Dirga tidak bisa membantah kata-kata Karmila. Dia tersentak, semua ucapan Karmila menamparnya.“Apa-apaan ini!” gerutu Dirga.Karmila bisa jadi benar. Hidupnya sendiri tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Dia sudah kehilangan keluarga satu-satunya, adik perempuannya tersayang. Sementara perempuan yang dipujanya, Kandita, tidak pernah menganggapnya setara dan memperlakukannya sebagai pelayan. Hanya Karmila seorang yang dia harapkan. Tetapi, setelah Karmila tahu semua kebusukannya, semua kejahatannya, tak sanggup Dirga untuk menatap wajah Karmila.“Belum terlambat, Dirga. Bertobatlah!” desis Karmila.Sosok Dirga yang berupa bayangan semakin lama semakin mengabur. Dirga menggelengkan kepala, berkata dengan penuh kepiluan, “Aku sudah terlalu jauh, Karmila, sudah enggak ada jalan kembali.”“Tunggu! Kalau begitu, Mama Nurlaila, ibunya Bang Hendi, di mana dia? Apa yang kau lakukan kepadanya? Aku enggak akan memaafkanmu kalau kau menyentuh Mama atau Bang Hendi meski sedikit saja.”Dirga terse
Karmila menggeleng. “Enggak ada Mama di sini. Mama mungkin ketakutan, lantas pergi dari sini. Saya akan mencarinya, jangan-jangan Mama pulang sendiri ke rumah.”Karmila beranjak ingin pergi. Sudah tidak ada lagi yang harus dikerjakannya di rumah sakit jiwa itu. Dirga sudah mundur, sementara yang dicarinya, Nurlaila, juga tidak ada di sana. Tapi Karmila merasa lega karena setidaknya Nurlaila selamat.“Tunggu sebentar, jangan pergi dulu!” Si perawat itu mencegah Karmila. “Saya harus membawa Mbak bertemu dengan petugas dari kepolisian terlebih dahulu. Ada beberapa pertanyaan yang harus Mbak jawab sebagai saksi.”“Tapi, saya harus segera menemukan Mama. Bukankah itu lebih penting daripada menjawab pertanyaan polisi? Soalnya, kan, Mas tahu sendiri kalau saya juga sama enggak tahunya dengan Mas.” Karmila menolak. Kakinya bergerak-gerak gelisah seperti ingin terbang dari tempat itu. Dia harus segera bertemu dengan Nurlaila. Setelah dia bisa bicara dengannya, barulah hatinya akan merasa tenan
Sembilan jiwa, sembilan darah yang berhasil dikumpulkan Dirga segera dipersembahkan untuk kebangkitan Andaru. Saat Kandita dan Dirga kembali ke villa untuk melakukan ritual persembahan itu, Andaru sudah tergeletak lemah di lantai. Napasnya kembang kempis, raganya hampir luruh.“Tidaaak! Andaru!” Kandita berseru sambil tergopoh-gopoh lari menghampiri Andaru.Andaru membuka matanya. Di antara desah napasnya yang tesenggal-senggal, dia berkata, “Bebaskan jiwaku, Kandita, aku mohon kepadamu.”“Tidak! Kamu tidak akan mati tanpa seizinku, Andaru.” Kandita bersikeras. “Aku datang membawa darah segar untukmu. Seharusnya ini cukup untuk menyempurnakan kebangkitanmu.”Dirga hanya diam, berdiri, melihat pasangan kekasih itu. “Andai aku yang tergeletak seperti itu, akankah kau memperlakukanku dengan sama?” batinnya bertanya-tanya.“Dirga! Bantu aku, cepat!” Kandita menoleh ke Dirga, memberinya isyarat untuk membantunya memindahkan Andaru ke kamar rahasianya.Ogah-ogahan, Dirga membopong Andaru. K
“Mama, enggak apa-apa. Ini luka kecil, aku enggak apa-apa. Tenang, Mama. Ada aku di sini, Mama enggak sendirian.” Karmila memeluk Nurlaila sambil berbisik sambil mengelus-elus punggungnya berusaha menenangkannya. “Bang Hendi masih hidup. Kita masih punya banyak kesempatan untuk menolongnya keluar dari koma. Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama.”Karmila juga mengerahkan tenaga dalamnya untuk menetralisir kegelapan yang tengah menggelayut di dalam benak Nurlaila. Kegelapan yang datang dari emosi-emosi terpendamnya, tersulut keluar karena tragedi di rumah sakit jiwa.“Karmila? Apa yang sudah aku lakukan kepadamu? Dulu aku membuat Hendi, putraku sendiri jatuh ke dalam keadaan koma, sekarang aku membuat wajah cantikmu jadi rusak. Ya, Tuhan, akulah pembawa petaka! Seharusnya aku yang terluka, seharusnya aku yang menderita, mati!” Nurlaila menangis di dalam pelukan hangat Karmila.“Mama, ini bukan lagi waktunya menangisi takdir atau menyalahkan diri sendiri. Bang Hendi menunggu bantu
Sosoknya kali itu sangat nyata, tidak lagi serupa bayang-bayang. Dirga menyeringai, memamerkan deretan geliginya, santai, tanpa beban. Apa pun yang sedang dilakukannya saat itu membuat jantung Nurlaila berdegub kencang oleh ketakutan yang luar biasa. Setiap gerik, setiap helaan napas Dirga adalah ancaman untuknya.“Halo, Nurlaila!” Dirga menyapanya tanpa panggilan kehormatan seakan-akan mereka seumuran, padahal usia Nurlaila pantas menjadi ibunya. Dirga sengaja melakukan itu, memanggilnya hanya dengan namanya saja, untuk menunjukkan penghinaan.Nurlaila bergeming. Dia ingat pernah bertemu dengan Dirga saat Karmila memperkenalkannya sebagai salah seorang kenalannya dan bukan tunangan.“Kita bertemu lagi, ya? Benar, aku tunangannya Karmila.” Dirga menatap tajam ke arah Nurlaila, memandangnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.Nurlaila risih ditatap seperti itu, tetapi rasa takunya lebih dominan. Ada sesuatu yang gelap menguar dari dalam diri Dirga dan dia bisa mengenalinya. “Dia seper
“Tidaaak!” Nurlaila menjerit keras. Suaranya melengking, menyayat hati. Semua duka dan penderitaan yang lama dia pendam, hari itu dia tumpahkan semua.“Mama, jangan takut, aku ada di sini, Mama!” Karmila berusaha mati-matian untuk menenangkan Nurlaila. Dengan galak, segera dia menatap Dirga, menghampiri lelaki itu, lalu mendorongnya kasar. “Pergi kau, Dirga! Kehadiranmu sama sekali enggak kami harapkan di sini. Pergilah!”Dirga diam saja meski didorong-dorong Karmila. Dia hanya menyeringai, sama sekali tidak ada niatan untuk beranjak dari tempat itu. Tekadnya untuk membunuh Nurlaila sudah bulat.“Tidak!” Nurlaila tiba-tiba saja bangkit dari keterpurukannya, menggeser Karmila agar menjauh, lalu menghadang Dirga. “Kamu! Namamu Dirga? Kamu yang sudah menjadi penyebab kehancuran keluargaku. Kamu menghabisi suamiku dengan cara yang sangat kejam. Tetaplah di sana, kali ini aku akan membalaskan dendam suamiku.”Semua rasa takut yang tadi ada di wajah Nurlaila sirna sudah berganti dengan kema
Sementara Dirga dan Karmila terlibat perseteruan, Nurlaila diam-diam melangkah ke dapur. Pisau dapur besar dengan ujung berkilau tergeletak di atas meja dapur. Itu adalah benda yang Nurlaila cari. Dengan cepat dia merenggut benda tajam itu, kemudian kembali ke ruang tengah.“Tak akan kubiarkan kau hidup kali ini, Dirga. Setelah aku bisa membunuhmu, barulah bisa kupastikan kalau Hendi putraku aman, dan tidak lagi berada dalam bahaya. Hanya dia seorang yang tersisa untuk kulindungi.” Nurlaila berkata di dalam hatinya seraya menggenggam erat gagang pisau sampai buku-buku jarinya memutih.Karmila yang sama sekali tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nurlaila bicara menghadap Dirga. “Apa pun yang sudah kau katakan tentang Mama dan Bang Hendi, semua itu bukan serta merta membuatmu berhak untuk mengambil nyawa mereka. Aku tetap enggak akan membiarkanmu membunuhnya. Kumohon, berhenti sampai di sini, Dirga.”Dirga yang berdiri membelakangi Nurlaila balas memandangi Karmila dengan tatap
“Dirga? Bangun! Kau enggak apa-apa, kan?” Karmila mengguncang-guncang badan Dirga yang besar.Perlahan-lahan Dirga membuka mata, sambil mengerang dia berkata, “aku akan lebih baik-baik saja kalau kamu mau menyingkir dari atas tubuhku. Berat tau!”“Eh, oh, iya, maaf.” Karmila dengan gugup, lekas-lekas turun.“Kamu kenapa, sih?” tanya Dirga, “nangis sendirian di atas pohon kayak monyet kehilangan induk?”Karmila menyenggol Dirga. “Sialan, kamu! Masa aku disamain sama monyet?”“Emang enggak ada tempat lain yang lebih elegan, ya, selain di atas pohon? Apa kamu lagi cosplay jadi kuntilanak? Eh, tapi, mana ada kuntilanak botak?”“Kamu, ya, kuhajar kau!” Karmila serta merta menjitak kepala Dirga yang sekeras batu.Dirga tertawa, pura-pura mengaduh kesakitan. Sesungguhnya sekeras apa pun pukulan Karmila tidak berarti apa-apa untuknya karena tubuhnya sendiri sengaja sudah dilatih untuk mampu bertahan dari rasa sakit apa pun. Mungkin, begitu pula dengan hatinya.“Lagian, kamu ngapain sih iseng