"Hei! Kau nggak capek ya terus-terusan sok baik?? Dasar cowok munafik!"
Kenangan itu melintas sejenak kala Anara tengah memejamkan matanya. Kenangan masa lampau yang tidak akan pernah dia lupakan. Kenangan ketika pertama kalinya dia berbicara langsung dengan Abi. Dan selamanya, Anara akan selalu mensyukuri hari itu sebagai hari terbaik dalam hidupnya.
Hari itu sebelas tahun yang lalu, ketika Anara masih berstatus sebagai mahasiswi tahun pertama. Siapa yang tidak kenal dirinya? Putri keluarga Aryasena yang meskipun prestasinya tidak pernah terdengar gaungnya, tapi setidaknya ia cantik jelita.
"Kamu Anara kan? Aku udah lama lho naksir kamu. Pacaran yuk!"
Kalimat langganan yang selalu terdengar membosankan di telinga Anara. Ia melirik cowok yang tengah berdiri di hadapannya. Ia bahkan sudah malas menghitung sudah di urutan keberapakah cowok ini yang mendamba dirinya sambil memamerkan mobil mewahnya di depan Anara, berharap benda mahal itu akan semakin meningkatk
"Kau dan Abi, kalian pacaran ya?"Sebuah pertanyaan meluncur dari salah seorang anggota organisasi yang ditujukan pada Anara. Anara gugup. Jantungnya berdebar kala mendengar pertanyaan itu."Hmm...itu...kami cuma lumayan akrab aja kok," sahut Anara seadanya. Ya, nyatanya hubungannya dan Abi hingga saat ini hanya sebatas itu.Beberapa bulan sudah berlalu sejak peristiwa itu. Anara memutuskan untuk bergabung dengan organisasi kemasyarakatan yang juga diikuti Abi. Ia sangat tertarik. Ia bertanya tentang banyak hal. Dan ia pun mulai melakukan banyak hal.Mau tak mau, ia juga mulai akrab dengan Abi. Tak disangka, meskipun berbeda sifat, nyatanya keduanya nyambung kala berbicara. Selain itu, Abi juga rutin selalu mengantar dan menjemputnya.Anara tak memikirkan banyak hal selain fokus pada kuliahnya dan juga membantu di organisasi ini. Hingga kemudian pertanyaan barusan mulai mengusik pikirannya.Mendengar kata 'pacaran', kenapa jantungnya berdeba
"Aku langsung mendapat tawaran pekerjaan yang bagus begitu lulus kuliah. Lalu aku bekerja keras dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar bisa menikahi Anara," ujar Abi yang masih melanjutkan ceritanya. Lyan masih setia mendengarkan. Ekspresinya berubah. Tak ada lagi rasa benci yang tersirat di wajahnya. Ia mulai bersimpati pada kisah Abi dan Anara semasa muda."Jadi aku memutuskan untuk menemui orang tua Anara untuk melamarnya. Saat itu Anara terlihat sangat bahagia. Kami sudah merencanakan banyak hal untuk masa depan kami. Jadi saat itu aku cukup percaya diri kalau kami pasti bisa mendapatkan restu. Tapi ternyata hari itu adalah hari terburuk bagiku di dunia. Dan selamanya, aku tidak akan pernah melupakannya..."Abi memejamkan matanya sesaat demi mengingat kembali momen menyakitkan saat itu. Momen ketika ia berbicara langsung dengan keluarga Aryasena untuk melamar Anara."Nak Abi, kamu pasti tahu fungsinya cermin, bukan?" tanya Tuan Wisnu Aryasena, ayah Anar
Anara memandang pemandangan di luar jendela kamarnya dengan tatapan hampa. Ia mendesah. Lelah. Sampai kapan dia harus terus hidup seperti ini. Seorang wanita cantik yang terkurung di istana yang antik. Dan ia kembali mengingat sepotong percakapannya dengan Abi di masa lampau."Abi, bagimu, aku ini seperti apa?" tanya Anara dengan nada manja sambil menyandarkan kepalanya di dada Abi.Abi membelai lembut rambut Anara sambil menjawab, "hmm...kamu itu pelita."Anara langsung menengadah. "Pelita?"Abi mengangguk sambil tersenyum manis. "Ya, kamu seperti cahaya yang menerangi kehidupanku yang gelap. Aku selalu bersyukur bisa bertemu denganmu, Nara,"Anara terpana mendengarnya. Ia tak lagi sempat menyusun kata-kata untuk membalas ucapan manis Abi. Melainkan ia langsung membalasnya dengan memberi kecupan manis di bibir Abi.Anara memejamkan matanya. Mengingat kembali
Abi tersentak ketika menyadari bahwa apa yang sedang ia lakukan kini bukanlah mimpi. Tubuh yang ia rengkuh. Kulit mulus yang ia sentuh. Semuanya nyata!Abi langsung bangkit dan mengerjap tidak percaya melihat sosok di hadapannya."Na....Nara...." desisnya tidak percaya."Sayang...." wanita itu, Anara, mendesah memanggilnya ketika secara tiba-tiba Abi menghentikan kemesraan mereka. Tatapan cantiknya masih penuh damba. Menginginkan Abi kembali ke pelukannya.Abi menatap tidak percaya terhadap apa yang sudah ia lakukan. Bekas gigitan cintanya di beberapa bagian atas tubuh Anara membuatnya terbata-bata, tak mampu berkata-kata.Abi segera memalingkan wajahnya. Ia sangat malu. Malu terhadap apa yang sudah ia lakukan pada wanita yang kini telah resmi berstatus sebagai istri orang.Abi segera meraih pakaian yang terjatuh di lantai dan melemparnya pelan ke arah
Ini semua belum berakhir, Lyan. Kebahagianmu, dan juga kebahagiaanku... ' Kata-kata Dirga terus terngiang-ngiang di benak Lyan. Entah kenapa selalu membuat Lyan memikirkannya. Kebahagiaan? Bukankah selama ini toh dia baik-baik saja? Lyan tidak tahu apa itu kehidupan sempurna, namun setidaknya dia menyukai kehidupannya selama ini, dan itu sudah cukup. Tapi, semua terasa begitu sebelum Abi datang. Pria itu seperti domino yang jatuh. Kedatangannya terus memicu masalah lain yang timbul dalam kehidupan Lyan yang biasanya tenang. Dan salah satu masalah itu termasuk kehadiran Dirga. Lalu bagaimana bisa salah satu pembawa masalah itu kini menawarkan kebahagiaan padanya...? Lyan menarik napas sesaat. Sebetulnya Lyan tidak berencana untuk bisa akrab dengan Dirga. Cowok itu sangat populer dan jelas Lyan tidak ingin berada dalam
Raut kecewa di wajah Anara terus terbayang-bayang di benak Abi. Ada rasa tidak tega, namun dia harus tetap pada logika.Entah bagaimanapun kehidupan wanita itu saat ini, dia sudah berstatus sebagai istri orang. Dan setahu Abi, suami Anara itu, Pram Sanjaya, bukanlah pria sembarangan.Meskipun cukup mengejutkan ketika akhirnya Anara memilih untuk menikahi kakak iparnya sendiri. Tapi, siapa juga yang bisa menolak pesona seorang Pram? Meskipun saat itu berstatus duda, kualifikasinya jelas melebihi pria lajang biasa. Dan saat itu Abi jelas tidak ada apa-apanya.Ya, Anara telah memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama pria itu ketimbang pergi bersama Abi ke luar negeri. Jadi kalau sekarang wanita itu masih merengek bahwa dia tidak bahagia, itu bukanlah urusan Abi.Memang, darah Aryasena semuanya sama saja.Abi mencibir. Kini, dia harus tetap fokus
"Mau apa waria itu kesini?" Tanya Pram pada Anara yang masih sibuk membereskan kumpulan katalog properti yang berserakan di atas meja di hadapannya."Namanya Sisca. Dia itu temanku!" sahut Anara cuek."Wah, selera pertemananmu cukup unik."Anara masih sibuk membereskan katalognya dan tidak berminat membalas perkataan Pram. Sementara itu, Pram mulai memperhatikan katalog yang sedang dibereskan Anara."Apa kau berniat cari tempat pelarian baru? Mau kurekomendasikan?"Anara mendengus kesal sambil menatap Pram sebal. "Bukan urusanmu!" Ia langsung bangkit, namun ketika melalui Pram, tiba-tiba pria itu menarik tangannya lembut."Apalagi??" Bentak Anara. Pram hanya tersenyum sambil mengusap lembut kepala Anara. "Ada kotoran di kepalamu. Lain kali, keramaslah lebih bersih."Anara melongo tak percaya. Kemudian ia reflek iku
9 tahun yang lalu...Pram berdecak kesal mengutuk kemacetan panjang yang sudah sekitar satu jam melanda. Ia melirik arlojinya. Seharusnya dia sudah tiba di tempat pertemuan setengah jam yang lalu. Namun kemacetan yang tak terduga ini justru membuatnya akan terlambat!Klien yang akan ditemuinya sangat penting, dan bagaimana bisa Pram memberikan kesan buruk dengan datang terlambat pada pertemuan pertama mereka?!Sekretaris Pram, Ammar, Wiguna, menelepon klien tersebut dan memberitahu mengenai perihal keterlambatan mereka. Dan beruntungnya, ternyata sang klien juga sedang terjebak kemacetan panjang di ruas jalan yang berbeda. Keduanya pun memutuskan untuk mengundur waktu pertemuan mereka.Pram menarik napas lega. Ia meminta dokumen yang akan mereka bahas nantinya pada Ammar. Ia ingin mempelajarinya sekali lagi sebelum bertemu dengan sang klien.Tiba-tib
Sambil menutup mulutnya karena tak menyangka dengan apa yang dia lihat, kaki Retania pun tak mampu bergerak. Dirga di depan sana, sedang tercebur ke dalam kolam renang akibat di pukul ayahnya. Melihat luka yang tergambar jelas di wajah Dirga, hati Retania ikut merasakan sakit. Dia jadi teringat pembicaraan mereka dulu."Kau tahu Reta, ada terlalu banyak hal yang kubenci di dunia ini.""Oh ya? Apa saja?""Aku benci belajar, benci keluargaku, dan terutama, aku benci ayahku."Retania terdiam, lalu akhirnya menyahut, "kenapa?""Karena dia itu pria paling brengsek di dunia. Karena kebrengsekannya, aku harus lahir di dunia ini. Dan dia juga mencampakkan ibuku, sampai akhirnya ibuku meninggalkan dunia ini tanpa ikut membawaku."Retania terdiam lagi. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga yang bahagia dan terhormat. Tidak pe
Beberapa saat sebelumnya..."Kau...benar-benar datang?"Lyan menyambut kedatangan Dirga dengan ekspresi tidak percaya. Namun Dirga bisa melihat rasa iba di matanya. Seakan-akan akan ada hal buruk yang akan terjadi padanya setelah ini."Tentu saja. Mana mungkin aku berbohong padamu, kan?" Sahut Dirga santai sambil melepaskan helmnya dan turun dari motornya. "Sekarang bawa aku menemui ibunya Deana." Dirga langsung menarik tangan Lyan sementara Lyan masih terperangah.Lyan segera membawanya menemui Bu Narita dan memperkenalkan Dirga padanya. Bu Narita kemudian menjelaskan secara ringkas mengenai tugas yang harus Dirga lakukan kemudian memberikan seragam pakaian pada Dirga. Dan sama seperti Lyan, Dirga juga terlihat tampan dengan seragam itu."Kalian berdua benar-benar good-looking!" Puji Bu Narita saat melihat Lyan dan Dirga berdiri beriringan.&
Retania menaikkan kembali gaunnya namun tidak ada sedikit pun rasa malu yang tergambar di wajahnya meski aksi kemesraannya dipergoki oleh Anara. Berbeda dengan Abi yang kini tampak gugup, Retania justru merasa murka. Sekalipun dia sangat mengagumi Anara sebelumnya, tapi sikap wanita itu sangat ini benar-benar membuatnya amarahnya sudah berada di puncak kepala.Siapa juga yang bakalan suka kalau diganggu saat sedang mesra-mesranya?"Maaf kalau aku terdengar terlalu ikut campur... ""Anda memang terlalu ikut campur, Nona Anara!!" Potong Retania cepat dengan emosi yang terdengar jelas dari nada suaranya. Anara terdiam. Ia mengepalkan tangannya.Dasar, bocah-bocah zaman sekarang memang banyak tingkah!"Anda seharusnya tahu kalau kami sedang membutuhkan privasi. Kalaupun Anda melihatnya, bukankah sebaiknya Anda diam saja?" Cecar Retania.
"Nak, kita mendadak kekurangan pelayan. Mariani mendadak sakit. Deana bilang ada teman kalian yang mau jadi pelayan, benar begitu?" Tanya Narita dengan kecemasan di wajahnya."E-eh, iya Bu," Sahut Lyan gugup. Teman yang mau jadi pelayan? Dirga kah?"Bisa tolong hubungi temanmu itu? Dari tadi Ibu sudah mencoba menelepon Deana tapi tidak diangkat.""Baiklah, Bu. Sebentar ya."Lyan pamit untuk menelepon Dirga. Sebenarnya dia ragu untuk menawarkan ini pada Dirga. Karena di sini ada ayah beserta ibu tirinya. Dan juga Retania yang malam ini resmi mengumumkan hubungan romantisnya dengan Abi di depan publik."Hai Lyan. Ada apa? Kau butuh bantuan?" Nada ceria Dirga terdengar di seberang sana."Kami... Sedang butuh pelayan tambahan di sini. Salah seorang pelayan ada yang mendadak sakit. Apa kau..bisa datang?""Tentu! Acara k
"Boleh aku tahu ada ada sebenarnya dengan kehidupan puteri kalian yang katanya bahagia bersama jodohnya?"Wisnu dan Jeanita semakin pucat pasi mendengar perkataan Abi dengan nada ejekan di sana. Jeanita meggamit erat lengan suaminya, kode agar sebaiknya mereka pergi saja dari sana. Dan akhirnya, sepasang suami istri itu pun pergi.Abi menghela napas lega. Ia pun kembali memilih kudapannya. Seorang pelayan baru saja meletakkan beberapa jenis kudapan baru di atas meja hidang. Melihat salah satu kudapan tradisional favoritnya tersaji di sana, Abi langsung mengambilnya dengan penuh semangat."Wah, akhirnya ada juga kue tradisional! Ini kesukaanku! Terima kasih... Eh?? Lily?!"Suara Abi berubah menjadi pekikan saat menyadari siapa sosok pelayan yang barusan menghidangkan kudapan di atas meja. Dan ternyata itu adalah Lyan!"Lily? Kenapa bisa ada di sini?"
Lyan menatap dirinya di depan cermin di hadapannya. Ia merapikan penampilannya sekali lagi, memastikan seragam pelayan kombinasi hitam dan putih yang diberikan ibunya Deana ini tidak kusut sama sekali. Ia juga memperhatikan rambutnya yang sudah tertata rapi, disanggul kecil di belakang. Riasannya yang sederhana juga sudah pas. Bagaimanapun, sesuai arahan ibunya Deana, ia tidak perlu berpenampilan berlebihan.Lyan tersenyum sekali lagi sambil menyemangati diri. Jujur sebenarnya ia gugup sekali. Ini pertama kalinya ia bekerja di acara keluarga kelas atas. Reputasi keluarga Hardoyo sebagai pengusaha tambang sungguh tidak main-main. Dan karena ini pesta yang tidak terlalu besar, Lyan justru semakin gugup. Para tamu akan lebih mudah mengenalinya. Dan seperti cerita Dirga sebelumnya, Lyan cukup khawatir akan ada yang coba mempermainkannya."Semangat Lyan! Semangat!" Ia masih berusaha keras memberi sugesti pada dirinya sendiri. Kemudian
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirga sambil menyodorkan sebuah minuman kaleng ke arah Lyan. Saat ini ia, Lyan, dan juga Deana sedang nongkrong di kafetaria kampus."Apa maksudmu?" Tanya Lyan heran.Dirga meneguk minumannya lalu menjawab, "yah, kau benar-benar orang yang penuh rahasia. Dan penuh kejutan juga. Kemarin kau ternyata kenal dengan dosen baru kita. Dan tiba-tiba hari ini kau mengenal artis itu juga. Besok besok siapa lagi yang akan kau kenal? Presiden Amerika? Atau apa jangan-jangan kau ini juga anak mafia?"Deana terkikik geli mendengar perkataan Dirga. Sementara Lyan segera melempar pelan kotak tisu yang ada di hadapannya ke arah Dirga dan cepat di tangkap cowok itu."Jangan-jangan kau juga keturunan ilmuwan? Guruku ini kan sangat pintar!" Celetuk Dirga lagi"Hentikan! Kau ini!" Kali ini Lyan juga tertawa kecil mendengar ledekan itu."Mungkin Lyan juga keturunan peraih Nobel Perdamaian
"Wahhh, pemandangannya bagus sekali disini!" Celetuk Anara riang ketika kakinya menyentuh lantai rooftop. Pemandangan seluruh kota terlihat dari atas sini. Sangat indah.Di ujung sana, Abi berdiri namun ia hanya membalikkan tubuhnya. Tapi Anara sangat yakin pria itu pasti menyadari kedatangannya. Ia tersenyum. Abi sungguh pintar memilih tempat yang bagus dan romantis untuk mereka berbicara berdua saja."Maaf lama menunggu, Abi..."Abi langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Anara serius."Katakan apa tujuanmu sebenarnya!"Rahang Anara mengeras dan raut wajahnya tidak lagi seriang sebelumnya. Hatinya terluka karena hingga detik ini tidak ada keramahan dari Abi samasekali padahal Anara sudah melakukan berbagai hal sejauh ini untuk bisa dekat dengannya.Namun Anara berusaha untuk tetap memasang senyum manisnya. "Apa maksudmu, Abi? Aku t
Dan tentu saja, hari itu di Universitas Bina Darma, semua yang terjadi sesuai dugaan Anara."Hei!! Bukannya itu Anara Aryasena?!!""Wah...!! Dewi Estella!!""My God! Dewi Estella benar-benar ada di sini??!""Ya Tuhan... Dia benar-benar dewi! Dia sangat cantik!"Anara tersenyum sambil tetap melenggang anggun di sepanjang kawasan Universitas Bina Darma. Karena ia sedang berada di kampus, ia mencoba mengenakan busana yang lebih pantas. Dan ternyata, setelah blazer hitam dari desainer ternama, rambut yang diikat rendah ke belakang dengan sedikit anak rambut yang terurai di bagian depan, dan cukup dengan riasan minimalis yang cantik, pesonanya sukses mengguncang semua orang. Di tambah dengan kacamata hitam dan blazer yang tidak dikancing dan memperlihatkan dalaman berupa kemeja berwarna abu-abu, ia terlihat lebih kasual namun amat sangat keren. Setiap mata yang memandang tak hen