Jantung Alby berdetak, memikirkan bagaimana caranya agar masalah ini bisa teratasi. Sungguh, semuanya di luar ekspetasi, Khanza? Dia tidak ingat apapun? Alby melirik pada Khalifa, perempuan itu tampak ingin bertanya. Namun karena gengsi perempuan itu lebih baik diam. “Ya udah, Bunda. Aku---aku tutup dulu telponnya. Assalamu'alaikum.” Setelah mengatakan itu Alby menutup telponnya. Ia melirik Khalifa. “Alif, barusan kamu mendengar apa yang aku bicarakan?” tanya Alby was-was. Khalifa menggeleng. “Memangnya apa yang dikatakan Bunda barusan?” “Tidak! Ti--tidak ada. Bunda cuman tanyain kabar aku aja,” jawab Alby setengah deg deg an. Alby menghela napas lega, lega sebab Khalifa belum tau pasal semua ini. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Berkata jujur apa tetap di sembunyikan? Jujur, situasi ini benar-benar rumit! Sesaat Alby sudah mendapat kesempatan untuk mempertahankan pernikahan ini justru masalah lain hadir ingin merobohkan. “Kau menyembunyikan sesuatu?” tanya
“Hanya sebentar Alif, tolong … aku butuh pelukan kamu…”Khalifa tak merespon apapun, ia cukup terdiam merasakan hembusan nafas Alby yang terdengar tak beraturan. Hanya beberapa menit keduanya berpelukan, sampai Alby melepaskan pelukan tersebut dengan memegang kedua bahunya. “Khalifa, ada hal yang ingin aku bicarain sama kamu. Tapi waktunya tidak memungkinkan untuk aku bicara sekarang. Tolong, untuk saat ini apapun yang terjadi tolong jangan marah Khalifa, dan apapun yang terjadi tolong untuk tidak meminta pisah. Khalifa…”“Apa yang kamu bicarakan, Kak?”“Khalifa, aku….”Tittt Titttt… Suara klakson mobil terdengar nyaring dari arah luar, menjadi pemicu tatapan Khalifa beralih. Khalifa mengernyit, kepala yang semula lurus menatap Alby teralihkan menatap mobil yang berhenti di depan. Khalifa melepaskan bahu Alby—berjalan keluar. “Khalifa…”“Mama … Papa … Khanza pulang. …”Deg! Khalifa membeku ditempat, napasnya terasa tercekat, detakan jantung berpacu kian pacuan kuda. Terdiam mem
Alby berlari mencari Khalifa, beberapa hari tinggal di sini membuat ia tahu denah masing-masing tempat. “Kamu di mana Khalifa,” ucap Alby lirih. Ia celingak-celinguk, namun yang ia temukan hanyalah pelayan yang lewat. “Bi, bibi lihat Khalifa enggak?”“Non Khalifa, tadi ada di belakang Den, nggak tau sekarang,” ucap pelayan tersebut. “Oh, baik. Terimakasih Bi.” Setelah mengucap terima kasih Alby gegas berlari ke belakang, namun tak ia temukan juga Khalifa. Kembali berbalik ia mencari keberadaan Khalifa lagi, sesaat ia berlari menuju dapur, Alby melihat Khalifa berjalan ke arah tangga di mana menuju kamar atas. Kepalang panik jika sampai Khalifa naik ke atas, membuat Alby berlari cepat dan segera menarik lengan Khalifa saat itu juga. Bruk! “Aw!”“Suutttt…” Napas Alby ngos-ngosan, ia membekap mulut Khalifa agar tidak bersuara. Keduanya kini bersembunyi di belakang tangga. Bersembunyi dari Khanza yang ada di belakang mereka. Jika tadi Khalifa sudah naik tidak ada kesempatan untuk Al
“Setelah makan malam selesai aku akan pergi,” ucap Alby masih mengelus-ngelus pipi Khalifa. “Pergi saja.”“Nggak bakal rindu?” “Nggak.”Alby terkekeh. “Yakin?”“Ish, udah! Katanya mau pergi. Ya sana tinggal pergi.” Khalifa sedikit mendorong dada Alby, namun yang di dorong justru tertawa cukup senang. “Kalau rindu bilang,” bisiknya. “Enggak bakal, udah… ini kamar mandi Kak, nggak baik lama-lama di sini!” ucap Khalifa. “Hehe, iya, iya, istriku yang cantik yang manis yang imut. Aku pergi nih…” Alby melepaskan genggaman tangannya. “Mau cium dulu gak?”“Gak!”“Hanya kecupan singkat saja, Khalifa… ayolah ….” Alby memohon, ia menunjukkan pipi kanannya. “ayo, di sini.”Khalifa memilin jari-jemarinya, resah. Apa ia harus menuruti keinginan Alby yang satu ini?“Khalifa, hanya kecupan singkat, satu detik juga nggak papa. Ayo.” Alby masih menunggu. “Hanya singkat kan? Setelahnya kakak harus pergi.”“Iya… “ Dengan jantung berdebar, dengan perasaan bungkah nan bergejolak, Khalifa menelan s
“Alif diem disitu, aku fotoin ya?” Alby mengeluarkan ponselnya, gegas ia ambil jepretan saat melihat ada objek bagus di mana Khalifa berada. Cantik. Satu kalimat yang Alby ucapkan melihat Khalifa yang ia fotoin secara diam-diam. “Kak Al?” Khalifa melambai, dia berfose dua jari dengan bibir tersenyum. Alby terkekeh, gegas ia ambil foto tersebut dengan gaya Khalifa yang berbeda. “Ganti gaya lagi ya?” ucap Alby dituruti oleh Khalifa. Perempuan itu tampak ceria sekali setelah dibawa keliling di tanaman permainan ini. Walau tidak banyak hal yang dilakukan tapi terasa penuh artinya untuk hari ini. “Sekarang giliran kakak, Khalifa ambil ya?” Khalifa mengambil alih ponselnya, mulai mundur menyesuaikan objek yang akan ia ambil. Alby yang jelas difotokan merasa bingung harus bergaya apa, pada akhirnya ia hanya bergaya dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia tersenyum. “Wahh, pasangan ini ya? Sini biar saya fotokan kalian berdua.” Seseorang yang tidak Alby kenali tiba-tiba
Seharian diajak jalan-jalan oleh Alby membuat Khalifa merasakan capek, ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Selepas diantar sampai rumah, Khalifa langsung menuju kamarnya, namun gerakan yang hendak masuk itu terurung sudah sesaat Khalifa mendengar sebuah suara di kamar Khanza. Terdengar Khanza seperti tengah berbicara dengan seseorang? Sebuah tawa bahkan terdengar cukup renyah. Khalifa mengerutkan alis. “Dengan siapa Khanza berbicara?” tanya Khalifa mencoba dekat pada pintu yang tertutup. Khalifa niatnya tidak ingin kepo hanya saja jiwa penasarannya semakin meronta-ronta, membuat Khalifa berani untuk mengintip. Khalifa diam-diam membuka pintu, cukup pelan sangat pelan, takut Khanza menyadarinya. Sesaat pintu itu sedikit dibuka Khalifa mengintip dengan salah satu matanya yang ia sipitkan, melihat ke dalam apa yang sebenarnya terjadi. Khalifa mencoba mengintip, namun yang ia lihat hanya punggung Khanza yang sedang membelakanginya. Perempuan itu tertawa entah menertawak
Jam 3 pagi seperti biasa Alby sudah bangun dengan rasa kantuk yang masih hinggap. Pagi ini dirinya harus pulang, tidak mungkin jika harus tidur di sini sampai pagi tiba. Masalahnya hubungan pernikahan ini jelas masih dirahasiakan dari Khanza, hal itu membuat Khalifa maupun Alby akan tetap berpura-pura sampai Khanza benar-benar sudah pulih dari ingatannya. Alby mulai mengumpulkan kesadarannya, apalagi melihat wajah Khalifa yang jelas membuat matanya kembali segar. “Aku pergi, nanti kita ketemu lagi. Muach!” Alby mencium kening serta kedua pipi Khalifa. Perempuan itu masih tertidur untuk itu tidak terganggu sama sekali. Alby menghela napas lantas bangun dari jaringannya, namun gerakannya terhenti saat tangan Khalifa justru menariknya. “Tetap di sini,” ucapnya melindur. Khalifa memeluk lengan Alby. “jangan pergi.”Alby tersenyum kecil, nyatanya istrinya ini mulai merasakan cinta sepertinya. Lihat saja? Alby bergerak menjauh saja langsung dilarang. “Aku harus pergi, sayang… udah wakt
Siang ini Khalifa sudah siap dengan pakaian yang ia kenakan. Sesuai janjinya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan Gama. Ditempat biasa? Tentu saja ia sudah tahu tempatnya. Jangan tanyakan pasal Alby, pria itu sudah pergi 4 jam yang lalu. Tring! Suara ponsel Khalifa berbunyi menandakan ada pesan masuk. [Aku jemput ya?] Pesan itu dari Gama, Khalifa tau pasti Gama sudah pulang dari kampusnya. [Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri.] send. [Hm, baiklah. Hati-hati tapi ya, jangan ngebut.] [Iya, siap Bos!] kirim Khalifa di akhiri dengan emot hormat. Khalifa terkekeh kecil lantas memasukan ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu dengan cepat keluar kamar, berlari kecil dalam menuruni anak tangga. Namun ada satu hal saat Khalifa keluar dari dalam kamar, Khanza, perempuan itu melihat kepergian Khalifa dengan tatapan sulit diartikan. “Akhir-akhir ini Khalifa sering pergi, dan kepribadiannya … benar-benar berbeda dengan yang dahulu,” gumam Khanza mencoba mengingat jelas
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug