Suasana hati Kandita semakin memburuk. Baik Karmila maupun Andaru tidak satu pun di antara mereka yang bisa memahami dirinya, apalagi dijadikan sekutu. Kandita lalu keluar dari villa kediamannya. Villa itu dikelilingi oleh hutan kecil dan pegunungan. Di tengah-tengah hutan ada air terjun yang tidak banyak diketahui orang-orang karena letaknya yang curam dan akses menuju ke sana masih mustahil bisa dilalui orang awam. Siapa saja yang mau menuju air terjun itu harus mempunyai kemampuan khusus untuk turun ke lembah curam, menembus semak belukar, mengambil risiko bertemu dengan ular berbisa dan binatang hutan lainnya.Hanya Kandita dan Dirga yang hapal jalan menuju air terjun perawan itu sekaligus juga mampu pergi ke sana. Di tempat tersembunyi itu biasanya mereka melakukan ritual dan latihan spiritual. Di balik air terjun ada goa yang tidak terlalu dalam yang biasa dijadikan tempat semedi Dirga. Ke sanalah Kandita menuju.Sudah ada Dirga di dalam goa. Pemuda itu duduk bersila di atas lem
Malam itu Karmila merasa gelisah. Dia keluar dari kamarnya di lantai dua menuju balkon. Langit malam itu tidak berbintang. Gemuruh guntur dan kilat sesekali bersahutan, tanda hujan akan turun. Namun bagi Karmila, semua itu adalah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.“Ada apa ini? Aku harus cari tahu sekarang. Waktunya mendesak.” Karmila berpikir.Dengan langkah-langkah panjang dan cepat Karmila turun ke lantai bawah. Villa tempat di mana dia tinggal saat itu suram dan sepi. Karmila sama sekali tidak melihat atau mendengar suara siapa pun.“Ibu! Dirga! Ayah!” Karmila berseru memanggil semua anggota keluarganya yang harusnya ada di dalam rumah pada waktu selarut itu. Dia bahkan sangat yakin kalau ayahnya juga ada di sana, meski ibunya bersikeras mengatakan sebaliknya.Tidak ada sahutan dari semuanya. Suaranya menggema kembali di dinding-dinding villa.“Ke mana semua orang?” batin Karmila semakin terusik.Villa yang menjadi rumahnya sejak dia dilahirkan mendadak terasa begitu
Jawaban Andaru membuat Karmila seketika menjadi lemas. Sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Udara yang dia hirup di sekitarnya membawakan desau ramalan, prasangka, bukan berita baik, pastinya. Namun batinnya seakan-akan tidak mau tahu, tidak mau mendengar berita itu. Karmila menyingkirkan semua pikiran negatif itu jauh-jauh dari dalam benaknya, berusaha untuk pura-pura tidak tahu, tidak percaya.Sebuah kenyataan, kebenaran, tidak pernah ambil pusing apakah keberadaannya diyakini atau tidak. Meski sejuta manusia menyangkalnya, apa yang terjadi, tetaplah terjadi. Sekeras apa pun seseorang berusaha menutupinya atau bahkan lari darinya, kenyataan tetap mengejar, meninggalkan rasa getir.“Jadi saat kita sedang bercakap-cakap begini, di luar sana Dirga dan Ibu memanen nyawa manusia? Membunuhi mereka demi kelangsungan hidupmu, Ayah?” Karmila nyaris tersedak menahan tawa saat mengatakan demikian. Ironi ganjil yang lucu, lelucon! Kelangsungan hidup siapa yang sedang berus
Andaru terkekeh-kekeh. “Kamu sudah memutuskan hal yang benar, putriku, sesuai dengan harapanku.”“Hah? A-apa maksud Ayah?” Karmila cepat-cepat menghapus air mata yang meleleh di pipinya.Andaru mengangkat tangannya yang menggenggam kunci motor milik Dirga. “Pergilah! Aku berharap kamu bisa mencegah mereka.” Setelah bicara begitu Andaru melemparkan kunci motor itu ke arah Karmila.Karmila dengan cepat menangkap kuncinya. Dia masih tidak percaya jika Andaru berpihak pada dirinya. “T-tapi bagaimana dengan Ayah? Apa yang akan terjadi kepada Ayah? Ayah akan menghilang?”“Jangan khawatirkan aku. Aku bisa bertahan jika dibutuhkan. Aku janji, aku tidak akan menghilang begitu saja. Saat-saat terakhirku pastilah ada di dalam pelukanmu. Pergilah! Waktumu tidak banyak. Aku hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Ah, aku percaya kamu akan baik-baik saja. Kamu adalah putriku, putri Kandita dan Andaru, tidak ada yang akan bisa melukaimu dengan mudah.”Karmila mengangguk mantap, terharu oleh d
Karmila mengabaikan keselamatannya sendiri. Dia memacu motornya kencang-kencang menuju rumah sakit jiwa tempat Nurlaila dirawat. Batinnya tidak tenang sampai dia berhasil bertemu Nurlaila dan memastikan keselamatan perempuan paruh baya yang sudah dianggapnya ibu itu. Berbeda dari ibunya sendiri, Kandita, Karmila justru lebih dapat merasakan kehangatan seorang ibu dari Nurlaila, meski perempuan itu setengah tidak waras.Lampu-lampu ibu kota terlihat semakin terang saat Karmila sudah berada di jalan raya, tanda kalau dia sudah semakin dekat dengan tujuan. Dadanya berdegub kencang, itu adalah pertama kalinya dia mengendarai motor sendirian begitu jauhnya dari villa. Dia tidak mempunyai SIM, tidak membawa STNK, setiap kali melihat petugas polisi lalu lintas, Karmila mengingatkan dirinya sendiri untuk memelankan laju motor. Dia sadar tidak punya waktu untuk disia-siakan guna meladeni para penegak hukum.“Semoga Dirga belum melakukan apa-apa!” Karmila berdoa.Setengah jam terasa bagai satu
Bukan hanya Karmila yang mendengar suara lengkingan itu, tetapi beberapa perawat yang ada di sana juga. Tanpa menunggu-nunggu lagi, mereka bergegas ke sumber suara, berduyun-duyun, tergopoh-gopoh, mereka semua datang ke sana.Suara jeritan itu berasal dari bangsal perawatan yang dihuni enam pasien perempuan. Pintunya dikunci dari luar, seorang perawat yang berjaga di depannya tergeletak jatuh di bawah bangku. Salah seorang petugas dan dokter jaga memeriksanya, terkejut begitu mengetahui perawat itu ternyata sudah meninggal dunia.“Innalillah!” Seorang perawat perempuan tak kuasa berteriak histeris melihat kematian tiba-tiba rekan sejawatnya.“Cepat! Buka pintunya!” Karmila berseru.Sementara itu dari balik pintu bangsal, jeritan terus membahana. Jerit ketakutan yang tak putus-putus.Dengan tangan gemetar, salah seorang perawat membuka kunci pintu bangsal. Saat pintu terbuka, pemandangan yang ada di dalamnya seketika membuatnya lupa bernapas. “Astaga! Ini bencana!”Karmila refleks maju
Perawat yang berjalan di sisi Karmila kontan menengok ke arah Karmila. “Apa iya? Pembunuhnya masih di sini? Apa menurut Mbak, pembunuhnya orang luar?” tanyanya dengan wajah pias.Karmila diam sejenak, sambil balik menatap si perawat, menimbang-nimbang, apakah perawat itu akan memercayai kata-katanya. “Ah, kita serahkan saja penyelidikannya kepada polisi,” pungkasnya. Karmila tidak mau ambil risiko yang tidak perlu. Tidak ada gunanya dia koar-koar mengatakan kalau dia tahu siapakah yang paling mungkin menjadi pelakunya dan apa motifnya.Sepanjang perjalanan mereka menuju aula, mata Karmila awas memerhatikan sekeliling, tidak hanya mata fisiknya, tetapi juga mata batinnya. Dia tidak boleh melewatkan sedikit saja pertanda akan keberadaan Dirga.Tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Karmila tidak mencium apalagi melihat adanya kekuatan hitam atau energi kegelapan apa pun di sekitarnya. “Apa mungkin Dirga sudah pergi dari tempat ini?’ tanyanya dalam hati.Tak lama kemudian perawat itu berhe
Ruangan gaduh gelisah tidak sulit ditemukan oleh Karmila. Seperti yang dikatakan perawat itu, ada plang nama besar-besar di atas pintunya. Pintunya sendiri tertutup, tetapi tidak terkunci, Karmila dapat leluasa membukanya.Ruangan itu kosong, tidak ada siapa-siapa. Kening Karmila mengernyit, saat dia masih berada di luar pintunya, dia merasakan ada energi yang tidak biasa mengalir keluar dari dalam ruangan itu. Dan, justru itulah yang membuat Karmila yakin ada sesuatu yang ada di dalam sana, sesuatu yang dicarinya.“Enggak mungkin! Aku masih bisa merasakan energi itu berputar-putar memenuhi ruangan ini. Wujudnya memang enggak ada, tapi apa yang kurasakan ini sungguh bukan khayalanku semata.” Karmila bergumam sambil berjalan perlahan-lahan mengelilingi seisi ruangan itu, meneliti apakah ada sesuatu yang mencurigakan, pergerakan sekecil apa pun.Setelah beberapa menit lamanya dia hanya berputar-putar tanpa menemukan sesuatu, Karmila berhenti tetapi tidak menyerah. Dia mulai berpikir bah
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j