Ruangan gaduh gelisah tidak sulit ditemukan oleh Karmila. Seperti yang dikatakan perawat itu, ada plang nama besar-besar di atas pintunya. Pintunya sendiri tertutup, tetapi tidak terkunci, Karmila dapat leluasa membukanya.Ruangan itu kosong, tidak ada siapa-siapa. Kening Karmila mengernyit, saat dia masih berada di luar pintunya, dia merasakan ada energi yang tidak biasa mengalir keluar dari dalam ruangan itu. Dan, justru itulah yang membuat Karmila yakin ada sesuatu yang ada di dalam sana, sesuatu yang dicarinya.“Enggak mungkin! Aku masih bisa merasakan energi itu berputar-putar memenuhi ruangan ini. Wujudnya memang enggak ada, tapi apa yang kurasakan ini sungguh bukan khayalanku semata.” Karmila bergumam sambil berjalan perlahan-lahan mengelilingi seisi ruangan itu, meneliti apakah ada sesuatu yang mencurigakan, pergerakan sekecil apa pun.Setelah beberapa menit lamanya dia hanya berputar-putar tanpa menemukan sesuatu, Karmila berhenti tetapi tidak menyerah. Dia mulai berpikir bah
Dirga tidak bisa membantah kata-kata Karmila. Dia tersentak, semua ucapan Karmila menamparnya.“Apa-apaan ini!” gerutu Dirga.Karmila bisa jadi benar. Hidupnya sendiri tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Dia sudah kehilangan keluarga satu-satunya, adik perempuannya tersayang. Sementara perempuan yang dipujanya, Kandita, tidak pernah menganggapnya setara dan memperlakukannya sebagai pelayan. Hanya Karmila seorang yang dia harapkan. Tetapi, setelah Karmila tahu semua kebusukannya, semua kejahatannya, tak sanggup Dirga untuk menatap wajah Karmila.“Belum terlambat, Dirga. Bertobatlah!” desis Karmila.Sosok Dirga yang berupa bayangan semakin lama semakin mengabur. Dirga menggelengkan kepala, berkata dengan penuh kepiluan, “Aku sudah terlalu jauh, Karmila, sudah enggak ada jalan kembali.”“Tunggu! Kalau begitu, Mama Nurlaila, ibunya Bang Hendi, di mana dia? Apa yang kau lakukan kepadanya? Aku enggak akan memaafkanmu kalau kau menyentuh Mama atau Bang Hendi meski sedikit saja.”Dirga terse
Karmila menggeleng. “Enggak ada Mama di sini. Mama mungkin ketakutan, lantas pergi dari sini. Saya akan mencarinya, jangan-jangan Mama pulang sendiri ke rumah.”Karmila beranjak ingin pergi. Sudah tidak ada lagi yang harus dikerjakannya di rumah sakit jiwa itu. Dirga sudah mundur, sementara yang dicarinya, Nurlaila, juga tidak ada di sana. Tapi Karmila merasa lega karena setidaknya Nurlaila selamat.“Tunggu sebentar, jangan pergi dulu!” Si perawat itu mencegah Karmila. “Saya harus membawa Mbak bertemu dengan petugas dari kepolisian terlebih dahulu. Ada beberapa pertanyaan yang harus Mbak jawab sebagai saksi.”“Tapi, saya harus segera menemukan Mama. Bukankah itu lebih penting daripada menjawab pertanyaan polisi? Soalnya, kan, Mas tahu sendiri kalau saya juga sama enggak tahunya dengan Mas.” Karmila menolak. Kakinya bergerak-gerak gelisah seperti ingin terbang dari tempat itu. Dia harus segera bertemu dengan Nurlaila. Setelah dia bisa bicara dengannya, barulah hatinya akan merasa tenan
Sembilan jiwa, sembilan darah yang berhasil dikumpulkan Dirga segera dipersembahkan untuk kebangkitan Andaru. Saat Kandita dan Dirga kembali ke villa untuk melakukan ritual persembahan itu, Andaru sudah tergeletak lemah di lantai. Napasnya kembang kempis, raganya hampir luruh.“Tidaaak! Andaru!” Kandita berseru sambil tergopoh-gopoh lari menghampiri Andaru.Andaru membuka matanya. Di antara desah napasnya yang tesenggal-senggal, dia berkata, “Bebaskan jiwaku, Kandita, aku mohon kepadamu.”“Tidak! Kamu tidak akan mati tanpa seizinku, Andaru.” Kandita bersikeras. “Aku datang membawa darah segar untukmu. Seharusnya ini cukup untuk menyempurnakan kebangkitanmu.”Dirga hanya diam, berdiri, melihat pasangan kekasih itu. “Andai aku yang tergeletak seperti itu, akankah kau memperlakukanku dengan sama?” batinnya bertanya-tanya.“Dirga! Bantu aku, cepat!” Kandita menoleh ke Dirga, memberinya isyarat untuk membantunya memindahkan Andaru ke kamar rahasianya.Ogah-ogahan, Dirga membopong Andaru. K
“Mama, enggak apa-apa. Ini luka kecil, aku enggak apa-apa. Tenang, Mama. Ada aku di sini, Mama enggak sendirian.” Karmila memeluk Nurlaila sambil berbisik sambil mengelus-elus punggungnya berusaha menenangkannya. “Bang Hendi masih hidup. Kita masih punya banyak kesempatan untuk menolongnya keluar dari koma. Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama.”Karmila juga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menetralisir kegelapan yang tengah menggelayut di dalam benak Nurlaila. Kegelapan yang datang dari emosi-emosi terpendamnya, tersulut keluar karena tragedi di rumah sakit jiwa.“Karmila? Apa yang sudah aku lakukan kepadamu? Dulu aku membuat Hendi, putraku sendiri jatuh ke dalam keadaan koma, sekarang aku membuat wajah cantikmu jadi rusak. Ya, Tuhan, akulah pembawa petaka! Seharusnya aku yang terluka, seharusnya aku yang menderita, mati!” Nurlaila menangis di dalam pelukan hangat Karmila.“Mama, ini bukan lagi waktunya menangisi takdir atau menyalahkan diri sendiri. Bang Hendi menunggu bantu
Sosoknya kali itu sangat nyata, tidak lagi serupa bayang-bayang. Dirga menyeringai, memamerkan deretan geliginya, santai, tanpa beban. Apa pun yang sedang dilakukannya saat itu membuat jantung Nurlaila berdegub kencang oleh ketakutan yang luar biasa. Setiap gerik, setiap helaan napas Dirga adalah ancaman untuknya.“Halo, Nurlaila!” Dirga menyapanya tanpa panggilan kehormatan seakan-akan mereka seumuran, padahal usia Nurlaila pantas menjadi ibunya. Dirga sengaja melakukan itu, memanggilnya hanya dengan namanya saja, untuk menunjukkan penghinaan.Nurlaila bergeming. Dia ingat pernah bertemu dengan Dirga saat Karmila memperkenalkannya sebagai salah seorang kenalannya dan bukan tunangan.“Kita bertemu lagi, ya? Benar, aku tunangannya Karmila.” Dirga menatap tajam ke arah Nurlaila, memandangnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.Nurlaila risih ditatap seperti itu, tetapi rasa takunya lebih dominan. Ada sesuatu yang gelap menguar dari dalam diri Dirga dan dia bisa mengenalinya. “Dia seper
“Tidaaak!” Nurlaila menjerit keras. Suaranya melengking, menyayat hati. Semua duka dan penderitaan yang lama dia pendam, hari itu dia tumpahkan semua.“Mama, jangan takut, aku ada di sini, Mama!” Karmila berusaha mati-matian untuk menenangkan Nurlaila. Dengan galak, segera dia menatap Dirga, menghampiri lelaki itu, lalu mendorongnya kasar. “Pergi kau, Dirga! Kehadiranmu sama sekali enggak kami harapkan di sini. Pergilah!”Dirga diam saja meski didorong-dorong Karmila. Dia hanya menyeringai, sama sekali tidak ada niatan untuk beranjak dari tempat itu. Tekadnya untuk membunuh Nurlaila sudah bulat.“Tidak!” Nurlaila tiba-tiba saja bangkit dari keterpurukannya, menggeser Karmila agar menjauh, lalu menghadang Dirga. “Kamu! Namamu Dirga? Kamu yang sudah menjadi penyebab kehancuran keluargaku. Kamu menghabisi suamiku dengan cara yang sangat kejam. Tetaplah di sana, kali ini aku akan membalaskan dendam suamiku.”Semua rasa takut yang tadi ada di wajah Nurlaila sirna sudah berganti dengan kema
Sementara Dirga dan Karmila terlibat perseteruan, Nurlaila diam-diam melangkah ke dapur. Pisau dapur besar dengan ujung berkilau tergeletak di atas meja dapur. Itu adalah benda yang Nurlaila cari. Dengan cepat dia merenggut benda tajam itu, kemudian kembali ke ruang tengah.“Tak akan kubiarkan kau hidup kali ini, Dirga. Setelah aku bisa membunuhmu, barulah bisa kupastikan kalau Hendi putraku aman, dan tidak lagi berada dalam bahaya. Hanya dia seorang yang tersisa untuk kulindungi.” Nurlaila berkata di dalam hatinya seraya menggenggam erat gagang pisau sampai buku-buku jarinya memutih.Karmila yang sama sekali tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nurlaila bicara menghadap Dirga. “Apa pun yang sudah kau katakan tentang Mama dan Bang Hendi, semua itu bukan serta merta membuatmu berhak untuk mengambil nyawa mereka. Aku tetap enggak akan membiarkanmu membunuhnya. Kumohon, berhenti sampai di sini, Dirga.”Dirga yang berdiri membelakangi Nurlaila balas memandangi Karmila dengan tatap
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j