“Dari mana dia mengetahuinya?! Apakah ada di antara kalian yang membuka rahasia itu?! Saya sudah bilang untuk merahasiakannya bukan!?”Abbiyya tampak menggebrak meja kerjanya dengan penuh api amarah. [“Saya tak mengatakan apa pun, Tuan! Tiba-tiba saja Nona bertanya apakah Tuan pernah mengajak gadis lain ke sana. Saya tak mungkin berbohong tuan. Karena adanya pertanyaan itu pasti karena dia telah mengetahui sesuatu. Akan sangat berbahaya lagi jika saya berdusta.”] “Tapi kenapa bisa dia tiba-tiba menanyakan hal itu!? Apa yang baru dia lakukan?!” [“Saya tak tahu, Tuan. Tapi saya mendapat info bahwa Nona Adhisti menginginkan makanan dari pelayan keamanan. Mungkin dia yang tahu apa yang terjadi sebelumnya, Tuan!”] Suara Taresia kini semakin pelan dan khawatir jika tuannya itu akan mengamuk. “Baiklah, saya akan menghubungi bagian keamanan! Dan ingat ya, Bi! Itu adalah rahasia yang mesti ditutup rapat! Tak boleh ada yang tahu termasuk Adhisti! Anda tahu bukan jika ini terbongkar apa yang
“Duhh, kenapa Abbiyya tiba-tiba ngajak makan begini? Bukannya kemarin gue udah bilang untuk selesaiin masalah gue dan Rafa sendiri? Nah, kenapa sekarang dia jadi mau nyelesaiin gini?” gumam Adhisti sembari menatap pesan yang Adhisti kirimkan itu. “Ya sebenarnya gue selalu mau diajak makan malam, tapi kalau nanti makan malam, gimana gue bisa ngambil panel film pesanan si Guntur? Kalau gue telat bisa-bisa dibatalin lagi!” Adhisti merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Hufft! Mending gue tolak dulu aja deh ajakan si Abbiyya! Kalau makan bareng sama dia ‘kan bisa kapan aja!” imbuhnya. Kini Adhisti meraih ponselnya itu lalu mengetikkan pesan jawaban untuk Abbiyya. [Sorry banget nih, Biy! Tapi kayanya kali ini gue mesti tolak ajakan lo, deh! Gue ada janji sama yang lain!] tulis Adhisti sembari menarik napas dalam sebelum mengirimkannya. “Eh, tapi, kenapa gue nggak ngajak Abbiyya buat ambil panelnya aja, ya? Dia ‘kan tahu rahasia gue, nah kalau sama dia siapa tahu lebih akan ‘kan ya
Tak ingin mengambil risiko dengan salah menjawab siapa sebenarnya dirinya dan apa hubungannya dengan Guntur, akhirnya Adhisti memutuskan untuk mematikan telepon itu seketika. “Mampush! Guntur gimana, sih! Kenapa coba ponselnya sampe dipegang istrinya gitu! Udah tahu gue sering hubungi dia lewat nomor ini, kenapa nggak di simpen aja nomernya!” omel Adhisti sembari meletakkan ponselnya ke meja dengan sedikit hentakan. Sementara itu, di salah satu vila daerah wisata, Guntur tampak baru saja keluar dari toilet dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Pria itu tampak sedikit sumringah dan hendak mengatakan sesuatu pada istrinya yang tentu ada di ruangan tersebut, namun sang istri yang kala itu mengenakan gaun berwarna putih duduk menatapnya tajam di atas ranjang. “Hey, kenapa badmood seperti ini, Cantik? Apa aku terlalu kama menggunakan toilet, hmm? Kau mesti mengantri! Kita sudah setuju jika aku dulu yang menggunakannya bukan?” tutur Guntur sembari berjalan ke arah sang istri. Istri
Adhisti tampak berbaring di ranjangnya dengan membentangkan kedua tangannya ke samping kiri dan kanan. Dirinya merasa kalut dam khawatir jika teleponnya tadi membuat masalah besar dalam kehidupan pernikahan Guntur. Ia hanya bisa menunggu Guntur menghubunginya saja sebelum ia menghubunginya kembali. “Duh, bodoh! Kenapa juga tadi gue paksa telepon si Guntur! Mana si istrinya yang angkat! Aduh, suaranya malah langsung marah! Gue yakin sekarang si Guntur lagi dicincang sama istrinya itu! Astaga, bisa mati gue kalau Guntur sama istrinya kenapa-napa!” Baru saja mulut gadis itu mengatup, tiba-tiba ponselnya berdering. Segera ia meraih benda pipih itu dari atas meja. “Nomor tak dikenal? Nomor siapa lagi ini?! Jangan-jangan tukang tipu atau pinjol—pinjaman online, lagi! Dih males!” pekik Adhisti dan membiarkan telepon itu terus berdering bahkan hingga 4 kali banyaknya. “Kekeh juga ya si pinjol ini! Gak tahu apa kalau gak diangkat berarti gak butuh!” umpatnya sambil memandang ponselnya ber
“Iya, Biy! Makan malam! Ehm, please mau, yah! Nanti gue jelasin, deh! Tapi lo mesti ikut dulu ya! Jam sembilan lo udah balik ‘kan?” tanya Adhisti. Abbiyya tampak tak langsung menjawab ajakan Adhisti itu. Sepertinya pria itu cukup bingung dengan apa yang terjadi. Beberapa menit lalu, sang pembantu memberitahunya jika Adhisti memiliki janji dengan seorang pria beristri dan karenanyalah Adhisti menolak ajakan makan malam Abbiyya. Namun sekarang? Bahkan gadis itu yang mengajak Abbiyya untuk makan malam hanya bersamanya. “Biy? Lo nggak bisa, ya?” tanya Adhisti kini tampak memejamkan matanya sambil mencengkeram erat selimut. [“Bisa, gue balik jam tujuh malam hari ini, dua jam cukup buat siap-siap kok! Atau mau gue minta para pelayan yang masakin makanannya aja?”] tanya Abbiyya membuat Adhisti sedikit bernapas lega. “Bukan! Bukan di rumah lo, Biy! Tapi di sesuatu tempat! Villa puncak! Kita mesti berangkat pukul delapan malam! Please,” bujuk Adhisti lagi kini menggigit bibirnya. [“Dhis,
“Lo hapus atau gue yang hapusin?!” sergah Rada kini menyodorkan dua helai tisu itu pada sang adik sambil sedikit kesal akhirnya Adhisti menarik dua helai tisu itu dari tangan Rafa dan langsung menyapu kasar ke bibirnya. “Apaan sih! Udik banget! Gue udah gede kali! Ngapain juga dilarang-larang! Lagian ini bukan pewarna bibir yang merah kek buah naga kali!” omel Adhisti. “Lo mau pakai? Kalau gitu perginya sama gue!” sergah Rafa. “Mana bisa! Gue udah janji sama Abbiyya! Lagi pula drama ini gak bakal jalan kalau sama lo, Bang!” sergah Adhisti manyun. “Ya udah! Nurut aja! Lagian cuma drama aja ngapain pakai totalitas pakai gituan segala?! Mau narik si Abbiyya biar terpikat beneran sama lo!?” sergah Rafa benar-benar tampak seperti seorang abang yang tengah mengomel adiknya karena pulang makam dengan seorang pria asing. “Bodo!” sergah Adhisti. “Nanti malem balik jam berapa?!” sergah Rafa kini duduk di sofa sambil masih memandang Adiknya yang mengusap bibirnya itu pelan. “Gak tahu! Ber
“Ohh, baguslah jika kau telah memiliki kekasih! Jadi tak perlu mengganggu hubungan orang lain, ya!” sindir Camel langsung mendapat bisikan ketus dari Guntur. “Baiklah, saya tahu anda belum tahu siapa nama saya. Jadi perkenalkan saya Camel, istri sah dan istri satu-satunya Guntur!” tutur Camel langsung membuat Adhisti sedikit bergidik ngeri. “Cih, udik banget! Siapa juga yang mau nyolong Guntur! Lo pikir tipe gue kaya Guntur gitu? Cih muntah duluan gue!” batin Adhisti. “Ehm saya kira cukup sampai di sini saja, ya! Maro kita masuk dan segera makan!” pekik Guntur lalu langsung mempersilakan Adhisti dan Abbiyya berjalan mengikutinya. Sementara Camel serta Guntur berjalan dengan saling merangkul punggung serta pinggang, Adhisti tampak memutar bola matanya malas. “Heh, apa sih rencana lo! Ngapain ngaku kalau gue pacar lo!?” bisik Abbiyya tampak kebingungan. “Aduh, Biy! Sorry banget ya! Tapi emang urgent! Lagian lo nggak ada cewek ‘kan?! Jangan sampe setelah ini gue dilabrak cewek lo!”
Abbiyya tampak sedikit mengerutkan dahi. Nama gang tersebut yang baru saja ia dengar merupakan nama tempat si mana Taresia menceritakan bahwa Adhisti hendak menemui pria beristri itu. “Ngapain ke sana? Ini udah tengah malam lho, Dhis! Abang lo nyariin entar!” tolak Abbiyya sambil sesekali menoleh ke arah Adhisti. “Ya karena udah tengah malam itu, Biy! Waktunya tepat! Kalau lo anter gue balik, gue tetep bakalan ke sana. Jadi lo pilih aja mau gue ke sana sendiri apa lo anter!” pekik Adhisti. “Emang mau ketemu siapa?” tanya Abbiyya. “Ada deh! Ntar juga lo tahu. Kalau gue kasih tahu sekarang ntar lo puter balik lagi!” kekeh Adhisti. Abbiyya sedikit mendengus. Tapi sebuah senyumkan sedikit muncul di balik wajah tampannya. “Ngapain gue khawatir Adhisti nyembunyiin sesuatu dari gue? Tanpa gue tanya pun dia kasih tau soal pertemuan dia itu ‘kan? Haishh, keburu emosi gue,” batin Abbiyya tatkala mengingat emosinya siang tadi saat Taresia meneleponnya. Mobil Abbiyya kini berhenti di gang
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”