Bagian 82
Kami tiba di depan halaman rumah mewah milik Mas Vadi dengan sosok wanita berambut pendek seleher tengah duduk menanti di kursi teras. Mas Vadi tampak tergese turun dari mobil, sampai-sampai abai terhadapku yang duduk di sampingnya. Tak ada sepatah kata pun dari bibirnya. Entah itu berbasa basi untuk mengajakku turun bersama, atau minta izin untuk bicara empat mata dengan mantan kekasihnya tersebut.
Siapa yang tak bakal sakit hati? Oke, aku pikir, akulah yang posesif dan terlalu sensitif. Namun, salahkah aku jika bersikap begini, saat kami memanglah sepasang kekasih yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan?
Aku keluar dari mobil dengan langkah yang gontai. Kubanting pintu mobil agak keras, meskipun Mas Vadi enggan peduli dan lebih memilih setengah
Bagian 83 “I-iya …, Mas. Aku kira, kamu akan kembali pada Nadya.” Aku menunduk lagi. Menarik napas dalam-dalam demi mengusir sisa rasa pilu yang sempat menyergap. Meskipun hatiku kini jauh lebih tenang daripada tadi, tetap saja ada setitik rasa takut kehilangan. Aku pernah sekali gagal. Bagiku, memulai lagi dan lagi sebuah hubungan percintaan bukanlah suatu hal yang mudah. Maka, kali ini aku tak ingin gagal lagi. Cukuplah ini yang terakhir sampai aku dan Mas Vadi sama-sama menutup mata. “Tidak akan. Aku tidak bakal meninggalkanmu, hanya untuk kembali pada Nadya. Paham?” Suara Mas Vadi tegas dan penuh dengan penekanan. Tangannya sempat hinggap di bahuku, tetapi buru-buru dia tarik kembali. “Ayo, kita temui ibumu. Katanya mau cari ruko.” 
Bagian 84PoV Lestari Aku keluar dari ruang periksa dengan digandeng oleh Mama. Wajah Mama terlihat begitu berseri. Dia sedari di dalam tadi tak hentinya mengembangkan senyuman lebar. Entah apa maksudnya. Sementara aku, masih terhenyak dan belum sanggup untuk mengatakan apa pun selain diam seribu bahasa. “Tari, kamu kenapa, Nak? Kamu sedih?” tanya Mama saat kami baru saja keluar dari ruang tunggu praktik dokter kandungan. Aku menggelengkan kepala. Mencoba mengembangkan
Bagian 85PoV Lestari “Hahaha, ah, Mama! Sukanya bercanda terus.” Mas Tama langsung mengalihkan pandangannya dan kini duduk tegap di depan stir. Mama kemudian mencolek pinggangku, membuatku semakin tersipu sembari menunduk malu. “Cie, ada yang mukanya merah,” bisik Mama menggodaku. Aku tidak menjawab apa pun. Hanya diam sembari mengulum senyuman. Sementara itu, mesin mobil mulai dijalankan Mas Tama. Kami bertiga pun keluar dari area parkir praktik dokter kandungan. Sepanjang perjalanan, Mas Tama hanya diam seribu bahasa. Sementara itu, Mama sibuk bercerita kepadaku tentang banyak hal. Mula
Bagian 86PoV Tama Kehadiran Tiara yang sebenarnya sengaja kujadwalkan untuk berjumpa sekaligus ‘melamarnya’ di hadapan kedua orangtuaku, tiba-tiba berubah ambyar. Rencana rapi yang sudah kususun jauh-jauh hari, harus kurelakan untuk kandas begitu saja sebelum layar terkembang. Nasib malang memang tak pilah pilih siapa yang bakal disapanya. Aku yang rasanya sudah taat kepada perintah agama maupun orangtua, nyatanya harus mencecap rasa kecewa akibat gagal sebelum berperang. Tak pernah kusangka sebelumnya, bahwa Tiara telah memiliki tambatan hati. Seorang pilot yang pastinya menjadi idaman bagi perempuan mana pun, termasuk seorang polwan sepertinya. Polwan menikah dengan polisi itu sudah biasa. Namun, kalau calon suaminya ialah seorang pilot, memanglah epik. Aku sebagai pria saja menganggap wajar bila Tiara sudah ngebet
Bagian 87 Aku dan Ibu sempat terdiam cukup lama. Saling merenung, masing-masing memikirkan isi kepala yang rahasia. Aku sibuk menerka, bagaimana perasaan Bapak jika tahu istrinya begini, sedang Ibu entah apa. Wanita itu terlalu misterius. Sebagai anak kandungnya pun, aku sungguh tak memiliki kuasa untuk menebak secuil saja pikirannya. “Ris, ayo kita pergi. Kasihan Vadi menunggu.” Akhirnya, Ibu mengajakku untuk menyudahi kekalutan pikiran. Wanita itu menyeka sisa air mata di pipi dan sudut pelupuknya. Kuanggukkan kepala ke arah Ibu. Menggenggam jemarinya, mencoba untuk mengulas senyum agar wanita itu tenang. Tak sia-sia usahaku, Ibu pun langsung tersenyum lebar. Wajahnya telah menunjukkan seri yang sempat luput. Sudahlah. Kita sudahi saja apa pun yang me
Bagian 88PoV Lestari Aku sungguh terkesiap mendengarkan ucapan Mas Tama. Jawaban yang sungguh membuat hatiku sangat bebesar. Sempat berkecil hati sebab memikirkan perasaan Mas Tama yang bisa saja terganggu sebab terus dijodoh-jodohkan denganku, ternyata jawaban yang dilontarkannya malah membuatku begitu terperangah. “Ssst, jangan bilang seperti itu, Ri. Semua orang punya masa lalu. Tentang omongan Mama … ya, bagiku tidak masalah. Kita tidak tahu garis takdir, Ri.” Begitu katanya. Membuatku tak jadi berkecil hati atau rendah diri. Bagaikan tetes air yang menyirami kuntum layu, ucapan Mas Tama benar-benar berlaku sebagai booster untuk krisis kepercayaan diri yang kualami. “M-maaf, Mas ….” Namun, hanya itu yang bisa kukata
Bagian 89 “Tidak hamil, katamu?” tanyaku dengan nada yang mulai meninggi. Bahkan mulutku masih menganga sambil menatapnya tak percaya. Mata wanita itu tampak berkaca. Wajahnya yang kulihat tambah glowing ketimbang saat kami berjumpa di depan minimarket, kini basah dengan air mata. Dia menggeleng lemah. Terisak dengan suara lirih. “T-tidak … tanda kehamilan palsu, Mbak. Dua hari setelah kecelakaan Mas Rauf, aku … langsung haid.” Bagaikan tersambar petir, pernyataan dari perempuan itu benar-benar membuatku hampir saja ambruk. Dia bahkan setelah itu mendapatkan haid. Sungguh hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.&n
Bagian 90 “Maaf, Bu, sebelumnya. Maaf juga Tari. Sepertinya semua harus kita clear-kan dulu.” Aku mencoba untuk mulai membuka semua rahasia ini di hadapan orangtuaku. Bukan bermaksud membuka aib, menyibak luka lama, atau membuat Ibu ikut membenci Tari. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang memang harus diluruskan. Wajah Ibu mulai tampak resah. Sebelum mulai bercerita, aku berdehem sembari menoleh ke arah Tari yang terlihat pias. Aku harus tenang. Semoga Ibu bisa menerima ceritaku ini, tanpa timbul sakit hatinya. “Tari adalah orang ketiga penyebab perceraian aku dan Mas Rauf, Bu. Namun, Ibu tak perlu marah. Tak perlu sakit hati juga. Aku malah berterima kasih kepada Tari. Sebab kehadirannyalah, akhirnya aku berpisah dengan lelaki itu dan kini akan
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba