Bab 9. Tersesat
Sementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.
“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.
Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.
“No, Karno, di mana kamu?”
Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.
“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.
Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat yang sama, seakan-akan selama itu dia hanya berputar-putar seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri. Putus asa, dia menjatuhkan diri kelelahan.
“Tolong!” teriaknya lagi sambil duduk tak berdaya di atas tanah.
Tiba-tiba tanah di bawahnya bergetar. Kaget, Nurlaila lekas-lekas berdiri. Dengan mata kepalanya dia menyaksikan tanah mulai retak.
“Gempa bumi?” pikirnya kalut sambil menoleh ke kanan, ke kiri, mengharapkan bantuan atau sekadar tempat berlindung.
Tidak ada apa pun atau siapa pun.
Garis retakan tanah makin lama makin memanjang. Nurlaila menjauh. Tanahnya terus retak seperti tengah mengejarnya. Nurlaila berlari. Getaran di bawah kakinya menghebat. Nurlaila jatuh.
Wajah pucat, mata membelalak, Nurlaila melihat tanah di hadapannya bergelung seakan-akan sesuatu yang teramat sangat besar mendesak dari dalam, mencari jalan keluar.
Suara keras mendadak bergemuruh, tanah merekah, debu-debu pasir berhamburan ke udara. Sesosok makhluk raksasa muncul, meliuk dari dalam rekahan tanah.
Nurlaila melongo. Matanya terkunci oleh sosok makhluk yang luar biasa besar dan luar biasa aneh. Makhluk itu memiliki kepala naga dengan sepasang tanduk emas mencuat di atasnya, tubuhnya menyerupai ular raksasa dengan sisik-sisik mengilap berwarna hitam legam.
Suara gemuruh yang memekakan telinga baru berakhir setelah naga raksasa itu berhasil meloloskan seluruh ekornya yang panjangnya mencapai seratus meter itu dari dalam tanah, dan berhenti meliuk.
Ketakutan, Nurlaila menjerit panjang.
“Diam!” Suara bentakan keluar dari kerongkongan sang Naga.
Nurlaila spontan menutup mulutnya rapat-rapat.
“Kamu sudah menganggu tidur siangku, manusia!” ujar sang Naga.
“A-ampuni saya. Saya tidak tahu apa-apa.” Nurlaila berkata terbata-bata.
Naga raksasa itu mendekat, mengamati Nurlaila dengan matanya yang berwarna merah menyala seperti kobaran api. “Kamu tidak semestinya berada di tempat ini. Kembalilah!”
“Sa-saya tersesat,” ujar Nurlaila gemetaran.
“Di sini adalah tempat bagi mereka yang terkutuk. Dosa apa yang sudah kamu lakukan sampai-sampai takdir membawamu kemari?”
Bayangan Mbah Wursita sekelebatan hadir di dalam benaknya, lalu sambil menunduk, Nurlaila berkata mengakui, “Saya dan suami saya sudah membuat perjanjian dengan makhluk ghaib.”
“Dasar manusia bodoh!” sang Naga meliuk, ekornya melingkari Nurlaila, memerangkapnya seperti sebuah tembok raksasa. “Kalau begitu adanya, maka engkau layak menjadi santapanku!”
“Jangan, Eyang Naga, jangan, ampuni saya!” seru Nurlaila cepat sambil memohon-mohon.
Sang Naga tertawa. Tanah berguncang. Nurlaila merunduk, melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
“Ampun, Eyang, tolong saya, saya mau pulang.” Nurlaila ketakutan.
“Aku akan memberimu jalan pulang, tapi apa yang bisa engkau berikan kepadaku sebagai gantinya?”
Nurlaila kebingungan. “Apalah yang bisa saya tawarkan kepada penguasa sepertimu? Saya datang tanpa membawa apa-apa.”
Sang Naga mendengus, dari dengusannya keluar kobaran api. Nurlaila memekik kaget.
“Beri aku sebutir bola matamu.” Sang Naga berkata dengan suara dalam yang mampu menggetarkan setiap jiwa.
Nurlaila tersentak, tetapi tak berani menolak. Setidaknya dia masih bisa melihat dengan sebelah mata saja, demikian yang ada dalam pikirannya.
Sang Naga mendekat, menjulurkan lidahnya yang bercabang, menjilati wajah Nurlaila, lalu perlahan tapi pasti, lidah itu mencongkel keluar sebelah bola mata Nurlaila.
Jerit kesakitan keluar tanpa putus dari mulut Nurlaila. Proses pencongkelan itu berlangsung lama dan sangat menyakitkan. Lubang matanya panas dan perih, rasanya menusuk dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepalanya. Seumur hidupnya, Nurlaila tidak pernah merasakan penderitaan sehebat itu.
Seabad rasanya bagi Nurlaila, sebelum akhirnya semua selesai. Bola mata kanannya sudah diangkat seluruhnya, ditelan sang Naga, meninggalkan lubang berdarah-darah di rongga matanya. Nurlaila lunglai ke tanah, dengan satu mata yang masih tersisa dia memandangi sang Naga.
“Saya mohon, Eyang, tunjukkan kepada saya jalan pulang,” pintanya lemah.
Sang Naga kembali menyemburkan api, membakar tanah dengan cepat. Api berkobar selama beberapa saat sebelum padam dan membentuk jalan setapak yang gosong kehitaman.
“Telusuri jalan itu dengan kakimu, maka engkau akan sampai di sebuah negeri di mana manusia-manusia terkutuk sepertimu berada. Carilah Gendeng, kadang dia berwujud seperti anak-anak, orang tua, perempuan, laki-laki muda, atau kadang hanya seonggok serangga. Dia yang akan memberi tahu arah mana yang harus engkau tuju untuk bisa pulang.”
Setelah berkata demikian sang Naga meliuk kembali ke dalam rekahan tanah. Goncangan hebat lagi-lagi terjadi, kemudian semuanya seperti adegan film yang diputar terbalik, rekahan tanah menutup, garis retakan menghilang. Tanah kembali tenang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Nurlaila memandang ragu ke arah jalan setapak yang lebih mirip bara api. Dia tidak punya pilihan lain selain menjejakkan kakinya ke atas sana dan meneruskan perjalanannya.
Setiap langkah yang dia ambil bagaikan seribu tahun penderitaan. Telapak kakinya mengelupas terbakar, tetapi Nurlaila tidak berhenti.
Perjalananan panjang dan menyakitkan itu berujung pada sebuah gerbang gapura. Dengan dada berdebar, Nurlaila memasuki gerbang itu. Seketika pemandangan tanah tandus tadi berubah menjadi pemandangan sebuah perkampungan yang ramai oleh hilir mudik aneka makhluk.
Berbekal satu mata dan sepasang kaki melepuh, Nurlaila terseok-seok berjalan berkeliling. Beberapa makhluk dengan penampilan mengerikan, setengah hewan, setengah manusia, menyeringai kepadanya. Tidak hanya mereka, di tempat aneh itu Nurlaila juga melihat makhluk-makhluk indah menyerupai peri-peri cantik dan tampan yang pernah dilihatnya dalam buku dongeng bergambar anak-anak, makhluk-makhluk itu melayang hilir mudik dengan anggun. Namun, yang paling membuatnya gelisah di antara semua lalu lalang para makhluk itu adalah keberadaan manusia-manusia seperti dirinya.
Dia melihat seorang lelaki muda dicambuki tak ubahnya seekor keledai oleh sesosok makhluk tinggi besar, berkepala kerbau.
“Jangan lelet, kau manusia! Cepat pindahkan batu-batu ini,” perintahnya sambil mengayunkan kembali cambuknya.
Nurlaila bergidik melihat lelaki muda itu kepayahan mengangkuti batu-batu yang besarnya dua kali ukuran tubuhnya ke atas punggung telanjangnya yang penuh dengan bilur-bilur luka cambuk. Dia kemudian berjalan dan sampai di sebuah jembatan berbentuk tidak biasa. Setelah mengamati lebih seksama, Nurlaila menjerit tertahan.
Ternyata jembatan itu tidak terbuat dari kayu seperti pada umumnya, melainkan dari rangkaian tubuh manusia yang masih hidup. Tangan mereka melambai-lambai putus asa, raut mereka adalah gambaran kesengsaraan, mulut mereka menjerit keras setiap kali ada yang melintas, menjadikan tubuh mereka sebagai pijakan untuk menyeberang.
“Tempat macam apa ini?” batin Nurlaila.
“Hei, perempuan bermata satu!”Mendadak Nurlaila mendengar seseorang bersuara parau memanggilnya dari dalam kepalanya. Dia memiringkan kepalanya, menekan-nekan telinganya, mengira si pemilik suara bisa keluar dari dalam lubang telinganya.“Kamu perempuan konyol, aku ada di sini, sebelah sini, di bawah dekat kakimu,” sahut suara itu lagi.Nurlaila melihat ke bawah dan menemukan seekor ular pendek, gemuk, dengan mata bagai sepasang bintik hitam kecil di kepalanya. Nurlaila berjongkok dan bertanya, “Apa kamu ngomong sama aku?”Ular itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, mendesis-desis. Dia berkomunikasi dengan Nurlaila melalui pikiran. “Memang, siapa lagi, heh?” tanyanya balik dengan ketus.“Apa kamu Gendeng?” Entah bagaimana, Nurlaila merasa langsung dapat mengenali sosok hewan itu.“Yang sopan kalau bicara! Jangan langsung memanggilku dengan sebutan nama. Panggil aku Ki Gendeng!” Ular itu berteriak pongah di dalam kepala Nurlaila.“Iya, iya, maafkan aku, Ki Gendeng.”Rasanya sulit ba
Kata-kata Suroso sama sekali tidak dipahami Nurlaila. “Siapa Maya? Cakar hitam apa?” tanyanya berulang-ulang.Bukannya menjawab pertanyaan Nurlaila, Suroso malah tertawa-tawa histeris. Tepat seperti apa yang dibilang Ki Gendeng sebelumnya, Suroso sudah benar-benar kehilangan akalnya.“Pah, ngomong! Jelaskan semuanya!”“Sudah! Percuma kamu mengajak bicara wong edan!” Ki Gendeng mendesis dalam pikiran Nurlaila.Tak mengindahkan Nurlaila, Suroso kembali pada pekerjaannya, menggarap ladang yang ditumbuhi tanaman-tanaman aneh.“Setidaknya suamimu itu beruntung punya keahlian, tidak harus dipaksa jadi pijakan, atau tukang angkat batu.” Ki Gendeng mengomentari.“Aku harus cari tahu, siapa itu perempuan bernama Maya? Apa dia yang sudah bikin celaka suamiku?”“Halah! Paling-paling, itu nama perempuan yang jadi salah satu korban nafsu bejad suamimu,” ujar Ki Gendeng berpendapat.Mata satu Nurlaila membesar, dia mendekatkan lengannya--di mana sosok ular Ki Gendeng melingkar--ke wajahnya, lalu de
Baru sekali itu Hendi naik ke atap gedung rumah sakit berlantai sembilan, tempat ibunya dirawat. Dia menyebrangi pagar pembatas, dan berdiri di tepian atap. Hari sudah gelap, lampu-lampu penerang dinyalakan. Dari tempatnya berdiri Hendi melihat masih ada saja orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Namun, tidak ada satu pun yang memerhatikan keberadaan Hendi yang tengah berdiri di antara hidup dan mati.“Ayo, lompat, lompat sekarang!”“Tunggu apa lagi?”“Dunia ini brengsek, tinggalkan saja!”Berbagai macam ruh gentayangan mengerubungi Hendi. Seorang wanita dengan kepala hancur, seorang nelayan dengan kulit kelapa terkelupas, seorang pelajar dengan leher hampir putus, dan masih banyak lagi. Semuanya berbisik-bisik, menyeringai, atau hanya terdiam sambil terus memeloti Hendi.“Menjauhlah, pergi sana! Jangan dekati aku, aku capek!” Hendi menggumam.Dalam hatinya dia tidak mau mati. Apalagi dengan cara seperti itu, mati bunuh diri, membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah, mematahkan
Hendi terperenyak. Dia sudah kehilangan ayahnya, jika kali itu ganti ibunya yang harus pergi, Hendi merasa dunianya hancur sudah. Karmila yang ada di sisinya menepuk-nepuk bahu Hendi sebagai tanda simpati.Selanjutnya waktu berjalan begitu lambat bagi Hendi. Tangannya berkeringat dingin, cemas menunggu Nurlaila keluar dari ruang operasi. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan terjadinya musibah yang berturut-turut dalam keluarganya. Kapan semuanya itu bermula? Kepala Hendi berpikir keras.Akhirnya pintu ruang operasi dibuka. Beberapa perawat mendorong sebuah brankar keluar.“Itu Mama!” Hendi mendesah lega melihat Nurlaila berbaring di sana dengan satu mata dibalut perban.Seorang dokter mendekat. “Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan mata pasien. Sebelah bola matanya rusak parah seperti habis ditusuk benda tajam, jadi terpaksa kami angkat.”“Siapa yang sudah melakukan itu pada Mama? Belum ada satu jam saya pergi, Mama masih baik-baik saja.”Dokter itu menggeleng sedih. “Seti
Hendi sudah menemukan apa yang dia cari. Selanjutnya hanya tinggal menemui Dahlia, dan mengorek semua keterangan langsung dari mulut wanita itu. Dia pun beranjak hendak keluar kamar. Namun, saat tangannya memutar gagang pintu, pintunya tidak mau terbuka, padahal Hendi tahu kalau Bik Yanti sudah merusak kuncinya.“Kamu mau ke mana?” Suara dingin Kanjeng Ratu merayapi tengkuknya.Mengertilah Hendi kalau pintunya terkunci karena ulah Kanjeng Ratu. “Apa yang kau mau?” Hendi bertanya getir.Kanjeng Ratu ada di hadapannya, di atas ranjang, memakai kain jarik yang cuma selembar, yang bahkan tidak mampu menutupi seluruh sosoknya. Kaki jenjangnya yang putih mulus tersingkap sampai paha, belahan buah dadanya menyembul menggoda, tatapan matanya membius, dan bibirnya yang ranum merekah mengundang hasrat.Dada Hendi berdesir. Dia masih ingat apa yang pernah dilakukan oleh Kanjeng Ratu kepadanya tempo hari. Dia tidak mau lagi. “Itu bukan sosok aslinya!” Hendi membatin, “Entah makhluk apa dia sebena
Di dunia lain, di mana Nurlaila terperangkap dalam godaan ghaib, Ki Gendeng tengah merepet kepada Nurlaila, “Hei, perempuan gemblung! Kamu, kok, malah main-main? Kamu jadi pulang atau tidak?”Sementara itu, yang diajak bicara seakan-akan tuli, dan malah asyik tertawa-tawa sambil mengejar bocah-bocah di bawah bayangan rimbun pohon.“Sudahlah, Ki, biarkan saja manusia satu itu di sini. Dia bisa membantuku mengurusi para bayi.” Sesosok makhluk lain tiba-tiba saja ikut nimbrung. Sosoknya seperti peri yang cantik, halus, nyaris transparan, melayang turun dari atas pohon, lalu hinggap di sisi Ki Gendeng.Ki Gendeng yang saat itu sudah pindah melingkari salah satu dahan pohon mendesis-desis sebagai bentuk protes. “Belum waktunya dia jadi budakmu di dunia ini. Masih ada yang harus dia kerjakan di dunianya sendiri.”“Kamu terlalu memedulikan manusia yang satu itu, Ki. Apa untungnya buatmu?” tanya peri pohon penasaran.“Aku hanya patuh kepada guruku, si Naga. Dia mengutusku untuk menjadi pendam
“Mama, ini aku.”Nurlaila melihat Hendi ada di hadapannya, dan selama beberapa saat dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata selain bicara di dalam kepalanya sendiri. “Ki, apa aku benar sudah kembali?”Ki Gendeng tidak menjawab, bahkan keberadaannya tidak bisa dirasakan Nurlaila. Kepalanya jadi enteng, melompong.“Ki, kamu ada di mana?” Panik, Nurlaila memanggil lagi, kali itu dengan suara keras sembari matanya memandang sekeliling dengan liar.“Mama, ini Hendi, apa Mama ingat aku?” Hendi meraih wajah Nurlaila, memaksanya untuk berpaling hanya kepada dirinya. “Mah, aku anakmu.”Pandangan Nurlaila mengikuti suara Hendi, lalu berhenti pada seraut wajah yang dikenalnya. Dia tesenyum. “Anakku,” ujarnya lirih.Hendi mendesah lega, kemudian memeluk Nurlaila. “Mah, apa matanya masih sakit?”Nurlaila mendengar, tetapi tidak memahami perkataan Hendi seakan-akan putranya itu bicara memakai bahasa asing. Senyum di wajahnya sedikit demi sedikit memudar, pandangan matanya kembali menerawang.“Mah?” H
Permintaan maaf Nurlaila tidak mengubah apa pun, apalagi menghapus dosa-dosa atas perbuatan mereka yang telah membuat perjanjian dengan jin hanya demi harta.“Mendiang Papa sudah kehabisan akal, hanya itu satu-satunya cara untuk bisa lepas dari ancaman para penagih utang. Kalau kami enggak segera bayar, mereka enggak akan segan membakar rumah atau melukai kami. Waktu itu kamu masih kecil, dan sebagai orang tua, kami enggak bisa membiarkan masa depanmu terancam. Tolong, pahamilah, Hendi, ampuni dosa-dosa kami.”Nurlaila ingin bersimpuh di kaki anaknya andaikan dengan berbuat begitu dia bisa meraih simpati Hendi. Tetapi, raut wajah Hendi yang dingin membuatnya takut.“Jangan pakai aku sebagai alasan untuk membenarkan pilihan kalian! Apa Mama tahu berapa harga yang harus kubayar karena kelakuan kalian itu? Makhluk itu ganti mengincarku, Mah! Kini, aku yang harus gantikan Papa untuk memenuhi ritual pesugihan kalian.”“Enggak mungkin! Ini salah.” Nurlaila menggelengkan kepala. Batinnya men
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j