Clara segera menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar saat menyadari kata-kata yang baru saja meluncur dari bibirnya. Jantungnya berdegup kencang, seakan waktu berhenti sesaat. Apa yang baru saja ia katakan?Suasana di ruangan itu mendadak hening. Tatapan orang-orang di sekitarnya tertuju padanya, menunggu kelanjutannya. Wajahnya memanas, dan ia merasakan gelombang penyesalan yang tiba-tiba menghantam dirinya.Menyadari kesalahannya, Clara segera menarik napas dalam dan berusaha mengendalikan dirinya. Dengan cepat, ia meralat ucapannya, mencoba memperbaiki keadaan sebelum semuanya semakin memburuk.“Maaf, saya terbiasa memanggil suami saya begitu,” ujar Clara kemudian memberikan berkas yang diminta oleh Sebastian.Tatpan pria itu membuat Clara menelan ludah.“Kita bicara setelah ini,” bisik Sebastian.“Baik, Tuan.”Selesai meeting, Clara harus berhadapan dengan Sebastian. Pria itu duduk di kursi kerjanya dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Tatapannya tajam ke arah wanit
Bab 105. Clara memasuki ruang rawat inap William. Seperti biasa, wanita itu menyapa suster Cintya. Sebelum datang kemari, Clara sudah mencari tahu terlebih dahulu bahwa Ben dan Julia tidak datang hari ini. Menurut keterangan suster Cintya, Ben dan Julia jarang datang. Mereka hanya menelpon dan bertanya kabar. Terakhir kali, mereka menelpon adalah tiga hari yang lalu. Clara menghela napas panjang. "Kedua orang tuamu begitu kejam. Bagaimana bisa mereka mengabaikanmu," gumam Clara sesekali menggenggam erat jemari William yang semakin kurus. "Maafkan aku, aku bukan tidak ingin kamu bangun. Tapi untuk saat ini biarlah semua seperti ini. Tunggu semua selesai baru kamu bangun," kata Clara. Dia melihat wajah William yang masih sama seperti dahulu. Hanya saja sedikit pucat dan kurus. "Bertahanlah sebentar lagi." Clara mengecup tangan William sekilas. Kemudian dia berdiri dari duduknya. Dia melihat Suster Cintya yang memperhatikannya. Clara lantas menghampiri suster itu. "Suster Ci
Tiada hari yang menyenangkan tanpa kebersamaan dengan orang tercinta. Semalam, Clara tidur dengan nyenyak dalam dekapan Sebastian. Sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari sosok suami, yaitu William. Pagi-pagi sekali Clara bangun. Mendadak dia ingin turun ke dapur untuk memasak. Tentu saja itu menuai protes dari kepalan pelayan, Andrew.Selain itu para pelayan sendiri juga turut menolak keinginan Clara berkutat dengan peralatan dapur. Mereka khawatir akan terjadi sesuatu pada Clara. Terlebih saat ini Clara tengah mengandung. “Aku ingin memasak, dan ini adalah keinginan bayiku,” pinta Clara dengan wajah memelas.Mendengar itu, para pelayan saling pandang, kemudian menatap Andrew yang kini menghela napas panjang.“Tapi, Nona. Tuan bisa marah jika Anda melakukannya,” ujar Andrew.“Tenang, saja. Dia tidak akan marah pada calon bayinya.” Clara terus saja meyakinkan para pelayan.Melihat wajah Clara yang seperti itu, akhirnya Andrew tak kuasa menolak. “Baiklah, Nona. Kalau begitu birk
107Clara memperhatikan Sebastian dengan saksama. Wajah pria itu tampak menegang, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat. Garis rahangnya mengeras, dan sorot matanya menunjukkan ketegangan yang tak biasa.Clara mengerutkan kening. Rasa penasaran mulai menyelimuti benaknya. Apa yang sedang terjadi pada pria itu? Apakah dia sedang menghadapi masalah? Atau ada sesuatu yang mengganggunya?Tak ingin larut dalam dugaan, Clara akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Dengan suara lembut, dia berkata, “Sayang, ada apa? Kamu terlihat gelisah.”Pertanyaan itu membuat Sebastian mengalihkan perhatiannya kepada Clara. Sesaat kemudian wajahnya yang semula tegang, berubah menjadi tenang dalam sekejab. “Ada masalah kecil, sepertinya aku harus segera pergi,” jawab Sebastian.Clara memicingkan matanya. Entah mengapa dia merasa Sebastian sedang menyembunyikan sesuatu. Clara tidak ingin terus merasa penasaran. Dan dia kembali bertanya, “Apakah masalah pekerjaan?”“Ya, aku akan pergi bersama Ramon.
Clara nyaris menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara di seberang. Tangannya yang semula normal kini berubah gemetar. Wajah cantiknya seketika memucat. Bahkan kakinya tidak dapat menopang anggota tubuhnya dengan benar. Apa yang yang baru saja dirinya dengar? Orang di seberang sana menyebut dirinya sebagai William? Apa itu tidak salah?Dengan menekan rasa terkejutnya. Clara kembali membuka suara. Dia harus memastikannya lagi, bahwa pendengarannya tidak salah."William?" Suara Clara sangat lirih, seakan tidak mau keluar."Ya, Sayang. Aku sudah sadar. Tapi kenapa orang pertama yang aku lihat bukan kamu. Kamu di mana? Kamu mengganti nomor ponselmu?" Sederet pertanyaan itu seketika mengguncang sudut hati Clara. Sesaat, dia merasa kebingungan, bagaimana caranya dia menjawab pertanyaan William.Terlintas dalam benak Clara untuk menutup panggilan secara sepihak. Namun, rasa-rasanya Clara tidak tega. Bagaimanapun, William adalah suaminya. Pria yang dinikahinya secara sadar dan tanpa paksaan
Clara terdiam sejenak, tatapan matanya terpaku pada sosok William yang berada tidak jauh darinya. Sesaat tatapan keduanya bertemu. Jantungnya berdegup kencang, seakan waktu berhenti untuk beberapa saat. Perasaan yang bercampur aduk membuat pikirannya buntu, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada logikanya.Dengan langkah yang terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi, Clara bergerak mendekati William, seolah ada dorongan yang tidak dapat dia kendalikan. Setiap langkah yang dia ambil semakin memperjelas gejolak dalam hatinya—sebuah perasaan yang selama ini dia abaikan, tetapi kini tak dapat lagi dia bendung.“Liam, kamu sudah sadar?” Clara mengusap wajah William dengan tangan. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Ya, aku sudah bangun. Kenapa kamu tidak memelukku?”Clara terkesiap, dia menyadari sesuatu. Bahwa dirinya bertindak sesuai dengan akal sehatnya. Dan entah mengapa Clara merasa ragu untuk melakukannya. Keraguan dalam dirinya semakin besar tatkala
Clara dan William menoleh ke arah sumber suara dan melihat Julia dan Ben berdiri di ambang pintu masuk. Wajahnya tampah dipenuhi dengan amarah, terutama Julia. Lantas wanita itu berjalan cepat mendekati Clara."Kamu untuk apa datang kemari, ha?" bentak Julia sembari menunjuk-nunjuk wajah Clara.Mendengar itu, Clara merasa bingung, sekaligus terkejut."Siapa yang menyuruh kamu datang? Kami tidak butuh kamu!" teriak Julia lagi."Aku yang menyuruhnya datang," sahut William.Tatapan Julia beralih pada puteranya. "William, untuk apa kamu menyuruh dia datang? Apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan di belakang kamu selama kamu koma?" tanya Julia dengan nada penuh emosi."Apa maksud Mama?" Giliran William yang bertanya."Wanita ini sudah menjadi pemuas nafsu bosnya!" pekik Julia yang membuat semua orang termasuk Clara seketika membulat sempurna.Clara menggeleng. “Itu tidak benar!" seru Clara membela diri.“Apanya yang tidak benar?” Julia kembali mengalihkan perhatiannya kepada William. Kila
Clara terhuyung ke belakang. Tubuhnya nyaris limbung, tetapi sepasang tangan sigap menangkapnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.“Nona, Anda tidak apa-apa?” Beruntung Suster Cintya datang tepat waktu.Clara menoleh dan melihat Suster Cintya sudah berada di dekatny sembari menopang pundaknya.“Terima kasih, Suster Cintya," ucap Clara.Melihat itu, Julia tampak kesal. Dia melengos begitu saja.Sementara William, semakin terkurung dengan emosinya. Pria itu kembali berteriak dengan sesekali menonyor kepalanya sendiri.Kondisi ini membuat Clara terasa perih. Terlihat sekali pria itu tidak dapat menerima kenyataan ini.Clara semakin terisak, situasi ini sungguh membuat Clara merasa sesak. Dia ingin mendekat, namun dia tahu, baik Julia atau pun Ben tidak akan mengizinkan. Banyak kata yang ingin Clara ungkapkan. Namun semua hanya tertahan di tenggorokan. “Sebaiknya kamu pergi dari sini!” usir Julia.Clara tidak menggubris wanita itu, dia hanya menatap William dengan ujung mata kemerahan. P
Clara dapat merasakan panasnya jemari Sebastian yang menyentuh lembut dagunya. Mengangkatnya pelan, dan membuatnya mendongak ke atas. Bisa mencium aroma kuat parfum dan bercampur dengan aroma tubuh. Begitu kuat, memikat. Deru napas Sebastian terasa hangat menyentuh kulit wajah. Ketika bibir sensual milik suaminya itu mendekat, Clara memejamkan mata. Clara kembali merasakan lembutnya bibir suaminya yang menyatu dengan bibirnya. Kecupan singkat diberikan di awalnya. Selanjutnya, gerakan itu berubah menjadi sebuah pagutan yang penuh gelora. Ganasnya permainan Sebastian, membangkitkan sesuatu dalam diri Clara. Hasrat. Sebastian semakin berani, tangannya berselancar ke tengkuk, jemari kokohnya menelusup ke rambut istrinya. Sementara gerakan bibirnya semakin dalam dan menuntut. Clara membalas pagutan lebih dalam. Menggerakkan indera perasa menjelajah isi mulut Sebastian. Gigitan kecil dirasakan Clara, dan membuat wanita itu mengeluarkan suara. Dan selanjutnya, Clara melepasnya. "Kamu m
Sebastian kembali ke dalam kendaraan dengan perasaan kesal yang memenjarakan dirinya. Dia menutup pintu dengan sangat keras kemudian duduk dan menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Ramon yang melihat itu segera memutar kepalanya ke belakang. Dan melihat dengan jelas bagaimana raut wajah Sebastian. "Bagaimana, Tuan?" tanya Ramon penasaran. Melihat raut wajah Sebastian. Sepertinya semua tidak berjalan dengan lancar. "Ziyon itu, dia sangat kurang ajar!" umpatnya dengan embusan napas kasar. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya kini. Otot-otot di sekitar leher tampak mencuat seiring dengan decakan keluar dari bibirnya. "Apa dia menolak tawaran Anda?" Ramon bertanya dengan serius. "Dia ingin menjatuhkanku di lapangan sirkuit." Sebastian mendengkus kasar, dengan tatapan yang terlempar ke arah luar jendela. Seolah menunjukkan kemarahan pada orang yang ada di luar sana. "Apa?" Di sisi lain, Ziyon tampak memandangi kendaraan milik Sebastian yang mulai menjauhi area kafe. Salah satu sudu
Salah satu sudut bibir Ramon ditarik ke samping. Dia melirik ke arah spion, di mana wajah Sebastian terpampang dengan sangat jelas. Wajah tampan yang dipenuhi dengan kemarahan.Ramon tahu, sejak mendengar kabar tentang Abraham Group. Sebastian tidak lagi bisa bersikap dengan tenang. Meski bibir pria itu berkata tidak peduli, namun pikirannya terusik. "Kita ke mana, Tuan?" "Ke tempat di mana aku bisa menemukan Ziyon," katanya. Suaranya terdengar sangat dingin. "Baik, Tuan." Ramon menambah kecepatan mobilnya. Dia sudah mencari tahu keberadaan Ziyon sebelum Sebastian memintanya. Dan tidak jauh beda seperti yang dilakukan oleh Dareen. Pria itu sedang berkumpul bersama teman-temannya. Padahal ini masih jam kerja. Saat ini, Ziyon dan para teman-temannya sedang berada di sebuah cafe di daerah pusat kota. Pria berusia 28 itu tertawa. Itu karena rekan-rekan sepergaulannya terus memujinya atas kemenangannya saat bertaruh dengan Dareen. Kalimat-kalimat pujian itu membuat Ziyon besar kepala
Sebastian nyaris tersedak mendengarnya. Dia meraih botol minuman, lantas menenggaknya. Dia kembali fokus pada Ramon setelah merasa lega. "Bagaimana bisa?" Jujur saja, Sebastian merasa terkejut mendengarnya."Tuan Dareen kalah taruhan," jawab Ramon. "Taruhan?" Kedua alis tebal Sebastian saling menyatu. "Dia menjadikan perusahaan taruhan?" Sebastian tidak percaya ini. Dia ingin tertawa sekencang-kencangnya, namun rasa kesalnya lebih mendominasi dalam dirinya. Bagi dirinya yang selalu mendedikasikan diri untuk perusahaan, hal semacam ini adalah sebuah kejahatan. Dan itu dilakukan oleh Dareen yang tak lain adalah saudara sepupunya sendiri. "Ya, Tuan. Seperti yang Anda tahu, Tuan Ziyon dan Tuan Dareen memiliki hubungan pertemanan yang tidak baik," jelas Ramon. "Ya, kamu benar." Siapa yang tidak tahu Dareen, saudara sepupunya itu memiliki kehidupan yang menyimpang. Gemar bermain wanita, suka berfoya-foya, bermain taruhan, hingga terakhir kali, Sebastian mendengar bahwa Dareen mencoba h
Saat mendengar sang ayah jatuh sakit, Leonard beserta istrinya segera datang ke rumah tua. Sejak Bellatia sang ibu meninggal dunia, Maxime hanya tinggal seorang diri, ditemani oleh kepala pelayan, serta pelayan yang lain. Meski begitu, tidak ada hal yang perlu ditakutkan, karena rumah tersebut memiliki sistem penjagaan yang sangat ketat. Namun, saat ini yang membuat Leonard dan Sania khawatir adalah kondisi kesehatan Maxime yang terus menurun. Begitu sampai di tempat tujuan, mereka segera menuju ke kamar utama, di mana tubuh Maxime terkulai lemah. Keduanya masuk, dan mendapati Maxime duduk bersadar di atas kasur. "Ayah?" Sania berjalan lebih dulu menghampiri sang ayah mertua. "Bagaimana kondisi ayah?" tanya Sania. "Aku baik-baik saja," jawab Maxime. Sania menatap ayah mertuanya kesal. Lantas dia beralih pada suster yang berdiri berseberangan dengannya. "Bagaimana kondisinya?" tanyanya lagi. "Mulai stabil, Nyonya. Kami sudah memeriksa secara teratur tensinya, dan mulai menurun," j
"Clara!" William berpikir wanita itu adalah Clara, mantan istrinya yang masih dia cinta. Namun, ketika dia memperjelas pandangannya, dia merasa kecewa. "Siapa kamu?" hardik William seketika dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah. Dia merasa tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya. Bianca menyunggigkan senyum sinis. "Jadi kamu suami Clara? Ah tidak, mantan suami?" Bianca tersenyum, namun dalam senyum itu terdapat sebuah ejekan. Tetapi, bukan itu tujuan Bianca untuk menemui pria ini. Dia memiliki maksud lain. Bianca tidak bisa merelakan Sebastian begitu saja menikahi wanita lain. Itu sebabnya dia menyusun sebuah rencana. "Kamu masih mencintai Clara 'kan? Kalau kamu seperti ini bagaimana dia mau sama kamu. Clara itu menyukai pria yang rapi dan perfeksionis. Itu sebabnya dia lari dalam pelukan Bastian!" ucap Bianca dengan kedua tangan yang bertaut di depan perut. "Sebenarnya siapa kamu, dan apa tujuanmu?" William tidak mengerti, dia merasa tidak mengenali wanita ini. Akan tetap
Bukan hanya Bianca yang telah mendengar kabar tentang pernikahan Sebastian dan Clara, tetapi juga sesepuh keluarga Abraham, Maxime Abraham yang akhir-akhir ini mengalami penurunan kesehatan. Saat ini Maxime Abraham terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur, tubuhnya diselimuti oleh kain putih yang tampak rapi tetapi tidak mampu menghangatkan dinginnya kulitnya. Nafasnya terdengar pelan, teratur tetapi berat, seakan setiap helaan membutuhkan usaha yang besar. Gangguan pada jantungnya telah menguras begitu banyak energinya, membuat tubuhnya terasa begitu rapuh.Wajahnya sedikit pucat, kontras dengan rambut hitamnya dan terdapat semburat putih yang tertata acak di atas bantal. Matanya yang biasanya tajam kini tampak sayu, seperti kehilangan cahaya yang biasa memancar darinya. Tatapannya kosong, mengarah ke langit-langit kamar, seolah sedang mengamati sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang lain.Maxime menghela napas pelan, kelopak matanya sedikit bergerak, tetapi tubuhnya tetap di
Meski dirayakan secara sederhana, namun hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Clara dan juga Sebastian. Di depan para pelayan, penjaga, Andrew dan juga Ramon. Sebastian resmi melamar Clara. Sebastian yang sudah lama menyiapkan cincin berlian khusus memberikannya kepada Clara. Pria itu berjongkok di bawah kaki Clara sembari menyodorkan kotak beludru berwarna merah. "Maukah kamu menikah dengan aku?" Melihat hal itu, Clara menutup mulutnya karena kaget. Tidak ada angin tidak ada hujan, Sebastian tiba-tiba melamarnya. "Bastian...aku..." Jujur saja, Clara sampai tidak bisa berkata-kata. "Katakan saja. Sesuai yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu bersedia menikah denganku, maka perjanjian kontrak di antara kita akan aku anggap tidak ada. Aku juga akan melupakan masalah uang yang kamu pinjam. Dan kamu akan menjadi satu-satunya ratu di hidupku, Clara," ucap Sebastian. Clara berkaca-kaca. Haru bahagia menjadi satu. Perasaan yang tidak bisa dia gambarkan saat ini.
"Ada apa?" tanya Sebastian ketika mendengar suara pria di seberang sana terdengar panik. "Tuan, Nona Clara..." Tut! Tiba-tiba mati. Sebastian menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke halaman utama. Ketika dia mencoba menghubungi nomor mansion. Justru tidak aktif. Hal itu membuat Sebastian seketika panik. Dia menyambar jasnya yang tersampir di punggung kursi kemudian melangkah cepat. "Kita pulang sekarang, terjadi sesuatu di mansion." Ramon mengikuti langkah Sebastian yang begitu cepat. Dan ketika mencapai mobil, Sebastian melesat cepat memasuki kendaraan. Ramon segera memposisikan diri di bangku depan. Ramon memang ahli dalam segala termasuk mengemudi secara kilat. Dalam waktu singkat, keduanya tiba di tempat tujuan. Ketika tiba di depan pintu gerbang. Tidak ada yang membukakannya. Meski pintu terbuka otomatis, tetap harus ada yang menekan tombol. Menunggu beberapa menit, Sebastian jadi tidak sabar. "Ke mana para penjagaku?" Sebastian terlihat sangat geram. "Entahlah. Tap