Clara nyaris menjatuhkan ponselnya ketika mendengar suara di seberang. Tangannya yang semula normal kini berubah gemetar. Wajah cantiknya seketika memucat. Bahkan kakinya tidak dapat menopang anggota tubuhnya dengan benar. Apa yang yang baru saja dirinya dengar? Orang di seberang sana menyebut dirinya sebagai William? Apa itu tidak salah?Dengan menekan rasa terkejutnya. Clara kembali membuka suara. Dia harus memastikannya lagi, bahwa pendengarannya tidak salah."William?" Suara Clara sangat lirih, seakan tidak mau keluar."Ya, Sayang. Aku sudah sadar. Tapi kenapa orang pertama yang aku lihat bukan kamu. Kamu di mana? Kamu mengganti nomor ponselmu?" Sederet pertanyaan itu seketika mengguncang sudut hati Clara. Sesaat, dia merasa kebingungan, bagaimana caranya dia menjawab pertanyaan William.Terlintas dalam benak Clara untuk menutup panggilan secara sepihak. Namun, rasa-rasanya Clara tidak tega. Bagaimanapun, William adalah suaminya. Pria yang dinikahinya secara sadar dan tanpa paksaan
Clara terdiam sejenak, tatapan matanya terpaku pada sosok William yang berada tidak jauh darinya. Sesaat tatapan keduanya bertemu. Jantungnya berdegup kencang, seakan waktu berhenti untuk beberapa saat. Perasaan yang bercampur aduk membuat pikirannya buntu, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada logikanya.Dengan langkah yang terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi, Clara bergerak mendekati William, seolah ada dorongan yang tidak dapat dia kendalikan. Setiap langkah yang dia ambil semakin memperjelas gejolak dalam hatinya—sebuah perasaan yang selama ini dia abaikan, tetapi kini tak dapat lagi dia bendung.“Liam, kamu sudah sadar?” Clara mengusap wajah William dengan tangan. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Ya, aku sudah bangun. Kenapa kamu tidak memelukku?”Clara terkesiap, dia menyadari sesuatu. Bahwa dirinya bertindak sesuai dengan akal sehatnya. Dan entah mengapa Clara merasa ragu untuk melakukannya. Keraguan dalam dirinya semakin besar tatkala
Clara dan William menoleh ke arah sumber suara dan melihat Julia dan Ben berdiri di ambang pintu masuk. Wajahnya tampah dipenuhi dengan amarah, terutama Julia. Lantas wanita itu berjalan cepat mendekati Clara."Kamu untuk apa datang kemari, ha?" bentak Julia sembari menunjuk-nunjuk wajah Clara.Mendengar itu, Clara merasa bingung, sekaligus terkejut."Siapa yang menyuruh kamu datang? Kami tidak butuh kamu!" teriak Julia lagi."Aku yang menyuruhnya datang," sahut William.Tatapan Julia beralih pada puteranya. "William, untuk apa kamu menyuruh dia datang? Apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan di belakang kamu selama kamu koma?" tanya Julia dengan nada penuh emosi."Apa maksud Mama?" Giliran William yang bertanya."Wanita ini sudah menjadi pemuas nafsu bosnya!" pekik Julia yang membuat semua orang termasuk Clara seketika membulat sempurna.Clara menggeleng. “Itu tidak benar!" seru Clara membela diri.“Apanya yang tidak benar?” Julia kembali mengalihkan perhatiannya kepada William. Kila
Clara terhuyung ke belakang. Tubuhnya nyaris limbung, tetapi sepasang tangan sigap menangkapnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.“Nona, Anda tidak apa-apa?” Beruntung Suster Cintya datang tepat waktu.Clara menoleh dan melihat Suster Cintya sudah berada di dekatny sembari menopang pundaknya.“Terima kasih, Suster Cintya," ucap Clara.Melihat itu, Julia tampak kesal. Dia melengos begitu saja.Sementara William, semakin terkurung dengan emosinya. Pria itu kembali berteriak dengan sesekali menonyor kepalanya sendiri.Kondisi ini membuat Clara terasa perih. Terlihat sekali pria itu tidak dapat menerima kenyataan ini.Clara semakin terisak, situasi ini sungguh membuat Clara merasa sesak. Dia ingin mendekat, namun dia tahu, baik Julia atau pun Ben tidak akan mengizinkan. Banyak kata yang ingin Clara ungkapkan. Namun semua hanya tertahan di tenggorokan. “Sebaiknya kamu pergi dari sini!” usir Julia.Clara tidak menggubris wanita itu, dia hanya menatap William dengan ujung mata kemerahan. P
Panas dan kebas menjalar ke area wajah Clara. Tamparan yang diberikan Sania begitu tiba-tiba, meninggalkan perih yang menyengat di pipinya. Clara terdiam, matanya membelalak, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dadanya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa sakit yang menjalar, tetapi juga keterkejutan yang melumpuhkan pikirannya.Sania berdiri di hadapannya dengan napas memburu, matanya menyala oleh amarah yang sulit dibendung. Ruangan yang sebelumnya dipenuhi suara tawa para pelayan kini berubah sunyi, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Clara mengangkat tangannya, menyentuh pipinya yang kini terasa panas. Dia menatap Sania, mencari jawaban dalam sorot matanya yang tajam."Kenapa?" Suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh campuran rasa sakit dan keterkejutan.Namun, Sania hanya menghela napas panjang, lalu membuang muka. Ada sesuatu yang disembunyikannya—sesuatu yang mungkin lebih menyakitkan daripada tamparan itu sendiri."Mom!""Jangan panggil aku Mom
Sebastian duduk gelisah di ruang tunggu bandara, pandangannya terus terpaku pada layar informasi penerbangan yang menampilkan tulisan merah berkedip—"Ditunda." Dia menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang semakin memuncak. Di luar, hujan turun deras, disertai angin kencang yang membuat landasan pacu basah dan berbahaya untuk lepas landas.Dia menggenggam erat ponselnya, dia tidak bisa menghubungi Clara lantaran ponselnya mati dan Sebastian lupa mengisi, itu lantaran dirinya sedang sibuk. Padahl dirinya ingin memberitahu Clara bahwa dirinya terjebak di bandara tanpa kepastian kapan bisa berangkat? Bahwa jarak yang memisahkan mereka semakin terasa panjang akibat cuaca yang tidak bersahabat?Sebastian menyandarkan kepalanya pada kursi, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. William telah bangun dari koma. Dan kabar itu diberikan langsung oleh orang kepercayaannya yang dia tugaskan untuk menjaga pria itu.“Sial!” Sebastian mengumpat dalam hati. Hatinya memanas, api cemburu
114Di tengah kebingungannya, Clara akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya yang terletak di pinggiran kota Arbour. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Langkahnya terasa berat, tetapi tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal selain kembali ke tempat yang dulu memberinya rasa aman. Rencananya Clara akan menenangkan diri di sana selama beberapa hari.Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkelana, mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Sania. Kata-kata yang diucapkan wanita itu masih terngiang di telinganya, menggema tanpa henti. Bagaimana Sania bisa mengetahui semuanya? Dan dari mana Sania mendapatkan foto-foto itu?Kasus yang sama dengan Julia. Wanita itu memiliki foto tentang dirinya dengan Sebastian. Clara merasa ada seseorang yang sengaja melakukannya. Tapi siapa? Lama berpikir, tanpa terasa Clara nyaris sampai di tempat tujuan.Ketika bus yang ditumpanginya memasuki wilayah pinggiran kota, Clara melihat deretan ruma
Ketegangan di dalam ruangan itu berlangsung lama. Isak tangis Rosalia memenuhi udara, mencerminkan kepedihan yang tengah dia rasakan. Dengan suara bergetar, dia terus melontarkan kata-kata penuh amarah, menyalahkan Clara atas apa yang telah terjadi.Clara hanya mampu berdiri membisu, menundukkan kepala sambil menahan air mata yang hampir jatuh. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya bagaikan bilah tajam yang mengiris perasaannya. Hatinya tercabik-cabik, tetapi dia tak memiliki keberanian untuk membela diri.“Bu, percayalah. Aku melakukannya demi William. Tidak ada niat lain.” Akhirnya Clara kembali membuka suara.“Omong kosong! Pasti ada cara lain. Dan pada akhirnya kamu sendiri yang menyakiti william.”Tatapan Rosalia dipenuhi kekecewaan yang mendalam, seolah tak ada lagi tempat bagi Clara di hatinya.Sementara itu, Clara merasakan dadanya sesak, di antara rasa bersalah dan luka yang semakin menganga. Keheningan yang menyelimuti mereka terasa menyesakkan, seakan dinding ruangan pun
Saat mendengar sang ayah jatuh sakit, Leonard beserta istrinya segera datang ke rumah tua. Sejak Bellatia sang ibu meninggal dunia, Maxime hanya tinggal seorang diri, ditemani oleh kepala pelayan, serta pelayan yang lain. Meski begitu, tidak ada hal yang perlu ditakutkan, karena rumah tersebut memiliki sistem penjagaan yang sangat ketat. Namun, saat ini yang membuat Leonard dan Sania khawatir adalah kondisi kesehatan Maxime yang terus menurun. Begitu sampai di tempat tujuan, mereka segera menuju ke kamar utama, di mana tubuh Maxime terkulai lemah. Keduanya masuk, dan mendapati Maxime duduk bersadar di atas kasur. "Ayah?" Sania berjalan lebih dulu menghampiri sang ayah mertua. "Bagaimana kondisi ayah?" tanya Sania. "Aku baik-baik saja," jawab Maxime. Sania menatap ayah mertuanya kesal. Lantas dia beralih pada suster yang berdiri berseberangan dengannya. "Bagaimana kondisinya?" tanyanya lagi. "Mulai stabil, Nyonya. Kami sudah memeriksa secara teratur tensinya, dan mulai menurun," j
"Clara!" William berpikir wanita itu adalah Clara, mantan istrinya yang masih dia cinta. Namun, ketika dia memperjelas pandangannya, dia merasa kecewa. "Siapa kamu?" hardik William seketika dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah. Dia merasa tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya. Bianca menyunggigkan senyum sinis. "Jadi kamu suami Clara? Ah tidak, mantan suami?" Bianca tersenyum, namun dalam senyum itu terdapat sebuah ejekan. Tetapi, bukan itu tujuan Bianca untuk menemui pria ini. Dia memiliki maksud lain. Bianca tidak bisa merelakan Sebastian begitu saja menikahi wanita lain. Itu sebabnya dia menyusun sebuah rencana. "Kamu masih mencintai Clara 'kan? Kalau kamu seperti ini bagaimana dia mau sama kamu. Clara itu menyukai pria yang rapi dan perfeksionis. Itu sebabnya dia lari dalam pelukan Bastian!" ucap Bianca dengan kedua tangan yang bertaut di depan perut. "Sebenarnya siapa kamu, dan apa tujuanmu?" William tidak mengerti, dia merasa tidak mengenali wanita ini. Akan tetap
Bukan hanya Bianca yang telah mendengar kabar tentang pernikahan Sebastian dan Clara, tetapi juga sesepuh keluarga Abraham, Maxime Abraham yang akhir-akhir ini mengalami penurunan kesehatan. Saat ini Maxime Abraham terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur, tubuhnya diselimuti oleh kain putih yang tampak rapi tetapi tidak mampu menghangatkan dinginnya kulitnya. Nafasnya terdengar pelan, teratur tetapi berat, seakan setiap helaan membutuhkan usaha yang besar. Gangguan pada jantungnya telah menguras begitu banyak energinya, membuat tubuhnya terasa begitu rapuh.Wajahnya sedikit pucat, kontras dengan rambut hitamnya dan terdapat semburat putih yang tertata acak di atas bantal. Matanya yang biasanya tajam kini tampak sayu, seperti kehilangan cahaya yang biasa memancar darinya. Tatapannya kosong, mengarah ke langit-langit kamar, seolah sedang mengamati sesuatu yang tak bisa dilihat oleh orang lain.Maxime menghela napas pelan, kelopak matanya sedikit bergerak, tetapi tubuhnya tetap di
Meski dirayakan secara sederhana, namun hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Clara dan juga Sebastian. Di depan para pelayan, penjaga, Andrew dan juga Ramon. Sebastian resmi melamar Clara. Sebastian yang sudah lama menyiapkan cincin berlian khusus memberikannya kepada Clara. Pria itu berjongkok di bawah kaki Clara sembari menyodorkan kotak beludru berwarna merah. "Maukah kamu menikah dengan aku?" Melihat hal itu, Clara menutup mulutnya karena kaget. Tidak ada angin tidak ada hujan, Sebastian tiba-tiba melamarnya. "Bastian...aku..." Jujur saja, Clara sampai tidak bisa berkata-kata. "Katakan saja. Sesuai yang aku katakan sebelumnya. Jika kamu bersedia menikah denganku, maka perjanjian kontrak di antara kita akan aku anggap tidak ada. Aku juga akan melupakan masalah uang yang kamu pinjam. Dan kamu akan menjadi satu-satunya ratu di hidupku, Clara," ucap Sebastian. Clara berkaca-kaca. Haru bahagia menjadi satu. Perasaan yang tidak bisa dia gambarkan saat ini.
"Ada apa?" tanya Sebastian ketika mendengar suara pria di seberang sana terdengar panik. "Tuan, Nona Clara..." Tut! Tiba-tiba mati. Sebastian menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke halaman utama. Ketika dia mencoba menghubungi nomor mansion. Justru tidak aktif. Hal itu membuat Sebastian seketika panik. Dia menyambar jasnya yang tersampir di punggung kursi kemudian melangkah cepat. "Kita pulang sekarang, terjadi sesuatu di mansion." Ramon mengikuti langkah Sebastian yang begitu cepat. Dan ketika mencapai mobil, Sebastian melesat cepat memasuki kendaraan. Ramon segera memposisikan diri di bangku depan. Ramon memang ahli dalam segala termasuk mengemudi secara kilat. Dalam waktu singkat, keduanya tiba di tempat tujuan. Ketika tiba di depan pintu gerbang. Tidak ada yang membukakannya. Meski pintu terbuka otomatis, tetap harus ada yang menekan tombol. Menunggu beberapa menit, Sebastian jadi tidak sabar. "Ke mana para penjagaku?" Sebastian terlihat sangat geram. "Entahlah. Tap
Maxime menatap asistennya itu penuh tanda tanya. Sejak Sebastian memutuskan untuk memutus hubungan keluarga dan memilih wanita itu. Maxime sama sekali tidak peduli dengan cucunya. Bagi Maxime, anak yang melanggar norma-norma dan adat keluarga adalah seorang pembangkang. Dan Maxime tidak mau memiliki cucu yang seorang pembangkang."Tuan Bastian telah mendirikan bisnisnya sendiri, dan menamainya dengan Diamond Company." Maxime merasa tercubit. Dengan kemampuan otak yang dimiliki cucunya itu. bukan tidak mungkin bila Sebastian mampu melakukan semuanya. Namun, tanpa dukungan materi, rasa-rasanya semuanya mustahil.Maxime yakin bahwa semua itu ada campur tangan Leonard di dalamnya. Puteranya itu, pasti akan selalu mendukung anaknya. Terlebih Sania sangat mencintai Sebastian."Jadi dia sudah mendirikan sebuah perusahaan?""Ya, Tuan. Dia menarik saham atas namanya di Abraham Group. Menjual villa mewahnya untuk dijadikan modal untuk mendirikan perusahaan baru. Dalam kurun waktu kurang da
Clara memandang Sebastian. Setelah lama berpikir, akhirnya Clara memutuskan untuk mempercayai pria itu. Lagi pula, Clara tidak ada tempat tujuan jika dirinya pergi. Dirinya juga harus memikirkan bayi ini. Kedua orang tuanya bahkan tidak mau menerima dirinya. Hanya Sebastian yang setia di sisinya."Maafkan aku, ya?" Clara memeluk Sebastian. Dan segera mendapat balasan dari pria itu."Maafkan Ibuku," kata Sebastian yang merasa ibunya sudah keterlaluan. Kemudian dia mengikis jarak, memegangi kedua bahu wanitanya itu lalu berkata, "Jadilah wanita kuat. Demi bayi kita. Lawan siapa pun orang yang berani menghinamu sekalipun itu orang tuaku," tegur Sebastian. "Bukankah kamu pernah membuat Silvia takut?"Clara memandang Sebastian, dia mengerjap beberapa kali. Pikirannya mulai menggali sebuah maksud dari kata yang terlontar dari bibir Sebastian."Kamu menyuruh aku melawan orang tua?" Kemudian Clara mendesah. Sejak kecil dirinya memang telah dididik untuk bersikap hormat pada orang yang lebih t
“Ramon, kita pulang sekarang!”Mendengar ucapan Sebastian, Ramon segera melirik ke arah samping sekilas."Apa terjadi sesuatu?""Orang tuaku datang. Mereka memaksa masuk."Jawaban itu cukup membuat Ramon mengerti. Dia segera menambah kecepatan mobilnya. Beberapa kilometer kemudian, terdengar ledakan kecil yang membuat kendaraan yang ditumpangi oleh Sebastian oleh hingga menyebabkan keluar jalur."Apa yang terjadi?" tanya Sebastian setelah mobil berhenti."Sepertinya bannya meletus, Tuan."“Apa?”“Biar saya periksa.” Ramon segera keluar dari mobil.Tak lama kemudian, Sebastian menyusul keluar dan melihat Ramon berjongkok. Benar saja yang dikatakan oleh Ramon. Ban mobil dalam keadaan kempes.“Tuan, ini akan memakan waktu.” Ramon berkata sembari mendongak.“Kamu benar, kalau begitu aku akan naik taksi saja.”“Baik.”"Sayang, sebaiknya kita pulang. Kita temui Bastian besok lagi!" Leonard yang merasa istrinya sedikit keterlaluan segera menegur. Melihat wajah kekasih dari puteranya yang ta
"Jadi kamu melarang kami masuk?"Sania terlihat geram ketika kendaraannya dihadang oleh para penjaga saat hendak memasuki pagar ke rumah Sebastian–puteranya sendiri.Akhirnya, Leonard dan Sania turun untuk meminta kejelasan perihal penahanan ini. Dan Sania sempat merasa geram dengan aksi para penjaga yang tak beralasan sama sekali. Andrew tampak merasa bersalah hanya bisa menghindari tatapan Sania yang semakin tajam. Pria itu sesekali menunduk, kemudian kembali mengangkat kepalanya ketika memulai bicara."Maaf, Tuan, Nyonya Besar. Tuan Bastian sedang tidak ada di rumah," ucap Andrew dengan sopan. Tanpa mengurangi rasa hormat. Bagaimanapun juga, mereka adalah orang tua dari majikannya."Ke mana dia?" tanya Leonard menyahut.Andrew mengarahkan pandangannya ke arah Leonard yang tampak terlihat lebih tenang dibandingkan dengan Sania."Beliau sedang ada urusan pekerjaan, Tuan Besar," jawab Andrew."Kalau begitu biarkan kami menunggu di dalam!" seru Sania kembali menyela. Dia tidak terima