“Nggak baik? Kenapa nggak baik? Dia ‘kan bukan orang lain kaya gue dan lo? Kalau lo cium gue, baru deh jadi masalah kaya Rio!” sahut Adhsiti sambil mengerutkan dahinya. “Ya, emang bener. Tapi balik lagi, lo nggak pernah tahu apa yang ada di pikiran orang, Dhis! Gue tahu banyak kasus semacam ini. Makanya gue kasih lo sign. Lo emang saudara sama Rafa, gue tahu. Tapi kalian udah sama-sama puber dan dewasa. Jaraknya harus dijaga. Terlebih yang satu tadi. Fine kalau mungkin di pipi atau kening, tapi yang tadi krusial banget, Dhis!” Abbiyya mulai memberikan semua petuahnya, sementara itu Adhisti tampak mangut-mangut dan mulai memikirkannya. “Dan ya, satu hal lagi! Penilaian orang beda-beda, ya gue tahu inu ruangan lo. Tapi aktivitas lo tadi bisa dilihat sama orang lain, Dhis. Mereka bisa mikir apa pun tentang kalian. Merek nggak bakal tahu dan nggak bakal mau tahu soal hubungan kalian. Mereka cuma menilai apa yang mereka lihat. Hanya itu.” Adhisti lanjut tersenyum manis saat Abbiyya menje
“Ehkm, kakaknya!” pekik Abbiyya berdusta. “Baiklah! Silakan isi formulir ini dulu ya, Pak! Kami akan proses tagihannya!” tutur sang petugas. Abbiyya meraih kertas itu lalu melihat deretan identitas di sana. Tak begitu rumit rupanya, Abbiyya sedikit mengangguk lalu meraih bolpoin di sakunya. Nama, alamat, nomor telepon, dan status hubungan dengan korban semua adalah kebohongan. Dengan jelas Abbiyya menuliskan semua identitas Rafa di sana. Dan berakhir dengan tanda tangan yang ia samakan dengan milik Rafa dari poto KTP yang ia punya. Baru saja Abbiyya mengirimkan sejumlah nominal dari bank digitalnya, seseorang menepuk pundak Abbiyya dan membuat pria itu cukup tersentak. “Anda di sini, Pak Abbiyya?” tanya Rafa sambil mengerutkan dahinya. Kakak Adhisti itu sedikit melirik ke meja resepsionis sebentar dan mendapatkan berkas dengan namanya di sana. “Apa ini? Anda membayar biaya rumah sakit Adhisti dengan nama saya?!”sergah Rafa tampak kelewat terkejut. “Maaf jika saya lancang mengena
Keesokan paginya mereka bertiga kembali bertemu di meja makan dengan menu makanan lengkap yang telah disajikan oleh pekerja rumah itu. “Gue pikir orang kaya Cuma sarapan roti! Ternyata nggak juga, ya!” kekeh Adhisti sambil mengamati menu makanan yang bervariasi di meja makan itu. “Heh, Chaay! Omongan lo!” sergah Rafa. “Lah, iya tauk! Lo nggak pernah lihat film?! Di sana banyak ditunjukin kalau orang kaya sarapan cuma pakai roti tauk!” sergah Adhisti langsung membuat Abbiyya tersenyum. “Kalau mau roti ada kok!” pekik Abbiyya. “Eh, enggak! Bukan gitu! Gue cuma bandingin sama film aja! Tapi ya dengan jelas gue lebih suka nasi lah! Makan roti doang aoa kenyang!” kekeh Adhisti. “Oh iya, Bang! Lo tetap mau ke warnet? Atau libur?” tanya Adhisti. “Iya, habis sarapan gue bakalan ke sana. Lo jadi nemuin Rio? Gue bisa anter lo dan nemenin lo sebentar. Gue bisa izin ke pemilik warnet kok!” pekik Rafa. “Tunggu, ketemu Rio? Siapa yang mau ketemu Rio?” sela Abbiyya langsung berusaha menelan
“Anjing!! Seenaknya lo ngomong kaya gitu soal abang gue!! Abang gue itu beda sama lo yang kaya anjing ya, Ri!!” sergah Adhisti kini menggebrak meja di depannya. Rio terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya tampak memandang remeh Adhisti. “Abang lo? Lo yakin Rafa abang lo? Adhisti, Adhisti bodoh banget sih lo! Udah deh gini aja. Terserah lo mau percaya atau nggak sama gue, tapi ya lo tunggu aja tanggal mainnya. Hidup lo itu, nggak lebih dari pancingan para lelaki hidung belang! Entah gue atau Rafa,” lirih Rio sambil memunculkan seringai di wajahnya. Adhisti yang merasa tersulut emosinya segera bangkit dari kursi lalu menarik kerah pakaian Rio dan menatap matanya tajam. “Berhenti jelek-jelekin abang gue atau gue hajar lo sekarang juga, Ri!” sergah Adhisti. “Hajar aja! Itu bakalan bikin lo kena pasal, lo masuk penjara, dan kita berdua dalam sel. Nikmat bukan? Lo nggak bakal bisa lari dari gue.” Bugh! Satu pukulan kini tepat mendarat di perut Rio hingga memb
“Thanks ya, Gan!” pekik Adhisti setelah turun dari mobil Ganendra yang mengantarnya sampai ke depan pintu gerbang rumah Abbiyya. Abbiyya sengaja meminta Ganendra untuk mengantar Adhisti bersamaan dengan keperluan Ganendra yang melewati rumahnya. “Okey! Gue cabut ya!” pekik Ganendra sembari sedikit mengangguk memandang Adhisti dari dalam mobil melalui jendela itu. Adhisti mengangguk lalu mobil itu melaju pergi. Di sebuah meja yang ada di kamar yang kini menjadi tempat Adhisti tinggal, gadis itu membuka laptopnya dan mulai berurusan dengan film-film yang ada di situs internet. Hari ini ia memutuskan untuk mengunduh banyak film agar tak mendapat teror dari Guntur. Semua film yang saat itu sedang trending, mulai dari kisah pada siswa akhir semester yang melawan para monster, hingga drama percintaan dua tokoh utama yang mendayu. Adhisti merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Gadis itu tampak menatap layar laptopnya saat sebuah film berputar sembari jaringannya mengunduh film itu.
Usai mengatakan semua titahnya dengan penekanan, Rafa mematikan video call itu secara sepihak. Adhisti sontak langsung menghembuskan napas berat. “Bang Rafa kenapa, sih!? Kenapa coba pake larang gue kunci pintu kamar?! Ya gue tahu Rio nggak ada di sini, tapi ini ‘kan kamar gue! Terserah dong gue mau buka atau kunci pintunya! Kenapa dia larang!?” omel Adhisti sambil mengentakkan kakinya ke lantai sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu langsung membuat Adhisti sedikit terkejut dan bangkit dari posisi tengkurapnya. Seorang pelayan wanita datang dengan baki berisi satu set makanan penuh. “Maaf mengganggu, Nona! Tapi Tuan Abbiyya meminta saya untuk mengantarkan makan siang Nona ke kamar!” pekik sang pelayan itu. “Ohh, ehm! Terima kasih!” pekik Adhisti langsung menghampiri pelayan itu dan menerima bakinya. “Apakah Tuan Rafandra juga ada di kamarnya? Tuan Abbiyya juga meminta saya untuk mengantarkan makanan untuknya,” tutur sang pelayan itu
“Eh, Abbiyya! Lo belum tidur jam juga segini?” tanya Rafa sambil mulai menata kembali raut mukanya yang sebelumnya kesal tadi. Abbiyya sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya lalu melirik ke gagang pintu yang beberapa menit lalu serasa hendak dipatahkan oleh Rafa. “Gue kebangun, mau ke dapur ambil minum. Lo baru balik, Raf?” Abbiyya mulai memandang Rafa dengan tatapan datar yang sebenarnya cukup mengintimidasi. “Ohh, gitu! Ehm, iya gue baru balik! Ini, gue cuma mau kasih titipannya Chaaya! Udah gue bilang jangan dikunci biar gue bisa langsung taruh titipan dia di kamarnya! Eh, tetap aja dikunci! Ya udah, gue ke kamar dulu ya! Capek banget!” papar Rafa dengan kecepatan yang lumayan tinggi sambil beberapa kali mulutnya itu terserempet. “Okey! Selamat malam, Rafa!” pekik Abbiyya lalu memandang Rafa yang semakin jauh meninggalkan depan kamar Adhisti lalu menghilang masuk ke dalam kamarnya. Abbiyya sebentar melirik ke pintu kamar Adhisti lalu sedikit menyeringai sebelum akhirnya b
Rafa semakin mendekati Adhisti dan membuat gadis itu tak bisa berkutik selain memejamkan matanya dan semakin menutup tubuhnya erat sebisa tangannya itu. Rafa kini menjatuhkan kedua cengkeramannya pada lengan tangan Adhisti yang tak berlapis kain itu. “Masuk ke dalam! Gue ambilin baju lo!” sergah Rafa lalu membalik tubuh Adhisti dan sedikit mendorong Adhisti agar kembali masuk ke toilet. Adhisti segera menghambur masuk ke toilet lalu menutup pintunya. Napasnya terlihat amat terengah, jantungnya berdebar amat kencang. Bahkan saat ia baru selesai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, kini ia malah bermandikan peluh keringat. Tak lama setelahnya, tanpa permisi pula, Rafa membuka pintu itu dan memasukkan tangannya yang memberikan satu set pakaian lengkap untuk Adhisti. “Kalau gerah mandi lagi aja sana! Gue tunggu lo di ranjang!” pekik Rafa. Adhisti yang segera mengambil pakaian itu dengan segera pula menutup pintu. Ia masih terdiam dan mengusap wajahnya tak karuan “Rafa gila atau gi
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”