Bruak!! Baru saja pesan yang Adhisti ketikkan pada Abbiyya berhasil terkirim, tiba-tiba Adhisti tersandung sebuah batu hingga membuatnya tersungkur ke tanah. “Sialan!” umpat Adhisti begitu dagunya menyosor dan melekat dengan tanah di tengah malam itu. Rio yang melihat Adhisti terjatuh dan kini sedikit mengaduh malah tersenyum miring. Kepalanya sedikit miring ke kanan sambil menyiulkan nada mengejek atas jatuhnya Adhisti. Adhisti menoleh ke belakang dan menyadari jaraknya dengan Rio yang semakin dekat. Dengan masih terus mengaduh dan meringis, Adhisti bersusah payah untuk bangkit. “Arghh!” pekik Adhisti saat kakinya yang terkilir kini terasa menegang saat ia memaksa untuk berdiri. Awalnya tubuhnya yang telah hendak berdiri kembali runtuh dan memegangi tungkainya. “Kenapa sih, Dhis? Gue cuma mau nganter lo doang! Lo nggak perlu takut kaya gini, dong!” pekik Rio sambil terkekeh dari posisinya. “Gue nggak mau dianter! Lo balik aja! Gak usah urusin gue!” teriak Adhisti lalu mulai se
Seketika Abbiyya menghentikan mobilnya dan langsung menoleh ke arah Adhisti dengan raut muka yang terkejut. “Maksud lo?! Tadi lo dikejar Rio? Gimana bisa?” sergah Abbiyya langsung mengubah posisi duduknya menghadap Adhisti. “Kita ke kantor polisi dan visum sekarang okey?! Nggak perlu tunggu kasus mayat itu lagi, kita bisa bawa Rio ke kantor polisi untuk kasus lo ini dulu, setelahnya kita pikir nanti!” pekik Abbiyya. Bukannya setuju atas saran Abbiyya, Adhisti malah tampak segera menoleh pada Abbiyya dan menggeleng kuat. “Jangan! Nanti Bang Rafa bisa tahu!” Adhisti terus menggeleng dan menatap Abbiyya dengan mata berkacanya. “Ya biarin dia tahu, Dhis! Biar dia tahu kalau temennya itu nggak baik buat adiknya!” pekik Abbiyya. “Nggak bisa! Bang Rafa bakal salahin gue, Biy! Dia udah larang gue keluar malam ini supaya Rio nggak macem-macem sama gue! Tapi gue langgar. Bang Rafa nggak bakalan suka itu, Biy!” terang adhsiti. “Ya tapi lihat dong keadaannya sekarang! Kakak mana yang bakal
“Maksud lo apa?” celetuk Adhisti sembari mengerutkan dahinya. Abbiyya tampak menghela napas lalu menurunkan tangannya dari hadapan dagu Adhisti. “Gue bukan orang awam yang bisa nilai perilaku seseorang, Dhis! Sejak gue ketemu lo di apartemen lo dengan semua penolakan dan makian lo itu, gue tahu tepat lo orang seperti apa,” tutur Abbiyya. “Mana mungkin bisa gitu! Mustahil!” tolak Adhisti mengelak sekenanya. “Gue tahu lo orang yang kelewat mandiri alias lo bisa lakuin apa pun sendiri, pembuat onar sejati yang nggak perlu diragukan, nggak punga takut meskipun lo lagi ngomong sama aparat yang bakal nggak lo kenal. Dan sejak gue tahu lo kuat karena Rafa nggak jenguk lo ke sel penjara waktu lo ditahan, gue tahu lo bisa tahan semuanya dengan baik.” “Tapi liat sekarang? Sekarang lo seolah rapuh, Dhis! Lo gampang jatuh! Lo mudah down! Lo beda! Gue nggak liat Adhisti yang pemberani yang gue liat pertama kali. Ya, gue tahu emang nggak selamanya baik menahan perasaan sedih sendirian. Tapi ngg
“Lo mau ke mana Dhis tengah malam begini? Atau Rio datang ke kamar lo jadi lo kabur?” tanya Abbiyya memandangi Adhisti yang saat itu masih menautkan senyuman di wajahnya. “Tadi niatnya gue mau ngelembur di kamar, tapi tiba-tiba Guntur telepon dan kabarin kalau dia udah kirim gaji gue, dan sesuai perjanjian, gue mesti buru ambil uangnya biar rekening gue nggak kedetect banyak uang,” papar Adhisti sambil sedikit meringis. “Percuma tahu, Dhis! Mau diambil cepet atau lambat, historinya selalu ada! Kalau polisi lagi gencar sidak ya lo tetep bakalan kena,” sela Abbiyya. Adhisti sejenak memutar bola matanya dan memandang ke atas. Dahinya sedikit berkerut seolah sedang benar-benar memikirkan apa yang Abbiyya katakan. “Eh, iya juga ya! Duh, si Guntur bego banget, sih bikin aturan!” pekik Adhisti. “Terus sekarang gimana? Lo nggak bisa terus sama gue, abang lo bakalan nyari lo juga ‘kan?” tanya Abbiyya. “Lo mau anter gue ambil uangnya nggak? Sekalian aja gitu, hehe! Setelah itu, yaa, gue m
“I-iya, Pak Abbiyya! Saya akan mencobanya! Ehm, ada yang bisa saya bantu lagi? Sepertinya malam semakin merenggut cahaya saat ini, saya khawatir akan berbahaya bagi anda untuk kembali terlalu larut!” pekik Rio seolah mengusir Abbiyya. Abbiyya tampak sedikit mengangguk lalu melirik ke dalam unit, rasanya Adhisti telah mengunci kamarnya, dan sekarang ia bisa pergi dari sana. “Baiklah, Pak Rio! Terima kasih atas kerja samanya, mohon maaf mengganggu tengah malam seperti ini. Semoga hari anda menyenangkan dan jaga diri anda sendiri, Pak! Termasuk menahan diri dari kehancuran orang lain!” tutur Abbiyya sambil sedikit tersenyum palsu. “Saya permisi, Pak Rio!” Abbiyya sedikit mengangguk lalu berjalan meninggalkan unit itu saat Rio telah membalas anggukannya. Baru saja tiga langkah Abbiyya jejakkan, Rio langsung masuk ke dalam unitnya dan menutup pintu itu tergesa. “Semoga kali ini Adhisti benar-benar aman!” pekik Abbiyya sambil meraih ponselnya dari saku. Pria itu segera mengetikkan pesa
Adhisti hanya terdiam mendengar semua pengakuan Rafa itu. Terkadang ia bingung dengan gelagat sang kakak. Terkadang ia tampak bisa memberikan kasih sayang yang istimewa, tapi terkadang sikapnya sangat ketus dan kasar. Rafa berbalik usai mengambil pakaian yang ia inginkan. Pria itu berjalan ke arah Adhisti sambil usai menarik napas saat melihat sang adik hanya menunduk. “Hey, sorri! Gue terlalu kasar, ya?” bisik Rafa kini berjongkok di depan Adhisti dan mengusap kepala Adhisti kembut. “Sorri ya, Chaay! Bukan gue mau biarin lo sendiri, tapi kerjaan gue juga lagi banyak. Gue bingung kalau semua mesti gue yang lakuin, jadi lo bisa ‘kan obatin lebam lo itu sendiri?” tutur Rafa kali ini dengan sedikit lembut. “Bisa, Bang! Maaf ya selama ini gue selalu ngerepotin lo,” lirih Adhisti tanpa menatap Rafa. Tangan Rafa kini beralih memegang dagu Adhisti dan sedikit mengangkatnya untuk memandang dirinya sendiri. “Hey, lo adik gue jangan bilang gitu. Gini aja, mau gue ambilin es batunya? Lo ti
Dengan mata nyalangnya, Adhisti berusaha menjauhkan diri dari Rio dan sedikit mendorongnya. Plak!! “Kurang ajar lo!!” pekik Adhisti lalu langsung berbalik usai memberikan tamparan kencang pada Rio itu. Namun saat ia berbalik, matanya langsung membulat ketika melihat seorang pria berdiri di depan pintu unit. “Maaf, saya menganggu ya?” tutur pria itu sambil sedikit mendelik dan melirik ke arah Rio yang saat itu sedang memegangi pipinya. “Abbiyya,” lirih Adhisti sembari langsung menoleh ke arah Rio lalu berjalan ke arah Abbiyya. “Kenapa? Kenapa lo ke sini? Bukannya–” tutur Adhsiti tiba-tiba terpotong saat Rio yang berusaha tampak tegap dan tak lagi memegangi pipinya datang lalu menyela. “Pak Abbiyya datang untuk jemput lo, Dhis! Lo bakal jalanin pemeriksaan bertahap mulai hari ini. Gue kemarin mau ngomongin ini ke lo tapi lo keburu tidur,” terang Rio menjelaskan. Saat Rio mengatakan mengenai pemeriksaan bertahap, Adhisti langsung teringat dengan pesan yang Abbiyya kirimkan semala
“Gue udah pernah jelasin masalah itu ‘kan? Lalu kenapa lo masih bingung? Kenapa kasih mempertanyakan alasan gue bebasin lo?” sergah Abbiyya sedikit ketus sembari menjalankan kembali mobilnya. “Ehkm, iya sih! Tapi masa sih lo bakal mempertaruhkan lencana lo setiap ada tahanan yang lo rasa nggak bersalah tapi ditahan? Itu ‘kan alasan lo bebasin gue dan jaminkan lencana lo?” Adhisti kembali menatap Abbiyya sambil menyandarkan kepalanya kesadaran seat mobil “Gue punya banyak pertimbangan saat ambil keputusan ini. Gue nggak bakal sembarangan jaminkan lencana gue. Anggap aja lo beruntung! Jadi nggak usah lagi diributkan masalah kenapa gue bebasin lo dengan lencana gue!” omel Abbiyya kini terdengar sangat muak dengan pembahasan itu. Adhisti hanya membalas dengan ohh panjang lalu merebahkan tubuhnya ke sandaran seat dengan benar dan menoleh ke sisi kiri memandangi puluhan motor yang berada di jalanan itu. Keduanya sampai di kantor polisi dan dengan segera Abbiyya mengajak Adhisti untuk me
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or
“Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte
“Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je
Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”