Nurlaila menolak untuk pulang ke rumahnya.“Tapi, Mah, kenapa?” Karmila tidak mengerti. Rumah sakit jiwa menurutnya adalah tempat yang terlalu mengerikan untuk ditinggali, belum lagi kemunculan semua entitas gaib yang senantiasa mengganggu Nurlaila. Tidak ada obat medis yang bisa menghalangi semua penampakan itu sebab kemunculannya bukanlah karena ketidakseimbangan neurotransmitter dalam kepala Nurlaila. Semua itu nyata, bukan halusinasi. Karmila tahu.“Akan lebih aman kalau aku tetap di sini.” Nurlaila memandang Karmila dengan mata basah, tangannya gemetar.“Aman gimana, Mah? Aku bisa mengurusi Mama di rumah. Mama akan jauh lebih baik jika tinggal di rumah sendiri daripada di sini. Enggak akan ada lagi yang bisa ganggu Mama.”Nurlaila menggeleng, bersikeras. “Aku enggak bisa selamanya bergantung kepadamu, Sayang.” Dia membelai lembut rambut Karmila, menatapnya penuh kasih. “Bertemu denganmu adalah sebuah berkah. Mungkin ini balasan atas kebaikan yang pernah dilakukan almarhum orangtu
Operasi Hendi memang berjalan lancar, tetapi dia belum juga siuman. Kondisi Hendi mengingatkan Karmila akan kondisi Nurlaila dahulu. Nurlaila juga pernah berada dalam koma tanpa sebab yang jelas. Tak ada ilmu kedokteran mana pun yang mampu mengatasinya.“Bang, jangan lama-lama main di dunia sana. Ayo, pulang, aku nunggu kamu di sini.” Karmila berkata lirih sambil menyeka tangan Hendi dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat.Di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Karmila menghabiskan waktunya di sisi Hendi, menanti lelaki itu membuka matanya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, sama seperti halnya dengan tim dokter di sana, untuk membuat Hendi siuman. Semuanya tergantung dari berapa keras usaha Hendi untuk mau kembali. Sebab, bukan karena sakitnya dia tidak sadarkan diri seperti itu, melainkan karena rohnya sendiri yang terjebak di alam lain.**“Selamat datang, Hendi!”Hendi memandang heran ke seorang perempuan yang ada di hadapannya, menyambutnya dengan cara seorang kekasih
Sosok Anggita perlahan-lahan bergerak. Hendi mendesah lega, meski dalam hatinya dia heran sendiri dengan reaksinya. Sebab, kalau benar Anggita alias Kanjeng Ratu tewas saat itu, bukankah dia akan otomatis terbebas dari semua sumpah dan perjanjian apa pun? Kemudian, Hendi menduga bahwa bisa jadi reaksinya itu karena perubahan karakter Anggita. Entah mana karakternya yang sejati, Hendi masih bertanya-tanya. Kanjeng Ratu yang kuat dan kejam, atau Anggita yang lemah dan gelisah?“Apa yang terjadi kepadamu?”“Semua yang kamu katakan benar. Di sini aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah salah satu pelayan dari penguasa yang sesungguhnya, ratu yang sesungguhnya.” Anggita bicara. Dia duduk bersimpuh, sama sekali tidak merasa terganggu dengan debu-debu kuning yang menyelimuti tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sosoknya saat itu lebih menyerupai berhala debu. Tatapan kosong, diam, tak bergerak.“Jadi kau sungguh-sungguh bukan Kanjeng Ratu?”Patung Anggita bergerak sedikit, merontokkan d
Mata Hendi berkilat-kilat mendengar penjelasan Anggita. “Berikan liontin itu!” Dia berpikir itu adalah kesempatan yang tak akan datang lagi, menghancurkan Kanjeng Ratu, sosok gaib yang menjadi ancamannya, mimpi buruknya, terornya, untuk selama-lamanya.Anggita balik memandang Hendi dengan wajah pucat. Dia bisa saja menyerahkan liontin itu, tetapi setengah dari kekuatannya akan hilang. Mustahil baginya untuk bertahan di dunia yang sekarang ditinggalinya jika dia melemah. Makhluk-makhluk yang lain akan dengan mudah menghancurkannya, meremuk tubuhnya, memisah-misahkan tangan, kaki, dan kepalanya. Anggita pikir seandainya dengan begitu dia akan tewas untuk selamanya, mungkin itu tidak akan telalu buruk. Tetapi, dia tahu, angin akan datang menyatukan kembali semua anggota tubuhnya, memasukkan udara ke dalam tenggorokannya, memberinya hidup sekali lagi, lagi, dan lagi, sampai waktunya benar-benar sudah habis.Setelah itu, mereka kembali akan mempermainkannya.“J-jangan. Aku bersumpah, Kanje
Sebuah kepulan asam hitam membumbung tinggi dari tubuh Anggita yang menggeliat-geliat. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara. Tidak ada api, meski ada asap. Tidak ada api, tetapi separuh tubuh Anggita melepuh, tepat separuhnya. Wajah Anggita seperti terbagi oleh dua bagian. Satu bagian wajahnya masih mulus, sementara satu bagian lain kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging merah di bawahnya. Sebagian rambutnya juga hangus sampai tampak kulit kepalanya.Kalau orang melihat Anggita dari sisi kiri, dia akan terlihat cantik, tidak ada yang berbeda, masih bisa membuat orang-orang betah sekadar untuk memandanginya saja, tetapi jika mereka melihatnya dari sisi kanan, niscaya pasti akan langsung memalingkan wajah. Separuh wajah Anggita itu adalah penggambaran dari rasa sakit dan penderitaan.Bahkan Hendi tidak menyangka dampaknya akan sebesar itu. “Apa yang terjadi padamu?”Anggita menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan Hendi. “Jangan pandangi aku! Bukankah ini yang
Hendi berpikir kalau siluman perempuan yang ada di hadapannya itu benar-benar sinting. Dia kemudian meludah ke tanah, sengaja melakukan itu untuk menghina Anggita. “Sialan! Aku terjebak bersama makhluk sepertimu di tempat terkutuk ini tanpa tahu harus ke mana,” maki Hendi.“Aku tahu tempat yang lebih bagus dari ini, tempat di mana sungai-sungai mengalir jernih dan airnya bisa kamu minum sepuas hati, tempat di mana pohon-pohonnya berbuah manis dan besar-besar, tak habis-habis bahkan jika kamu terus memetikinya.” Anggita mengatur rambutnya sedemikian rupa dengan tangannya agar menutupi sebagian wajahnya yang rusak. “Ayo, Hendi, biar kutunjukkan kepadamu tempat itu.” Anggita mengulurkan tangannya.Sesaat Hendi ragu-ragu, dia tahu dia tidak bisa memercayai perkataan siluman, tetapi dia tak punya pilihan lain. Dia berada di dunia asing yang terasa bagaikan mimpi untuknya, semua serba aneh dan tak masuk akal. Hendi tidak tahu harus ke mana atau melakukan apa untuk bisa bertahan hidup di san
Jeritan Hendi semakin nyaring, memekakkan telinga. Siapa saja yang mendengarnya bisa merasakan sakit yang saat itu tengah mendera Hendi, menusuk-nusuk, menyengat.“Tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup di dunia kita.” Anggita kembali teringat akan kalimat itu. Dia memandang Hendi dengan putus asa.“Sakit! Kepalaku seperti hendak meledak!” Hendi berkata sambil memegangi kepalanya. Napasnya turun naik. Sekali lagi dia memperdengarkan jeritan panjang kesakitan.“Tidak! Berhenti berusaha mengingat! Sudah, Hendi, hentikan.” Anggita berusaha menenangkan Hendi. Dia merengkuh Hendi ke dalam pelukannya, menenangkannya seperti seorang ibu menenangkan seorang bayi. “Lepaskan, biarkan, tarik napas pelan-pelan, hembuskan.” Anggita memberi aba-aba.Di dalam pelukan Anggita, tubuh Hendi menggigil hebat. Padahal udara saat itu luar biasa panas.“Aku melihat sesuatu, seseorang, tapi enggak jelas,” katanya lemah.“Lupakan. Kamu bisa mati kalau berusaha lebih keras dari ini.” Anggita berbisik di te
Sementara Karmila tenggelam dalam lamunannya sendiri sembari menjagai Hendi di kamar perawatan rumah sakit, malam beranjak semakin larut. Beberapa lampu di lorong rumah sakit sudah dimatikan. Suasana sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu keluarga mereka yang sakit duduk-duduk dalam diam di bangku-bangku selasar. Satu-dua perawat yang berjaga duduk di balik nurse station sambil terkantuk-kantuk. Udara malam itu sedikit dingin karena hujan tengah turun deras membelah langit malam.Beberapa kali kilat menyambar diikuti suara geluduk. Sedikit lampu yang masih menyala berkedap-kedip. Tetapi tak ada orang yang terlalu peduli, menganggapnya itu hanya reaksi elektris biasa karena cuaca buruk.Pintu lift di lantai tempat kamar Hendi dirawat berdenting terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Selama beberapa detik pintu lift masih terbuka, kemudian saat pintunya hendak menutup rapat, sepotong tangan berwarna hitam keunguan seperti daging busuk keluar dari celah pintu dengan tib
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j