Alby mengeratkan pegangan tangannya pada pedal gas. Gama, kenapa pria itu ada di depan pintu rumah Khalifa? Dan pun kenapa Khalifa juga ada di sana? Alby yang berniat mengambil skripsi malah disuguhi hal yang tidak mengenakan. Hatinya sudah tertoleh luka, masih baru, belum sembuh pula. Sekarang lukanya menambah. Disuguhi oleh sahabatnya sendiri yang berbicara dengan sang istri, siapa yang tidak cemburu? Siapa yang tidak sakit coba? Di depan sana Khalifa tertawa dengan renyah, suatu hal yang membuat Alby terdiam dalam memandangnya. Jarak antar Alby dengan Khalifa cukup jauh, namun tentu masih terlihat dalam pandangan Alby. Dan pun, Alby mampu mendengar pembicaraan mereka, walau tau mereka tidak akan menyadari keberadaannya. Saat ini, Alby bisa saja menggerebek keduanya, apalagi menghajar Gama yang berani mendatangi Khalifa di tengah rumah yang tidak ada siapa-siapa. Namun, kenapa Alby justru terdiam dan memilih untuk bersembunyi? Karena saat ini samar-samar Alby mendengar ucapan Gam
[Assalamu'alaikum, Alif? Aku mau kabarin kalo malam ini Mama gak jadi pertemuan aku dengan wanita itu. Alhamdulillah, aku seneng banget.] Pesan dari Gama masuk, hal itu dibaca langsung oleh Khalifa. Khalifa tersenyum. [Kalo terus gagal kapan nikahnya sih, Kak? Cepet nikah sana!] kirimnya tertawa kecil. “Aneh, udah mapan kayak gitu masih gak mau nikah,” celetuk Khalifa melihat tingkah Gama. Padahal usia Gama sudah masuk 24, sangat pas untuk menikah di usia begitu. Tapi ya sudahlah, itu kehidupannya. [Pengen, tapi lagi nunggu seseorang.] Gama mengirimkannya pesan lagi. [Dianya gak peka mulu:( ]Khalifa mengernyit. Wajah setampan Gama, baik, pintar, mempesona, siapa kiranya wanita yang menolaknya? Berani-beraninya dia menolak pesona seorang Gama. Khalifa terkekeh, memikirkan hal itu membuatnya penasaran, namun tak mampu ia tanyakan. Toh itu privasinya. [Sabar, nanti bakal nerima kok.]Khalifa jawab sesuai pikirannya saja. [Aku yakin, kalau dia tau siapa kamu, pasti bakal nerima
Bruk! “Kak Al?!” Khalifa berteriak histeris saat mendapati Alby yang hendak ambruk di depannya. Namun, karena Khalifa yang siap siaga menahan tubuh Alby sekuat tenaga. “Khalifa …” Suara lirih disertai gemetar itu terdengar, cukup membuat Khalifa merasa kasihan dalam menatapnya. “Kak, masuklah, badan kamu basah.” Benar. Tubuh Alby sekarang basah kuyup, tangannya terasa dingin, bukan terasa dingin lagi, tapi sangat dingin. “Kak—-”“A--aku cinta kamu, Khalifa.” Alby menangis, seluruh badan Alby lemas membuat pria itu jatuh. Khalifa ikut terjatuh, menempatkan Alby agar bersandar padanya. “Khalifa … maaf. Ma--maafkan aku yang ba-baru menyadarinya. Maaf ….”“Kak? Kak Al?!” Khalifa panik saat Alby tak sadarkan diri. Ia menepuk-nepuk pipi Alby, namun sayang, setelah mengatakan kalimat itu Alby pingsan dengan bibir yang memucat. ***Setelah bersusah payah memindahkan Alby, Khalifa dibuat ngos-ngosan akan hal itu. Siapa yang mengira jika Alby akan jatuh pingsan seperti ini? Yang mana me
Pagi ini mata Alby bergerak pelan. Mengerjap sesaat sebuah cahaya masuk ke celah matanya. Jari-jemari Alby pula tergerak, sampai kemudian matanya membuka seiring cahaya itu masuk ke dalam retina. Alby menatap atap-atap langit sesaat mata itu terbuka secara keseluruhan, menghela napas beberapa menit sampai kesadarannya benar-benar terkumpul. Sampai dimenit berikutnya mata Alby dibuat mengerjap saat teringat akan sesuatu. Alby tertegun, membuka selimutnya dan melihat pakaian yang dirinya kenakan. Teringat bahwa ini bukan pakaian terakhir dirinya membuat Alby menarik kembali selimutnya, menutup sampai setengah wajah. Entah kenapa tapi … untuk sekarang Alby mendadak malu. “Apa … Khalifa yang menggantikan pakaianku?” ucapnya bertanya. Tidak terbendung lagi rasa malunya, memikirkan hal itu benar-benar membuat telinga Alby memerah. Alby hendak tersenyum, namun pula tidak. Mendadak netra matanya jatuh pada lengan kiri yang diperban.Alby mengangkat lengan kirinya. Teringat akan kejadian d
“Kau … romantis kak.”Khalifa sedikit menjauh, namun berbeda dengan Album, tubuh pria itu membeku. “Hahaha, aku bercanda. Tidak usah serius,” lanjutnya tertawa. Khalifa menggeleng kecil. “Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, sebab bukan aku yang mengurumu Kak, tapi, Bunda,” ucap Khalifa berikutnya. “aku mana bisa mengurusmu, dan tentu tidak tau harus melakukan apa. Jadi, yah, dua hari ini Bunda yang ngurus kamu.”“Bunda?” ucap Alby mengulangi, ia termenung. “Satu hari di mana kamu pulang dalam keadaan basah, itu aku yang mengurus kamu. Tapi saat besoknya ….” Khalifa menjeda, pikirannya teringat akan kemarin di mana Laila yang terus menanyakan keberadaan Alby. Sebab tidak bisa berbohong akhirnya Khalifa berbicara jujur pada Laila, mengatakan bahwa keadaan Alby sedang tidak baik-baik saja.Pagi itu Laila datang… 2 hari yang lalu… “Assalamu'alaikum, Khalifa?” Suara Laila terdengar dari bawah, Khalifa yang memang berada di kamar bawah mendengar suaranya. Gegas ia berlari kelu
“Alby cinta kamu, Khalifa. Dan itu … memang kebenarannya.” Ucapan Laila berhasil membuat bola mata Khalifa membola. “Ba--bagaimana bisa? Bukannya Kak Alby cinta Khanza? Dan ini, ini—”“Itu sebelum Alby tau orang yang telah menolongnya adalah kamu. Kamu ingat liontin yang kamu pakai itu, kenapa bisa ada di Alby?” ucap Laila membuat Khalifa menunduk, menggenggam liontin yang ia pakai. “Saat itu, kamulah yang telah menolongnya di danau. Mungkin saat itu tanpa kamu sadari liontin milik kamu terjatuh, dan itu justru ditemukan oleh Alby.”“Saat kejadian itu, Alby menceritakan ke Bunda, bagaimana dia terjatuh di danau dan hampir mati. Saat itu Alby ingin berterima kasih, tapi, justru penolongnya malah sudah pergi, menjadikan dia tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya. Berhanyakan liontin itu, Alby berjanji akan menemukan dia. Dan berjanji pula bahwa dia akan menikahinya.”“Janji itu bukan hanya sekadar janji, Alby tepati dengan terus mencarinya. Sampai saat dia bertemu Khanza, ia ta
“Tolong jangan berubah ya, Khalifa … aku ingin kamu menjadi kamu yang sekarang, seperti ini. Aku ingin kamu yang seperti ini ….” Alby mengusap pelan kepala Khalifa, hal itu membuat Khalifa melebarkan pupil matanya. Jantungnya berdetak. Satu hal yang Khalifa sukai. Seseorang menyentuh kepalanya dengan cara di elus. Hatinya … selalu tenang kerap kali seseorang itu mengelus rambutnya.Khalifa selalu suka kerap kali ia disentuh seperti itu… Kepala Khalifa menunduk, mendadak pipinya bersemu merah. Deg degan dijantungnya makin bertambah kencang. Sangat kencang. ****“Masuk kampus?” tanya Khalifa melihat Alby yang sudah rapi. Terlihat masih tampak pucat namun terlihat segar pula. Sepertinya Alby habis mandi, terlihat dari rambutnya yang basah. Pria itu baru saja menuruni anak tangga, Khalifa yang berada di ruang tengah menatapnya sekilas. Alby tersenyum lebar, paginya benar-benar disuguhi oleh cinta Khalifa untuknya. “Enggak, aku ambil izin buat sekarang.” Alby mendekat, melihat Khalif
“Pelan-pelan,” ucap Khalifa mendudukkan Alby, dengan tangan lembut itu, ia tuntun Alby untuk berbaring. Cukup dekat, sampai tatapan keduanya sempat bertemu. Khalifa langsung berpaling, gegas ia menarik dirinya dari jarak yang cukup dekat itu. Namun… “Ah!” Kepala serta tubuh Khalifa harus tertarik kembali saat liontinnya justru nyangkut di kancing kameja Alby. Khalifa terdiam, tangannya yang berada di sisi kiri kanan kepala Alby menahan sekuat tenaga agar tidak terjatuh di atasnya. Alby terkekeh kecil. “Liontin kamu ini seneng banget nyangkut, Alif. Kamu tau artinya apa?” tanya Alby yang malah menatap Khalifa dari jarak dekat itu. Sungguh, keadaan inilah yang Alby inginkan, Khalifa berada di atasnya dengan wajah yang amat dekat. Rambut halus nan lembut itu tergerai ke permukaan wajah Alby, membuat Alby menikmati semua itu. “Ak--aku nggak tau! Dan lagipula, liontinku ada pengaitnya, pantas kalo nyangkut!” ucapnya gugup. Khalifa gegas melepas liontin tersebut dengan tangan kanan, sed
“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se
Khalifa berlari dan langsung memeluk Alby. Ia menangis dengan tubuh bergetar hebat. “Kak Al, makasih, makasih telah kembali….” Alby menelan salivanya pelan, bergetar hatinya kala melihat keadaan Khalifa seperti ini. “Maaf, maafkan aku baru datang Alif. Maaf telah meninggalkan kamu seorang diri.” Khalifa menggeleng, ia melerai pelukannya, mendongak untuk melihat wajah Alby. “Mereka … mereka ingin melecehkan aku, Kak. Aku--aku takut ….” Alby melihat wajah ketakutan itu, ia pegang tangan Khalifa untuk menenangkan gadisnya. Namun, yang ia lihat justru gurat merah dari pergelangan tangannya. Khalifa menunduk, ia masih terisak. “Mereka pegang tangan aku dengan keras Kak… mereka kasar dan menyeramkan….” Mendengar lirihan itu rahang Alby mengeras, menoleh ke kanan, ia dapati 11 orang itu yang tampak tertawa saja. “Ayo kabur, Kak. Mereka bukan tandingan kita,” ucap Khalifa kembali. Alby menatap Khalifa, memilih kabur? Itu bukan dirinya. “Tidak Alif, mereka harus membayar at
Nyatanya bukan sehabis magrib Khalifa pulang, melainkan sehabis isya baru ia bisa pulang. Jangan tanyakan kenapa, karena saat ini Khalifa ingin sendirian, menjadikan ia habiskan beberapa waktu sendirian di kantor. Dan sekarang waktunya ia pulang beberapa security yang jaga pula sebagian sudah pulang, paling hanya beberapa yang tetap berjaga karena bekerja sesuai shif. Khalifa berjalan terburu-buru menuju mobilnya, lantas melaju membelah jalan tanpa menunggu lama. Takut kemalaman Khalifa makin mempercepat lajunya. Sebuah dering ponsel terdengar namun tak Khalifa gubris untuk mengangkatnya. Memilih abai Khalifa terus melajukan mobilnya di tengah keramaian. Namun, kala ia berbelok ia harus di hadapkan dengan jalan yang cukup sepi. “Huft, semoga tidak terjadi apa-apa.” Khalifa mengucap doa dalam hati. Mau bagaimana pun ia perempuan, dan jelas ia takut jika tiba-tiba ada hal aneh yang melintas. Suara bisingnya motor terdengar dari arah belakang, memusat perhatian Khalifa untuk m
Khalifa menangkup kedua pipi di atas meja, bosan melanda hatinya. Hari ini tugas yang diberikan Aavar dalam mempelajari berbagai perbisnisan cukup menguras pikiran dan tenaga. Ternyata susah sekali untuk memahami berbagai persoalan dalam perbisnisan ini. Jika bukan karena otak yang encer mungkin Khalifa memilih tidur saja di atas kasur. Hari ini jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tidak terasa, dari pagi sampai saat ini Khalifa menghabiskan waktu hanya di kantor saja, tentunya dengan Khanza. Namun, saat ini perempuan itu entah pergi ke mana, katanya izin keluar sebentar. “Khalifa, Om pulang lebih dulu ya, istri Om kasihan di rumah sendirian.” Tiba-tiba suara Aavar terdengar setelah pintu terbuka. “Kamu pulang lah, besok bisa dilanjutkan.” Punggung Khalifa berdiri tegap. “Nggak deh, Khalifa mau lembur. Soalnya masih banyak banget yang belum dikerjakan Om.” Aavar menoleh. “lembur?” Ia tertawa. “ya ampun Khalifa, ini kan cuma belajar aja. Gak usah terlalu dibuat serius jug