“Maksudnya?” Zoe bertanya. Dia benar-benar tidak mengerti akan pertanyaan dari Natasha.
Mengagetkan, bukan? Di saat semua orang tampak bahagia atas pernikahan ini, Natasha justru mempertanyakan kenapa Zoe harus menikahi Dixon. Memangnya, apa yang salah dengan itu? Zoe tidak melakukan kejahatan dengan menikah. Zoe tidak memaksa atau membuat Dixon menjadi tertekan. Pernikahan ini murni karena mereka saling mencintai.
“Kau pura-pura tidak mengerti atau bagaimana? Apakah memang sebodoh ini putri keluarga Borisson? Kudengar, ibumu juga berasal dari keluarga biasa. Apakah mungkin IQ ibumu yang menurun padamu?”
Rasanya tak bisa Zoe tahan ingin menjambak rambut gadis itu, tapi dia berusaha menahan ini. Natasha sangat kelewatan, berani menyebut-nyebut ibunya. Apakah di matanya, orang biasa akan selalu memiliki IQ yang rendah? Jika tak mengingat besok akan menjadi hari penuh sejarah di dalam hidupnya, ingin sekali Zoe menghajar calon iparnya ini.
“Jadi begitu?” Mendengus tidak percaya. Mata berkedip beberapa kali untuk menahan perasaan yang bercampur aduk. “Ternyata aku bahkan tidur dengannya.”Beruntungnya Dixon tidak serta merta menjadi marah dan meledak mendengar tuduhan dari calon istri. Hanya saja, dia tidak percaya Zoe bisa bisa berpikiran demikian tentang dirinya.“Apakah aku terlalu gila di matamu, Zoe Xaveera?” Dia bertanya dengan sedikit nada geli setiap kali memikirkan perkataan Zoe. “Hei, Nona Muda Borisson, mungkin aku bukan lelaki yang suci, tapi aku masih cukup waras. Meski Natasha terus mengganggu dan merayuku, tak sedikit pun di dalam kepalaku memikirkan hal seperti itu.”Sekarang Zoe yang justru terlihat terkejut. Dixon menyentuh tangannya, menarik gadis itu untuk berdiri. Kedua tangan kekar Dixon langsung melingkar di pinggang ramping Zoe, seakan tak mengijinkannya lepas barang satu detik. Dua mata mereka beradu beberapa saat sebelu
“Dixon Leonel Stewart, mau kah menikahi Zoe Xaveera Borisson. Setia padanya, dalam keadaan sakit atau sehatnya, senang atau susah, dan menjadikannya istri satu-satunya yang kau miliki. Jika kau bersedia, maka jawab ‘Ya, aku bersedia’, Anakku.”Pendeta yang membacakan pemberkatan pernikahan itu berbicara dengan lantang, tapi cukup lembut di akhir kalimatnya. Semua orang menunggu pengantin laki-laki yang berdiri berdampingan dengan gadis bergaun putih tulang. Dixon memang sengaja menggabungkan nama dari orang tua kandung juga angkatnya untuk disebut dihari pernikahannya, untuk terus mengingat fakta bahwa ada seorang pria yang mengawasinya dari atas sana. Lelaki itu pun menjawab dengan sangat tegas dan yakin.“Ya, aku bersedia menikahi Zoe Xaveera Borisson, untuk menjadi istriku. Menemaninya dan setia dalam keadaan sehat atau pun sakit, juga susah mau pun duka. Zoe Xaveera akan menjadi istriku satu-satunya.”“Anakku, Zoe Xa
Langkah kaki Esau semakin lebar mengelilingi aula hotel yang dijadikan tempat berlangsungnya pesta. Orang-orang tengah berbahagia, tak terkecuali dengan dua pengantin yang duduk berdampingan disepasang sofa. Esau sempat melihat kakaknya menerima banyak tamu yang datang mengucapkan kata selamat.Jika wanita bernama Felisha itu sampai melakukan sesuatu, yakin lah tak ada orang yang akan menyadarnya sampai terjadi lautan darah. Dia melupakan pesta, dan kembali fokus mencari wanita yang mencurigakan.Ketika sibuk mencari, Esau bertabrakan dengan mommy-nya. Punggungnya ditepuk oleh Alena yang kebingungan melihat sang anak.“Esau, ada apa denganmu? Tampaknya wajahmu sangat tegang.” Mengerut alis melihat kejanggalan di wajah putranya.Tangan Alena menyentuh wajah sang putra, mengusapnya pelan. “Ada masalah? Kau terlihat tegang bahkan berkeringan dingin.”“Mom, itu ...”Berhenti sejenak, Esau berpikir kembal
“ESAU!”Harry meneriakkan nama putranya. Pria yang sudah tak muda itu berlari mengejar tubuh sang putra yang terlempar ke belakang. Tak peduli jika benda itu mungkin akan meledak lagi, Harry hanya memikirkan nasib Esau. Buru-buru dia buka jas yang dikenakan oleh Esau, melemparnya ke sembarang arah. Dia angkat kapala anaknya untuk diletakkan di atas pangkuan, dan kembali menyerukan nama putranya.“Esau! Esau, kau mendengarku?”“Dad, aku tidak kenapa.” Esau mengangkat kepalanya dari pangkuan sang ayah, dan menatap orang tua yang dipenuhi rasa khawatir.“Kau yakin?”“Ya, itu hanya ledakan kecil. Aku hanya terlalu terkejut sampai melompat ke belakang. Lihat, bajuku tidak terkena ledakannya.”Ya, dari yang Harry lihat memang kemeja putih putranya tidak terkena api sama sekali. Hanya jas itu lah yang terbakar di bagian depannya, pertanda perkataan Esau memang benar. Dia tidak kenapa-kenap
Semua orang menatapnya tidak percaya. Harry yang sudah dipenuhi kemarahan pun sampai tak mengerti akan mengatakan apa, pada wanita yang berdiri di depan sana. Felisha berjalan menuruni anak tangga, sama sekali tidak memiliki rasa takut di dalam hati. Dia benar-benar memancing kemarahan Harry? Bahkan rasa khawatir melihat putranya belum lagi hilang dari pikiran Harry, kala bom rakitan kecil itu meledak di tangan Esau. Sungguh, Felisha sudah sangat berani menjemput kematiannya ke rumah ini. “Kenapa dengan kalian? Apakah aku tampak sangat menakutkan?” Kini Felisha sudah berdiri di depan mereka semua. “Kau sangat berani menginjakkan kakimu di rumahku?” Harry mendengus dengan mata beralih pada sebelah kiri. “Felisha, aku rasa kau belum melupakan gudang di ujung sana,” katanya lagi, mengingatkan Felisha akan siksaan yang pernah dia berikan untuk perempuan itu. Jika Felisha adalah manusia, seharusnya dia akan mengingat setiap siksa yang Harry berikan d
“Adikku, lihat lah wajahmu yang menyedihkan.” Felisha berbicara dengan nada yang dibuat semenyedihkan mungkin. “Ke mana perginya Nyonya Borisson yang sangat kuat dan bermartabat? Aku sangat sedih melihat kau begitu pasrah menerima kematianmu.” Apa yang akan Alena katakan? Jika ditanya apakah dia siap, tentu saja tidak ada manusia yang siap menerima kematiannya. Meski Alena sudah berkata dia pasrah di tangan Feli, tetap saja tubuhnya gemetar menahan takut, dan hatinya meraung memohon pertolongan. Namun, dia harus membuat dirinya tetap tegar, untuk membuat Felisha tidak lantas mengamuk seperti tadi. “Jawab, Bodoh! Apa kau tuli?” Ini tidak bisa dibiarkan. Harry sudah tak sabar melihat tingkah Felisha yang sangat menyebalkan itu, sehingga dia sedikit maju. “Berhenti di sana!” felisha memperingatkan. Rahang Felisha semakin tegang, matanya melotot, sedang wajahnya memerah padam menunjukkan kemarahan. Dia menatap Harry seakan ingin menelannya hidup-h
Ketegangan di istana milik Harry Borisson berakhir setelah petugas Rumah Sakit Jiwa memberi obat penenang untuk Felisha. Dia yang memintanya sendiri, sebab Felisha sendiri sadar bahwa jiwanya tidak dalam kondisi yang stabil. Felisha sering mengamuk ketika dia tidak mampu mengendalikan pikirannya. Alena sendiri ikut mengantar kakak tirinya ke Rumah Sakit. Dia juga meminta agar Feli tidak dibawa lagi ke rumah sakit cabang, di luar kota. Alena berkata, dia akan mengurus Felisha sampai kakak tirinya bisa pulih seperti dulu lagi. Sebab itu lah Feli meminta perawat menyuntiknya dengan obat penenang, takut jika kembali jiwanya terguncang dan melakukan tindakan di luar kendali, lantas melukai Alena. Dia berubah. Dia menjadi seorang yang peduli ketika kewarasan sedang menyapa. Tapi Feli adalah monster yang menakutkan saat dia sudah kembali dihantui kebencian yang masih bersarang di dalam dada. ‘Kondisi ini sudah ada sejak lama. Sebelum Nyonya Felish
Sepasang suami istri yang sudah resmi itu, berdiri saling berhadapan dalam kamar mereka. Tampak jelas Zoe malu-malu, terlihat dari wajahnya yang merah merona bagaikan tomat masak yang siap untuk di petik. Kemudian matanya turun ke leher Dixon, menatap jakun suaminya bergerak ketika mereguk liur. Seksi. Gerakan itu membuat bulu di sekitar tubuh Zoe ikut merinding. "Kenapa? Kau kedinginan?" Dixon menyentuh kedua lengan istrinya, menggosok pelan di sana. Bukannya tenang, bulu di sekitar lain ikut terasa berdiri. "Zoe, kau malu?" "Ti-tidak," sahut Zoe cepat. Matanya naik mencari manik milik suami yang tengah terarah padanya. "Aku ... aku tidak malu. Kenapa harus malu?" sambung Zoe, berusaha menutupi kegugupan yang semakin menjadi. Kemudian dia menggigit bibir saat melihat Dixon yang tersenyum. 'Kenapa dia harus membahasnya, sih? Aku memang malu, tapi 'kan seharusnya tidak perlu dijelaskan.' Zoe merutuk di dalam pikiran. "Kau ingin