Kehadirannya yang begitu tiba-tiba membuat Clara terkejut seketika.Jantungnya seakan berhenti sejenak, dan perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan William di tempat ini, terlebih setelah sekian lama tidak bertemu. Clara menatapnya dengan mata terbelalak, mencoba menghilangkan kebingungannya.William, dengan senyuman yang tampak ramah, berdiri di depan Clara, seolah tidak ada jarak waktu yang telah memisahkan mereka. Kerinduan terlihat di matanya, bercampur dengan rasa bersalah."Clara?" suara William terdengar lembut, namun sangat jelas.Itu cukup untuk membuat Clara terperangah. Dia tidak bisa menahan keterkejutannya, bahkan ada sedikit rasa bingung yang muncul di wajahnya.Dalam sekejap, serangkaian pertanyaan melintas di benaknya. Apa yang membawanya ke sini? Mengapa dia muncul begitu saja? Semua itu. Berputar di kepala. Namun, dia segera menyadari sesuatu. William adalah suaminya, wajar bila lelaki itu mencari dirinya.William yang berdiri
Sebastian berjalan dengan lambat. Mendekati Clara yang kini menatapnya penuh keterkejutan. Wajahnya terlihat tenang. Namun manik indahnya menyiratkan sebuah kemarahan. Kedua tangannya memegang botol mineral dengan sangat erat, seolah melampiaskan kemarahannya pada benda di tangan, dan ketika dia tiba di dekat Clara, dia memposisikan dirinya di depan Clara, seolah ingin melindungi wanita itu dari siapa pun yang ingin mengambil wanita itu darinya. Terutama pria di hadapannya saat ini.“Jadi kau yang mengikuti kami sejak tadi?”Ucapan Sebastian sukses mengejutkan William kaget. Bukan hanya Willian, tetapi juga wanita yang ada di belakangnya.Salah satu bibir Sebastian ditarik ke samping. Seolah menikmati keterkejutan di wajah saingan cintanya itu. “Apa kamu baik-baik saja, kamu terlihat kaget. Kamu juga orang yang berkeliaran di dekat rumahku ‘kan?” Sebastian tertawa setelah mengatakannya. Lagi-lagi dia merasa sangat puas melihat William. Dia merasa menang karena telah mengetahui rahasia
Semua terjadi begitu cepat. Ketika William datang dengan tinjunya yang dialamatkan pada Sebastian, Clara tidak bisa tinggal diam, dan membiarkan ayah dari bayi yang dikandungnya itu terluka.Tanpa berpikir panjang, dan memikirkan keselamatannya sendiri, Clara segera berlari, mendekati Sebastian dan berdiri di depan pria itu. Menjadikan dirinya sebagai tameng. Dan bersiap menerima pukulan.Sebastian tersentak, dia kaget ketika melihat Clara tiba-tiba berdiri di hadapannya. Refleks dia memeluk Clara dan terpaksa menerima pukulan Sebastian. Dia memutar tubuhnya, berganti posisi. Hingga akhirnya Sebastian yang menerima pukulan itu.“Tuan Bastian!” pekik Clara. Dia melihat terpejam sesaat dan itu membuat Clara khawatir. “Kamu tidak apa-apa?”"Tentu saja." Sebastian menatap Clara dengan emosi yang tertahan. Dia lantas memutar kepalanya menghadap William yang tampak tercengang dengan aksinya. Namun, di sisi lain dia merasa senang karena dapat membalas serangan Sebastian."Apa yang kamu lakuk
William membeku. Dia merasa ada sesuatu yang memukulnya telak. Dalam jantungnya, sehingga dia merasa berhenti berdetak untuk sesaat. Pendengarannya yang masih normal mencoba menangkap ucapan sang istri.Lupakan? Apa maksud dari semua itu?"Kamu memilih dia?" William menatap Clara tak percaya.Wanita itu terpejam. Dengan dada yang penuh sesak, dia menjawab, "Ya.""Tapi aku suamimu?" William mengingatkan sekali lagi. Bahwa dirinya adalah pria yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan pria yang kini berdiri di sisi istrinya itu."Maafkan aku, Liam. Aku harus menyelesaikan kontrak ini. Dan satu hal, aku mencintainya."Pengakuan Clara bagai petir yang menyambar di siang bolong."Apa kamu bilang?" Mendadak tatapan William berubah kosong.Sementara Sebastian menyunggingkan senyumnya. Kepuasan serta kemenangan begitu tampak jelas di wajahnya. Senyumannya begitu lebar namun tampak mengejek menghiasi bibirnya yang sensual. Dia memang sudah menduga, bahwa Clara akan memilihnya. Dan kal
Clara mengerjap beberapa kali. Hembusan napas pelan kembali terdengar untuk yang ke sekian kalinya. Rasa mual dan pusing yang mendera memang telah mereda. Namun, kejadian beberapa jam yang lalu masih terekam jelas di kepala Clara.Setelah mengalami muntah-muntah hebat, Sebastian membawa Clara ke rumah sakit terdekat. Saat ini Clara sedang berada di salah satu ruang rawat inap ekslusif.Dia kembali menghela napas panjang. Dia menatap ke luar jendela. Pemandangan kota hari itu cukup membuatnya sedikit tenang. Namun, ketika teringat kembali dengan kejadian tadi, Clara kembali memejamkan mata.“Bodoh sekali aku!”“Memalukan!” Clara terus merutuki dirinya sendiri.Suara handle pintu diputar terdengar. Clara menoleh, tak lama kemudian pintu terbuka. Menampilkan sosok jangkung dengan wajah tampan. Sebastian melangkah mendekat dengan raut wajah penuh kekhawatiran.Clara menggingit bibir bawahnya. Dia seketika memalingkan wajahnya."Bagaimana keadaanmu, apa kamu masih merasa mual?" tanya Sebas
Clara menjalani perawatan di rumah sakit selama dua hari setelah mengalami kondisi kesehatan yang cukup mengkhawatirkan. Selama periode tersebut, Sebastian tidak pernah meninggalkannya. Dengan penuh kesabaran dan perhatian, dia menjaga Clara siang dan malam.Setiap saat, Sebastian memastikan Clara merasa nyaman dan aman, meskipun dia tahu bahwa perawatan yang dijalani Clara memerlukan waktu dan kesabaran. Tak peduli seberapa lelah tubuhnya, dia tetap setia mendampingi Clara, memberikan dukungan emosional yang sangat dibutuhkan oleh Clara yang kini tengah mengandung buah hatinya. Sebagai pasangan yang penuh kasih sayang, Sebastian bertekad untuk selalu berada di sisi Clara, menunjukkan bahwa dia akan selalu ada di dalam setiap langkah hidup Clara, terutama dalam masa-masa yang sulit seperti itu. Setelah dinyatakan pulih, Clara diperbolehkan untuk pulang. Sebastian menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan wanita hamil termasuk vitamin yang harus dionsumsinya. Tidak hanya itu, Sebasti
William terdiam untuk beberapa saat. Dia mematung di tempat, mecoba mencerna sesuatu yang kini ada di hadapannya. Bolat matanya memindai cepat surat yang ada di tangan pria itu. Dan William tidak pernah salah dengan penglihatannya.“Apa Anda Tuan William Barnes?” tanya pria itu.William segera tersadar dari lamunanya. Dia menatap pria di hadapannya.“Ya?”“Saya harus memberikan surat ini pada orang yang bernama William Barnes.” Pria itu mengulangi ucapannya.“Ya, aku orangnya.”“Ah baiklah kalau begitu, tolong terima ini dan tanda tangani surat tanda terimanya,” pinta pria itu.William melakukan apa yang diminta oleh pria dengan pakaian kurir itu, meraih bolpoin lalu membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih yang disodorkan oleh pria itu. Selesai melakukannya, William segera mengembalikannya.Setelah kurir itu menghilang dari pandangannya, William segera masuk dengan amplop cokelat yang sudah berpindah di tangannya. William berdiri di ruang tamu, menatap amplop tersebut sejenak ke
"Jadi kamu melarang kami masuk?"Sania terlihat geram ketika kendaraannya dihadang oleh para penjaga saat hendak memasuki pagar ke rumah Sebastian–puteranya sendiri.Akhirnya, Leonard dan Sania turun untuk meminta kejelasan perihal penahanan ini. Dan Sania sempat merasa geram dengan aksi para penjaga yang tak beralasan sama sekali. Andrew tampak merasa bersalah hanya bisa menghindari tatapan Sania yang semakin tajam. Pria itu sesekali menunduk, kemudian kembali mengangkat kepalanya ketika memulai bicara."Maaf, Tuan, Nyonya Besar. Tuan Bastian sedang tidak ada di rumah," ucap Andrew dengan sopan. Tanpa mengurangi rasa hormat. Bagaimanapun juga, mereka adalah orang tua dari majikannya."Ke mana dia?" tanya Leonard menyahut.Andrew mengarahkan pandangannya ke arah Leonard yang tampak terlihat lebih tenang dibandingkan dengan Sania."Beliau sedang ada urusan pekerjaan, Tuan Besar," jawab Andrew."Kalau begitu biarkan kami menunggu di dalam!" seru Sania kembali menyela. Dia tidak terima
Pagi itu langit tampak cerah. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar ruang makan keluarga Abraham, memantulkan kehangatan yang menyelimuti seluruh ruangan. Clara tengah menyuapi Kaisar yang kini semakin aktif. Bocah satu tahun itu tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali melihat buku bergambar, ia akan menunjuk dengan ekspresi penuh semangat, membuat semua orang di rumah tersenyum.Sebastian baru saja turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih yang sudah sedikit kusut. Di wajahnya tergambar lelah, tetapi matanya tetap menyiratkan semangat.“Pagi, Sayang,” ucap Clara lembut saat Sebastian mencium keningnya.“Pagi,” jawab Sebastian, lalu berjongkok di sisi Kaisar. “Dan pagi juga untuk pangeran kecil ayah. Sudah makan?”Kaisar hanya tertawa dan mengoceh dalam bahasanya sendiri, sementara tangannya menunjuk ke arah sendok yang dipegang Clara.Sebastian tertawa kecil. “Lihat dia. Sudah mulai pintar memerintah.”Clara mengangguk. “Dia tiru d
Beberapa hari setelah peresmian Yayasan Maxime Abraham, suasana bahagia masih terasa di rumah keluarga itu. Clara berjalan menyusuri lorong rumah sambil menggendong Kaisar yang tertidur lelap di pelukannya. Ia berhenti sejenak di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Dari situ, terlihat Sebastian dan Dareen sedang berbincang di dekat gazebo, tampak serius namun akrab.Clara tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Segala ketegangan dan konflik yang dahulu pernah mereka alami kini seolah tinggal kenangan. Ia yakin, semua telah menjadi bagian dari perjalanan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih matang.Tak lama, Louis datang menyusul Clara, membawa secangkir teh.“Lucia sedang beristirahat. Hari ini ia tampak lebih lelah dari biasanya,” ujar Louis sembari menyerahkan teh ke tangan Clara.Clara menerima dengan anggukan kecil. “Terima kasih, Louis. Lucia sangat bersemangat akhir-akhir ini. Ia bahkan ikut mencatat nama-nama calon penerima bantuan dari yayasan.”Lou
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Abraham tetap dipenuhi semangat baru. Matahari pagi menyinari halaman luas, membelai kebun kecil tempat Kaisar biasa bermain. Burung-burung berkicau riang seolah turut merayakan kebahagiaan keluarga itu.Sebastian duduk di teras bersama Maxime, sambil menyeruput kopi hangat. Kaisar berlari-lari kecil di halaman, diawasi oleh Clara dan Lucia yang duduk di ayunan."Kaisar benar-benar menjadi pusat dunia kita sekarang," ujar Maxime, matanya tidak pernah lepas dari cucu buyut kecilnya itu.Sebastian tersenyum bangga. "Dia anugerah terbesar kami, Kek. Kami ingin membesarkannya dengan nilai-nilai yang sudah Kakek ajarkan."Maxime mengangguk pelan. Ia tahu, Sebastian bukan hanya berkata-kata. Ia melihat sendiri bagaimana putranya itu kini menjadi sosok pemimpin keluarga yang kuat namun penuh kasih."Kau tahu, Sebastian," kata Maxime setelah beberapa saat hening. "Aku sempat khawatir, ketika dulu semua terasa begitu kacau... Aku takut keluarga ini akan
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki