"Ini mustahil, Jefry! Ini mustahil! Semua yang dikatakan Harlan adalah omong kosong yang tidak bisa kuterima!"Edgard terus mengumpat kesal di ruang kerjanya setelah Harlan keluar dari sana. Setelah semua cerita palsu dan bukti rekayasa yang ditunjukkan oleh Harlan tadi, Harlan merasa sudah cukup untuk mempengaruhi Edgard dan ia undur diri begitu saja. Tentu saja Harlan tahu sifat Edgard yang tidak bisa dikerasi secara langsung. Perlahan tapi pasti, pada akhirnya Edgard akan menganggap Janice benar-benar penjahat. Harlan pun merasa puas dan segera berpamitan walaupun ia belum benar-benar pergi dari perusahaan itu. Edgard dan Jefry yang ditinggalkan pun masih tetap mematung selama beberapa saat sebelum akhirnya Edgard melangkah mondar-mandir dengan gelisah. Jefry sendiri yang tidak langsung percaya pada ucapan Harlan malah berada di pihak Janice sekarang. "Tenang, Bos. Aku juga merasa semua yang diucapkan Harlan adalah omong kosong. Tidak mungkin keluarga Janice adalah orang jaha
Janice masih menahan napasnya dengan jantung yang berdebar tidak karuan saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Itu Harlan! Itu Harlan! Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice begitu gemetar, namun ia berusaha bersikap tetap tenang.Sedangkan Harlan yang melihat ekspresi Janice malah menyeringai tipis. "Kita bertemu lagi, Janice Velma!" Suara berat Harlan benar-benar membuat Janice merinding hingga akhirnya Janice memutuskan untuk menggunakan jurus andalannya, berpura-pura tidak mengenal pria itu."Eh, itu ... kau siapa? Ada perlu apa mencariku?" tanya Janice dengan suara yang gemetar. Harlan yang mendengarnya pun tetap berekspresi datar dan menatap Janice lekat-lekat. "Jadi kau sudah lupa padaku, Janice? Atau kau hanya pura-pura lupa? Mustahil kau bisa melupakan kejadian enam tahun yang lalu!"Suara Harlan terdengar begitu menusuk sampai Janice pun menelan salivanya. "Eh, maaf, aku tidak mengerti apa yang kau maksud, kurasa mungkin kau salah orang," sahut Janice lagi deng
"Janice, apa kau baik-baik saja?" tanya Jefry cemas saat akhirnya ia berhasil menemui Janice di ruang kerjanya. "Eh, memangnya Janice kenapa? Mengapa kau sampai bisa tahu kalau dia sedang tidak sehat?" celetuk Wina yang mendengar kecemasan Jefry. "Itu ... dilihat dari wajahnya saja aku sudah tahu kalau dia sedang tidak sehat. Pulang saja kalau kau tidak sehat, Janice! Tidak usah bekerja!" seru Jefry lagi berusaha menunjukkan wibawanya. Namun, Janice masih terlalu tegang untuk menjawab. Ia pun tetap terdiam mendengarkan perdebatan kecil antara Jefry dan Wina sampai akhirnya ia bisa bernapas normal dan kembali bicara. "Kepalaku pusing. Aku pulang dulu ya! Wina, tolong urus ijin untukku ya, aku ijin sakit!" "Eh, Janice, kau baik-baik saja kan? Janice?" Wina memanggil Janice, namun Janice hanya melangkah gontai keluar dari ruangan. Namun, begitu ia keluar dari ruangan itu, Janice mendadak seperti tersentak kaget dan kembali mengawasi sekelilingnya, takut masih ada Harlan di sana.
"Dia pulang duluan karena tidak enak badan, Bos." "Apa? Janice sakit?" "Kepalanya pusing dan aku sudah meminta sopir mengantarnya pulang." Edgard bernapas lega mendengarnya. "Seharusnya kau memberitahuku, Jefry. Aku bisa mengantarnya pulang." "Eh, maaf, Bos!" Edgard pun mengembuskan napas panjangnya. "Aku juga tidak bisa berkonsentrasi bekerja karena masalah ini, Jefry." Jefry mengangguk mengerti. "Oh ya, Bos, kau tahu siapa yang kutemui di depan ruang kerja Janice tadi?" Edgard mengernyit mendengarnya. "Siapa?" "Harlan," jawab Jefry singkat. Edgard pun langsung menegang mendengarnya. "Apa yang dia lakukan di sana, Jefry? Mengapa dia bisa ada di depan ruang kerja Janice?" Jefry yang mendengarnya pun langsung menceritakan pembicaraan singkatnya dengan Harlan dan juga ia menceritakan bagaimana Janice yang ketakutan. "Janice sudah mengatakan dengan jelas kalau dia difitnah, Bos. Tapi kami tidak sempat bicara banyak. Yang jelas dia ketakutan. Aku yakin Harlan mengatakan sesuat
Edgard terus berdecak gelisah saat menyetir mobil pulang ke rumahnya. Pikirannya mendadak memutar banyak hal dan ini sangat sulit dipercaya. Mungkin orang akan menganggapnya bodoh dan terlalu lama galau, tapi sungguh siapa pun yang berada di posisinya pasti akan mengalami kegalauan yang sama dalam memutuskan siapa yang harus ia percayai. "Sial! Sial! Kurasa sebentar lagi aku bisa gila! Janice, kau harus menceritakan padaku apa yang Harlan katakan tadi! Ya, harus!" Edgard menggenggam erat setirnya dan melajukan mobilnya makin kencang. Begitu Edgard tiba di rumahnya, Edgard pun langsung masuk ke rumah dan mendengar keributan di ruang makan sampai ia pun segera ke sana.Edgard pun begitu kaget melihat Janice sedang memarahi seorang pelayan apalagi mengatakan akan memecatnya. "Ada apa ini, Janice? Apa yang dia lakukan sampai harus dipecat?" seru Edgard sambil memicingkan matanya. Sontak semua orang yang ada di sana pun menoleh ke arah Edgard. Namun, belum sempat Janice menceritaka
"Aku harus membawa mereka bersamaku!" Janice berseru begitu lantang saat Edgard mengatakan tidak bisa membawa anak-anak menjenguk adik Nara yang kecelakaan di desa. "Janice, tapi kita akan menghabiskan waktu di rumah sakit dan tidak akan ada yang menjaga mereka nantinya." "Aku tetap tidak akan meninggalkan anak-anakku dan memberikan kesempatan pada Harlan atau siapa pun untuk menyakiti mereka, Edgard!""Janice, kalau begitu kau tidak usah ikut! Kau di sini saja bersama anak-anak! Biar Ibu yang pergi!" sela Nara tiba-tiba. "Tidak, Ibu! Aku harus ikut! Aku harus melihat Tante, bisa saja ini perbuatan orang jahat! Kecelakaan itu pasti direkayasa!" pekik Janice lantang dengan air mata yang masih terburai. Dan Edgard pun terdiam mendengarnya. Kecelakaan yang direkayasa. Kata direkayasa rasanya langsung berputar di otaknya. Enam tahun yang lalu, Edgard merasa kecelakaannya juga direkayasa. Edgard terus meyakinkan semua orang kalau ada orang jahat yang ingin mencelakainya, tapi Tante
"Ibunya mengalami patah tulang kaki tapi anaknya mengalami pendarahan otak."Janice begitu syok saat mendengar berita itu sampai tubuhnya terhuyung. Mereka akhirnya tiba di rumah sakit tempat adik Nara dirawat dan langsung dikejutkan oleh kondisi keluarga mereka yang ternyata parah. Nara sendiri juga begitu syok. Keponakannya menjelaskan kalau ibu dan kakaknya sedang mengendarai sepeda motor saat mereka ditabrak oleh sebuah mobil pick up yang melaju begitu kencang. Sopir pick up juga mengalami luka, namun tidak separah adik Nara dan anaknya. "Sopir pick upnya mengaku mengantuk karena belum tidur sejak semalam dan terus memuat barang." Janice begitu frustasi mendengarnya sampai ia terus menangis. Edgard pun mengajak Janice duduk di kursi dan terus memeluknya sambil ia sendiri berpikir keras. Namun, Janice membuyarkan pikirannya saat ia mulai berceloteh. "Aku tahu sepupuku selalu membawa sepeda motor dengan hati-hati, apalagi karena dia membonceng ibunya. Sopir pick up itu benar
"Anak-anak itu ada di rumah Bu Elizabeth."Harlan melapor hasil kerjanya pada Miriam malam itu termasuk melaporkan bahwa anak-anak Janice dititipkan di rumah Elizabeth. Miriam yang mendengarnya langsung mendengus kesal. "Pintar sekali ide menitipkan anak-anak sialan itu di rumah ibuku!"Harlan pun mengangguk. "Sebelum mereka pergi, mereka mengantar anak-anak itu dulu." "Huh, apa mereka pikir aku tidak bisa menjangkaunya? Itu rumah ibuku, tidak sulit bagiku untuk masuk ke sana! Dasar wanita sialan! Tidak akan kubiarkan kau mempengaruhi ibuku juga!" Miriam mengepalkan tangannya dan menggebraknya ke meja ruang kerjanya dengan wajah menahan emosinya. "Berani sekali dia buka mulut dan menyebut nama kita, Harlan!""Kita lihat saja apa dia bisa bertahan dengan tekanan yang kita buat! Dia harus tahu kalau sedikit saja dia buka mulut, maka satu persatu orang yang dikenalnya akan menerima akibatnya!" "Aku tidak akan membuatnya hidup tenang sampai dia pergi selamanya dari hidup Edgard dan
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me