"Gak, dia gak ganggu aku.""Siapa dia? Apa kalian saling kenal?" Halil kembali menatap Innara dengan tatapan menyelidik."D-dia...""Mantan pacar?" Tanya Halil dengan nada mengejek. Innara memandang Halil sejenak sebelum kemudian mengalihkan pandangannya karena gugup. Tatapan Halil terlalu intens menurutnya hingga membuatnya salah tingkah."Begitulah." Jawab Innara jujur dan lirih."Belum move-on rupanya." Jawab Halil yang tanpa meminta ijin langsung melewati Innara dan berjalan menuju dapur. "Mbak sendiri sudah move-on?" Tanya Halil sesaat setelah meletakkan paper bag di atas meja makan. Ia menatap Innara dengan sebelah alis terangkat. Tak juga mendapat jawaban, Halil memiringkan kepalanya. "Mbak?" Ia mengulang pertanyaannya."Udah move-on atau belumnya, jelas gak ada urusannya sama kamu kan?" Ucap Innara ketus seraya melangkah mendekat dan mengintip apa yang Halil bawa."Jelas ada urusannya dong.” Ucapnya yang membuat Innara menoleh ke arahnya. “Biar aku bisa nentuin langkah aku ked
Ruangan itu tampak megah dengan dekorasi bunga mati yang tampak begitu hidup. Foto-foto kebersamaannya dan sang kekasih yang mereka ambil sejak mereka mencetuskan hubungan resmi sampai foto yang mereka ambil beberapa minggu sebelum pernikahan muncul di layar yang besar secara silih berganti.Innara tesenyum. Binar di wajahnya semakin cerah seiring setiap langkahnya menuju pelaminan. Bagaimana tidak, Innara adalah wanita paling bahagia saat ini. Dan dia merasa menjadi wanita paling cantik dan paling memukau saat ini, wanita beruntung yang bersiap untuk mendatangi pangeran tampannya.Dengan perasaan gembira, Innara kembali melangkah menuju masa depannya. Namun tiba-tiba Innara merasa kakinya berubah kaku dan langkahya terhenti tanpa dia ingini. Ruangan menjadi begitu sunyi. Layar yang tadinya menyala berubah mati begitu juga dengan lagu pengiring berlirik cinta yang tadi terdengar mengisi seluruh ruangan. Innara memandang sisi kiri dan kanan jalannya dan melihat orang-orang kini memfok
Nyatanya, harapan Halil tidak bisa menjadi kenyataan karena tubuh Innara semakin sore semakin terasa tidak baik. Entah kenapa, Innara merasa begitu letih dan lesu dan suhu panas tubuhnya sepertinya tak juga menurun malah sepertinya semakin meninggi. Innara sudah meminum obat sakit kepala yang lain—bukan yang sebelumnya diberikan oleh Lusi—tapi keadaannya tidak menjadi lebih baik, dan malah menjadi lebih buruk.Setelah keluar dari ruang istirahat, Innara berpapasan dengan Rayka, mantan calon suami yang kini sudah resmi menjadi atasannya. Pria itu menunjukkan ekspresi khawatir pada Innara namun sebelum Rayka mendekat dan mengajukan banyak pertanyaan padanya, Innara sudah memutar badannya dan mengabaikannya.Ya, Innara benar-benar mengabaikan Rayka dan menganggap kalau pria itu tidak ada. Bahkan saat perkenalan resmi dilakukan pada pagi hari, Innara menyalami pria itu seolah mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Senyum yang ia tampilkan pun hanyalah
Halil tahu ada yang salah dengan Innara sejak saat ia menemui gadis itu di ruang istirahat. Namun ia tidak bisa terus menerus memantaunya karena entah mengapa pekerjaannya hari itu seolah tiada akhir. Bahkan, pekerjaan yang bukan menjadi tanggung jawabnya pun harus ia lakukan karena tuntutan atasan.Ingin memberontak, Halil sadar diri akan posisinya saat ini. Namun ia pun tidak akan mendendam karena ia tahu kalau mereka menyuruh Halil melakukan ini karena ada perintah dari orang yang lebih tinggi.Alhasil yang bisa dia lakukan adalah menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa dan pergi ke ruang ganti setelah memindai jarinya di mesin absen tepat setelah jam kerjanya usai dengan harapan Innara belum pulang.Halil membersihkan diri dengan cepat dan mengganti seragam kerjanya yang kotor dengan kaus yang ia kenakan tadi pagi dan juga celana jeans sebatas lututnya. Sepatu sport berharga murah yang terpaksa ia kenakan karena tidak mau mem
Suara ketukan di pintu membuat Innara turut membuka mata. Jam berapa ini? Tanyanya pada dirinya sendiri seraya melirik jendela yang sudah memunculkan sinar matahari pagi.“Bukankah saya yang seharusnya bertanya pada Anda apa yang Anda lakukan disini?” Innara mengernyit kala mendengar nada suara Halil yang dingin.“Bersikaplah yang sopan. Aku ini atasanmu.” Teguran itu, Innara mengenal suaranya. Itu milik Rayka.“Anda atasan saya jika di resort. Disini Anda hanya sekedar pengunjung.” Halil mengingatkan.Ya Tuhan, kumohon jangan sampai ada perkelahian. Doa Innara dalam hati. Lagipula apa yang pria itu lakukan disini? Tanyanya pada diri sendiri dan Innara mendapatkan jawabannya saat ia melihat sosok Rayka yang berjalan menerobos masuk dengan buka rose berwarna merah muda di tangannya.“Aku mendapat kabar kalau kau sakit. Kau baik-baik saja?” Tanya pria itu dengan langkah cepat mendekati tempat tidur Inna
“Apa dia berbohong dengan mengatakan kalau dia lajang padahal sebenarnya dia sudah menikah?” Tanya Halil dengan nada dingin yang membuat Innara merinding.“Tidak seperti itu. Kamu salah sangka tentangnya.” Ucap Innara lirih.“Mbak membelanya?” Tanya Halil ketus. Jelas pria itu merasa cemburu atas pembelaan Innara barusan. Gadis di hadapannya ini sudah jelas sudah pernah pria itu sakiti, namun masih saja membelanya dan hal itu membuat Halil mau tak mau merasa cemburu.“Aku tidak membelanya. Tapi dia memang tidak seburuk yang kamu pikirkan.” Ucapnya menatap Halil tegas. “Setidaknya, dia yang aku kenal dulu memang tidak seburuk itu.” Ucapnya lirih dengan kepal tertunduk untuk memandang tangannya yang masih dipegang oleh Halil. Kenapa Innara tidak menolak sentuhan pria itu? Kenapa dia tidak menarik tangannya dan menjauh?“Jadi?” Halil masih menuntut jawaban yang pasti.“Kami
Innara lagi-lagi tidak berani memandang Halil setelah ciuman panas mereka yang terpaksa terhenti karena ketukan di pintu kamarnya. Dengan salah tingkah, ia berusaha sebisa mungkin merapikan dirinya saat seorang dokter dan perawat datang untuk memeriksanya sementara Halil hanya memberikan cengiran lebar pada petugas kesehatan itu.Setelah memberikan instruksi dan resep obat pada Innara, Innara kemudian dinyatakan boleh pulang dan kini dia dan Halil dalam perjalanan kembali ke kediaman mereka menggunakan taksi yang diorder Halil lewat aplikasi online.“Kamu kemarin membawaku ke rumah sakit pakai apa?” Tanya Innara tiba-tiba ingin tahu.“Menurut Mbak?” Halil balik bertanya dengan ambigu.“Tidak mungkin pakai motor kan?” Tanya Innara dan seketika memikirkan bagaimana caranya Halil membawa tubuhnya yang pingsan dengan menggunakan motor.“Tentu saja tidak. Kecuali mungkin aku memasukkan Mbak ke dalam box be
"Jadi?" Halil memandang Innara dengan sebelah alis terangkat. Halil bisa melihat ketegangan di wajah Innara dan itu membuatnya bertanya-tanya apakah semengerikan itu untuk menjadi pacarnya? Dan disaat bersamaan dia juga bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia terus menerus memaksa Innara? Dan kenapa harus Innara? Jika Innara tidak menyukainya, kenapa Halil tidak menyerah saja dan mencari wanita lain?Ya, diluar sana ada banyak wanita yang lebih cantik, lebih baik dan mungkin akan balas mencintainya dan menerima dirinya dengan mudah. Tidak seperti Innara yang terus menerus menolaknya. Tapi cinta itu memang perlu diperjuangkan, kan? Hanya karena gadis yang kita sukai menolak kita, tidak berarti kita harus menyerah saat itu juga. Kita hanya perlu tahu kapan perjuangan itu harus kita hentikan. Jangan sampai keterusan karena jika kita terus menerus mengejar setelah berulangkali ditolak, itu bukan cinta lagi namanya, tapi obsesi."Kau tahu tidak semudah itu." Ucap Innara g