Pagi buta di kediaman Suroso, jeritan keras mengejutkan seluruh penghuni rumah. Jeritan panjang, histeris menggema tanpa putus dari balik pintu kamar utama di rumah berlantai dua itu. Asalnya dari Dahlia, perempuan yang baru saja menjadi istri muda Suroso.
Bik Yanti, pembantu rumah, tergopoh-gopoh keluar dari dapur menuju sumber suara. Karno, sopir pribadi Suroso, mengikutinya dari belakang sambil berlari kecil. Dari lantai dua, Hendi, putra semata wayang Suroso, menuruni tangga dengan langkah cepat.
“Bu? Pak? Ada apa?” Bik Yanti menggedor-gedor pintu dengan panik.
“Ada apa, Bik?” tanya Karno.
“Mbuh, No, aku, ya, ora paham, enggak tahu. Lah, ini pintunya dikunci dari dalam, aku enggak bisa buka. Piye, yo, No?”
Sekali lagi mereka menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil Dahlia dan Suroso. Namun, yang dipanggil seakan-akan tidak mendengar dan terus menjerit histeris.
“Karno, ayo, kita dobrak saja pintu kamar Papah. Cepat!” Hendi berseru cemas. Hatinya gelisah, entah apa yang sedang terjadi di dalam kamar bapaknya itu. Suara jeritan Dahlia terdengar menakutkan sekaligus menyayat batinnya.
“Apa-apaan ini, heh? Subuh-subuh, kok, sudah jerit-jerit bikin ribut?” Nurlaila, istri pertama Suroso datang menghampiri. Dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar mereka semua mundur sehingga dia sendiri yang melangkah mendekati pintu dan menggedornya sambil berteriak marah, “Dahlia, apa sudah gila kamu? Berhenti teriak-teriak, buka pintunya! Heh, perempuan sundal! Cepat buka pintunya! Pah? Papah, sampeyan juga di dalam, kan? Ayo, buka pintunya!”
Jeritan Dahlia seketika berhenti. Orang-orang bergeming di depan pintu, menanti. Namun, hening, tidak ada tanda-tanda pergerakan apa pun. Sampai beberapa menit kemudian, Nurlaila dengan tak sabaran meraih gagang pintu, berusaha membukanya, tetapi tidak bisa. Pintunya masih terkunci, menyembunyikan segala apa yang sedang terjadi di dalamnya.
“Cukup!” Nyonya Nurlaila mendengkus kesal. “Karno, Hendi, jebol pintunya, pecahkan kaca jendelanya! Ini mesti ada apa-apa di dalam. Sudah kuduga, sundal itu pasti akan bawa masalah.”
Kesabarannya habis sudah. Sejak awal suaminya memperkenalkan Dahlia sebagai bakal madunya, Nurlaila punya firasat tidak enak; bukan sekadar firasat biasa layaknya seorang istri yang dikhianati oleh orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Bukan itu! Sudah bukah hal yang baru jika suaminya, Suroso, tuan tanah paling kaya di kampung mereka, punya perempuan simpanan yang jumlahnya satu, atau dua, atau bahkan lebih. Nurlaila tahu semua kebejadan suaminya, tetapi tidak terlalu peduli.
Bagi Nurlaila, perempuan-perempuan itu hanyalah gundik bayaran sang suami, pemuas nafsu, penghangat ranjang belaka. Dia justru bersyukur karena tidak lagi harus repot-repot meladeni suaminya di atas ranjang dan bisa tidur nyenyak sepanjang malam di kamarnya sendiri.
Sudah belasan tahun ini mereka pisah ranjang. Nurlaila memindahkan semua barang-barang pribadinya ke kamar tamu, dan mengubahnya menjadi kamarnya sendiri. Kamar itu memang tidak sebesar kamar utama yang pernah dia tempati bersama suaminya, tetapi udaranya lebih segar, jendelanya bisa dia biarkan terbuka kapan saja. Kamar utama di rumah itu boleh saja menjadi ruangan paling besar dan mewah, dipenuhi koleksi-koleksi barang antik mahal milik suaminya, tetapi dia tidak pernah tahan dengan aromanya. Hidungnya senantiasa menangkap bau busuk yang menguar dari setiap pori dinding-dindingnya, menempel lengket di kulit suaminya. Dia tidak sanggup lagi kalaulah harus memeluk apalagi bergumul menuruti syahwat suaminya yang besar itu. Nurlaila bisa-bisa pingsan demi mencium kebusukan suaminya sendiri.
Dahlia, dan gundik-gundik yang lain, tidak mencium bau busuk apa pun dari Suroso selain aroma parfum bermerk yang dijual terbatas, dan dipromosikan mampu memikat lawan jenis. Namun, berbeda dengan perempuan lain yang rela dan sudah merasa cukup hanya dengan menjadi simpanan, Dahlia menuntut untuk dinikahi Suroso.
“Pah, aku enggak terima kalau perempuan gatel itu kamu nikahi lalu masuk ke rumah kita. Sampeyan silakan main dengan perempuan lain di luar sana, tapi tulung jangan dibawa pulang, apalagi sampai dinikahi. Eling, Pah, inget! Perempuan itu lebih pantas jadi menantumu ketimbang istrimu! Mau ditaruh di mana mukaku nanti di hadapan keluarga besar kita? Aku malu, Pah, maluuu!” seru Nurlaila, air mata turun membasahi wajahnya.
“Halah, diam kamu!” Suroso membentak istrinya itu. “Kamu itu sudah tua, sudah mandul, cuma bisa kasih aku satu anak saja, kok, ya, cerewetnya bukan main? Aku kepingin punya anak lagi dan Dahlia telah mewujudkan keinginanku.”
“Apa? Apa itu berarti Dahlia sudah kamu hamili? Ya, Gusti!” Tangisan Nurlaila semakin kencang. Tubuhnya luruh, dia menjatuhkan diri ke lantai, memukuli dadanya sendiri berkali-kali. “Ampuni aku, Gusti! Kenapa sial sekali nasibku memiliki suami seperti ini?”
Suroso yang sudah gelap mata hatinya tidak ambil pusing dengan penderitaan istrinya itu. Angan-angannya sudah disesaki oleh bayangan kecantikan Dahlia beserta tubuh moleknya yang membangkitkan gairah. Sekali, dia sudah pernah mencicipi tubuh Dahlia, mereguk wangi dari setiap lekuk dan lipatan tubuhnya, menikmati lenguhan manis yang keluar dari bibir mungilnya setiap kali tangannya menyentuh kulit mulusnya. Sekali tidak pernah cukup, meski dari yang hanya sekali itu telah berhasil membuat Dahlia berbadan dua.
Kurang dari satu bulan setelahnya, pernikahan kedua Suroso dengan Dahlia, gadis kembang desa yang usianya separuh dari usia Suroso, digelar besar-besaran. Warga satu kampung diundang ke acara resepsi yang dilangsungkan selama tiga hari tiga malam.
Dan, pagi itu ketika pintu kamar Suroso akhirnya berhasil dibuka paksa, sebuah pemandangan mengerikan terhampar. Pemandangan yang membuat Nurlaila menjerit ketakutan sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri. Hendi membeku, wajahnya sepucat kertas. Karno tidak henti-hentinya mengucap istighfar. Bik Yanti lari ke depan rumah sambil berteriak minta tolong.
Di kamar itu. Dahlia berdiri di sisi ranjang. Dia diam, tidak lagi menjerit-jerit. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan. Sosoknya seperti hantu dalam gaun tidur tipis berwarna putih. Dari tangannya yang terkulai lemas, menetes darah segar.
Darah itu bukanlah darahnya, melainkan darah dari Suroso yang jasadnya terbaring di atas ranjang dengan perut terkoyak, menganga terbuka, mempertontonkan ususnya yang terburai keluar.
“Bukan aku, bukan aku yang melakukannya.” Dengan pandangan kosong, Dahlia terus mengulang-ulang perkataannya.
Dalam sekejap rumah Suroso dikerubungi warga. Pak RT bersama dua orang tetangga bergegas masuk dan terkejut mendapati apa yang telah terjadi. Mereka yang tidak kuat menyaksikan kondisi mayat Suroso segera keluar sambil menahan mual. Tidak ada yang berani mendekati apalagi menyentuh mayat Suroso. Mayatnya masih berada dalam posisi yang sama seperti ketika ditemukan oleh keluarganya: terbujur kaku, mata melotot, mulut menganga seakan-akan malaikat kematian telah meninggalkan jejak penderitaan dan kesakitan tiada tara.“Dahlia, katakan, siapa yang sudah membunuh Papa?” tanya Hendi mendesak Dahlia agar bicara.Hendi sukar memercayai bahwa Dahlia, perempuan berparas bak bidadari itu sanggup melakukan sebuah pembunuhan sadis seorang diri. Munurutnya, Dahlia tidak punya motif yang kuat. Dahlia baru saja menikahi Suroso dan sedang berbahagia dengan calon bayi yang sedang dikandungnya.Tubuh Dahlia gemetar, wajahnya sedemikian pucat hingga nyaris seperti mayat itu sendiri. Dia menggelengkan ke
Menjelang tengah malam, bak seorang pencuri, Nurlaila berjalan mengendap-endap di kediamannya sendiri. Dia bersyukur kamar Hendi, putra semata wayangnya, ada di lantai dua. Setidaknya, kecil kemungkinan dia berpapasan dengan Hendi saat akan keluar rumah. Dia tidak ingin Hendi tahu kepergiannya malam itu.Masih tetap berjingkat-jingkat, Nurlaila melangkah menuju kamar yang ada di sebelah tangga menuju lantai dua, kamar itu kamar Karno, sopirnya. Pintu kamarnya tertutup, Nurlaila mengetuknya pelan-pelan.“No, Karno?” Nurlaila memanggil Karno, “Kamu sudah tidur? Bangun, No.”Pintu kamar dibuka dari dalam. Karno masih belum tidur. Majikan putrinya itu sudah berpesan sebelumnya kalau malam itu dia harus mengantar sang majikan ke suatu tempat.Tanpa diberi tahu pun, Karno sudah bisa menebak tempat mana yang akan mereka tuju nantinya. Sebab, hanya ada satu tempat yang mungkin mereka datangi di jam segitu. Rumah Mbah Wursita, sang dukun.“Ayo, No, cepat keluarkan mobil sekarang. Jangan berisi
Suatu hari saat Suroso masih hidup dan rumah yang mereka huni masih sangat sederhana. Beberapa orang berbadan tinggi besar mendatangi rumah mereka, menggedor-gedor pintunya tidak sabaran.“Suroso! Jangan ngumpet kamu di dalam! Keluar bayar semua utang-utangmu!” teriak orang-orang itu.“Pah, bagaimana ini?” Nurlaila ketakutan sambil memeluk lengan Suroso erat. “Kita sudah enggak punya apa-apa lagi yang bisa digadaikan.”Suroso menelan ludah, dia juga sama paniknya dengan Nurlaila. Siapa yang menyangka kalau semua usahanya hancur hanya karena dia tergiur oleh investasi yang ternyata bodong.“Keluar atau aku bakar rumah ini sekaligus seisinya!” Para penagih utang tidak berhenti berteriak dan mengancam.Ancaman mereka bukan omong kosong, Suroso cepat-cepat lari ke pintu depan, membukanya. Belum sempat dia bicara apa-apa, tubuhnya langsung didorong hingga dia jatuh tersungkur. Orang-orang itu merangsek masuk, mengobrak-abrik barang-barang.“Angkut semua yang bisa dijual!” perintah seseoran
Semua musibah datang karena kesalahan mereka sendiri. Nurlaila memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Akan ada orang-orang yang terpaksa mereka sakiti demi memenuhi persyaratan pesugihan itu. Tetapi, tak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya kalau akan ada darah yang tumpah, terlebih Suroso sendiri korbannya. Nurlaila kembali kepada Mbah Wursito untuk menanyakan hal itu.“Kalau begitu, siapa yang sudah membunuh suami saya, Mbah?” Nurlaila bertanya beberapa saat setelah Mbah Wursita menuntaskan hasratnya.Listrik di kediaman Mbah Wursita masih padam, hujan masih turun, meski kilat dan guntur tidak lagi terdengar mereka. Ruangan di mana mereka berada saat itu hanya diterangi samar-samar oleh semburat cahaya dari kaca jendela yang tidak bertirai.Mbah Wursita menyalakan lilin, kemudian membawanya ke antara mereka berdua. Kerut keriput di wajahnya terlihat mengerikan oleh cahaya lilin yang bersinar dari bawah dagunya.“Suamimu dibunuh oleh kekuatan tak kasat
Hendi mengikuti dokter masuk ke salah satu bilik yang letaknya paling ujung di UGD. Di sana hanya ada satu bed berisi jenazah dengan kain kafan menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Sebelumnya saya mau tanya, apa Anda punya penyakit jantung?” Ditanya seperti itu, Hendi langsung paham apa artinya, sesuatu yang buruk pasti sedang menantinya. “Enggak, Dok,” jawabnya. Dokter itu mengangguk, lalu membuka kain kafan. Hendi terkesiap. Dia hanya sanggup melihat sekilas sebelum membalikkan tubuhnya. Sang dokter cepat-cepat menutup kembali jenazah itu. Sementara Hendi bergegas keluar dari ruangan dengan wajah pucat. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Apa itu tadi? Manusia atau bukan?” pikir Hendi sambil menahan rasa mual di perut. Jenazah itu nyaris sudah tidak punya lagi dengan apa yang bisa disebut sebagai wajah, atau bagian-bagian darinya. Tidak ada lagi hidung, mata, mulut, yang ada hanya gumpalan daging, seakan-akan malaikat maut sendiri ya
Dengan gerakan yang tidak bisa diikuti mata manusia karena saking cepatnya, belati Kanjeng Ratu terayun ke arah Hendi, kemudian ….Slash!Darah memercik pada dinding dan kasur.Hendi melongo. Sedetik berlalu, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. Pipinya perih. Dia merabanya, kemudian terkejut begitu melihat darah di tangannya.“Apa yang kau lakukan!” teriak Hendi murka.Rasa sakit telah mengubah ketakutan Hendi menjadi luapan amarah. Dia balik melawan, menyerang Kanjeng Ratu berbekal tinju kosong. Tetapi lawannya bukan manusia, Kanjeng Ratu bahkan tidak perlu bergerak untuk menghindar.“Aku suka semangatmu,” ujar Kanjeng Ratu dengan nada mengejek, “tapi perjanjian sudah dibuat, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain menuruti perintahku.”“Kau penipu!” Hendi meraung sambil memegangi pipinya yang berdarah-darah.“Suroso telah menumbalkan kehormatan seluruh keluarganya demi harta. Kamu adalah keturunannya langsung, jadi kamulah yang mewarisi perjanjian kita.”“Tidak!” Hend
Hendi tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kanjeng Ratu. Ke mana saja dia berpaling, selalu ada sosoknya, ditambah lagi dengan penampakan-penampakan mengerikan yang kerap dijumpainya di setiap sudut jalan.Kakek tua dengan lubang di perutnya yang sebelumnya selalu mengikuti Hendi, memang segera menyingkir begitu Kanjeng Ratu muncul. Tetapi sosoknya tidak pergi, masih berada dalam jarak pandang Hendi. Tidak hanya si Kakek, Hendi juga melihat sesosok makhluk kerdil dengan puluhan mata di wajahnya memandangnya dari balik semak-semak, juga kuntilanak di pohon asem yang tak jauh dari kantin, ikut menampakkan diri. Dengan santai kuntilanak itu duduk di salah satu dahan sambil bergoyang-goyang, membuat rontok daun-daun kering.“Mereka enggak nyata, mereka enggak nyata,” gumam Hendi berkali-kali dalam hatinya saat dia melangkah menuju parkiran kampus.Tadinya dia bermaksud untuk mengejar Tiara dan menawarinya pulang bersama, tetapi urung dilakukanya. Akhirnya, semuanya seperti yang s
Bab 9. TersesatSementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.“No, Karno, di mana kamu?”Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat y
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j