugas yang harus Dirga lakukan kemudian memberikan seragam pakaian pada Dirga. Dan sama seperti Lyan, Dirga juga terlihat tampan dengan seragam itu."Kalian berdua benar-benar good-looking!" Puji Bu Narita saat melihat Lyan dan Dirga berdiri beriringan.&
Retania menaikkan kembali gaunnya namun tidak ada sedikit pun rasa malu yang tergambar di wajahnya meski aksi kemesraannya dipergoki oleh Anara. Berbeda dengan Abi yang kini tampak gugup, Retania justru merasa murka. Sekalipun dia sangat mengagumi Anara sebelumnya, tapi sikap wanita itu sangat ini benar-benar membuatnya amarahnya sudah berada di puncak kepala.Siapa juga yang bakalan suka kalau diganggu saat sedang mesra-mesranya?"Maaf kalau aku terdengar terlalu ikut campur... ""Anda memang terlalu ikut campur, Nona Anara!!" Potong Retania cepat dengan emosi yang terdengar jelas dari nada suaranya. Anara terdiam. Ia mengepalkan tangannya.Dasar, bocah-bocah zaman sekarang memang banyak tingkah!"Anda seharusnya tahu kalau kami sedang membutuhkan privasi. Kalaupun Anda melihatnya, bukankah sebaiknya Anda diam saja?" Cecar Retania.
"Nak, kita mendadak kekurangan pelayan. Mariani mendadak sakit. Deana bilang ada teman kalian yang mau jadi pelayan, benar begitu?" Tanya Narita dengan kecemasan di wajahnya."E-eh, iya Bu," Sahut Lyan gugup. Teman yang mau jadi pelayan? Dirga kah?"Bisa tolong hubungi temanmu itu? Dari tadi Ibu sudah mencoba menelepon Deana tapi tidak diangkat.""Baiklah, Bu. Sebentar ya."Lyan pamit untuk menelepon Dirga. Sebenarnya dia ragu untuk menawarkan ini pada Dirga. Karena di sini ada ayah beserta ibu tirinya. Dan juga Retania yang malam ini resmi mengumumkan hubungan romantisnya dengan Abi di depan publik."Hai Lyan. Ada apa? Kau butuh bantuan?" Nada ceria Dirga terdengar di seberang sana."Kami... Sedang butuh pelayan tambahan di sini. Salah seorang pelayan ada yang mendadak sakit. Apa kau..bisa datang?""Tentu! Acara k
"Boleh aku tahu ada ada sebenarnya dengan kehidupan puteri kalian yang katanya bahagia bersama jodohnya?"Wisnu dan Jeanita semakin pucat pasi mendengar perkataan Abi dengan nada ejekan di sana. Jeanita meggamit erat lengan suaminya, kode agar sebaiknya mereka pergi saja dari sana. Dan akhirnya, sepasang suami istri itu pun pergi.Abi menghela napas lega. Ia pun kembali memilih kudapannya. Seorang pelayan baru saja meletakkan beberapa jenis kudapan baru di atas meja hidang. Melihat salah satu kudapan tradisional favoritnya tersaji di sana, Abi langsung mengambilnya dengan penuh semangat."Wah, akhirnya ada juga kue tradisional! Ini kesukaanku! Terima kasih... Eh?? Lily?!"Suara Abi berubah menjadi pekikan saat menyadari siapa sosok pelayan yang barusan menghidangkan kudapan di atas meja. Dan ternyata itu adalah Lyan!"Lily? Kenapa bisa ada di sini?"
Lyan menatap dirinya di depan cermin di hadapannya. Ia merapikan penampilannya sekali lagi, memastikan seragam pelayan kombinasi hitam dan putih yang diberikan ibunya Deana ini tidak kusut sama sekali. Ia juga memperhatikan rambutnya yang sudah tertata rapi, disanggul kecil di belakang. Riasannya yang sederhana juga sudah pas. Bagaimanapun, sesuai arahan ibunya Deana, ia tidak perlu berpenampilan berlebihan.Lyan tersenyum sekali lagi sambil menyemangati diri. Jujur sebenarnya ia gugup sekali. Ini pertama kalinya ia bekerja di acara keluarga kelas atas. Reputasi keluarga Hardoyo sebagai pengusaha tambang sungguh tidak main-main. Dan karena ini pesta yang tidak terlalu besar, Lyan justru semakin gugup. Para tamu akan lebih mudah mengenalinya. Dan seperti cerita Dirga sebelumnya, Lyan cukup khawatir akan ada yang coba mempermainkannya."Semangat Lyan! Semangat!" Ia masih berusaha keras memberi sugesti pada dirinya sendiri. Kemudian
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirga sambil menyodorkan sebuah minuman kaleng ke arah Lyan. Saat ini ia, Lyan, dan juga Deana sedang nongkrong di kafetaria kampus."Apa maksudmu?" Tanya Lyan heran.Dirga meneguk minumannya lalu menjawab, "yah, kau benar-benar orang yang penuh rahasia. Dan penuh kejutan juga. Kemarin kau ternyata kenal dengan dosen baru kita. Dan tiba-tiba hari ini kau mengenal artis itu juga. Besok besok siapa lagi yang akan kau kenal? Presiden Amerika? Atau apa jangan-jangan kau ini juga anak mafia?"Deana terkikik geli mendengar perkataan Dirga. Sementara Lyan segera melempar pelan kotak tisu yang ada di hadapannya ke arah Dirga dan cepat di tangkap cowok itu."Jangan-jangan kau juga keturunan ilmuwan? Guruku ini kan sangat pintar!" Celetuk Dirga lagi"Hentikan! Kau ini!" Kali ini Lyan juga tertawa kecil mendengar ledekan itu."Mungkin Lyan juga keturunan peraih Nobel Perdamaian
"Wahhh, pemandangannya bagus sekali disini!" Celetuk Anara riang ketika kakinya menyentuh lantai rooftop. Pemandangan seluruh kota terlihat dari atas sini. Sangat indah.Di ujung sana, Abi berdiri namun ia hanya membalikkan tubuhnya. Tapi Anara sangat yakin pria itu pasti menyadari kedatangannya. Ia tersenyum. Abi sungguh pintar memilih tempat yang bagus dan romantis untuk mereka berbicara berdua saja."Maaf lama menunggu, Abi..."Abi langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Anara serius."Katakan apa tujuanmu sebenarnya!"Rahang Anara mengeras dan raut wajahnya tidak lagi seriang sebelumnya. Hatinya terluka karena hingga detik ini tidak ada keramahan dari Abi samasekali padahal Anara sudah melakukan berbagai hal sejauh ini untuk bisa dekat dengannya.Namun Anara berusaha untuk tetap memasang senyum manisnya. "Apa maksudmu, Abi? Aku t
Dan tentu saja, hari itu di Universitas Bina Darma, semua yang terjadi sesuai dugaan Anara."Hei!! Bukannya itu Anara Aryasena?!!""Wah...!! Dewi Estella!!""My God! Dewi Estella benar-benar ada di sini??!""Ya Tuhan... Dia benar-benar dewi! Dia sangat cantik!"Anara tersenyum sambil tetap melenggang anggun di sepanjang kawasan Universitas Bina Darma. Karena ia sedang berada di kampus, ia mencoba mengenakan busana yang lebih pantas. Dan ternyata, setelah blazer hitam dari desainer ternama, rambut yang diikat rendah ke belakang dengan sedikit anak rambut yang terurai di bagian depan, dan cukup dengan riasan minimalis yang cantik, pesonanya sukses mengguncang semua orang. Di tambah dengan kacamata hitam dan blazer yang tidak dikancing dan memperlihatkan dalaman berupa kemeja berwarna abu-abu, ia terlihat lebih kasual namun amat sangat keren. Setiap mata yang memandang tak hen