Bagian 27
PoV dr. Vadi
“Jadi, bukan kecelakaan?” Kutekankan sekali lagi buat meyakinkan bahwa yang kudengar darinya barusan tadi adalah benar.
“Ini lebi dari kecelakaan, Dok.” Suara Risa penuh penderitaan. Namun, bukannya ikut bersedih, semangatku seolah termantik. Vadi, apakah kamu masih waras?
“Tas besar di belakang itu? Punya siapa?” Saat mencuci tangan tadi, aku melihat di bilik tempat kami menyimpan tas, ada sebuah tas travel kulit yang teronggok. Jangan-jangan ....
“Aku kabur dari rumah, Dok. Mungkin ingin cari kost di sekitar sini. Atau kontrakan. Ya, lihat nanti.”
Bagian 28PoV Risa Usai makan malam yang sangat menyenangkan, aku dan dr. Vadi kemudian memutuskan untuk pulang karena mal sebentar lagi akan tutup. Sebelum keluar dari restoran, dr. Vadi menyuruhku untuk menukar wedges yang dia bilang norak itu dengan sepasang sandal berwarna peach yang tadi kupilih.“Nah, begini sangat pas.” Pujian dr. Vadi begitu manis terdengar di telingaku. Namun, jangan lihat ekspresinya yang datar. Cukup dengar dan tutup telinga. Saat harus melihat sosok itu kala sedang berbicara, yang ada terkadang cuma rasa jengkel. Bagaimana tidak? Mukanya itu, lho. Datar. Mau muji, mau ngomong serius, wajahnya sama saja. Sama-sama bikin sebal. Coba kamu itu senyum, Mas Vadi. Kan, enak juga dipandang jadinya.Sandal sudah terpasang dan kami pun berjalan menuju basement. Sepanjang perjalanan, jangan ditanya lagi siapa yang membawakan barang-barang belanjaanku. Su
Bagian 29PoV Risa Pagi ini terasa sungguh sangat menyenangkan. Tidurku lumayan nyenyak di kamar yang sejuk dan beraroma harum, sungguh sangat berbeda suasana di sini dengan di rumah Mama. Ya, tentu saja. Tidur tinggal tidur, tanpa harus memikirkan besoknya harus mengerjakan seabrek pekerjaan rumah tangga yang tiada usai. Bangun juga tinggal mandi dan siap-siap berangkat. Tak perlu repot masak segala. Betapa indahnya!Aku bangun lumayan awal, tepatnya pukul 05.00. Kegiatanku tak banyak, hanya salat, beres-beres kamar yang memang sudah rapi, lalu mandi. Usai mandi dan berpakaian, kuputuskan untuk segera keluar kamar sebab sudah berjanji untuk sarapan bersama dr. Vadi. Baru saja membuka pintu, aku begitu kaget luar biasa sebab tepat di depanku telah berdiri sosok dr. Vadi dalam kondisi yang rapi plus wangi semerbak. Lelaki itu terlihat menawan dalam balutan kemeja warna kuning kentang yang se
Bagian 30PoV dr. Vadi Sedetik setelah pintu kamar Risa tutup, ada yang aneh dengan jantung. Detaknya makin cepat. Irama tak beraturan. Aneh. Huhft. Sudah macam ABG saja kelakuanku. Dasar bodoh! Kelamaan jomblo ternyata membuatku jadi tak bisa mengontrol diri begini kala jatuh cinta. Oops! Ya, aku sekarang sudah tidak betah lagi untuk menyembunyikannya, bahkan pada diriku sendiri. Aku jatuh cinta pada Risa. Benar-benar jatuh yang sejatuh-jatuhnya. Cepatlah menjanda, Ris. Biar kau bisa setidaknya mengobati kekakuanku yang kadang aku sendiri pun sangat membencinya. Sembari mengawang-awang, aku berjalan. Saat hendak menaiki anak tangga, Ela memanggilku dari arah ruang tamu. Aku langsung menoleh ke belakang. Melihat anak itu masih duduk di atas sofa sembari melambaikan tangannya. Sedang di sampingnya ada fino. 
Bagian 31Pov Risa Usai menenangkan diri sesaat dari tangis serta amuk badai emosi yang tak stabil, akhirnya perasaanku dapat sedikit diajak kompromi. Semula lemas, sekarang sudah lumayan bersemangat. Terlebih ... kala memandang sekilas ke arah dr. Vadi yang sempat melempar senyumnya. Lelaki itu. Tumben sekali dia rajin menarik garis lengkung di bibir. Syukurlah, moodku soalnya langsung naik hingga hampir menyentuh titik full. Mas Sadikin, petugas rekam medis, datang membawa tumpukkan map berwarna kuning kentang dan meletakkannya ke atas mejaku tanpa senyum atau pun kata-kata. Lelaki ceking dengan seragam batik berwarna hijau lumut dan celana panjang hitam itu kembali keluar serta tak lupa untuk menutup pintu kembali. Heran. Apa susahnya berbasa basi? Sombong boleh, tapi coba lihat-lihat dulu sikonnya. Menyebalkan!&n
Bagian 32PoV Risa “Ayo kita ke atas. Bawa tasmu. Sekalian pulang habis ini.” Dr. Vadi menyambar jasnya dari atas sandaran kursi dan bergerak ke bilik belakang untuk mengambil tas. Aku mengikuti langkahnya dan ternyata dia juga mengambilkan tasku. “Jangan tegang mukamu. Kita bukan mau dihukum pancung,” katanya sambil memasukkan jas ke dalam ransel hitam. “M-mas ... apa berita tentang aku yang tinggal di kostmu ....” “Kenapa? Orang mau marah? Pak Bolon mau pecat kita? Ya, sudah! Pecat saja. Kamu ikut aku ke Kalimantan, kita bikin rumah sakit sendiri. Puas?” Aku terke
Bagian 33PoV Rauf “Mas Rauf! Mas!” Sosok Lestari yang ternyata telah menunggu kedatanganku tepat di depan ruangan penyidik, membuatku setengah muntab melihatnya. Perempuan berkemeja warna merah jambu dan celana panjang hitam dengan jilbab warna senada tersebut langsung menghambur ke arahku. Dia memeluk tubuhku yang kini tengah digiring oleh dua orang polisi dengan kondisi tangan yang terborgol. Sial! Masih bisa dia memelukku sambil menangis begini, sedang dia jugalah yang melaporkanku ke polisi. “Mas, aku minta maaf. Aku nggak tega melihatmu begini.” Lestari semakin histeris. Tangisnya meledak dengan dua tangan yang sibuk meraba wajahku. “Kita selesaikan di dalam!” Bentak seorang polisi yang tubuhnya tinggi dengan suara a
Bagian 34PoV Risa “Ng ....” Aku menggantung kalimat sembari mengerling ke arah lain. Astaga, tolong siapa pun selamatkan aku dari kadal tua bangka ini! “Berarti, Bapak boleh dong WA kamu sering-sering?” Pak Simbolon berkata dengan cukup manis. Mana tanganku tidak dilepaskannya pula. “Ris!” Sebuah suara membuatku menoleh. Betapa leganya hatiku kala menatap dr. Vadi memunculkan kepalanya dari celah pintu yang dia buka sedikit dari luar. Tatapannya tajam bagai seekor elang. Cepat kutarik tanganku dari genggaman Pak Simbolon dan mengangguk kecil padanya. Langkah kakiku langsung berpacu cepat, meninggalkan Pak Simbolon dengan mulutnya yang menganga plus muka syok. Tentu saja. Dia pasti takut dicaci oleh dr. Vadi lagi.&
Bagian 35PoV Risa Tubuhku diukur oleh Tante yang belakangan kutahu namanya sebagai Selviana. Ternyata Sejati itu singkatan dari Selvi-Jati. Kukira apaan. Sedang dr. Vadi diukur oleh Om Jati. Kedua pasangan suami istri ini sangat baik. Mereka juga mengenalkan dua keponakannya yang bekerja sebagai penjahit. Namanya Ana dan Anne. Dua-duanya berusia 20 dan 25, sama-sama masih lajang dan tinggal di sini bersama pasutri yang tak memiliki keturunan ini.Kata Tante Selvi, mereka masih punya lima karyawan lain yang bekerja di tempat terpisah. Sebagian orderan dilempar ke tempat tersebut, sedang sisanya yang penting-penting dan butuh penanganan ekstra seperti gaun dan jas pengantin Om Jati sendiri yang handle. Selain mahir menjahit, beliau juga seorang designer yang hasil karyanya sudah banyak dipakai oleh anak-anak pejabat serta orang penting kala mereka menikah. Aku tahu karena diceritakan oleh Ta