Abbiyya berjalan dengan tergesa di koridor kantornya bersama dengan Ganendra sambil membaca kembali laporan pemeriksaan mereka hari ini. “Gue mau semua penyelidikan ini nggak ada yang tahu! Sementara ini semua orang kecuali tim nggak boleh ada yang tahu!” sergah Abbiyya amat keras. Ganendra sedikit mengerutkan dahinya laku memindahkan pandangan matanya dari kertas di dalam map itu ke arah Abbiyya. “Gimana sama Adhisti dan Rafa? Bukannya sejak awal mereka tahu lo mencurigai Rio? Kenapa sekarang lo ingin ini dirahasiain??” tanya Ganendra amat bingung. “Rafa sedari awak memang nggak tahu kalau gue dan Adhisti melakukan penyelidikan ini apalagi sampai menjadikan Rio tersangka. Dan Adhisti, biarkan dia tak tahu dulu. Jangan berikan updste apapun padanya. Cukup tim kepolisian yang mengetahui ini semua sekarang!” pekik Abbiyya seolah tak ingin dibantah. Ganendra hanya bisa menahan napasnya laku menghembuskannya sedikit berat. “Baiklah, apapun perintah lo aja, Abbiyya!” sahut Ganendra.
Seorang pria berusia 25 tahunan masuk menyusul Abbiyya ke ruangannya usai beberapa saat lalu Abbiyya duduk di meja kerjanya. Pria itu hanya mengenakan kaos putih dan celana cekak selutut berwarna cokelat susu. “Selamat sore, Pak!” pekik pria itu lalu langsung duduk di hadapan Abbiyya saat polisi itu mempersilakannya duduk. “Selamat sore juga, sebelumnya bapak siapa?” tanya Abbiyya sebari memajukan tubuhnya dan menautkan kedua tangannya di atas meja. “Saya Jono, pegawai Pak Rio di kios, Pak!” terang pria itu sambil sedikit menunduk. “Baik, jadi ada yang bisa saya bantu untuk anda, Pak Jono?” tanya Abbiyya sambil sedikit mengerutkan dahinya. Jono tampak sedikit risau lalu memajukan posisi duduknya usai melirik ke sisi kanan dan kiri, juga ke arah pintu yang ada di belakangnya. “Anda akan baik-baik saja, Pak Jono! Jika anda akan melaporkan sesuatu, kami akan menjaga kerahasiaan info yang anda berikan kepada kami,” tutur Abbiyya menangkap gelagat cemas dari Jono. Pria itu pun tak
Tak tunggu lama lagi, akhirnya Abbiyya memerintahkan beberapa anggota timnya yang dipimpin oleh Ganendra untuk turut mendatangi kios milik Rio itu slusai surst oenggelesahan ia buatkan. Abbiyya yang merasa Jono terus di kelilingi rasa takut akhirnya memberikan satu pelayanan untuknya dengan memberikan pelayanan keamanan yang akan berjalan selama satu minggu ke depan. “Apa praduga yang lo punya, Abbiyya? Kalau lo tahu lo bisa bilang, lo tahu ‘kan kalau gue nggak suka jump scare di TKP?” tutur Ganendra saat keduanya berjalan ke arah luar kantor. “Miley, wanita yang dipesan Rio dari muncikari ditemukan tewas di ruangan privat Rio yang ada di kios belakang. Itu praduga gue. Tapi ini gak boleh lo sebar dulu, sekali lo sebar, bakalan rame!” pekik Abbiyya. “Aman!! Okey, gue sama tim berangkat. Ntar gue kabarin lo soal update di lokasi!” pekik Ganendra. Lalu semua anggota tim yang ditugaskan Abbiyya pun segera berangkat ke lokasi TKP. Tak tunggu lama, akhirnya kios Rio itu dipenuhi tim
Keesokan paginya di sebuah ruangan rapat, telah berkumpul Abbiyya, Ganendra, berikut semua timnya. Semalam usai penggeledahan dan pemeriksaan tahap awal itu, mereka akhirnya telah mendapatkan hasil dari bagian forensik yang akan menjawab semua pertanyaan mereka selama ini. “Baiklah, seperti yang kita diskusikan kemarin, hari ini akan ada beberapa bahasan yang merupakan kasus yang menyeret nama satu tersangka kita. Yaitu Rio.” Abbiyya memulai rapatnya sambil merapikan beberapa map berkas di hadapannya itu. “Yang pertama, mengenai kasus Mawar. Kita telah mendapatkan hasil DNA Rio apakah ekuivalen dengan DNA yang ada pada selimut yang diduga adalah bekas tindak pelecehan Mawar dengan seorang pria. Juga hasil laporan pemeriksaan luminol, dan beberapa bukti di lapangan!” Abbiyya menggeser map laporan forensik menuju map berikutnya. “Yang kedua, mengenai kasus pelecehan saudara Chaaya Adhisti atas Rio dengan bukti rekaman cctb dala laptop pelaku yang telah diperiksa oleh saudara Mery.”
“Bang, kalau unit Rio lagi digeledah, dan unit kita belum bisa ditempati besok kita mau balok ke mana?” tanya Adhisti saat Rafa tengah sibuk mengumpulkan pakaiannya. Baru saja kemarin Adhisti akhirnya memutuskan untuk memaafkan Rada atas ingkar janjinya itu. Keduanya telah kembali berbaikan dan kembali mengobrol bersamaan. “Gue kemarin tanya-tanya soal kost sehari. Gue nemu yang harganya cukup sama budget kita. Tapi itu kost kaya campur gitu. Ya nggak papa lah ya, cuma sehari juga,” tutur Rafa. “Campur maksudnya bukan kost keluarga tapi ada cewek ada cowok?” ulang Adhisti. “Iya gitu, tapi ‘kan kita cuma sehari jadi aman lah ya! Nanti setelahnya kita tanya ke Abbiyya apa unit kita belum juga visa ditempati, lagi pula gue juga penasaran soal Rio gimana sama kasusnya itu,” ujar Rafa. “Ke kantor polisi yuk, Bang! Gue juga mau ngomong beberapa hal sama Rio.” Perkataan Adhisti itu sontak membuat Rafa berhenti melipat pakaian dan langsung menoleh ke arah Adhisti. Rafa langsung memutar
“Ehm! Selamat sore!” pekik suara Abbiyya dari ambang pintu ruang rawat inap Adhisti langsung membuat Rafa dan Adhisti membuka matanya dan melepaskan kecupan itu. Rafa langsung menyeka wajah Adhisti selepasnya menjauh dan langsung berbalik memandang ke arah datangnya Abbiyya. “Eh, Pak Abbiyya!” pekik Rafa langsung tampak hendak mempersilakan Abbiyya masuk. “Maaf, apa saya mengganggu kalian? Jika kalian belum selesai, saya bisa menunggu di luar,” tutur Abbiyya sedikit merasa canggung. “Oh, tidak! Kau sama sekali tidak mengganggu, Pak Abbiyya!” pekik Rafa berjalan ke arah pintu lalau segera mengajak Abbiyya masuk. Abbiyya berjalan bersama Rafa menuju brankar Adhisti yang tampak berusaha untuk duduk. “Bagaimana keadaan Nona Adhisti? Apa kata dokter tentang keadaannya?” tanya Abbiyya. “Besok dokter telah mengizinkan Chaaya untuk pulang, apak Abbiyya! Dan karena itukah sebenarnya kami hendak menghubungi anda tadi,” papar Rafa sembari mempersilakan Abbiyya duduk. “Benarkah? Ada apa?”
“Tentu! Silakan! Saya tak akan keberatan.” Abbiyya dengan yakin menjawab penuturan Rafa. Dan sejak saat itu, telah diputuskan bahwa mereka bertiga akan mulai tinggal bersama di rumah Abbiyya. “Terima kasih banyak, Pak Rafa! Kau sangat membantu kami!” pekik Rafa dibalas senyuman dan sedikit anggukan oleh Abbiyya. “Ahh, saya sampai lupa menawarkan minuman. Ehm, anda tunggulah di sini duku, saya akan membeli sedikit makanan dan minuman dari kantin!” pekik Rafa kaku hendak bangkit dari kursinya. “Tak perlu, Pak Rafa! Saya sudah makan di kantor tadi!” pekik Abbiyya segera menokak. “Jangan begitu, saya hanya bisa membalas kebaikan anda seperti ini,” tutur Rafa. Lalu akhirnya segaralah pria itu pergi dari ruangan inap Adhisti dan meninggalkan adiknya berdua dengan polisi bernama Abbiyya itu. “Thanks ya, Biy! Lo udah banyak bantu gue dan Bang Rafa. Mulai dari jaminkan lencana li buat bebasin gue, selametin gue dari Rio si bajingan usut masalah ini sampai Rio dipenjara, sampai sekarang ka
“Nggak baik? Kenapa nggak baik? Dia ‘kan bukan orang lain kaya gue dan lo? Kalau lo cium gue, baru deh jadi masalah kaya Rio!” sahut Adhsiti sambil mengerutkan dahinya. “Ya, emang bener. Tapi balik lagi, lo nggak pernah tahu apa yang ada di pikiran orang, Dhis! Gue tahu banyak kasus semacam ini. Makanya gue kasih lo sign. Lo emang saudara sama Rafa, gue tahu. Tapi kalian udah sama-sama puber dan dewasa. Jaraknya harus dijaga. Terlebih yang satu tadi. Fine kalau mungkin di pipi atau kening, tapi yang tadi krusial banget, Dhis!” Abbiyya mulai memberikan semua petuahnya, sementara itu Adhisti tampak mangut-mangut dan mulai memikirkannya. “Dan ya, satu hal lagi! Penilaian orang beda-beda, ya gue tahu inu ruangan lo. Tapi aktivitas lo tadi bisa dilihat sama orang lain, Dhis. Mereka bisa mikir apa pun tentang kalian. Merek nggak bakal tahu dan nggak bakal mau tahu soal hubungan kalian. Mereka cuma menilai apa yang mereka lihat. Hanya itu.” Adhisti lanjut tersenyum manis saat Abbiyya menje
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”