Lelaki itu tersenyum sangat lebar, tapi tidak cukup untuk membuat Zoe senang melihatnya. Justru, gadis berparas cantik itu mencibirkan bibirnya dan memutar mata malas.
“Lepaskan,” kata Zoe.
“Kenapa? Memangnya, siapa yang boleh melarangku memegang tanganmu? Bahkan Tuan Borisson akan sangat senang hati jika melihat kita berjalan bersama.”
Oh please ... lelaki sinting, gila, punya rasa percaya diri yang sangat tinggi, dan jangan lupa sikap sok tahu yang melekat pada dirinya. Dia adalah Andreas Jonatan, putra dari seorang pengusaha yang namanya cukup terkenal di New York, dan salah satu dari rekan bisnis Harry Borisson. Lelaki yang sudah puluhan kali ditolak oleh Zoe, tapi tidak pernah mengerti. Bukan karena wajahnya tidak tampan. Andreas terbilang menawan dengan senyum manis dari bibirnya, tapi sayang Zoe selalu illfeel ketika melihatnya. Bagaimana tidak? Andreas adalah tipe lelaki sok tampan yang seakan bisa membeli seluruh gadis di dunia i
Suasana di lorong itu semakin mencekam Zoe rasakan. Malam sudah beranjak lebih larut dan dia hanya bisa berdiri menunggu Dixon yang entah kapan akan kembali. Dia sudah mencoba meminta bantuan pada bagian keamanan, tapi mereka tidak berani untuk memberikan password pintu milik tuannya. Mereka hanya menyarankan agar Zoe sabar menanti sampai Dixon kembali ke kapal. Tapi kapan itu? Zoe menatap ujung lorong seakan dia akan menemukan Dixon di sana.Orang-orang di dalam kapal berasal dari latar keluarga yang terbilang golongan atas sampai elite, mereka terbiasa hidup dengan gemerlapnya dunia malam dan seks bebas. Tidak heran jika sesekali Zoe harus mendapat tatapan tidak mengenakkan dari para lelaki yang lalu. Mungkin, mereka pikir Zoe sedang mencari hidung belang yang ingin membokingnya? Sangat ironis.“Halo, Nona, kau menunggu seseorang?” tanya seorang lelaki berbadan tambun yang sudah empat kali sengaja lewat dari sana. “Sejak tadi kulihat kau berdi
Zoe mungkin terpengaruh oleh narkoba yang terminumnya, tapi tentu saja pikiran masih bisa berjalan meski tidak seutuhnya bisa dikendalikan. Dia lihati beberapa pemuda yang mulai mendekat ke arahnya, sehingga Zoe berusaha mundur ke belakang. “Apakah dia masih virgin? Tampaknya sangat pemalu,” kata salah satu dari pemuda yang lebih dulu mendekati gadis itu. “Halo, Manis, sudah berapa kali kau menjual tubuhmu?” Tentu saja hinaan itu melukai hati Zoe yang paling dalam. Alam bawah sadarnya berontak, menepis tangan si lelaki yang mencoba menyentuh pundaknya. Zoe menyilangkan kedua tangan di depan dada yang sudah basah oleh air kolam. “Jangan kurang ajar! Aku bukan gadis seperti yang kalian pikirkan!” sentaknya, memaksa diri tetap waras meski sangat sulit. “Oh ayo lah, Yuska, kau bilang ingin melelang gadis kasar seperti ini?” kata lelaki lainnya yang juga ikut berada di sekitar Zoe. Bukan hanya dua tiga pemuda saja yang mendekat, bahkan pria tua ber
Semakin mereka jauh meninggalkan Dixon di sana, semakin dadanya terasa terbakar di dalam. Dixon meremas kedua tangan sehingga menimbulkan buku-buku putih di punggung tinjunya. Lelaki yang disulut api kemarahan itu tidak sadar ketika kakinya sudah melangkah lebar mengejar tiga lelaki yang bersiap masuk ke dalam kamar. Ada yang tidak beres di sini, Dixon tahu itu. Hidungnya masih berfungsi mencium aroma wine yang menguar dari mulut Zoe ketika gadis itu berbicara tadi. Dia yakin Zoe sedang dalam pengaruh alkohol berat, dan mungkin kah dia tidak sadar jika tiga orang ini akan melakukan hal tidak senonoh padanya? Dan ketika mereka akhirnya masuk ke dalam kabin, Dixon berlari dan lantas menerjang pintu dengan kasar. “Keluar, Zoe!” sentaknya penuh tekanan. Mata menyalang itu menatap Zoe yang sudah dibaringkan di atas ranjang, sementara pria tua bertubuh tambun tampaknya sedang bersiap ingin menggagahi Zoe. “Keluar, sebelum aku membunuhmu di sini!” Si p
Bibir mungil milik Zoe semakin rakus menyentuh Dixon lebih jauh lagi. Dixon masih terdiam, bingung untuk membalas perlakuan gadis yang kian bernafsu. Sesekali giginya menyakiti bibir Dixon, pertanda gadis ini masih sangat minim pengalamannya soal berciuman.Semakin dia menyentuh lebih banyak, semakin Dixon dibuat terhanyut. Lelaki yang tadinya hanya diam mematung, kini mulai menggerakkan pelan bibirnya.“Ughm ...” desah Zoe, merasakan bibir lelaki itu membalas perlakuannya. Angan yang sudah serasa terbang di angkasa, semakin membuai gadis yang penuh hasrat.Lumatan serta isapan terus beradu antara keduanya, dan Dixon sendiri semakin tidak mampu menahan diri dengan posisi itu saja. Secara naluria tangan besarnya mulai menyentuh Zoe, memasukkan telapak besar itu dari bagian bawah pakaiannya. Perlahan, Dixon bisa merasakan kulit lembut milik Zoe yang seakan memiliki magnet, menariknya untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi.Ciuman itu berlangsu
Sepasang bulu mata panjang dan lebat bergerak pelan, sebelum kemudian dia membuka kelopak mata itu untuk terbuka. Dua bola indah berwarna hazel terlihat sayu menatap ke sekitar. Hari sudah siang, tampak dari cayaha matahari yang masuk dari pantulan kaca jendela. Bahkan mungkin ini sudah tengah hari.Zoe menggerakkan tangannya lemah, memijit pelan pelipis yang terasa pusing. Dan selanjutnya, dia rasakan sesuatu di dalam perut seperti diaduk-aduk. Zoe bangkit dari tidurnya untuk mengejar westafel di sudut kamar dan mengeluarkan sisa kemabukannya tadi malam. Rasanya sangat tidak nyaman, belum lagi mulut yang terasa kering kerontang dan perih, seperti pecah-pecah. Ada apa sebenarnya? Zoe berpikir sejenak, mengingat apa yang sudah terjadi tadi malam.Seketika dia teringat ketika menunggu Dixon di depan pintu kabin, seseorang mendatanginya. Lalu di kali terakhir naik ke dek atas bersama seorang gadis yang mengakui namanya sebagai Yuska, gadis yang memberinya segelas wine. Ot
Tiga hari setelah kejadian itu, Dixon belum juga kembali ke kapal. Zoe bisa menikmati waktu berkabungnya tanpa harus malu bertatap muka dengan lelaki yang sudah mengambil kesuciannya. Sedikit banyaknya, Zoe mulai bisa berdamai dengan hati, memberi semangat pada diri sendiri untuk tidak terus menangisi keadaan. Bukankah semua sudah terjadi? Lantas, untuk apa Zoe menangisinya terus-terusan? Kesuciannya tak akan bisa kembali bahkan jika Zoe harus menangis berhari-hari, yang ada justru matanya semakin bengkak dan merah. Zoe tidak ingin membuat dirinya pulang dengan keadaan yang mengerikan sehingga mom dan dad menjadi curiga. Sebisa mungkin, dia akan menyembunyikan kejadian ini jangan sampai didengar keluarganya. Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan? Ketika Zoe kehilangan kesuciannya, di masa depan nanti pasti ada lelaki yang bisa menerima kekurangannya itu. Zoe yakin di dunia ini pasti ada cinta yang tulus, yang sedang menanti dirinya. “Semangat, Zoe, tidak
“Kenapa dengan matamu?”Zoe sedang duduk di kursi malas balkon kabin, ketika Dixon mendatanginya ke sana. Gadis itu menggerakkan wajah mendongak, untuk bisa melihat wajah lelaki yang berdiri di sisi kirinya. Lubang kecewa yang Dixon sisakan sejak malam tadi, masih sangat membekas di hati Zoe.“Tidak mengapa,” sahut Zoe tak bersemangat. Mata itu dia alihkan kembali menatap lautan luas di hadapan mereka. ‘Kenapa kau sok peduli? Dasar laki-laki tak berperasaan! Kau bahkan tak ingat membuatku menangis?’ batinnya jengkel.Jika kemarin Zoe berharap lelaki itu segera pulang, pagi ini justru dia sangat kesal dan berharap Dixon pergi lagi. Bila perlu, Dixon tak usah kembali ke kapal, agar Zoe bisa menikmati patah hatinya tanpa harus dilihat lelaki menjengkelkan itu. Hatinya semakin kesal ketika Dixon menjawab acuh.“Oke, sepertinya kau memang tidak mengapa.”Menjengkelkan, bukan? Apakah otaknya memang terlalu
“Halo, Bibi, selamat siang.”Alena dikejutkan tangan kecil milik seorang gadis yang baru saja menyapanya. Lucia, gadis yang menjadi sahabat putrinya itu menyentuh pundak Alena dari belakang, membuatnya sedikit tersentak. Wanita yang masih cantik itu lantas berbalik untuk melihat Lucia, dan membuat matanya sedikit menjereng.“Luci, kau ingin membuat bibimu mati jantungan?” Alena berpura marah dengan bibir yang ditahan untuk tersenyum.“Oh, lihat lah bibiku yang masih cantik dan muda ini, apakah mungkin kematian akan bisa menjemputnya? Paman akan membunuh si serangan jantung lebih dulu,” canda Lucia, yang lantas membuat Alena terkikik tak tertahan. Dia menggamik kecil pipi Lucia dan mengajaknya duduk.“Sudah lama tak terlihat, apa kegiatanmu sekarang?” tanya Alena, begitu mereka duduk di sofa besar yang ada di ruang pribadi milik Alena.“Itu ... hehehe. Aku masih seperti biasa, Bi, sebab itu ibuku