“Kalau gue merasa jijik karena hal itu, gue udah pergi sejak gue tahu Rio selalu goda lo, Dhis! Gue nggak bakal bertahan selama ini untuk deket sama lo!” sahut Abbiyya. Adhisti masih terdiam berusaha memahami semua penuturan Abbiyya barusan. “Semua terjadi di luar kendali kita. Mau sebaik apa kita menjaga diri dengan menutup semua tubuh, kalau pelakunya sudah bertekad, mungkin itu akan tetap terjadi. Lo korban, Dhis! Dan gue tahu itu. Gue tahu lo pun nggak nyaman ada di posisi ini. Kadi siapa gue yang berhal menilai lo padahal lo yang merasakan semua pedihnya?” papar Abbiyya. “Thanks, Biy! Sekarang gue rasa cuma lo satu-satunya orang yang bisa gue percaya. Gue harap lo selalu ada sama gue, jangan tinggalin gue,” lirih Adhisti mendongakkan kepalanya menatao Abbiyya yang kala itu juga masih menatapnya. “Gue juga mengharapkan hal yang sama, Dhis! Gue harap setelah lo tahu sebuah kenyataan itu lo nggak bakal pergi,” batin Abbiyya. “Lo istirahat dulu ya, Dhis! Gue ambilin makanan sama
Dengan sedikit tekanan Rafa akhirnya melepas tangannya dari gagang pintu itu dan membiarkan pintu kamar Adhisti terbuka lebar. Keduanya kini duduk di atas ranjang dengan jarak yang cukup nyata ada di antara keduanya. Adhisti masih terdiam dan menatap lurus ke depan. Sementara itu, Ra memiringkan tubuhnya dan menatap Adhisti lekat. “Gue tahu gue salah, Chaay! Gue tahu apa yang gue lakuin pagi tadi itu sama sekali nggak bisa dibenarkan. Bahkan yang gue lakuin mungkin lebih parah dari apa yang Rio lakuin ke lo!” Rafa sedikit menundukkan pandangannya. “Gue tahu lo nggak bisa maafin Rio, apalagi gue dengan semua yang terjadi pagi tadi. Tapi kalau bisa, maafin gue, Chaay! Gue nggak tahu apa yang terjadi sama gue pagi tadi,” “Tapi semua penolakan lo ke gue..,” “Jangan bilang soal penolakan, Bang!” sergah Adhisti langsung memotong perkataan Rafa dengan menatap tajam kakaknya itu. “Abang nggak mau disamaain kaya Rio ‘kan, Bang! Jadi nggak usah pakai tagline Rio untuk membenarkan semuanya
Sementara itu, Abbiyya tampak kembali ke kamar Adhisti dan berdiri di ambang pintu. Seperti yang ia janjikan, ia akan menunggu Adhisti hingga pembicaraan dengan sang kakak itu berakhir. “Semuanya aman, Dhis?” tanya Abbiyya tanpa melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Adhisti. Adhisti mengangguk sambil sebentar memejamkan matanya. Gadis itu tampak bangkit dari ranjang lalu berjalan menuju ambang pintu kamarnya sendiri. “Aman kok, Biy! Gue harap Rafa beneran menyesal. Thanks ya udah tungguin gue. Lo bisa balik ke kamar lo, kok!” pekik Adhisti sambil sedikit tersenyum. “Okey, jangan lupa kunci pintunya ya, Dhis! Kuncinya selalu ada di dalam ruangan lo kok! Dan, sebenernya semalem gue yang kunci kamar lo. Sorry karena nggak bilang ke lo!” pekik Abbiyya. “Hah? Lo? Jadi lo kemarin masuk ke kamar gue dan selimutin gue?!” sergah Adhisti. “Eh, Dhis! Jangan salah paham dulu! Gue berani sumpah! Gue cuma masuk ke kamar lo buat mindah baki, kasih lo selimut, taruh kunci di balik pintu ter
Makan pagi selesai, Abbiyya tampak menarik napasnya dan melirik ke arah Adhisti sebelum akhirnya bangkit dari meja makan. “Gue berangkat dulu, ya! Kalian kalau butuh apa-apa bisa panggil pelayan di sini. Mereka bakal kasih apa yang kalian butuhkan kok! Jangan sungkan minta tolong mereka, ya! Dan mm, kalau ada sesuatu yang urgent dan kalian berdua butuh gue, bisa coba telepon!” pekik Abbiyya di kalimat akhirnya menoleh Adhisti. Gadis itu yang merasa kian dispesialkan oleh Abbiyya tampak tersenyum dan mengangguk. “Thanks, Biy!” pekik Adhisti lalu mendapat balasan senyuman dari Abbiyya. “Okey, gue cabut ya Dhis! Raf!” pekik Abbiyya menoleh memandang keduanya bergantian. Baru saja Abbiyya keluar dari pintu utama rumah itu, Adhisti dengan segera tampak ingin meninggalkan meja makan. Namun sayangnya, kakinya tersandung meja hingga membuatnya terjatuh ke bawah dengan posisi yang cukup menyakitkan. Rafa dengan segera bangkit dari kursinya dan menghampiri Adhisti. “Chaay!” pekik Rafa l
“Jangan gitu lagi, Bang! Gue mau Rafa yang dulu, gue nggak mau lo kaya kemarin, gue mau lo yang sayang sama gue tanpa syarat! Gue mau lo yang jadi kakak gue bukan pria asing yang bikin gue takut,” rengek Adhisti dalam dekapan Rafa itu. “Gue bakal lakuin itu buat lo, Chaay! Gue bakal balikin semuanya yang gue rusak kemarin. Gue bakal berusaha bikin hubungan kita balik kaya dulu lagi,” lirih Rafa sambil sedikit mengelus rambut Adhisti. Adhisti melepaskan dirinya dari Rafa. Gadis itu sebentar mengusap air matanya sebelum menatap sang kakak dengan lekat. “Janji? Lo nggak bakal ulangi kejadian kemarin lagi ‘kan, Bang?” Adhisti menunjukkan jari kelingkingnya pada Rafa. “Gue janji, Chaay!” Dengan segera Rafa menautkan kelingkingnya bersatu dengan milik sang adik. Dan mungkin dengan hal itu, mereka berdua akan membuka lembaran baru yang berbeda dengan lembar sebelumnya. Harapan antar keduanya memang terlihat sama, untuk mengembalikan hubungan kakak adik yang ada pada keduanya. Namun, ki
Perkataan sang pelayan bukannya membuat Adhisti merasa tenang dan melupakan tentang ruangan bertuliskan Melody itu tetapi malah kian membuatnya penasaran.Adhisti berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, tak mungkin bagi seorang Adhisti meninggalkan begitu saja apa yang menurutnya janggal seperti kamar itu.“Gue mesti balik ke sama lagi. Kalau bisa gue masuk ke dalam!” pekik Adhisti dalam hatinya itu sambil sedikit melirik ke arah sang pelayan yang juga terus berjalan.“Lebih baik anda menunggu di kamar anda atau di bawah saja, Nona! Apa anda ingin saya membawakan roti atau camilan lain?” tanya sang pelayan itu saat mereka telah tiba di pintu kamar Adhisti.“Ehm, di sini saja. Jika kalian mempunyai sesuatu yang boleh diberikan padaku tak apa, aku akan menerimanya dengan baik!” sahut Adhisti sedikit menyindir sang pelayan itu.“Baik, Nona! Bibi Taresia akan membawakan hidangan camilan hari ini kepada anda beberapa menit lagi!” pekik sang pelayan.“Bibi Taresia? Siapa dia? Kupikir
“Bibi udah dari tadi berdiri di situ? Ke-kenapa nggak masuk saja?” tanya Adhisti sedikit canggung sembari langsung menutup layar laptop dan mematikan teleponnya dengan Guntur sebelum sang bos kembali berucap hal rahasia. “Baru saja kok, Non! Saya hanya ingin mengantarkan makanan ini untuk, Nona! Selamat menikmati, ya!” pekik sang Bibi itu sembari menurunkan sebuah kotak berisi dessert box yang tampak menggugah selera. “Wahh, terima kasih! Ehm, Bi! Tadi pelayan yang satunya bilang kalau yang mengantar bernama Bibi Taresia. Apa itu anda?” tanya Adhisti sedikit ragu. “Benar sekali, Nona! Jika anda memiliki keluhan atau keinginan tentang makanan dan dapur, anda bisa memanggil saya. Itu bagian dan ranah saya!” pekik Taresia sambil sedikit menunduk hirmat. “Ohh, ehm! Bi!” pekik Adhisti lagi kini menatap sang pelayan dapur itu sedikit canggung. “Iya, Nona? Ada yang bisa saya lakukan lagi untuk anda? Katakan saya, Tuan Abbiyya telah menitahkan saya untuk memberi saya semua yang anda butu
“Dari mana dia mengetahuinya?! Apakah ada di antara kalian yang membuka rahasia itu?! Saya sudah bilang untuk merahasiakannya bukan!?”Abbiyya tampak menggebrak meja kerjanya dengan penuh api amarah. [“Saya tak mengatakan apa pun, Tuan! Tiba-tiba saja Nona bertanya apakah Tuan pernah mengajak gadis lain ke sana. Saya tak mungkin berbohong tuan. Karena adanya pertanyaan itu pasti karena dia telah mengetahui sesuatu. Akan sangat berbahaya lagi jika saya berdusta.”] “Tapi kenapa bisa dia tiba-tiba menanyakan hal itu!? Apa yang baru dia lakukan?!” [“Saya tak tahu, Tuan. Tapi saya mendapat info bahwa Nona Adhisti menginginkan makanan dari pelayan keamanan. Mungkin dia yang tahu apa yang terjadi sebelumnya, Tuan!”] Suara Taresia kini semakin pelan dan khawatir jika tuannya itu akan mengamuk. “Baiklah, saya akan menghubungi bagian keamanan! Dan ingat ya, Bi! Itu adalah rahasia yang mesti ditutup rapat! Tak boleh ada yang tahu termasuk Adhisti! Anda tahu bukan jika ini terbongkar apa yang
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”