Home / Thriller / Mayat di Balik Plafon / 28. Kembali ke Unit 804

Share

28. Kembali ke Unit 804

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Iya, di lokasi kami nggak menemukan reaksi luminol yang mestinya ditunjukkan cairan itu ketika ada bekas darah di lokasi. Lokasi bersih!” pekik Ganendra.

“Hah?! Gimana bisa? Terus kejadian pembunuhan Mawar di mana kalau bukan di unit dia sendiri?!” sergah Adhisti.

“Duduk dulu! Ganendra, anda duduk!” titah Abbiyya pada Adhisti dan Ganendra sambil mempersilakan dengan tangan kanannya.

“Lo bener-bener udah cek semua sudut ‘kan, Gan? Mungkin nggak kalau ada yang terlewat atau pemeriksaan kalian kurang tepat?” tanya Abbiyya sambil menoleh ke arah Ganendra.

“Semua sudah dilakukan sesuai prosedur, Pak Abbiyya! Dan kami tak menemukan tanda-tanda apapun yang menunjukkan lokasi itu sebagai tempat pembunuhan, Pak! Dan itu artinya, korban dihabisi di lokasi lain, Pak! Karena tak mungkin jika mengingat keadaan korban yang terpotong-potong lokasi tak meninggalkan jejak luminol sedikit pun!” terang Ganendra.

“Baiklah, terima kasih atas laporan dan pemeriksaan yang telah kalian lakukan. Anda bi
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mayat di Balik Plafon   29. Pesan Terakhir

    “Ya siapa tahu mereka belum punya uang buat panggil penghulu jadi nyicil lainnya dulu? ‘Kan sekarang banyak orang ngawur, Biy!” celetuk Adhisti “Ngaco lo! Nyicil kok nyicil anak! Gini aja, deh! Kita cari sesuatu yang bisa bawa kita ke pacar dia. Habis itu biar gue bikin surat panggilan buat bawa dia ke kantor polisi!” pekik Abbiyya. “Ahh!” celetuk Adhisti tiba-tiba nyaris menubruk bahu Abbiyya. “Coba lo cek tengah atau belakang buku itu! Pasti si Mawar ada nulis password media sosial dia! Ntar tinggal gue login di ponsel gue!” pekik Adhisti. Lalu Abbiyya pun segera melaksanakan apa yang Adhisti tuturkan. Dan saat membuka halaman terakhir, benar saja ada sederet nama-nama akun beserta semua passwordnya. “Pinter juga lo, Dhis! Buruan login, deh!” pekik Abbiyya. Adhisti segera mengambil alih buku tersebut dan sedikit menyingkir dari sisi sofa agar Abbiyya bisa leluasa memeriksa sofa lagi tatkala ia masih sibuk masuk ke akun media sosial milik Mawar. Beberapa menit setelahnya, tampa

  • Mayat di Balik Plafon   30. Izin Memilikinya

    Adhisti melangkahkan lagi kakinya ke dalam unit apartemen Rio saat kedua pria itu sedang duduk bersama di ruang tamu mereka sambil meneguk kopi mereka. “Bang Rafa nggak jaga warnet?” tanya Adhisti sambil sedikit menunjuk ke arah Rafa yang bari saja menyeruput kopi dari cangkir beningnya. “Gue shift malam hari ini, Chaay! Gimana sama temen lo? Emang dia kenapa, sih?” sahut Rafa lalu menepuk bahu sofa sebagai kode agar sang adik duduk di sana. Adhisti berjalan menuju sofa tersebut sambil menarik napas panjang. Sebuah drama akan segera ia karang setelah ini. Itu sudah pasti. “Dia kecelakaan di jalan, Bang! Waktu bilang ke gue katanya keserempet motor, pas gue sampe lokasi ternyata udah di bawa ke rumah sakit! Ya udah gue susulin ke rumah sakit ‘kan, gue pikir ada yang bocor atau apa gitu, eh ternyata cuma lecet aja. Habis lukanya dibersihin ya gue anter balik, deh!” pekik Adhisti. “Ohh, siapa sih emangnya?” tanya Rio. “Gue jelasin juga Bang Rio nggak bakal paham. Udahlah gitu aja,

  • Mayat di Balik Plafon   31. Tengah Malam

    Malam hari datang, Adhisti yang kala itu sedang duduk di meja kerja kamarnya dan menghadap laptop juga segelas kopi manis, tiba-tiba mendapat ketukan dari pintu kamarnya. “Siapa?!” teriak Adhisti sambil mendongakkan kepalanya ke arah pintu kamar yang memang sengaja ia kunci itu. “Gue! Buka buruan! Gue mau ambil barang di dalam!” pekik suara Rafa langsung membuat Adhisti ber-ohh panjang. Gadis itu segera bangkit dari kursinya lalu berjalan ke arah pintu. Tak ada satu menit, pintu itu akhirnya terbuka juga. “Udah rapi aja, mau berangkat ke warnet sekarang?” Adhisti bersandar pada pintu tatkala Rafa melangkah masuk dan membuka lemari pakaian milik Adhisti. “Iyalah, ini aja udah telat lima menit gegara gue ketiduran! Tuh si Jono udah ngomel-ngomel di chat!” gerutu Rafa sambil terus mengacak-acak isi lemari Adhisti yang sesungguhnya tak sepenuh itu. “Cari apa sih lo! Jangan diberantakin gitu, dong!” protes Adhisti sembari berjalan ke arah Rafa yang masih tampak terburu itu. “Jaket!

  • Mayat di Balik Plafon   32. Binatang Malam

    Usai bergelut dengan semua pilihan satu dan dua, berikut semua risiko dan keuntungannya, Adhisti akhirnya memutuskan untuk melanggar janjinya pada Rafa. Ia bangkit dari kursi dan meraih sebuah hoodie yang ia sampirkan di tepi ranjang. Tak hanya mengenakan hoodie yang tertutup dengan kaos di dalamnya, Adhisti juga mengenakan celana jeans panjang guna menutupi kaki jenjangnya itu. Saat ia tengah bercermin, tiba-tiba sebuah ide melintas di otaknya. Tangan gadis itu langsung meraih botol semprotan parfum juga sebuah cutter lipat yang ia simpan di laci meja kerjanya. “Kalau aja Rio atau para lelaki hidung belang di luaran sana ngelakuin hal yang macam-macam, liat aja! Gue bakal bikin mata mereka buta pakai parfum ini! Sekalian aja biar gak bisa liat cewek jadi gak kegoda mulu!” bisiknya. Adhisti menutupkan bagian kepala hoodie itu ke kepalanya lalu berjalan ke arah pintu. Dengan berhati-hati, ia melekatkan telinganya ke daun pintu berharap mendengar sesuatu dari luar sana. “Rio udah t

  • Mayat di Balik Plafon   33. Menjadi Tawanannya

    Bruak!! Baru saja pesan yang Adhisti ketikkan pada Abbiyya berhasil terkirim, tiba-tiba Adhisti tersandung sebuah batu hingga membuatnya tersungkur ke tanah. “Sialan!” umpat Adhisti begitu dagunya menyosor dan melekat dengan tanah di tengah malam itu. Rio yang melihat Adhisti terjatuh dan kini sedikit mengaduh malah tersenyum miring. Kepalanya sedikit miring ke kanan sambil menyiulkan nada mengejek atas jatuhnya Adhisti. Adhisti menoleh ke belakang dan menyadari jaraknya dengan Rio yang semakin dekat. Dengan masih terus mengaduh dan meringis, Adhisti bersusah payah untuk bangkit. “Arghh!” pekik Adhisti saat kakinya yang terkilir kini terasa menegang saat ia memaksa untuk berdiri. Awalnya tubuhnya yang telah hendak berdiri kembali runtuh dan memegangi tungkainya. “Kenapa sih, Dhis? Gue cuma mau nganter lo doang! Lo nggak perlu takut kaya gini, dong!” pekik Rio sambil terkekeh dari posisinya. “Gue nggak mau dianter! Lo balik aja! Gak usah urusin gue!” teriak Adhisti lalu mulai se

  • Mayat di Balik Plafon   34. Medic

    Seketika Abbiyya menghentikan mobilnya dan langsung menoleh ke arah Adhisti dengan raut muka yang terkejut. “Maksud lo?! Tadi lo dikejar Rio? Gimana bisa?” sergah Abbiyya langsung mengubah posisi duduknya menghadap Adhisti. “Kita ke kantor polisi dan visum sekarang okey?! Nggak perlu tunggu kasus mayat itu lagi, kita bisa bawa Rio ke kantor polisi untuk kasus lo ini dulu, setelahnya kita pikir nanti!” pekik Abbiyya. Bukannya setuju atas saran Abbiyya, Adhisti malah tampak segera menoleh pada Abbiyya dan menggeleng kuat. “Jangan! Nanti Bang Rafa bisa tahu!” Adhisti terus menggeleng dan menatap Abbiyya dengan mata berkacanya. “Ya biarin dia tahu, Dhis! Biar dia tahu kalau temennya itu nggak baik buat adiknya!” pekik Abbiyya. “Nggak bisa! Bang Rafa bakal salahin gue, Biy! Dia udah larang gue keluar malam ini supaya Rio nggak macem-macem sama gue! Tapi gue langgar. Bang Rafa nggak bakalan suka itu, Biy!” terang adhsiti. “Ya tapi lihat dong keadaannya sekarang! Kakak mana yang bakal

  • Mayat di Balik Plafon   35. Menjadi Kuat Sendiri

    “Maksud lo apa?” celetuk Adhisti sembari mengerutkan dahinya. Abbiyya tampak menghela napas lalu menurunkan tangannya dari hadapan dagu Adhisti. “Gue bukan orang awam yang bisa nilai perilaku seseorang, Dhis! Sejak gue ketemu lo di apartemen lo dengan semua penolakan dan makian lo itu, gue tahu tepat lo orang seperti apa,” tutur Abbiyya. “Mana mungkin bisa gitu! Mustahil!” tolak Adhisti mengelak sekenanya. “Gue tahu lo orang yang kelewat mandiri alias lo bisa lakuin apa pun sendiri, pembuat onar sejati yang nggak perlu diragukan, nggak punga takut meskipun lo lagi ngomong sama aparat yang bakal nggak lo kenal. Dan sejak gue tahu lo kuat karena Rafa nggak jenguk lo ke sel penjara waktu lo ditahan, gue tahu lo bisa tahan semuanya dengan baik.” “Tapi liat sekarang? Sekarang lo seolah rapuh, Dhis! Lo gampang jatuh! Lo mudah down! Lo beda! Gue nggak liat Adhisti yang pemberani yang gue liat pertama kali. Ya, gue tahu emang nggak selamanya baik menahan perasaan sedih sendirian. Tapi ngg

  • Mayat di Balik Plafon   36. Memancing Gelagatnya

    “Lo mau ke mana Dhis tengah malam begini? Atau Rio datang ke kamar lo jadi lo kabur?” tanya Abbiyya memandangi Adhisti yang saat itu masih menautkan senyuman di wajahnya. “Tadi niatnya gue mau ngelembur di kamar, tapi tiba-tiba Guntur telepon dan kabarin kalau dia udah kirim gaji gue, dan sesuai perjanjian, gue mesti buru ambil uangnya biar rekening gue nggak kedetect banyak uang,” papar Adhisti sambil sedikit meringis. “Percuma tahu, Dhis! Mau diambil cepet atau lambat, historinya selalu ada! Kalau polisi lagi gencar sidak ya lo tetep bakalan kena,” sela Abbiyya. Adhisti sejenak memutar bola matanya dan memandang ke atas. Dahinya sedikit berkerut seolah sedang benar-benar memikirkan apa yang Abbiyya katakan. “Eh, iya juga ya! Duh, si Guntur bego banget, sih bikin aturan!” pekik Adhisti. “Terus sekarang gimana? Lo nggak bisa terus sama gue, abang lo bakalan nyari lo juga ‘kan?” tanya Abbiyya. “Lo mau anter gue ambil uangnya nggak? Sekalian aja gitu, hehe! Setelah itu, yaa, gue m

Latest chapter

  • Mayat di Balik Plafon   142. Akhir Segala Penderitaan

    “Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit

  • Mayat di Balik Plafon   141. Miliknya Seutuhnya?

    “Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam

  • Mayat di Balik Plafon   140. Sang Pelaku

    Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga

  • Mayat di Balik Plafon   139. Membongkar Diri Sendiri

    “Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam

  • Mayat di Balik Plafon   138. Setelah Semalam

    Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi

  • Mayat di Balik Plafon   137. Bukan Malam Biasa

    “Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or

  • Mayat di Balik Plafon   136. Kecurigaan Baru

    “Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte

  • Mayat di Balik Plafon   135. Kasus Menggantung

    “Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je

  • Mayat di Balik Plafon   134. Pernikahan Impianmu

    Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”

DMCA.com Protection Status